• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka 1 Hutan Rakyat

2.1.2 Potensi Usaha Kayu Rakyat

Kayu dari hasil hutan rakyat, disebut juga kayu rakyat, memiliki potensi tinggi terhadap pendapatan petani. Hal ini dikarenakan pasokan kayu baik untuk ekspor maupun dalam negeri selagi hutan sebagai pemasok kayu, peranannya terus berkurang, sehingga pasaran terhadap kayu rakyat akan selalu ada. Usaha kayu rakyat memiliki kekenyalan (resilience) terhadap badai moneter yang menerpa Indonesia pada era orde baru (Darusman, 2001). Usaha kayu rakyat juga merupakan usaha yang kecil, namun tidak pernah mati, karena masyarakat pemilik hutan rakyat cenderung menanam kayu pada lahan miliknya sebagai tabungan investasi jangka panjang yang sewaktu-waktu dapat diuangkan. Sayangnya, pemasaran oleh petani dengan cara seperti ini dapat merugikan petani. Petani cenderung menjual kayu berupa tegakan, atau masih berupa batang kayu, hanya sedikit sekali yang mulai melakukan pengolahan kayu tersebut dengan adanya industri kecil.

Mengacu pada Scott (1976), Hardjanto (2003) berpendapat bahwa usaha kayu rakyat di Jawa tidak lain dilakukan oleh keluarga petani kecil, biasanya subsisten, yang merupakan ciri umum petani Indonesia. Golongan petani tersebut memiliki kebiasaan mendahulukan selamat, artinya apa yang diusahakan prioritas pertama adalah untuk mencukupi kebutuhan konsumsi sendiri.

Penduduk pedesaan pada umumnya memiliki lahan yang relatif sempit; dengan lahan terbatas tersebut prioritas bercocok tanam adalah menanam tanaman pangan untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, kemudian tanaman buah- buahan dan yang terakhir adalah tanaman yang menghasilkan kayu. Keseluruhan usaha tersebut, baik sebagai produsen maupun konsumen lazim disebut dengan usaha kecil (Hardjanto, 2003).

Pengusahaan kayu rakyat diperkirakan memiliki prospek yang terus membaik untuk skala bisnis maupun kebutuhan sendiri, seiring terus meningkatnya kebutuhan kayu untuk berbagai industri. Misalnya bahan bangunan, bahan furnitur, alat-alat rumah tangga, produk seni, dan industri terkait lainnya.

Budidaya hutan rakyat di Jawa dengan hasil utama kayu berkembang karena adanya pasar untuk peralatan rumahtangga, untuk peti kemas, pulp, dan lain-lain. Pasar itulah yang menentukan pilihan jenis tanaman. Kayu sengon lebih banyak digunakan untuk peti kemas; pulp; perabot rumahtangga (meja, kursi, dipan, almari); bahan bangunan (usuk, reng). Kayu jati lebih utama digunakan untuk perabot rumahtangga dan bahan bangunan rumah yang tergolong mewah (Suharjito, 2000).

Kayu rakyat merupakan salah satu komoditas yang memberikan pendapatan bagi masyarakat dan mempunyai kontribusi yang cukup besar dalam upaya pemenuhan bahan baku industri kayu dan rumah tangga. Untuk mencegah kerusakan hutan negara yang kian memprihatinkan akibat perambahan, penjarahan, penebangan liar dan sebagai pengaman dan pengendalian peredaran kayu rakyat di lintas Kabupaten, maka dipandang perlu untuk membuat petunjuk pelaksanaan penatausahaan hasil hutan di hutan rakyat.

Potensi hutan alam sebagai penghasil kayu bagi pembangunan nasional semakin hari semakin menurun, di sisi lain permintaan kayu terutama sebagai bahan baku industri pengolahan kayu semakin bertambah. Salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan tersebut melalui pengembangan hutan rakyat. Disamping mempunyai fungsi pendukung lingkungan, konservasi tanah dan perlindungan tata air, hutan rakyat atau lahan-lahan lain diluar kawasan hutan juga mempunyai kontribusi yang cukup besar dalam upaya pemenuhan kebutuhan

bahan baku kayu yang dihasilkan dari luar kawasan hutan milik negara (Syahadat, 2001).

Syahadat (2001) berpendapat bahwa untuk lebih mengoptimalkan dalam pemanfaatan kayu rakyat oleh masyarakat dan untuk mempermudah dalam pemberian ijin pemanfaatan hutan rakyat, maka dalam pemanfaatan kayu rakyat dari hutan rakyat dikelompokan ke dalam dua kategori, yaitu : a) Pemanfaatan kayu rakyat untuk memenuhi kebutuhan kayu sendiri atau digunakan sendiri, dan b) Pemanfaatan kayu rakyat untuk dikomersilkan atau diperjualbelikan. Untuk hutan rakyat di pulau Jawa, pemanfaatan kayu rakyat dapat meliputi keduanya. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Hardjanto (2001) bahwa usaha hutan rakyat oleh masyarakat di pedesaan Jawa, juga termasuk dalam kategori usaha pertanian skala kecil dengan hasil baik untuk keperluan sendiri maupun untuk dijual dan dapat menjadi komoditi ekspor.

Program sertifikasi hutan rakyat yang telah banyak dilakukan di berbagai daerah di Indonesia dapat membantu menaikkan harga dan kualitas kayu rakyat, karena terdapat kecenderungan pasar yang lebih tinggi terhadap kayu bersertifikat. Sertifikasi hutan dianggap sebagai sebuah mekanisme yang bisa mewujudkan keadilan dalam usaha hutan rakyat, karena program ini mungkin bisa memberikan insentif yang lebih baik kepada pengusaha hutan yang bisa mengelola hutan secara lestari. Namun masih banyak kendala/tantangan yang bisa menghambat proses sertifikasi hutan rakyat.

Hinrich (2008) menyebutkan bahwa kendala tersebut secara garis besar bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu internal constraints, yang merupakan kendala dari dalam diri petani hutan dan pengelolaan hutan rakyat itu sendiri, dan external constraints, yang merupakan hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan hutan rakyat dan petani hutan, namun mempunyai peran yang sangat besar dalam menentukan minat petani hutan untuk mengadopsi sertifikasi hutan.

2.1.3 Kelembagaan Hutan Rakyat

Istilah lembaga kemasyarakatan merupakan terjemahan dari social- institution yang menurut Soekanto (1981) menunjuk pada suatu bentuk dan sekaligus juga mengandung pengertian-pengertian yang abstrak perihal adanya

norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu yang menjadi ciri dari pada lembaga tersebut. Tetapi ada juga yang mempergunakan istilah pranata-sosial, dimana definisi tersebut menekankan pada sistim tata kelakuan atau norma-norma sebagaimana dinyatakan oleh Koentjaraningrat, bahwa “pranata sosial adalah suatu sistim tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat.”Lembaga menunjuk pada bentuk struktur, sedangkan pranata sosial menunjuk pada norma2 atau aturan main. Istilah lain yang digunakan sebagai padanan dari social institutionadalah kelembagaan sosial.

Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebuah lembaga merupakan aturan atau norma-norma yang berlaku dan menjadi ciri daripada lembaga tersebut. Kemudian apabila lembaga tersebut diwujudkan dalam hubungan antara manusia, melalui sebuah bentuk yang memiliki struktur dapat dinamakan organisasi. Sehingga pengertian disini menggambarkan bahwa lembaga dan organisasi merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.

Hardjanto (2003) membagi kelembagaan usaha kayu rakyat menjadi tiga bagian, yaitu: 1). Kelembagaan Pengurusan Hutan Rakyat; 2). Kelembagaan Sosial; 3). Kelembagaan Ekonomi. Kelembagaan pengurusan hutan rakyat merupakan sebuah sistem pengelolaan hutan rakyat mulai dari pembibitan hingga panen. Sistem tersebut meliputi luas lahan yang digunakan, penggunaan sarana produksi tani (saprotan), hingga produktivitas lahan. Kelembagaan sosial meliputi hubungan kerja antar aktor, tenurial pohon, serta jaringan sosial yang terbentuk dari proses hubungan kerja tersebut. Kelembagaan ekonomi meliputi perolehan modal dan pemasaran kayu rakyat.

Hakim, (2009) menggambarkan bahwa produksi sengon rakyat di Wonosobo mengalami peningkatan terutama hingga tahun 2007 diiringi dengan peningkatan harga pada berbagai tingkat pelaku usaha sengon. Peningkatan permintaan kayu sengon diduga disebabkan oleh semakin berkurangnya pasokan kayu dari luar jawa, menurunnya produksi kayu dari kawasan hutan negara (Perum Perhutani) dan semakin meningkatnya pangsa pasar dan jumlah unit industri yang membutuhkan bahan baku kayu sengon untuk berbagai jenis produk seperti kayu bangunan, moulding, papan lamina dan kayu lapis. Hal tersebut

menyebabkan kenaikan harga kayu sengon di setiap titik rantai tata niaga kayu sengon, dimana pelaku pemasaran kayu sengon terdiri atas petani, penebas, depo, supplier dan industri.

Sebagai upaya untuk meningkatkan hasil yang optimum dalam pengelolaan hutan rakyat perlu adanya suatu persatuan antar petani (Haeruman, et.al 1990, dalam Hardjanto, 2003). Suatu organisasi pengelolaan hutan rakyat dapat dibentuk agar pola kerja pengelolaan lebih baik dan teratur. Etzioni (1982) mendefinisikan organisasi sebagai unit sosial yang sengaja dibentuk dan dibentuk kembali dengan penuh pertimbanan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan tertentu. Organisasi pada umumnya ditandai oleh ciri-ciri (1) adanya pembagian dalam pekerjaan, kekuasaan dan tanggung jawab komunikasi yang sengaja direncanakan untuk dapat meningkatkan usaha mewujudkan tujuan tertentu; (2) ada satu atau beberapa pusat kekuasaan yang berfungsi mengawasi pengendalian usaha-usaha organisasi serta mengarahkan organisasi mencapai tujuannya; (3) penggantian tenaga.

Sebuah lembaga merupakan aturan atau norma-norma yang berlaku dan menjadi ciri daripada lembaga tersebut. Kemudian apabila lembaga tersebut diwujudkan dalam hubungan antara manusia, melalui sebuah bentuk yang memiliki struktur dapat dinamakan organisasi. Sehingga pengertian disini menggambarkan bahwa lembaga dan organisasi merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Alternatif lembaga sebagai wadah bagi petani bisa berupa koperasi atau lembaga kelompok tani jenis lainnya. Prinsip organisasi koperasi adalah menghimpun manusia penduduk pedesaan yang mempunyai kesamaan kepentingan agar mereka dapat lebih meningkatkan kesejahteraannya (Mubyarto, 1988).

Hardjanto (2003) menggunakan definisi Brodjosaputro (1989) bahwa Koperasi Unit Desa adalah organisasi ekonomi rakyat yang berwatak sosial, terdiri dari kumpulan orang-orang dalam kesamaan dan kebersamaan kepentingan ekonomi serta bekerja sama untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Definisi tersebut menggambarkan bahwa koperasi Unit Desa dibentuk untuk memenuhi kebutuhan pokok anggotanya, dimana anggota koperasi tersebut adalah masyarakat.

Dalam pengembangan usaha kayu rakyat, diperlukan adanya kelembagaan yang baik dengan kerjasama yang kuat antar petani. Hal ini bertujuan untuk menopang posisi tawar petani dalam menghadapi pasar. Selain itu dengan adanya kerjasama dan kelembagaan yang baik dalam usaha kayu rakyat ini, petani dapat melakukan pengembangan usaha diantaranya membuka industri kecil untuk pengolahan hasil kayu, dan pemasaran hasil tersebut tanpa perlu melalui tengkulak atau secara langsung kepada konsumen.

Koperasi-koperasi tani digolongkan sebagai organisasi-organisasi yang beranggotakan warga masyarakat di tingkat terbawah. Mereka adalah para pengusaha sosial yang menyiapkan perbaikan kesejahteraan para anggota mereka. Koperasi-koperasi dikontrol oleh orang-orang yang memperoleh layanan darinya, dimana anggota-anggotanya merupakan pembuat keputusan penting. Walaupun koperasi memiliki ragam jenis dan jumlah anggota, tujuan pokoknya adalah membantu anggota-anggotanya memasuki pasar dan menjadi pemasok, untuk mencapai tingkat kecukupan ekonomi yang layak, dan memiliki daya cengkeram pasar dengan penawaran bersama, pemrosesan dan pembelian barang dan jasa.

Walaupun sebagian besar usaha-usaha bisnis masyarakat yang legal di Indonesia berbentuk koperasi, perkembangan bentuk organisasinya acapkali dikritik karena lemahnya praktek-praktek pengurusan dan kejelasan tugas yang memungkinkan terjadinya kolusi dan korupsi. Dengan begitu, perlu ditelaah lebih jauh, bagaimana pengembangan kelembagaan hutan rakyat yang sudah ada di pulau Jawa untuk menjadi sebuah kelembagaan yang sesuai bagi usaha kayu rakyat.

Semua hutan rakyat butuh pengembangan organisasi kemasyarakatan khusus agar memenuhi persyaratan kesukarelaan, disertifikasi oleh pihak ketiga. Sertifikasi diajukan sebagai pedoman standar, dan konsekuensinya, lembaga- lembaga baru perlu disusun agar sesuai dengan kebutuhan persyaratan sertifikasi. LSM-LSM yang memfasilitasi menerjemahkan organisasi-organisasi yang dipersyaratkan itu dengan mempromosikan kelompok-kelompok tani di desa dan dusun, dan pada tahap berikutnya, membentuk asosiasi yang memayunginya di tingkat kecamatan dan kabupaten.

Kelembagaan hutan rakyat yang sudah ada di beberapa tempat di pulau Jawa, baik yang menggunakan sistem adat maupun koperasi atau kelompok tani, memerlukan sebuah pengembangan kelembagaan untuk mengoptimalisasi sistem usaha kayu rakyat. Kelembagaan yang sudah ada dapat diarahkan untuk menjadi sebuah kelembagaan hutan rakyat yang sesuai sebagai produsen kayu rakyat untuk komoditi ekspor, dengan juga tetap memperhatikan aspek kelestarian sumberdaya hutan tersebut. Pengembangan kelembagaan mengacu pada proses untuk memperbaiki kemampuan lembaga dalam mengefektifkan penggunaan sumberdaya manusia dan keuangan yang ada. Berbagai istilah akan muncul, namun demikian semuanya memiliki tujuan peningkatan efektifitas penggunaan sumberdaya suatu negara sehingga pembangunan yang dijalankan akan dapat berhasil.

Dengan berbagai karakteristik hutan dan juga kelembagaannya, perlu adanya sebuah pengembangan kelembagaan tersebut. Kelembagaan hutan rakyat yang ideal untuk produksi kayu rakyat adalah sebuah lembaga yang dengan sengaja diarahkan untuk mengoptimalisasi potensi usaha kayu rakyat tersebut, dapat berupa koperasi atau gabungan dari kelompok-kelompok tani, yang setiap individunya telah dilakukan pengembangan kapasitas agar dapat menjaga kelestarian usaha demi tercapainya kesejahteraan setiap anggota tersebut. Kemudian lembaga yang telah dibentuk tersebut dapat melakukan sertifikasi hutan rakyat oleh pihak ketiga untuk meningkatkan daya jual kayu rakyat hasil produksi dari hutan mereka. Dengan demikian, kelembagaan hutan rakyat yang sesuai untuk produksi kayu rakyat merupakan penggabungan dari sistem kelembagaan yang modern dengan kebudayaan masyarakat yang sudah ada.

2.1.4 Sistem Penghidupan Petani

Beragamnya mata pencaharian petani secara langsung akan berpengaruh kepada jumlah pendapatan petani. Attar (2000) menyatakan bahwa besarnya pendapatan dari satu sumber oleh petani mempengaruhi rata-rata pendapatan dari sumber-sumber lainnya. Pendapatan petani dari hasil penjualan kayu gelondongan atau pohon berdiri sangat bervariasi tergantung kebutuhan masing-masing petani. jika kebutuhan uang banyak dan mendesak maka petani akan menjual kayu dalam

jumlah yang banyak dan sebaliknya kalau kebutuhannya kecil dan tidak terlalu mendesak maka petani akan menjual dalam jumlah yang sedikit. Apabila kebutuhan sehari-hari sudah terpenuhi maka petani tidak akan menjual kayu tanaman pokok. Penghitungan besarnya pendapatan dari hasil hutan rakyat dengan cara mengkalikan banyaknya pohon yang dipanen dan dijual dengan harga setiap batangnya. Begitu juga pendapatan dari kayu bakar dihitung dengan mengkalikan jumlah kayu bakar yang dijual dalam satuan tertentu seperti kubik atau pikul dengan harga setiap satuan tersebut. Selanjutnya, Attar (2000) menyebutkan bahwa hasil dari hutan rakyat memberikan kontribusi yang tidak sedikit terhadap pendapatan rumahtangga petani. besarnya kontribusi tersebut berbeda-beda berdasarkan pemilikan lahan hutan rakyat.

Sistem nafkah yang dibangun sangat dipengaruhi oleh etika moral petani baik dari level individu, keluarga, hingga komunitas. Etika moral akan mendorong petani untuk berpijak pada basis sosial-kolektif ataukah individual-materialism dalam membentuk strategi nafkahnya (Widiyanto et.al , 2010). Etika sosial- kolektif akan membentuk sistem nafkah yang berorientasi kepada terbentuknya jaminan sosial komunitas. Sementara etika individual-materialism akan bermuara pada tindakan ekonomi yang berbasis rasional-instrumental (orientasi pada tujuan memaksimalkan keuntungan).

Suharjito (2002), menjelaskan bahwa pengaturan alokasi tenaga kerja keluarga/rumahtangga dimaksudkan untuk dapat akses pada beragam matapencaharian. Akses pada beragam matapencaharian dicapai dengan cara membangun hubungan sosial (social relations) dan jaringan sosial (social networks). Beragam matapencaharian dilakukan dengan cara seorang anggota keluarga melakukan lebih dari satu pekerjaan maupun setiap anggota keluarga melakukan pekerjaan yang berbeda-beda.

Wilk (1984) dalam Suharjito (2002), menyebut tipe pekerjaan yang dapat dilakukan oleh perorangan menurut urutan tertentu sebagai linear scheduling, sedangkan pekerjaan yang membutuhkan sejumlah pekerja untuk berkoordinasi pada waktu yang sama disebut simultaneous scheduling. Tipe pekerjaan simultaneous scheduling dibedakan menjadi dua, yaitu (1) semua pekerja melakukan pekerjaan yang sama pada waktu yang sama disebut simple

simultaneity, dan (2) semua pekerja melakukan pekerjaan yang berbeda pada waktu yang sama disebut complex simultaneity. Kebutuhan tenaga kerja untuk pekerjaan produktif yang lebih simultan dan sistem produksi yang beranekaragam (berbagai pekerjaan harus dilaksanakan pada waktu yang sama) cenderung membentuk rumahtangga dengan jumlah anggota yang lebih banyak.

Dalam kegiatan pertanian, mengacu pada tipe pekerjaan dari Wilk (1984), sebagian pekerjaan tipenya linear scheduling, misalnya menebas semak belukar, membakar, dan mengolah tanah; sebagian lain tipenya simple simultaneity, misalnya menanam, menyiangi dan memanen. Pekerjaan yang tipenya simple simultaneitydapat juga dilakukan satu orang (linear scheduling) apabila lahannya tidak luas dan waktunya cukup. Ketergantungan pada musim (waktu) dalam kegiatan pertanian menuntut penyelesaian pekerjaan tersebut dalam waktu tertentu, sehingga membutuhkan lebih dari satu orang tenaga kerja untuk bekerja bersama-sama (simple simultaneity).

Pada rumahtangga petani berlahan sempit (<0,25 ha), rumahtangga merupakan sumber tenaga kerja yang utama, jarang menggunakan tenaga kerja dari luar rumahtangga dalam usaha taninya. Pekerjaan usahatani dilakukan dengan tipe linear scheduling. Selanjutnya, Suharjito (2002) menyebutkan bahwa rumahtangga petani berlahan luas (>1,0 ha) umumnya menggunakan tenaga kerja dari rumahtangga lain, disamping tenaga kerja dalam rumahtangga, dan menerapkan tipe simple simultaneity.

Bentuk penggunaan lahan (sawah, tegalan, atau kebun-talun) juga menentukan pilihan sumber tenaga kerja (dalam atau luar rumahtangga). Dalam pengusahaan lahan tegalan, suatu rumahtangga cenderung hanya menggunakan tenaga dalam rumahtangga. Hal itu berkaitan dengan perbandingan penghasilan dan biaya pada usahatani tegalan yang relatif rendah. Hal ini juga cenderung terjadi pada usaha kebun-talun. Apabila usahatani hanya merupakan satu-satunya matapencaharian rumahtangga dan tenaga kerja hanya dari dalam rumahtangga, maka secara hipotetis semakin luas lahan pertanian yang diusahakan semakin banyak jumlah anggota rumahtangga (Netting, 1993) dalam Suharjito (2002).

2.2 Kerangka Pemikiran

Setiap keluarga petani menempuh strategi nafkah dalam mempertahankan atau meningkatkan kehidupannya termasuk melakukan aktivitas usaha kayu rakyat. Usaha kayu rakyat tersebut merupakan salah satu bagian dari sistem penghidupan keluarga petani.

Matriks 1. Kerangka Pemikiran

Keterangan :

: Berhubungan langsung : Berhubungan tidak langsung

Hardjanto (2003) menyebutkan bahwa sistem usaha kayu rakyat terdiri dari empat sub sistem, yaitu (1) sub sistem produksi, (2) sub sistem pengolahan, (3) sub sistem pemasaran, dan (4) sub sistem kelembagaan. Penelitian ini akan membahas secara khusus mengenai sub sistem kelembagaan usaha kayu rakyat. Mengacu pada Hardjanto (2003), kerangka kelembagaan usaha kayu rakyat

Strategi Nafkah Petani

 Ragam sumber nafkah (usaha kayu rakyat; pertanian lain; non pertanian)

 Jumlah sumber nafkah

Peran Usaha Kayu Rakyat

 Kontribusinya terhadap pendapatan rumahtangga  Intensitas atau ketepatan

waktu panen

Kelembagaan Usaha Kayu Rakyat

 Pengurusan hutan rakyat, sosial, ekonomi

 Menguatkan atau menghambat

mencakup kelembagaan pengurusan hutan rakyat, kelembagaan sosial, dan kelembagaan ekonomi.

Kelembagaan pengurusan hutan rakyat merupakan sebuah sistem pengelolaan hutan rakyat mulai dari pembibitan hingga panen. Kelembagaan sosial meliputi hubungan kerja antar aktor, tenurial pohon, serta jaringan sosial yang terbentuk dari proses hubungan kerja tersebut. Kelembagaan ekonomi meliputi perolehan modal dan pemasaran kayu rakyat.

2.3 Operasionalisasi Perumusan Masalah

1. Apa peran usaha kayu rakyat didalam strategi nafkah petani? 1.1) Apa saja sumber nafkah rumahtangga petani?

1.2) Apa perbedaan sumber nafkah utama dan sampingan petani? 1.3) Apa posisi usaha kayu rakyat didalam strategi nafkah petani?

2. Bagaimana peran kelembagaan usaha kayu rakyat dalam mendukung atau menghambat keluarga petani untuk akses pada usaha kayu rakyat?

2.1) Seperti apa kelembagaan usaha kayu rakyat yang terdapat di Desa Curug?

2.2) Bagaimana akses keluarga petani di Desa Curug terhadap usaha kayu rakyat?

2.3) Bagaimana posisi petani kayu rakyat di dalam kelembagaan usaha kayu rakyat?

2.4 Hipotesis Penelitian

1. Usaha kayu rakyat merupakan bagian dari strategi nafkah ganda petani. 2. Semakin luas lahan yang dimiliki, petani cenderung menanam lebih

banyak pohon kayu.

3. Hubungan-hubungan sosial yang terbentuk antar aktor usaha kayu rakyat menentukan pilihan petani dalam melakukan usaha kayu rakyat.

4. Petani kayu rakyat memiliki bargaining position terlemah dalam sistem pemasaran kayu rakyat.

2.5 Definisi Operasional

Dalam mengukur variabel-variabel yang akan digunakan untuk penelitian ini, maka perumusan dari masing-masing variabel akan dijabarkan dan dibatasi secara operasional sebagai berikut :

No Variabel Data Definisi Operasional Pengukuran 1. Strategi

Nafkah Petani Kayu Rakyat

Pilihan sumber- sumber nafkah yang dimiliki oleh petani untuk menghidupi keluarganya

Strategi nafkah petani terdiri atas pilihan :

a. usaha kayu rakyat

b. pertanian non usaha kayu rakyat c. non pertanian 2. Kelembagaan usaha kayu rakyat Kelembagaan usaha kayu rakyat dibagi menjadi : a. Kelembagaan pengurusan hutan rakyat b. Kelembagaan sosial c. Kelembagaan ekonomi Kelembagaan pengurusan hutan rakyat meliputi : a. Penguasaan lahan b. Pengurusan pohon kayu

rakyat

Kelembagaan sosial meliputi : a. Norma atau aturan yang

berlaku terhadap usaha kayu rakyat

b. Hubungan kerja antar aktor dalam usaha kayu rakyat Kelembagaan ekonomi meliputi :

a. Perolehan modal petani kayu rakyat

b. Pemasaran kayu rakyat 3. Kontribusi

usaha kayu rakyat

Kontribusi usaha kayu rakyat terhadap total pendapatan petani

Kontribusi usaha kayu rakyat dihitung berdasarkan

produktivitas kayu rakyat atau pendapatan dari hasil penjualan kayu rakyat, terhadap total pendapatan petani kayu rakyat

BAB III

PENDEKATAN LAPANGAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Curug, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat selama bulan April – September 2011. Lokasi penelitian dipilih secara sengaja (purposive). Penentuan lokasi penelitian dilakukan dengan observasi dan melalui studi literatur. Hasil-hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa masyarakat Desa Curug, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor telah melakukan usaha kayu rakyat dengan kepemilikan lahan rata-rata di bawah 1 Ha. Hal ini menarik peneliti untuk mengkaji lebih dalam mengenai usaha kayu rakyat dalam sistem penghidupan petani kecil di daerah ini.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis usaha kayu rakyat dalam sistem penghidupan petani kecil. Oleh karena itu, metode yang digunakan dalam melaksanakan penelitian ini adalah pendekatan kualitatif didukung dengan data- data kuantitatif. Data kualitatif dalam penelitian ini didapatkan dengan observasi dan wawancara mendalam kepada responden dan informan, dengan menggunakan alat bantu pedoman wawancara dan kuesioner.

Pertanyaan dalam kuesioner terdiri dari pertanyaan tertutup dan pertanyaan terbuka. Pertanyaan tertutup digunakan untuk menghindari kesalahan persepsi antara jawaban yang diinginkan peneliti dengan jawaban yang diberikan responden, sedangkan pertanyaan terbuka digunakan untuk memberikan