• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Ratifikasi Konvesi Air Balas oleh Indonesia

Dalam dokumen Jurnal HLI Vol. 2 Issue 1 Juli 2015 (Halaman 92-107)

KERANGKA HUKUM INTERNASIONAL DAN PERBANDINGAN HUKUM DI INDONESIA

5. Potensi Ratifikasi Konvesi Air Balas oleh Indonesia

Fakta bahwa beberapa bagian perairan Indonesia digunakan sebagai jalur pelayaran internasional dapat menjadi suatu ancaman

75 Ibid, Pasal 49.

76

Ketentuan ini sama dengan Regulation D BWM Convention.

86

terjadinya pencemaran lingkungan akibat IAS. Adapun daerah pelayaran Indonesia yang sibuk terjadi di sekitar Selat Malaka dan daerah Alur Laut Kepulauan Indonesia (“ALKI”) I yang mencakup alur pelayaran dari Laut Tiongkok Selatan ke Samudera Hindia atau sebaliknya, melintasi Laut Natuna, Selat Karimata, Laut Jawa, dan Selat Sunda.78

Hingga saat ini, belum terdapat laporan yang menyatakan adanya pencemaran akibat IAS di perairan Indonesia. Namun, berdasarkan

prinsip precautionary principle, maka Indonesia perlu menyadari

kepentingannya untuk melindungi wilayah laut dengan meratifikasi Konvensi Air Balas.

Hal yang perlu diantisipasi lebih jauh adalah kesiapan Indonesia untuk menyesuaikan dengan ketentuan Konvensi Air Balas apabila konvensi ini memenuhi syarat ratifikasinya. Hal ini merupakan konsekuensi dari perumusan Pasal 211 ayat (2) UNCLOS yang berbunyi sebagai berikut.

“States shall adopt laws and regulations for the prevention, reduction and control of pollution of the marine environment from vessels flying their flag or of their registry. Such laws and regulations shall at least have the same effect as that of generally accepted international rules and standards established through the competent international organization or general diplomatic conference.”79

Indonesia perlu membuat pengaturan yang lebih spesifik mengenai visi pencegahan IAS berkembang biak dan mencemari wilayah perairan Indonesia. Perlu disadari bahwa PM 29/2014 memberikan kesan bahwa penyebab pencemaran air laut adalah akibat pencemaran minyak. Maka dari itu, adanya pengaturan yang terpisah dengan PM 29/2014 diperlukan untuk memberikan perhatian khusus mengenai ancaman kerusakan ekosistem akibat berubahnya sistem rantai makanan akibat invasive alien species.

Pembuatan tatanan baru peraturan mengenai pencegahan dampak air balas ini dapat dimulai dengan meratifikasi Konvensi Air Balas.

78

Indonesia, PP Nomor 37 Tahun 2002, Peraturan Pemerintah tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan Melalui Alur Laut Kepulauan yang Ditetapkan, LN No 71 Tahun 2002, TLN No. 4210.

87

Dengan menunjukkan keinginannya untuk terikat dengan pengaturan di dalam konvensi tersebut, Indonesia dapat dengan leluasa untuk mengadopsi ketentuan di dalam Konvensi Air Balas. Pengaturan yang terdapat di dalam konvensi ini sangat bersifat teknis, sehingga norma pengaturan yang dibutuhkan cukup setingkat peraturan menteri.

Peraturan baru ini perlu mengatur secara berbeda kapal berbendera Indonesia dan berbendera asing. Perlu juga diatur mengenai pembuangan air balas yang dilakukan kapal berbendera Indonesia karena terdapat kemungkinan kapal-kapal dalam negeri mengancam lingkungan maritim dengan adanya kekosongan hukum ini.

Selain itu, hal yang juga luput untuk diatur di dalam pengaturan mengenai pencegahan pencemaran lingkungan laut adalah tidak menyertakan Kementerian Lingkungan Hidup sebagai pihak yang terlibat dalam sistem koordinasinya. Dengan mengambil contoh pengaturan di dalam PM 29/2014, hanya Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Dirjen Hubla) Kementerian Perhubungan yang mendapatkan otoritas untuk melaksanakan fungsi pengawasan teknis terhadap pelaksanaan peraturan. Hal ini sebenarnya sesuai dengan misi Dirjen Hubla untuk menyelenggarakan perlindungan lingkungan

maritim di perairan nusantara.80 Peran Kementerian Lingkungan Hidup

akan sangat dibutuhkan apabila Indonesia ingin mengatur perlindungan lingkungan maritime secara komprehensif, termasuk upaya mitigasi pencemaran akibat pertukaran air balas jika diindikasikan telah terjadi.

6. Kesimpulan

Dalam sepuluh tahun sejak diadopsinya Konvensi Air Balas, konvensi ini belum juga berlaku karena belum memenuhi jumlah minimal ratifikasi negara di dunia. Mengingat bahwa ancaman mengenai IAS ini nyata dan sudah terjadi, maka perlu adanya perhatian khusus dari negara-negara lain yang berpotensi mengalami pencemaran, salah satunya Indonesia.

80

Sumber: http://hubla.dephub.go.id/profil/Pages/Visi-Misi.aspx, diakses pada tanggal 25 Juli 2015.

88

PM 29/2014 bisa menjadi langkah awal untuk menanggapi kebutuhan sebuah negara dalam melindungi lingkungan maritimnya. Hal yang luput untuk untuk diatur adalah bagaimana pembedaan pengaturan mengenai pengelolaan air balas bagi kapal yang berbendera Indonesia dan kapal asing. Tidak dinyatakan dengan jelas mengenai kewajiban yang harus dipenuhi bagi kapal berbendera Indonesia, padahal kapal-kapal dalam negeri juga mungkin mengancam lingkungan maritim dengan adanya kekosongan hukum ini.

Jika Konvensi Air Balas berlaku di masa mendatang, negara-negara di dunia akan memiliki kewajiban untuk meyesuaikan hukumnya dengan ketentuan Konvensi Air Balas. Hal ini disebabkan oleh berlakunya Konvensi Air Balas menandakan bahwa konvensi ini memenuhi syarat generally accepted international rules and standards. Hal ini yang harus diantisipasi oleh Indonesia dengan merumuskan ketentuan yang mengakomodasi kepentingn nasional. Selama tidak meratifikasi konvensi, maka ketentuan yang dibuat Indonesia tidak harus mengikuti standar yang diatur Konvensi Air Balas.

Bagaimanapun juga, keberhasilan Konvensi Air Balas ditentukan semata-mata oleh kemampuan para pemilik kapal untuk menyesuaikan dengan ketentuan yang telah diatur. Selain itu, hal yang akan menjadi perhatian lebih lanjut adalah bagaimana proses pengawasan dan pendeteksian ketidaksesuaian ketentuan sistem pengelolaan air balas. Perlu ada diskusi lebih jauh mengenai kemungkinan revisi ketentuan di dalam konvensi serta adanya asistensi finansial bagi negara dan bagi perusahaan kapal jika ingin menjadi aggota dari Konvensi Air Balas.

Daftar Pustaka

Bailey, S.A. et.al.“Evaluating Efficacy Of An Environmental Policy to

Prevent Biological Invasions”, Environmental Science and Technology

Vol. 45. (2011).

Ballast Water Treatment Market Remains Buoyant,

http://www.waterworld.com/articles/wwi/print/volume-25/issue- 1/regulars/creative-finance/ballast-water-treatment-market-remains-buoyant.html, diakses 1 Juni 2015.

Ballast Water,

89

Barry, Simon C., et. al., “Ballast Water Risk Assessment: Principles, Processes, and Methods.” ICES Journal of Marine Science 65, (2008). Bodansky, Daniel. “Protecting the Marine Environment from

Vessel-Source Pollution: UNCLOS III and Beyond” Ecology Law Quarterly

Vol. 18 Issue 4. (1991).

Bohlman, Michael. “ISO’s container standards are nothing but good news”, ISO Bulletin. 2001.

Bright, C. Life Out of Bounds: Bioinvasion in a Borderless World. Worldwatch Environmental Alert Series, New York. NY: Norton. 1998.

Bullard, S.G. et al. “Abundance and Diversity of Ascidians in the Southern Gulf of Chiriquí, Pacific Panama”Aquatic Invasions Vol 6 No. 4.(2011).

Canada. Ballast Water Control and Management Regulations (2006) Canada. Canada Shipping Act (2001)

Gollasch, S, et al. “Life in Ballast Tanks” di dalam Invasive Aquatic Species

of Europe: Distribution, Impacts and Management, ed. E. Leppakoski,

et al. Dordecht: Kluwer Academic Publishers. 2002.

Ibrahim, A.M. dan M.A. El-naggar, “Ballast water Review: Impacts,

Treatments, and Management”, Middle-East Journal of Scientific

Research Vol 12 No. 17. (2012).

IMO Assembly Resolution A. 774 (18), Guidelines for Preventing the

Introduction of Unwanted Organism and Pathogens from Ships’ Ballast

Water and Sediment Discharges, 4 November 1993,

http://www.sjofartsverket.se/upload/5121/774.pdf, diakses 29 Mei 2015.

IMO Assembly Resolution A. 774 (18). (1993)

IMO Resolution A. 868(20), Guidelines for the Control and Management of Ships’ Ballast Water to Minimise the Transfer of Harmful Organism and

Pathogens, 27 November 1997,

http://globallast.imo.org/wp-content/uploads/2015/01/ Resolution-A.868_20_english.pdf, diakses 29 Mei 2015.

Indonesia, PM 29 Tahun 2014, Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia tentang Pencegahan Pencemaran Lingkungan Maritim, Berita Negara Nomor 1115 Tahun 2014.

90

Installation of Ballast Water management System for the Ships Calling at

Malaysian Ports, http://www.ombros-consulting.com/?p=1164, diakses

tanggal 1 Juni 2015.

International Convention for the Prevention of Pollution from Ships (MARPOL)

International Maritime Organization.“International Convention for the

Control and Management of Ships’ Ballast Water and Sediments.

(2004).

International Maritime Organization.“International Convention for the Prevention of Pollution from Ships.” (1973)

International Maritime Organization.Status Of Multilateral Conventions And Instruments In Respect Of Which The International Maritime Organization Or Its Secretary-General Performs Depositary Or Other Functions. 2015.

King, DM, et.al. “Preview of Global Ballast Water Treatment” Journal of

Marine Engineering and Technology Vol 11. (2012).

Malaysia. Implementation of International Convention for the Control and Management of Ships’ Ballast Water and Sediments, 2004 (BWM Convention) (2011)

Malaysia. Installation of Ballast Water Treatment System (2012)

Marsden, J. Ellen. Zebra Mussel Study on Lake Michigan, Annual Report to Illinois Department of Conservation”, Illinois Natural History Survey, Center for Aquatic Ecology. 1992.

McConnell, Moira. GloBallast Legislative Review: Final Report GloBallast Monograph, Series No. 1. London: IMO. 2002.

McGee, Sarah. “Proposals for Ballast Water Regulations: Biosecurity in an

Insecure World”, Colorado Journal of International Environmental Law

and Policy Vol 141. (2012).

Miller, A. Whitman, et.al. “Geographic Limitations and Regional Differences in Ships’ Ballast Water Management to Reduce Marine Invasions in the Contiguous United States” BioScience vol. 61. (2011).

Miller, A.W. et. Al. Status and Trends of Ballast Water Management in the United States, Third Biennal Report of the national Ballast

91

Information Clearinghouse, Submitted to the United States Coast Guard. 2007.

More Countries get behind ballast water convention,

http://www.tradewindsnews.com/weekly/347257/More-countries-get-behind-ballast-water-convention, diakses 1 Juni 2015.

MPA: at the Helm of New Waves, Port View Singapore, 2Q/2014, https://www.singaporepsa.com/images/PortView/2014%20PortViewQ2/

HTML/files/assets/common/downloads/publication.pdf, diakses 22 Mei

2015.

Nordquist, Myron H., et al. Ed. United Nations Convention on the Law of the Sea, 1982: A Commentary. 1991.

Ostenfeld, C.H. “On the Immigration of Bidulphia sinensis Grev. and its

Occurrence in the North Sea during 1903-1907” Meddelelser fra

Kommissionen fo Havundersogelser, Plankton Vol 1 No. 6. (1908).

Pencemaran Air Ballast Ancam Perairan Batam,

http://kepri.antaranews.com/berita/28809/pencemaran-air-ballast-ancam-perairan-batam, diakses 1 Juni 2015.

Puthucherril, Tony George. “Ballast Waters and Aquatic Invasive Species: A Model for India” Colorado Journal of International Environmental Law and Policy Vol 19, (2008).

Ray, G.C. dan J. McCormick-Ray, Coastal Marine Conservation: Science and

Policy. UK: Blackwell. 2004.

Rolim, Hellen Foncesa de Souza. The International Law on Ballast Water:

Preventing Biopollution. Leiden, Boston: Martinus Nijhoff

Publishers. 2008.

Sea Ballast and Zebra Mussels (Ballast),

http://www1.american.edu/ted/ballast.htm, diakses 22 Mei 2015.

Sinking Under A Big Green Wave, Sumber: http://www.economist.com/

news/business/21574517-shipowners-face-onslaught-new-environmental-laws-sinking-under-big-green-wave, diakses 1 Juni 2015.

The Great Lakes Seaway Ballast Water Working Group.2013 Summary of Great Lakes Seaway Ballast Water Working Group. 2014.

Transport Canada. Discussion Paper: Canadian Implementation of the Ballast Water Convention. 2012.

92

United Nations General Assembly. “United Nations on the Law of the Sea. (1982)

United States Ballast Water Regulations,

http://el.erdc.usace.army.mil/zebra/zmis/zmishelp/united_states_ballast_water_r egulations.htm, diakses 1 Juni 2015.

http://www.imo.org/About/Conventions/ListOfConventions/Pages/International

-Convention-for-the-Prevention-of-Pollution-from-Ships-(MARPOL).aspx,

ULASAN

U

NDANG

-U

NDANG

N

O

.32T

AHUN

2014

TENTANG

K

ELAUTAN

“P

ENEGAKAN

H

UKUM DI

L

AUT

:P

ELUANG DAN

T

ANTANGAN

Margaretha Quina dan Henri Subagiyo

Di penghujung masa jabatannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengesahkan UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. UU ini disambut momen yang tepat dengan prioritas agenda politik Presiden RI selanjutnya, Joko Widodo, yang berambisi kembali membangun Indonesia sebagai negara maritim.

UU ini, yang muncul sebagai inisiatif DPD dan membutuhkan waktu dua tahun pembahasan di DPR, sepertinya oleh penyusunnya difungsikan sebagai undang "payung" atau umum bagi beberapa undang-undang sektoral yang berkaitan dengan laut. Dalam bagian Penjelasan UU Kelautan, penyusun UU menyatakan kendala pembangunan kelautan di Indonesia disebabkan tiadanya UU yang secara komprehensif mengatur keterpaduan berbagai kepentingan sektor di wilayah laut.1 UU ini dimaksudkan sebagai payung hukum yang terintegrasi dan komprehensif dalam hal pemanfaatan laut. Dengan kata lain, secara politik hukum keberadaan UU ini telah menunjukkan pandangan negara yang melihat laut sebagai aset strategis dalam mencapai tujuan pembangunan nasional.

Beberapa UU terkait yang dinaungi UU ini melalui banyak ketentuan teknis yang dirujuknyaantara lain: UU No. 31 Tahun 2004 tentang

Margaretha Quina merupakan Peneliti di Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), sedangkan Henri Subagiyo merupakan Direktur Eksekutif ICEL.

1 Penjelasan Umum, UU Kelautan. Lih: Undang-Undang Kelautan, UU No. 32 Tahun 2014, Lembaran Negara No. 294 Tahun 2014, Tambahan Lembaran Negara No. 5603.

94

Perikanan, sebagaimana diubah dengan UU No. 45 Tahun 2009 (“UU Perikanan”); UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan

Pulau-pulau Kecil (“UU PWP2K”); UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (“UU Pelayaran”); UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (“UU Konservasi”); UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Beberapa UU ini, sekalipun disahkan terlebih dahulu, namun merupakan

lex specialis, yang jika ada ketentuan yang bertentangan akan menundukkan diri pada UU Kelautan yang merupakan legi generali. Patut diingat UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

(“UU PPLH”) yang juga merupakan legi generali, bertalian erat dengan UU ini, utamanya dalam hal keberlanjutan lingkungan laut. Hal lainnya bisa juga kita lihat dari banyaknya ketentuan dalam UU Kelautan yang merujuk pada UU lainnya, misalnya dengan rumusan seperti Pasal 21 Ayat (2) yang menyatakan: "Pengaturan pemanfaatan sumber daya mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional."

Selain hubungannya dengan UU sektoral, UU ini mencabut UU No. 6

Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (“UU Perairan Indonesia”), serta mengganti Badan Koordinasi Keamanan Laut (“Bakorkamla”) menjadi Badan Keamanan Laut (“Bakamla”).

Setidaknya ada dua isu besar yang selama ini muncul terkait dengan kelautan. Pertama, tentang pengelolaan laut mulai dari kebijakan perencanaan hingga pemanfaatan sumber daya laut. Kedua, tentang pengawasan dan penegakan hukum di laut. Kedua isu tersebut patut kita cermati dan sudah selayaknya harus mampu dijawab, baik secara normatif dalam ketentuan UU dan aturan pelaksananya maupun pada tataran empiris pelaksanaannya. Fokus tulisan ini adalah pada isu kedua, yaitu terkait dengan penegakan hukum. Tanpa bermaksud mengesampingkan isu pengelolaan, penegakan hukum merupakan pilar terakhir dalam menjaga kedaulatan dan memastikan agar sumber daya laut dapat dikelola secara berkelanjutan untuk tujuan pembangunan nasional. Meskipun demikian, kita perlu garis bawahi bahwa penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan efektif jika masih banyak kelemahan pada aspek pengelolaan.

95

Sudahkah UU Kelautan Menjawab Tantangan Penegakan Hukum di Laut?

Persoalan penegakan hukum di laut selama ini merupakan persoalan kelembagaan yang terkait dengan tumpang tindih kewenangan dan lemahnya koordinasi antar lembaga dengan kewenangan yang berbeda-beda.

Sebelum diundangkannya UU Kelautan, yurisdiksi penanganan pelanggaran hukum di wilayah laut terbagi di berbagai lembaga, antara lain, secara tersendiri dan terpisah, adalah TNI Angkatan Laut, Polisi Perairan (“Polair”), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (“Ditjen Bea Cukai”), Kejaksaan Agung RI, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Armada PLP/KPLP), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (“KLHK”),

Kementerian Kelautan dan Perikanan (“KKP”), Kementerian Energi dan

Sumber Daya Mineral (“Kementerian ESDM”), Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (“Kemenbudpar”), Kementerian Hukum dan HAM (“Kemenhukham”), Kementerian Pertanian (“Kementan”) dan Kementerian Kesehatan (“Kemenkes”).2 Pra-UU ini, Bakorkamla yang dimandatkan dalam UU Perairan Indonesia3 bertugas melakukan koordinasi di antara badan-badan ini. Bakorkamla, yang dahulu dibentuk dengan Surat Keputusan Bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata, Menteri Perhubungan, Menteri Keuangan, Menteri Kehakiman, dan Jaksa Agung,4 kini resmi diubah menjadi Bakamla dengan Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014 tentang Bakamla.

2 Terdapat setidaknya 12 lembaga di tingkat nasional yang memiliki kewenangan penegakan hukum di laut di luar Bakorkamla. Untuk uraian tugas masing-masing lembaga, Lih: Bambang Usadi, “Sistem Penegakan Hukum dalam RUU Kelautan,” Jurnal Maritim, diakses di http://jurnalmaritim.com/2014/09/sistem-penegakan-hukum-dalam-ruu-kelautan/ pada 8 September 2014.

3 Pasal 23 ayat (3) UU No. 6 Tahun 1996 menentukan: “Apabila diperlukan, untuk meningkatkan pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan, dan pelestarian lingkungan Perairan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibentuk suatu badan koordinasi yang ditetapkan dengan Keputus-an Presiden.” Lih: Undang-Undang Perairan Indonesia, UU No. 6 Tahun 1996, Lembaran Negara No. 73 Tahun 1996, Tambahan Lembaran Negara No. 3647.

4 Keputusan bersama itu masing-masing Nomor: KEP/B/45/XII/1972;

SK/901/M/1972; KEP.779/MK/III/12/1972; J.S.8/72/1;KEP-085/J.A/12/1972 tentang Pembentukan Badan Koordinasi Keamanan di Laut dan Komando Pelaksana Operasi Bersama Keamanan di Laut. Di tahun 2005, ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Keamanan Laut (BAKORKAMLA) yang menjadi dasar hukum dari Bakorkamla hingga digantikan oleh Bakamla pada 2014. Lih: Hukum Online, “Presiden Jokowi Resmi Bentuk Badan Keamanan Laut,” 15 Desember 2014,

96

Bakamla memang memiliki fungsi yang diperluas dan diperkuat dibandingkan institusi pendahulunya, yang ditujukan agar Bakamla dapat mengefektifkan dan mengefisienkan tugas penegakan hukum di laut sebagai pengelola kewenangan berbagai institusi agar dapat bekerja sama dalam penegakan hukum.5 Tugas Bakamla, jika dibandingkan dengan Bakorkamla, lebih dari menyinergikan dan memonitor pelaksanaan patroli perairan oleh instansi terkait,6 melainkan juga melakukan patroli keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia. Secara praktis, hal ini berarti Bakamla diharapkan dapat turun langsung dalam penegakan hukum di laut. Sinergi hanya salah satu fungsi yang dijalankan Bakamla, dan fungsi lainnya mencakup penyusunan kebijakan nasional di bidang keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia; menyelenggarakan sistem peringatan dini keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia; melaksanakan penjagaan, pengawasan, pencegahan, dan penindakan pelanggaran hukum di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia; memberikan dukungan teknis dan operasional kepada instansi terkait; memberikan bantuan pencarian dan pertolongan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia; dan melaksanakan tugas lain dalam sistem pertahanan nasional.7 Jika dilihat secara normatif, penguatan rumusan tugas dan fungsi Bakamla seharusnya menjadi landasan hukum yang cukup sebagai modal awal penegakan hukum yang lebih efektif.

Bagaimanapun, hal-hal yang paling krusial justru berada dalam tataran implementasi, khususnya harmonisasi tugas dan fungsi Bakamla dan masing-masing lembaga. Terdapat setidaknya dua hal yang perlu menjadi perhatian Bakamla dalam hal ini. Pertama, sekalipun dengan UU Kelautan yang baru, Bakamla tidak lepas dari tantangan yang selama ini juga mengganjal Bakorkamla, yaitu ego sektoral dari kedua belas lembaga di atas khususnya dalam hal koordinasi. Secara praktis, ego sektoral menyebabkan makin banyak otoritas berpatroli di laut dengan tugas dan fungsi yang tidak terkoordinasi dengan baik.8 Bagi pelaku pelayaran, hal ini berarti inspeksi yang begitu banyak dan kepastian hukum yang minim.

diakses di

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt548e81c137787/presiden-jokowi-resmi-bentuk-badan-keamanan-laut pada 15 Agustus 2015. 5 Lihat: Usadi, Op. Cit.

6 Lih: Pasal 62 UU Kelautan, Op. Cit. 7Id.

97

Bagi Bakamla, hal ini dapat berarti tumpang tindih atas tugas dan kewenangan lembaga yang dulunya berada di bawah koordinasi Bakorkamla; atau kebalikannya – adanya ruang penegakan hukum yang justru tidak terjamah oleh semua instansi penegak hukum karena kurangnya pemahaman akan pola interaksi dan koordinasi fungsi antar lembaga.

Permasalahan di atas tidak lepas dari peran TNI dalam hubungannya dengan instansi penegak hukum lainnya. Dalam konteks penegakan hukum, Penulis berpendapat bahwa TNI seharusnya menjadi sistem pelengkap dalam konteks mobilisasi alat-alat kekuatan, mengingat kapasitas fisik TNI dalam hal alat-alat kekuatan merupakan yang paling mumpuni. Salah satu fungsi penting Bakamla dalam hal ini seharusnya memfasilitasi mobilisasi kekuatan TNI. Peran ini serupa dengan fungsi TNI

di bawah komando Badan Nasional Penanggulangan Bencana (“BNPB”)

dalam hal penanggulangan bencana. Sementara itu, peran intelektual dalam pengawasan dan penegakan hukum yang tidak lepas dari justifikasi adanya pelanggaran berdasarkan standar tertentu, tetap menjadi fungsi instansi sektoral yang memang memiliki kewenangan dan kapasitas dalam penegakan hukum tersebut. Dengan demikian, kewenangan original yang merupakan mandat UU instansi-instansi tersebut tetap dijalankan utamanya oleh instansi-instansi tersebut sendiri. Hanya saja, jika diperlukan koordinasi dengan instansi lain, termasuk pengerahan kekuatan TNI, maka jika dimungkinkan koordinasi tersebut dapat dilakukan melalui Bakamla. Pada konteks penegakan hukum ini, kekuatan TNI sudah seharusnya tunduk pada komando Bakamla.

Hal lainnya yang perlu kita cermati bahwa di laut ada banyak aspek dan kegiatan yang menentukan pula banyaknya potensi pelanggaran. Kondisi ini tentu harus dipertimbangkan dalam mencermati kapasitas kelembagaan Bakamla. Sayangnya, tugas dan fungsi yang cukup besar bagi Bakamla ternyata tidak diimbangi oleh kewenangan yang diberikan oleh UU kepadanya. Untuk menjalankan tugas dan fungsi tersebut, baik UU Kelautan maupun Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014 tentang Badan Keamanan Laut hanya memberikan tiga kewenangan, yaitu: (1) melakukan pengejaran seketika; (2) memberhentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan menyerahkan kapal ke instansi terkait yang berwenang untuk pelaksanaan proses hukum lebih lanjut; dan (3) mengintegrasikan sistem informasi keamanan dan keselamatan di wilayah

Dalam dokumen Jurnal HLI Vol. 2 Issue 1 Juli 2015 (Halaman 92-107)