USAHA KAYU RAKYAT
DALAM SISTEM PENGHIDUPAN PETANI KECIL (Kasus Desa Curug, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor)
Oleh :
Ahmad Aulia Arsyad I34070119
DEPARTEMEN SAINS
KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
ABSTRACT
AHMAD AULIA ARSYAD. Private Owned Timber Bussiness in the Peasant Livelihood Systems (Case in Village of Curug, Bogor District, West Java). Supervised by: SATYAWAN SUNITO
The purpose of this study was to analyze the role of the private owned timber business in peasant household livelihood strategies, in the village of Curug, Bogor District. An important factor that was known to have influence on private owned timber business was institution. So that needs to be analyzed how the role of institutions in supporting or inhibiting peasant household to access the private owned timber business. Qualitative approach through observation and depth interviews is used as the main approach when quantitative approach with a questionnaire instrument and review of literature related to the case is used to support qualitative data. Private owned timber business are not used as the main livelihood due to various reasons including long periode of harvest, can not be used as a daily income, and ownership of land is narrow so it can not be planted on a large scale. People tend to sell their wood still in the form of tree, and buyers do wholesale system, or buy all woody trees in public lands regardless the age of the trees.
RINGKASAN
AHMAD AULIA ARSYAD. Usaha Kayu Rakyat dalam Sistem Penghidupan Petani Kecil (Kasus Desa Curug, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat). Di bawah bimbingan SATYAWAN SUNITO.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran usaha kayu rakyat dalam strategi nafkah rumahtangga petani di Desa Curug, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor. Salah satu faktor yang diketahui memiliki pengaruh terhadap usaha kayu rakyat adalah kelembagaan. Oleh karena itu, penelitian ini juga menganalisis bagaimana peran kelembagaan dalam mendukung atau menghambat keluarga petani untuk akses pada usaha kayu rakyat. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik observasi dan wawancara mendalam, serta didukung data kuantitatif. Penelitian ini mengambil 30 responden yang diperoleh secara purposive dari rumahtangga petani kayu di Desa Curug.
Usaha kayu rakyat tidak menjadi mata pencaharian utama karena berbagai alasan antara lain usia panen yang lama, tidak dapat menjadi penghasilan sehari-hari, dan kepemilikan lahan yang sempit, sehingga tidak dapat melakukan penanaman dalam skala besar. Walaupun demikian, beberapa masyarakat mengakui justru dengan lahan mereka yang terbatas, mereka lebih memilih untuk menanam kayu daripada tanaman budidaya lainnya sebagai tabungan apabila sewaktu-waktu dibutuhkan (tebang butuh). Menanam kayu juga diakui tidak sulit, masyarakat memperoleh bibit dari hutan, dan setelah penanaman tidak terlalu membutuhkan perawatan yang intensif.
Luas lahan yang dimiliki oleh masyarakat berpengaruh terhadap strategi nafkah keluarga petani. Semakin luas lahan milik masyarakat, strategi nafkah yang dilakukan oleh keluarga petani cenderung lebih banyak dan beragam.
iv
penguatan kelembagaan petani misalnya membentuk kelembagaan usaha bersama (mitra) antara petani dengan pihak pengusaha industri pengolahan kayu sengon.
Besarnya kontribusi pendapatan dari usaha kayu rakyat terhadap total pendapatan rumahtangga petani cukup bervariasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai terkecil kontribusi usaha kayu rakyat terhadap total pendapatan rumahtangga petani sebesar 0,4% dan nilai terbesarnya 12,5%. Masyarakat kebanyakan menjual kayu mereka masih dalam bentuk pohon berdiri dan pembeli melakukan sistem borongan, atau membeli semua pohon berkayu di lahan masyarakat tanpa memperhitungkan usia dari pohon-pohon tersebut.
USAHA KAYU RAKYAT
DALAM SISTEM PENGHIDUPAN PETANI KECIL (Kasus Desa Curug, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor)
Oleh :
Ahmad Aulia Arsyad I34070119
SKRIPSI
Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS
KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
DEPARTEMEN SAINS
KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh:
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Satyawan Sunito NIP. 19520326 199103 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dr. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003
Tanggal Pengesahan :
Nama : Ahmad Aulia Arsyad NRP : I34070119
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “PERAN USAHA KAYU RAKYAT DALAM SISTEM PENGHIDUPAN PETANI KECIL (Kasus Desa Curug, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor)” benar-benar hasil karya saya sendiri dan tidak mengandung bahan-bahan yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh pihak lain baik oleh perguruan tinggi atau lembaga manapun, kecuali sebagai bahan rujukan yang dinyatakan dalam naskah. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya bersedia bertanggungjawab atas pernyataan ini.
Bogor,
RIWAYAT HIDUP
Ahmad Aulia Arsyad (penulis) dilahirkan di Bogor pada tanggal 1 Maret 1990. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara, yang merupakan anak dari pasangan Didik Suharjito dan Endang Sri Wahyuni. Pendidikan formal yang pernah dijalani penulis berawal dari menempuh pendidikan Sekolah Dasar di SDN Bangka 3 (1996-2001). Pada tahun 2001 penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar dan melanjutkan pendidikan di SLTP N 2 Bogor (2001-2004). Setelah menyelesaikan pendidikan SLTP, penulis melanjutkan pendidikan di SMA N 3 Bogor (2004-2007). Pada tahun 2007, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru) angkatan 44 dan diterima di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Mayarakat, Fakutas Ekologi Manusia.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul Usaha Kayu Rakyat Dalam Sistem Penghidupan Petani Kecil (Kasus Desa Curug, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor). Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat pengambilan data lapangan dan skripsi pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Penelitian yang ditulis dalam skripsi ini bertujuan untuk mengkaji usaha kayu rakyat dalam sistem penghidupan petani kecil di Desa Curug, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor.
Peneliti mengetahui bahwa karya ini belumlah sempurna, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Akhir kata semoga skripsi dapat menghasilkan laporan yang bermanfaat bagi banyak pihak.
Bogor, 2012
DAFTAR ISI
xi
BAB V PERAN USAHA KAYU RAKYAT DALAM STRATEGI NAFKAH RUMAH TANGGA PETANI ... Error! Bookmark not defined. 5.1 Strategi Nafkah Petani ... Error! Bookmark not defined. 5.2 Kontribusi Usaha Kayu Rakyat Terhadap Pendapatan Rumahtangga Petani .. Error!
Bookmark not defined.
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Jumlah Penduduk Desa menurut Golongan Umur dan Jenis Kelamin
Tahun 2010/2011... 22 2. Jumlah Penduduk Desa menurut Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin
Tahun 2010/2011... 22 3. Luas Lahan Menurut Penggunaannya di Desa Curug Tahun 2010/2011... 23 4. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jumlah Sumber Nafkah.. 26 5. Kontribusi Usaha Kayu Rakyat terhadap Total Pendapatan Rumahtangga
Petani Per tahun 2010/2011... 32 6. Jumlah Responden menurut Persentase Kontribusi Usaha Kayu
Rakyat Terhadap Total Pendapatan Rumahtangga Petani... 34 7. Jumlah dan Persentase Responden menurut Aktifitas Usaha Kayu
13
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Kerangka Pemikiran... 16
2. Definisi Operasional... 18 3. Jenis Sumber Nafkah Keluarga Pelaku Usaha Kayu Rakyat
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peluso (2006), menggambarkan bagaimana Indonesia yang kaya akan hutan beserta sumberdayanya ternyata justru membuat masyarakat, khususnya yang tinggal di sekitar hutan, menjadi semakin miskin. Hal ini diakibatkan adanya bentuk-bentuk penguasaan serta pengelolaan hutan sejak jaman kolonial Belanda yang menggeser posisi masyarakat sebagai subjek pemanfaat hutan tersebut. Sehingga masyarakat tidak dapat lagi memanfaatkan kawasan hutan di sekitar tempat tinggal mereka sendiri. Kepentingan politik dan ekonomi pemerintah terfokus pada eksploitasi sumberdaya dengan meminggirkan kepentingan masyarakat dan berdampak juga pada aspek kelestarian hutan tersebut. Seharusnya, sumberdaya yang merupakan milik rakyat, walaupun dititipkan pengelolaannya kepada negara, mampu menjadikan masyarakat menjadi sejahtera dan bukannya mengakibatkan pemelaratan rakyat seperti yang dijelaskan dalam buku tersebut.
Setelah kehilangan akses akan hutan yang biasa dimanfaatkan oleh masyarakat, timbul berbagai aksi yang dilakukan sebagai bentuk protes atas tindakan pemerintah. Penebangan liar semakin marak dan menyebabkan hutan terdegradasi secara bertahap. Hal demikian terjadi seiring bertambahnya jumlah penduduk yang mengakibatkan peningkatan kebutuhan hidup dan kebutuhan lahan masyarakat. Pemerintah juga berperan dalam pengkonversian hutan untuk kepentingan pembangunan, dengan kurang mempertimbangkan aspek kelestarian sumberdaya hutan tersebut.
terjadinya konversi hutan menjadi lahan perumahan dan kawasan industri ataupun pertanian. Di lain pihak lahan kering yang tergolong sangat kritis atau kritis sangat luas. Salah satu usaha untuk merehabilitasi lahan kritis dan mengembangkan pemanfaatan lahan kering untuk menjadi lebih produktif adalah dengan menanam tanaman berkayu yang mempunyai nilai komersial di lahan milik penduduk, sekaligus menjawab permasalahan terutama masalah pembangunan sosial ekonomi penduduk di desa-desa (Departemen Kehutanan, 2008)
Berbagai penelitian tentang hutan rakyat telah dilakukan yang mencakup topik budidaya, pengaturan hasil, pemasaran, dan industri berbahan baku kayu dari hutan rakyat (Suharjito, 2002; Hardjanto, 2003; Hakim, et.al, 2009). Hutan rakyat dalam arti yang luas meliputi jaminan atas akses dan kontrol terhadap sumberdaya hutan untuk penghidupan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan dimana mereka tergantung terhadapnya secara ekonomi, sosial, kultural, dan spiritual (Hinrich et.al, 2008). Hutan-hutan selayaknya dikelola untuk menjamin keamanan pemanfaatan dari generasi ke generasi berikutnya dan meningkatkan segala peluang kelestariannya.
Kayu dari hasil hutan rakyat, disebut juga kayu rakyat, memiliki potensi tinggi terhadap pendapatan petani. Hal ini dikarenakan pasokan kayu baik untuk ekspor maupun dalam negeri selagi hutan sebagai pemasok kayu, peranannya terus berkurang, sehingga pasaran terhadap kayu rakyat akan selalu ada. Pernyataan tersebut diperkuat oleh Hakim, (2009) yang menyebutkan bahwa kayu rakyat sudah menjadi alternatif sumber pemenuhan bahan baku bagi masyarakat dan industri perkayuan, sejalan dengan semakin berkurangnya pasokan kayu dari hutan produksi alam di luar Jawa dan Perhutani di Pulau Jawa.
tegakan, atau masih berupa batang kayu, hanya sedikit sekali yang mulai melakukan pengolahan kayu tersebut dengan adanya industri kecil (Hardjanto, 2003).
Aspek kelembagaan hutan rakyat yang sudah ada, baik formal maupun informal, masih kurang diketahui. Perhatian dari pemerintah mengenai hal ini pun masih sangat minim. Sehubungan dengan itu, penelitian akan usaha kayu rakyat dalam sistem penghidupan petani ini menjadi sangat penting, karena segmen pasar kayu rakyat berbeda dengan segmen pasar kayu dari hutan alam produksi dari Luar Jawa dan dari Perum Perhutani baik dari segi mutu, harga, jenis industri penggunanya dan kontinuitas pasokan kayunya. Sehingga perlu diketahui dengan lebih jelas bagaimana kelembagaan usaha kayu rakyat berperan untuk mendukung sistem penghidupan petani.
Adanya potensi usaha kayu rakyat yang sangat besar, belum lagi dengan kebutuhan dan permintaan kayu yang semakin meningkat, menjadikan usaha kayu rakyat sebuah kesempatan bagi masyarakat untuk mendapatkan penghasilan tambahan, bahkan dapat dijadikan mata pencaharian utama, sehingga usaha kayu rakyat ini menguntungkan masyarakat sebagai subjek pengelola hutan rakyat.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, dapat diketahui bahwa penelitian ini mengkaji pengaruh kelembagaan usaha kayu rakyat terhadap sistem penghidupan petani kecil. Kemudian secara spesifik penelitian ini akan memusatkan perhatian pada permasalahan yang disebutkan di bawah ini :
1. Apa peran usaha kayu rakyat di dalam strategi nafkah rumah tangga petani?
1.3 Tujuan
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah :
1. Menganalisis peran usaha kayu rakyat dalam strategi nafkah rumah tangga petani.
2. Menganalisis peran kelembagaan usaha kayu rakyat dalam mendukung atau menghambat keluarga petani untuk akses pada usaha kayu rakyat.
1.4 Kegunaan
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Hutan Rakyat
Hutan rakyat dalam pengertian menurut Undang-Undang No. 5/1967 dan penggantinya, Undang-Undang No. 41/1999 tentang kehutanan, adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Definisi ini diberikan untuk membedakannya dari hutan negara, yaitu hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik atau tanah negara. Dalam pengertian ini, tanah negara mencakup tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat berdasarkan ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan adat masyarakat lokal.
Pengertian hutan rakyat seperti itu menimbulkan konsekuensi-konsekuensi. Pertama, hutan-hutan yang tumbuh di atas tanah adat dan dikelola oleh keluarga-keluarga petani sebagai anggota suatu kelompok masyarakat adat diklaim oleh pemerintah sebagai hutan negara dan tidak termasuk hutan rakyat. Kedua, hutan-hutan yang tumbuh di atas tanah milik dan diusahakan oleh orang-orang kota yang menyewa atau membeli tanah masyarakat lokal masih dapat dikategorikan sebagai hutan rakyat. Dengan demikian, pengertian di atas mempertentangkan “hutan rakyat” dan “hutan negara” dilihat berdasarkan status pemilikan tanahnya atau sifat dari obyek (tanah dan hutan), bukan berdasarkan pelakunya atau subyek yang mengelola hutan. Seharusnya, definisi hutan rakyat menggunakan penekanan pada hutan yang dikelola oleh rakyat, menunjuk pada pelakunya (Suharjito, 2000).
Gilmour dan Fisher (1998) dalam Hinrich (2008) menegaskan bahwa hutan rakyat memiliki sekurang-kurangnya tiga keunggulan yang diakui secara luas, ialah:
a. Pengakuan bahwa penduduk setempat mampu memainkan peran penting/kunci dalam pengelolaan hutan
b. Pengakuan bahwa mereka memiliki hak yang sah untuk diikutsertakan
Diantara beragam istilah yang digunakan di Indonesia, PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat) dan hutan rakyat memiliki beberapa keunggulan yang mirip. Karenanya, beberapa pihak menggunakan PHBM secara bergantian dengan hutan rakyat. Namun kendati demikian, hutan rakyat memiliki cakupan yang lebih luas daripada PHBM, karena hutan rakyat dapat diterapkan pada berbagai macam kawasan hutan, sementara PHBM mempersyaratkan perlunya kontrol atas sumber daya alam oleh masyarakat setempat (Hinrich, et.al, 2008).
Menurut Michon (1983) dalam Hardjanto (2003), ada tiga tipe hutan rakyat yaitu :
a. Pekarangan, mempunyai sistem pengaturan tanaman yang terang dan baik serta biasanya berada di sekitar rumah. Luas minimum sekitar 0,1 Ha, dipagari mulai dari jenis sayur-sayuran hingga pohon yang berukuran sedang dimana tingginya mencapai 20 meter.
b. Talun, mempunyai ukuran yang lebih luas, penanaman pohon sedikit rapat, tinggi pohon-pohonnya mencapai 35 meter dan terdapat beberapa pohon yang tumbuh secara liar dari jenis herba atau liana.
c. Kebun campuran, jenis tumbuhan cenderung lebih homogen dengan satu jenis tanaman pokok dan berbagai macam jenis tanaman herba.
Selanjutnya dinyatakan bahwa hutan masyarakat dalam bentuk kebun campuran merupakan produsen kayu yang amat besar di daerah seperti Jawa yang padat penduduk, dan dalam hal ini hampir tidak ada lembaga pemerintah yang membantu masyarakat mengurus “hutan”nya.
Hasil penelitian Widayati, (2005) menyebutkan bahwa hutan rakyat bagi masyarakat yang berada di desa-desa di lokasi penelitian merupakan salah satu dari beberapa unsur penopang kelangsungan hidup mereka selain dari pertanian, hasil ternak, dan sumber-sumber lain. Bagi sistem perekonomian yang lebih luas, keberadaannya menjadi penyangga terakhir jaminan pasokan bahan baku untuk industri perkayuan baik di lingkup administrasi Kabupaten Boyolali maupun yang bersifat lintas batas administrasi kabupaten maupun propinsi (cross border teritory).
membedakannya dari model pengelolaan hutan lainnya di Indonesia, bahkan jika dibandingkan dengan model family-based forest serupa yang ada di negara lain. Kepemilikan lahan pada umumnya sangat kecil, namun relatif bebas dari tenurial conflicts. Hal ini bisa menjadi salah satu keunggulan hutan rakyat dalam upaya
untuk meraih sertifikat lestari, karena hampir sebagian besar lembaga sertifikasi hutan menempatkan property rights sebagai salah satu kriteria utama dalam verifikasi pengelolaan hutan lestari. Model pengelolaan hutan ini sangat bergantung kepada preferensi pengelolanya. Karena antara petani satu dengan lainnya mungkin mempunyai “policy” yang bervariasi seperti mengenai penentuan spesies, komposisi penanaman dan waktu pemanenannya, model pengelolaan hutan rakyat tentunya sangat beragam pula.
2.1.2 Potensi Usaha Kayu Rakyat
Kayu dari hasil hutan rakyat, disebut juga kayu rakyat, memiliki potensi tinggi terhadap pendapatan petani. Hal ini dikarenakan pasokan kayu baik untuk ekspor maupun dalam negeri selagi hutan sebagai pemasok kayu, peranannya terus berkurang, sehingga pasaran terhadap kayu rakyat akan selalu ada. Usaha kayu rakyat memiliki kekenyalan (resilience) terhadap badai moneter yang menerpa Indonesia pada era orde baru (Darusman, 2001). Usaha kayu rakyat juga merupakan usaha yang kecil, namun tidak pernah mati, karena masyarakat pemilik hutan rakyat cenderung menanam kayu pada lahan miliknya sebagai tabungan investasi jangka panjang yang sewaktu-waktu dapat diuangkan. Sayangnya, pemasaran oleh petani dengan cara seperti ini dapat merugikan petani. Petani cenderung menjual kayu berupa tegakan, atau masih berupa batang kayu, hanya sedikit sekali yang mulai melakukan pengolahan kayu tersebut dengan adanya industri kecil.
Penduduk pedesaan pada umumnya memiliki lahan yang relatif sempit; dengan lahan terbatas tersebut prioritas bercocok tanam adalah menanam tanaman pangan untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, kemudian tanaman buah-buahan dan yang terakhir adalah tanaman yang menghasilkan kayu. Keseluruhan usaha tersebut, baik sebagai produsen maupun konsumen lazim disebut dengan usaha kecil (Hardjanto, 2003).
Pengusahaan kayu rakyat diperkirakan memiliki prospek yang terus membaik untuk skala bisnis maupun kebutuhan sendiri, seiring terus meningkatnya kebutuhan kayu untuk berbagai industri. Misalnya bahan bangunan, bahan furnitur, alat-alat rumah tangga, produk seni, dan industri terkait lainnya.
Budidaya hutan rakyat di Jawa dengan hasil utama kayu berkembang karena adanya pasar untuk peralatan rumahtangga, untuk peti kemas, pulp, dan lain-lain. Pasar itulah yang menentukan pilihan jenis tanaman. Kayu sengon lebih banyak digunakan untuk peti kemas; pulp; perabot rumahtangga (meja, kursi, dipan, almari); bahan bangunan (usuk, reng). Kayu jati lebih utama digunakan untuk perabot rumahtangga dan bahan bangunan rumah yang tergolong mewah (Suharjito, 2000).
Kayu rakyat merupakan salah satu komoditas yang memberikan pendapatan bagi masyarakat dan mempunyai kontribusi yang cukup besar dalam upaya pemenuhan bahan baku industri kayu dan rumah tangga. Untuk mencegah kerusakan hutan negara yang kian memprihatinkan akibat perambahan, penjarahan, penebangan liar dan sebagai pengaman dan pengendalian peredaran kayu rakyat di lintas Kabupaten, maka dipandang perlu untuk membuat petunjuk pelaksanaan penatausahaan hasil hutan di hutan rakyat.
bahan baku kayu yang dihasilkan dari luar kawasan hutan milik negara (Syahadat, 2001).
Syahadat (2001) berpendapat bahwa untuk lebih mengoptimalkan dalam pemanfaatan kayu rakyat oleh masyarakat dan untuk mempermudah dalam pemberian ijin pemanfaatan hutan rakyat, maka dalam pemanfaatan kayu rakyat dari hutan rakyat dikelompokan ke dalam dua kategori, yaitu : a) Pemanfaatan kayu rakyat untuk memenuhi kebutuhan kayu sendiri atau digunakan sendiri, dan b) Pemanfaatan kayu rakyat untuk dikomersilkan atau diperjualbelikan. Untuk hutan rakyat di pulau Jawa, pemanfaatan kayu rakyat dapat meliputi keduanya. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Hardjanto (2001) bahwa usaha hutan rakyat oleh masyarakat di pedesaan Jawa, juga termasuk dalam kategori usaha pertanian skala kecil dengan hasil baik untuk keperluan sendiri maupun untuk dijual dan dapat menjadi komoditi ekspor.
Program sertifikasi hutan rakyat yang telah banyak dilakukan di berbagai daerah di Indonesia dapat membantu menaikkan harga dan kualitas kayu rakyat, karena terdapat kecenderungan pasar yang lebih tinggi terhadap kayu bersertifikat. Sertifikasi hutan dianggap sebagai sebuah mekanisme yang bisa mewujudkan keadilan dalam usaha hutan rakyat, karena program ini mungkin bisa memberikan insentif yang lebih baik kepada pengusaha hutan yang bisa mengelola hutan secara lestari. Namun masih banyak kendala/tantangan yang bisa menghambat proses sertifikasi hutan rakyat.
Hinrich (2008) menyebutkan bahwa kendala tersebut secara garis besar bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu internal constraints, yang merupakan kendala dari dalam diri petani hutan dan pengelolaan hutan rakyat itu sendiri, dan external constraints, yang merupakan hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan hutan
rakyat dan petani hutan, namun mempunyai peran yang sangat besar dalam menentukan minat petani hutan untuk mengadopsi sertifikasi hutan.
2.1.3 Kelembagaan Hutan Rakyat
norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu yang menjadi ciri dari pada lembaga tersebut. Tetapi ada juga yang mempergunakan istilah pranata-sosial, dimana definisi tersebut menekankan pada sistim tata kelakuan atau norma-norma sebagaimana dinyatakan oleh Koentjaraningrat, bahwa “pranata sosial adalah suatu sistim tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat.”Lembaga menunjuk pada bentuk struktur, sedangkan pranata sosial menunjuk pada norma2 atau aturan main. Istilah lain yang digunakan sebagai padanan dari social institutionadalah kelembagaan sosial.
Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebuah lembaga merupakan aturan atau norma-norma yang berlaku dan menjadi ciri daripada lembaga tersebut. Kemudian apabila lembaga tersebut diwujudkan dalam hubungan antara manusia, melalui sebuah bentuk yang memiliki struktur dapat dinamakan organisasi. Sehingga pengertian disini menggambarkan bahwa lembaga dan organisasi merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Hardjanto (2003) membagi kelembagaan usaha kayu rakyat menjadi tiga bagian, yaitu: 1). Kelembagaan Pengurusan Hutan Rakyat; 2). Kelembagaan Sosial; 3). Kelembagaan Ekonomi. Kelembagaan pengurusan hutan rakyat merupakan sebuah sistem pengelolaan hutan rakyat mulai dari pembibitan hingga panen. Sistem tersebut meliputi luas lahan yang digunakan, penggunaan sarana produksi tani (saprotan), hingga produktivitas lahan. Kelembagaan sosial meliputi hubungan kerja antar aktor, tenurial pohon, serta jaringan sosial yang terbentuk dari proses hubungan kerja tersebut. Kelembagaan ekonomi meliputi perolehan modal dan pemasaran kayu rakyat.
Hakim, (2009) menggambarkan bahwa produksi sengon rakyat di
Wonosobo mengalami peningkatan terutama hingga tahun 2007 diiringi dengan
peningkatan harga pada berbagai tingkat pelaku usaha sengon. Peningkatan
permintaan kayu sengon diduga disebabkan oleh semakin berkurangnya pasokan
kayu dari luar jawa, menurunnya produksi kayu dari kawasan hutan negara
(Perum Perhutani) dan semakin meningkatnya pangsa pasar dan jumlah unit
industri yang membutuhkan bahan baku kayu sengon untuk berbagai jenis produk
menyebabkan kenaikan harga kayu sengon di setiap titik rantai tata niaga kayu
sengon, dimana pelaku pemasaran kayu sengon terdiri atas petani, penebas, depo,
supplier dan industri.
Sebagai upaya untuk meningkatkan hasil yang optimum dalam pengelolaan hutan rakyat perlu adanya suatu persatuan antar petani (Haeruman, et.al 1990, dalam Hardjanto, 2003). Suatu organisasi pengelolaan hutan rakyat dapat dibentuk agar pola kerja pengelolaan lebih baik dan teratur. Etzioni (1982) mendefinisikan organisasi sebagai unit sosial yang sengaja dibentuk dan dibentuk kembali dengan penuh pertimbanan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan tertentu. Organisasi pada umumnya ditandai oleh ciri-ciri (1) adanya pembagian dalam pekerjaan, kekuasaan dan tanggung jawab komunikasi yang sengaja direncanakan untuk dapat meningkatkan usaha mewujudkan tujuan tertentu; (2) ada satu atau beberapa pusat kekuasaan yang berfungsi mengawasi pengendalian usaha-usaha organisasi serta mengarahkan organisasi mencapai tujuannya; (3) penggantian tenaga.
Sebuah lembaga merupakan aturan atau norma-norma yang berlaku dan menjadi ciri daripada lembaga tersebut. Kemudian apabila lembaga tersebut diwujudkan dalam hubungan antara manusia, melalui sebuah bentuk yang memiliki struktur dapat dinamakan organisasi. Sehingga pengertian disini menggambarkan bahwa lembaga dan organisasi merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Alternatif lembaga sebagai wadah bagi petani bisa berupa koperasi atau lembaga kelompok tani jenis lainnya. Prinsip organisasi koperasi adalah menghimpun manusia penduduk pedesaan yang mempunyai kesamaan kepentingan agar mereka dapat lebih meningkatkan kesejahteraannya (Mubyarto, 1988).
Dalam pengembangan usaha kayu rakyat, diperlukan adanya kelembagaan yang baik dengan kerjasama yang kuat antar petani. Hal ini bertujuan untuk menopang posisi tawar petani dalam menghadapi pasar. Selain itu dengan adanya kerjasama dan kelembagaan yang baik dalam usaha kayu rakyat ini, petani dapat melakukan pengembangan usaha diantaranya membuka industri kecil untuk pengolahan hasil kayu, dan pemasaran hasil tersebut tanpa perlu melalui tengkulak atau secara langsung kepada konsumen.
Koperasi-koperasi tani digolongkan sebagai organisasi-organisasi yang beranggotakan warga masyarakat di tingkat terbawah. Mereka adalah para pengusaha sosial yang menyiapkan perbaikan kesejahteraan para anggota mereka. Koperasi-koperasi dikontrol oleh orang-orang yang memperoleh layanan darinya, dimana anggota-anggotanya merupakan pembuat keputusan penting. Walaupun koperasi memiliki ragam jenis dan jumlah anggota, tujuan pokoknya adalah membantu anggota-anggotanya memasuki pasar dan menjadi pemasok, untuk mencapai tingkat kecukupan ekonomi yang layak, dan memiliki daya cengkeram pasar dengan penawaran bersama, pemrosesan dan pembelian barang dan jasa.
Walaupun sebagian besar usaha-usaha bisnis masyarakat yang legal di Indonesia berbentuk koperasi, perkembangan bentuk organisasinya acapkali dikritik karena lemahnya praktek-praktek pengurusan dan kejelasan tugas yang memungkinkan terjadinya kolusi dan korupsi. Dengan begitu, perlu ditelaah lebih jauh, bagaimana pengembangan kelembagaan hutan rakyat yang sudah ada di pulau Jawa untuk menjadi sebuah kelembagaan yang sesuai bagi usaha kayu rakyat.
Kelembagaan hutan rakyat yang sudah ada di beberapa tempat di pulau Jawa, baik yang menggunakan sistem adat maupun koperasi atau kelompok tani, memerlukan sebuah pengembangan kelembagaan untuk mengoptimalisasi sistem usaha kayu rakyat. Kelembagaan yang sudah ada dapat diarahkan untuk menjadi sebuah kelembagaan hutan rakyat yang sesuai sebagai produsen kayu rakyat untuk komoditi ekspor, dengan juga tetap memperhatikan aspek kelestarian sumberdaya hutan tersebut. Pengembangan kelembagaan mengacu pada proses untuk memperbaiki kemampuan lembaga dalam mengefektifkan penggunaan sumberdaya manusia dan keuangan yang ada. Berbagai istilah akan muncul, namun demikian semuanya memiliki tujuan peningkatan efektifitas penggunaan sumberdaya suatu negara sehingga pembangunan yang dijalankan akan dapat berhasil.
Dengan berbagai karakteristik hutan dan juga kelembagaannya, perlu adanya sebuah pengembangan kelembagaan tersebut. Kelembagaan hutan rakyat yang ideal untuk produksi kayu rakyat adalah sebuah lembaga yang dengan sengaja diarahkan untuk mengoptimalisasi potensi usaha kayu rakyat tersebut, dapat berupa koperasi atau gabungan dari kelompok-kelompok tani, yang setiap individunya telah dilakukan pengembangan kapasitas agar dapat menjaga kelestarian usaha demi tercapainya kesejahteraan setiap anggota tersebut. Kemudian lembaga yang telah dibentuk tersebut dapat melakukan sertifikasi hutan rakyat oleh pihak ketiga untuk meningkatkan daya jual kayu rakyat hasil produksi dari hutan mereka. Dengan demikian, kelembagaan hutan rakyat yang sesuai untuk produksi kayu rakyat merupakan penggabungan dari sistem kelembagaan yang modern dengan kebudayaan masyarakat yang sudah ada.
2.1.4 Sistem Penghidupan Petani
jumlah yang banyak dan sebaliknya kalau kebutuhannya kecil dan tidak terlalu mendesak maka petani akan menjual dalam jumlah yang sedikit. Apabila kebutuhan sehari-hari sudah terpenuhi maka petani tidak akan menjual kayu tanaman pokok. Penghitungan besarnya pendapatan dari hasil hutan rakyat dengan cara mengkalikan banyaknya pohon yang dipanen dan dijual dengan harga setiap batangnya. Begitu juga pendapatan dari kayu bakar dihitung dengan mengkalikan jumlah kayu bakar yang dijual dalam satuan tertentu seperti kubik atau pikul dengan harga setiap satuan tersebut. Selanjutnya, Attar (2000) menyebutkan bahwa hasil dari hutan rakyat memberikan kontribusi yang tidak sedikit terhadap pendapatan rumahtangga petani. besarnya kontribusi tersebut berbeda-beda berdasarkan pemilikan lahan hutan rakyat.
Sistem nafkah yang dibangun sangat dipengaruhi oleh etika moral petani baik dari level individu, keluarga, hingga komunitas. Etika moral akan mendorong petani untuk berpijak pada basis sosial-kolektif ataukah individual-materialism dalam membentuk strategi nafkahnya (Widiyanto et.al , 2010). Etika sosial-kolektif akan membentuk sistem nafkah yang berorientasi kepada terbentuknya jaminan sosial komunitas. Sementara etika individual-materialism akan bermuara pada tindakan ekonomi yang berbasis rasional-instrumental (orientasi pada tujuan memaksimalkan keuntungan).
Suharjito (2002), menjelaskan bahwa pengaturan alokasi tenaga kerja keluarga/rumahtangga dimaksudkan untuk dapat akses pada beragam matapencaharian. Akses pada beragam matapencaharian dicapai dengan cara membangun hubungan sosial (social relations) dan jaringan sosial (social networks). Beragam matapencaharian dilakukan dengan cara seorang anggota
keluarga melakukan lebih dari satu pekerjaan maupun setiap anggota keluarga melakukan pekerjaan yang berbeda-beda.
simultaneity, dan (2) semua pekerja melakukan pekerjaan yang berbeda pada waktu yang sama disebut complex simultaneity. Kebutuhan tenaga kerja untuk pekerjaan produktif yang lebih simultan dan sistem produksi yang beranekaragam (berbagai pekerjaan harus dilaksanakan pada waktu yang sama) cenderung membentuk rumahtangga dengan jumlah anggota yang lebih banyak.
Dalam kegiatan pertanian, mengacu pada tipe pekerjaan dari Wilk (1984), sebagian pekerjaan tipenya linear scheduling, misalnya menebas semak belukar, membakar, dan mengolah tanah; sebagian lain tipenya simple simultaneity, misalnya menanam, menyiangi dan memanen. Pekerjaan yang tipenya simple simultaneitydapat juga dilakukan satu orang (linear scheduling) apabila lahannya tidak luas dan waktunya cukup. Ketergantungan pada musim (waktu) dalam kegiatan pertanian menuntut penyelesaian pekerjaan tersebut dalam waktu tertentu, sehingga membutuhkan lebih dari satu orang tenaga kerja untuk bekerja bersama-sama (simple simultaneity).
Pada rumahtangga petani berlahan sempit (<0,25 ha), rumahtangga merupakan sumber tenaga kerja yang utama, jarang menggunakan tenaga kerja dari luar rumahtangga dalam usaha taninya. Pekerjaan usahatani dilakukan dengan tipe linear scheduling. Selanjutnya, Suharjito (2002) menyebutkan bahwa rumahtangga petani berlahan luas (>1,0 ha) umumnya menggunakan tenaga kerja dari rumahtangga lain, disamping tenaga kerja dalam rumahtangga, dan menerapkan tipe simple simultaneity.
2.2 Kerangka Pemikiran
Setiap keluarga petani menempuh strategi nafkah dalam mempertahankan atau meningkatkan kehidupannya termasuk melakukan aktivitas usaha kayu rakyat. Usaha kayu rakyat tersebut merupakan salah satu bagian dari sistem penghidupan keluarga petani.
Matriks 1. Kerangka Pemikiran
Keterangan :
: Berhubungan langsung : Berhubungan tidak langsung
Hardjanto (2003) menyebutkan bahwa sistem usaha kayu rakyat terdiri dari empat sub sistem, yaitu (1) sub sistem produksi, (2) sub sistem pengolahan, (3) sub sistem pemasaran, dan (4) sub sistem kelembagaan. Penelitian ini akan membahas secara khusus mengenai sub sistem kelembagaan usaha kayu rakyat. Mengacu pada Hardjanto (2003), kerangka kelembagaan usaha kayu rakyat
Strategi Nafkah Petani Ragam sumber nafkah
(usaha kayu rakyat; pertanian lain; non pertanian)
Jumlah sumber nafkah
Peran Usaha Kayu Rakyat Kontribusinya terhadap
pendapatan rumahtangga Intensitas atau ketepatan
waktu panen Kelembagaan Usaha Kayu Rakyat
Pengurusan hutan rakyat, sosial, ekonomi
mencakup kelembagaan pengurusan hutan rakyat, kelembagaan sosial, dan kelembagaan ekonomi.
Kelembagaan pengurusan hutan rakyat merupakan sebuah sistem pengelolaan hutan rakyat mulai dari pembibitan hingga panen. Kelembagaan sosial meliputi hubungan kerja antar aktor, tenurial pohon, serta jaringan sosial yang terbentuk dari proses hubungan kerja tersebut. Kelembagaan ekonomi meliputi perolehan modal dan pemasaran kayu rakyat.
2.3 Operasionalisasi Perumusan Masalah
1. Apa peran usaha kayu rakyat didalam strategi nafkah petani? 1.1) Apa saja sumber nafkah rumahtangga petani?
1.2) Apa perbedaan sumber nafkah utama dan sampingan petani? 1.3) Apa posisi usaha kayu rakyat didalam strategi nafkah petani?
2. Bagaimana peran kelembagaan usaha kayu rakyat dalam mendukung atau menghambat keluarga petani untuk akses pada usaha kayu rakyat?
2.1) Seperti apa kelembagaan usaha kayu rakyat yang terdapat di Desa Curug?
2.2) Bagaimana akses keluarga petani di Desa Curug terhadap usaha kayu rakyat?
2.3) Bagaimana posisi petani kayu rakyat di dalam kelembagaan usaha kayu rakyat?
2.4 Hipotesis Penelitian
1. Usaha kayu rakyat merupakan bagian dari strategi nafkah ganda petani. 2. Semakin luas lahan yang dimiliki, petani cenderung menanam lebih
banyak pohon kayu.
3. Hubungan-hubungan sosial yang terbentuk antar aktor usaha kayu rakyat menentukan pilihan petani dalam melakukan usaha kayu rakyat.
2.5 Definisi Operasional
Dalam mengukur variabel-variabel yang akan digunakan untuk penelitian ini, maka perumusan dari masing-masing variabel akan dijabarkan dan dibatasi secara operasional sebagai berikut :
No Variabel Data Definisi Operasional Pengukuran 1. Strategi
b. pertanian non usaha kayu rakyat a. Norma atau aturan yang
berlaku terhadap usaha kayu rakyat
BAB III
PENDEKATAN LAPANGAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Curug, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat selama bulan April – September 2011. Lokasi penelitian dipilih secara sengaja (purposive). Penentuan lokasi penelitian dilakukan dengan observasi dan melalui studi literatur. Hasil-hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa masyarakat Desa Curug, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor telah melakukan usaha kayu rakyat dengan kepemilikan lahan rata-rata di bawah 1 Ha. Hal ini menarik peneliti untuk mengkaji lebih dalam mengenai usaha kayu rakyat dalam sistem penghidupan petani kecil di daerah ini.
3.2 Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis usaha kayu rakyat dalam sistem penghidupan petani kecil. Oleh karena itu, metode yang digunakan dalam melaksanakan penelitian ini adalah pendekatan kualitatif didukung dengan data-data kuantitatif. Data kualitatif dalam penelitian ini didapatkan dengan observasi dan wawancara mendalam kepada responden dan informan, dengan menggunakan alat bantu pedoman wawancara dan kuesioner.
Pertanyaan dalam kuesioner terdiri dari pertanyaan tertutup dan pertanyaan terbuka. Pertanyaan tertutup digunakan untuk menghindari kesalahan persepsi antara jawaban yang diinginkan peneliti dengan jawaban yang diberikan responden, sedangkan pertanyaan terbuka digunakan untuk memberikan kebebasan terhadap responden untuk menjawab pertanyaan.
Curug. Selain itu peneliti melakukan observasi langsung ke lapangan untuk melihat usaha kayu rakyat yang dilakukan oleh masyarakat.
3.3 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI
4.1 Letak dan Luas Desa Curug
Desa Curug merupakan sebuah desa dengan luas 1.265 Ha yang termasuk
kedalam wilayah Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.
Desa Curug terletak pada ketinggian sekitar 135 – 170 m di atas permukaan laut
dan merupakan Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan sungai besar yang mengalir
melewati desa ini bernama Sungai Cibeureum. Berbatasan sebelah Utara dengan
Desa Tegalwangi dan Desa Koleang, sebelah Timur dengan Desa Jasinga dan
Desa Jugalajaya. Pada tahun 2007, Desa Curug melakukan pemekaran dengan
membagi wilayahnya di sebelah Selatan menjadi sebuah Desa yang terpisah
dengan nama Desa Wirajaya. Sedangkan sebelah Barat berbatasan dengan Desa
Guradog, Kecamatan Maja, Kabupaten Lebak.
4.2 Kependudukan Desa Curug
Jumlah penduduk di desa ini 5.016 jiwa dengan proporsi laki-laki 2.548 jiwa dan perempuan 2.468 jiwa. Terdiri dari 1.136 keluarga dan 70 persen diantaranya memiliki mata pencaharian utama di bidang pertanian, dengan 397 keluarga beranggotakan buruh tani.
Pada saat penelitian, tidak tersedia kelengkapan data monografi Desa Curug.
Kekurangan data ini menyebabkan peneliti sulit untuk menghitung jumlah
penduduk desa menurut usia dan tingkat pendidikan. Peneliti telah mencoba untuk
mencari sumber data dari kecamatan, tetapi sayangnya data monografi Desa
Tabel 1. Jumlah Penduduk Desa Curug menurut Golongan Umur dan Jenis
Sumber : Monografi Desa Curug, 2008
Tabel 2. Jumlah Penduduk Desa Curug menurut Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin Tahun 2010/2011
1. Belum sekolah 106 50.48 104 49.52 210
2. Sekolah Dasar /
sederajat - - - -
-3. Tamat SD /
sederajat 782 58.05 565 41.95 1347
4. Tamat SMP /
sederajat 259 54.30 218 45.70 477
5. Tamat SMA /
sederajat 93 63.27 54 36.73 147
6. Tamat Akademi /
Sebagian besar masyarakat memiliki anggapan bahwa bekerja di desa tidak
akan berkembang, dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi dari SD dan SMP
lebih memilih bekerja di kota. Masyarakat yang berpendidikan lebih tinggi dari
SMA jarang sekali membawa hasil pendidikannya ke desa untuk mengembangkan
desanya, sehingga terlihat pada Tabel 2 bahwa tingkat pendidikan masyarakat
cenderung lulusan SD/sederajat.
Salah seorang responden pada saat wawancara mengakui bahwa hanya
beliau seorang yang merupakan PNS dan menjabat sebagai staf desa. Berikut
dituturkan oleh MSY (46 Tahun):
“Warga desa ini jarang yang ngelanjutin sekolah pak, paling-paling cuman sampai SD. Sekolah emang jauh dan mahal lagi (biayanya). Disini staf desa yang PNS cuman saya, pak kades saja bukan PNS kan. Ya walaupun gaji staf desa ga seberapa, tapi alhamdulillah saya masih bertahan disini. Saya punya pabrik karet juga soalnya kan.”
4.3 Ekonomi Desa Curug
Masyarakat di Desa Curug rata-rata mempunyai sawah dan lahan kering
baik berupa kebun ataupun pekarangan, namun dengan luas yang dapat dibilang
relatif sempit. Pengairan untuk sawah-sawah tersebut menggunakan sistem tadah
hujan, hampir semua masyarakat tidak menggunakan sistem irigasi untuk
mengairi sawah mereka.
Tabel 3. Luas Lahan menurut Penggunaannya di Desa Curug Tahun 2010/2011
No. Jenis Penggunaan Lahan Luas (Ha) Persentase (%)
1. Sawah 104
-2. Pertanian lahan kering 1265
-3. Perumahan 27
-4. Pekarangan 11
-5. Perkebunan rakyat 500
-6. Perkebunan swasta besar 400
-7. Hutan rakyat -
-8. Hutan konsesi HPH -
-9. lain-lain -
-Jumlah -
Seperti halnya jumlah penduduk menurut usia dan tingkat pendidikan, data
mengenai luas lahan menurut penggunaannya di Desa Curug tidak tersedia
seluruhnya, sehingga luas penggunaan lahan Desa Curug tidak dapat
dipersentasikan. Bahkan peneliti menemukan kejanggalan, yaitu jumlah luas lahan
dari data yang tersedia pada Tabel 3 bila dikalkulasikan melebihi jumlah luas
lahan Desa Curug yang tertulis pada daftar Potensi Desa (BPS, 2008).
Lahan sawah masyarakat hampir semua ditanami padi, sedangkan
pekarangan selain dibangun rumah juga ditanami tanaman yang dapat menunjang
kebutuhan hidup keluarga sehari-hari seperti pisang, kelapa, manggis, dan
lain-lain. Lahan kebun yang dimiliki masyarakat didominasi oleh tanaman karet,
sengon, dan bambu. Petani di Desa Curug memiliki sebutan yang berbeda-beda
untuk pohon sengon (Paraserianthes falcataria). Beberapa menyebut pohon
sengon seperti biasa, namun ada pula yang menyebutnya dengan albasia, ambon,
atau jengjeng. Keseluruhan sebutan tersebut merujuk pada satu jenis tanaman
yang sama.
Mata pencaharian masyarakat tidak terlalu beragam, dengan jumlah paling
banyak menjadi petani penyadap karet. Hal ini dapat dilihat dengan adanya pabrik
karet (lateks) yang dimiliki oleh beberapa masyarakat lokal. Pekerjaan sampingan
masyarakat mulai dari staf desa, guru, buruh (buruh angkut kayu, buruh
bangunan, buruh tani), dan pedagang.
Hakim (2009) mengatakan salah satu ciri utama hutan rakyat adalah unit
pengelolaan (manajemen unit)-nya adalah skala rumahtangga dengan bentuk
kepemilikannya berbentuk “girik” atau tanah adat yang terdaftar pada Kantor
Kepala Desa dengan luasan areal lahannya rata-rata dibawah 1 (satu) hektar.
Penguasaan lahan oleh masyarakat Desa Curug sudah difasilitasi oleh pemerintah,
dalam hal ini Desa, setelah adanya persetujuan atas permohonan penggarapan
tanah adat oleh masyarakat dari eks HGU PTPP Jasinga. Pada tahun 1953,
masyarakat sudah memiliki “girik” atau sekarang disebut Surat Keterangan Desa
(SKT) sebagai bukti kepemilikan lahan mereka.
Usaha Kayu Rakyat banyak dilakukan oleh masyarakat, baik dalam skala
kecil, menengah, maupun besar. Untuk skala kecil, “petani kayu” lebih cenderung
untuk berbagai keperluan saat itu. Hal ini diakui masyarakat karena mereka
mengalami kekurangan modal untuk melakukan budidaya, baik untuk
memperoleh bibit unggul maupun perawatan dari pohon-pohon tersebut. Akan
tetapi masyarakat merasa sudah memiliki pengetahuan yang cukup mengenai
usaha kayu rakyat ini. Pada tahun 2010 masyarakat pernah mengusulkan
pembukaan lahan seluas 35 Ha untuk penanaman sengon disertai permintaan
bantuan bibit, dengan mengajukan kepada BP3K, tetapi hingga saat ini belum
mendapat respon positif.
4.4 Sarana dan Prasarana Desa Curug
Sarana dan prasarana pendidikan di Desa Curug terdapat 4 Sekolah Dasar Negeri, 1 buah Madrasah Diniyah (setingkat SD), 1 buah SMPN Negeri, dan 2 Pesantren. Jarak Taman Kanak-Kanak terdekat sejauh 5 km dari Kantor Desa, sedangkan jarak SMAN terdekat sejauh 6 km dan SMK terdekat sejauh 9 km.
Desa Curug memiliki 1 puskesmas pembantu/poliklinik, dengan 1 dokter dan 2 bidan. Untuk sarana keagamaan, desa ini memiliki 5 buah mesjid dan 5 buah mushola karena penduduknya mayoritas beragama islam. Sarana olahraga yang terdapat di desa ini berupa 5 lapangan sepakbola dan 2 lapangan bulutangkis.
Sebagian masyarakat telah menggunakan aliran listrik dari PLN, namun hingga kini belum terdapat penerangan di sepanjang jalan utama menuju desa. Bahan bakar keluarga yang sering digunakan adalah kayu bakar, walaupun beberapa keluarga telah menggunakan gas sebagai bahan bakar untuk memasak. Berdasarkan data Potensi Desa tahun 2008, masih terdapat pemukiman kumuh sejumlah 120 rumah dengan 132 keluarga, dan tersebar di 5 lokasi.
BAB V
PERAN USAHA KAYU RAKYAT DALAM STRATEGI NAFKAH RUMAH TANGGA PETANI
5.1 Strategi Nafkah Petani
Petani di Desa Curug melakukan pilihan terhadap strategi nafkah yang
berbeda-beda untuk menghidupi keluarganya. Berbagai usaha yang dilakukan
meliputi usaha pertanian (sawah, kebun, usaha kayu rakyat), dan usaha di bidang
non pertanian. Rata-rata masyarakat di Desa Curug memiliki sawah yang tidak
terlalu luas, cukup untuk konsumsi sehari-hari saja, bahkan ada beberapa yang
tidak memiliki sawah. Masyarakat Desa Curug cenderung memiliki lebih dari
satu sumber nafkah. Dapat dilihat pada Tabel 4, jumlah responden terbanyak
memiliki tiga sumber nafkah dengan persentase lebih dari 50%.
Tabel 4. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jumlah Sumber Nafkah
Jumlah Sumber Nafkah Jumlah Responden Persentase (%)
1 0 0
2 7 23,33
3 17 56,67
4 5 16,67
5 1 3,33
Jumlah 30 100
Sumber : Data Primer, 2011
Mata pencaharian utama masyarakat dominan menjadi buruh penyadap
karet, baik di kebun sendiri, kebun keluarga, maupun kebun orang lain.
Menyadap karet dilakukan dari pagi hingga tengah hari, dengan penghasilan
sebesar Rp 12.000,00/liter. Setiap harinya seorang buruh sadap karet, baik
laki-laki maupun perempuan, rata-rata dapat menghasilkan sekitar dua liter getah
karet per hari. Hal itu dilengkapi oleh penanaman atau usaha budidaya kayu
Sebagian besar masyarakat Desa Curug memiliki sawah dengan frekuensi
panen dua kali dalam satu tahun, dan cenderung subsisten. Berdasarkan data
monografi Desa Curug, 70 persen mata pencaharian utama penduduk berada di
bidang pertanian, dengan 30 persen keluarga beranggotakan buruh tani.
Pertanian menjadi sumber nafkah utama bagi masyarakat Desa Curug, namun non pertanian juga merupakan sumber nafkah yang penting. Mubyarto dan Kartodirdjo (1988) menyebutkan bahwa peluang kerja bagi buruh tani dan petani
gurem yang miskin nampaknya memang lebih banyak dapat diharapkan dalam
kegiatan-kegiatan non-pertanian. Pada usaha non pertanian, sumber pendapatan
masyarakat bervariasi dari menjadi staf desa, karyawan pabrik, guru, buruh,
hingga tukang kredit. Masyarakat menjadikan usaha kayu rakyat sebagai
sampingan, juga sebagai tabungan apabila pada saat-saat mendesak mereka
memerlukan uang yang cukup banyak.
Menurut Mubyarto dan Kartodirdjo (1988) di negara kita, seperti juga
negara-negara berkembang lain, karena harga-harga hasil pertanian pada
umumnya selalu tertekan, sedangkan barang-barang non-pertanian harganya
lebih leluasa naik, maka nilai tukar (term of trade) komoditi pertanian cenderung
menurun. Akibatnya penghasilan mereka yang hidup dari kegiatan pertanian
biasanya rendah dan tertekan. Bagi buruh tani dan petani gurem, yang banyak
menggantungkan pendapatannya pada para pemilik tanah, peluang kerja dan
berusaha menjadi sempit. Mereka kadang-kadang bekerja penuh, kadang-kadang
tidak penuh. Tapi pada umumnya dapat dikatakan bahwa mereka bekerja keras
(penuh) dengan penghasilan yang rendah sekali.
Keluarga-keluarga petani di Desa Curug cenderung menggantungkan
sumber pendapatan kepala keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Walaupun memang terdapat wanita sebagai istri dari kepala keluarga, yang turut
bekerja sebagai buruh tani atau pedagang untuk menambah penghasilan
keluarga. Banyaknya jumlah anggota keluarga tidak mempengaruhi jumlah
penghasilan keluarga mereka. Anak yang beranjak dewasa cenderung mencari
pekerjaan diluar desa untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka, dan kemudian
membentuk keluarganya sendiri. Meskipun demikian, menurut masyarakat
Beberapa masyarakat yang ditemui peneliti mengemukakan bahwa mereka
mempunyai keinginan untuk membuka usaha kerajinan dari bambu, baik berupa
anyaman atau kerajinan lainnya. Hal ini dapat menambah nilai jual dari bambu
yang banyak tumbuh di lahan mereka, dan membuka lapangan kerja bagi
masyarakat. Namun keterampilan mengolah bambu tersebut kurang dikuasai
oleh masyarakat, sehingga mereka terpaksa menjual batang-batang bambu yang
belum diolah. Padahal jika mereka dapat mengolah bambu-bambu menjadi
berbagai bentuk anyaman, nilai ekonomis dari bambu tersebut akan meningkat
secara signifikan.
5.2 Kontribusi Usaha Kayu Rakyat Terhadap Pendapatan Rumahtangga Petani
Masyarakat mengakui mereka tertarik untuk memulai usaha kayu rakyat,
dikarenakan melihat atau mendengar cerita-cerita keberhasilan tetangganya
dalam melakukan usaha kayu rakyat. Apalagi pada saat tertentu mereka
memerlukan uang dalam jumlah cukup banyak seperti untuk khitanan anak,
pernikahan, dan lain-lain.
Salah seorang responden (HMA, 52 Tahun) menceritakan usahanya yang
berawal dari petani biasa hingga menjadi salah seorang yang berpenghasilan
lebih dari 5 juta per bulan.
“Waktu dulu saya cuman petani biasa aja, belajar dari bapak (almarhum). Lalu saya nyoba-nyoba jualan kayu punya bapak sama ngumpulin dari tetangga juga. Saya beli kayu-kayunya (tetangga), semacem manggis, kecapi, jengjeng, rambutan, kemudian saya jual lagi ke orang yang dateng nyari kayu. Waktu itu saya sempet menjabat jadi kepala desa juga. Karena untungnya lumayan (penghasilannya), saya beliin tanah buat tanam jengjeng (sengon). Sekarang saya udah pensiun tapi alhamdulillah pohonnya masih ada, kemarin habis jual juga (kayu).”
Pendapatan petani dari hasil penjualan pohon berdiri sangat bervariasi
tergantung kebutuhan masing-masing petani. Jika kebutuhan uang banyak dan
mendesak maka petani akan menjual semua kayunya kepada pembeli dengan
harga yang dirasa cocok tanpa pikir panjang dan tanpa memperhitungkan usia
uang tidak terlalu mendesak maka petani lebih mempertimbangkan keuntungan
sebesar-besarnya, yaitu pembeli dengan harga paling tinggi dengan
memperhitungkan usia pohon mereka.
Beberapa orang masyarakat yang ditemui pada saat penelitian mengaku
bahwa kayu-kayu yang digunakan untuk membangun rumah mereka berasal dari
kayu-kayu di lahan mereka sendiri ataupun membeli dari tetangga mereka.
Seperti dituturkan oleh JAR (70 tahun) yang mengaku menjual pohon kecapi dan
manggisnya.
“Setelah bapak meninggal dua tahun lalu, yang saya punya ya cuma rumah ini sama pohon-pohon yang tadinya diurus bapak. Anak-anak pada keluar (kerja dan berkeluarga sendiri), ya untuk nambah uang saya jual saja (pohon) ambon (sengon), kecapi, sama manggis bapak, daripada ga keurus. Sisanya (kayu) buat benerin rumah sama masak (kayu bakar).”
Masyarakat Desa Curug rata-rata menjual pohon sengon milik mereka
pada usia 5 tahun. Pada saat penelitian, beberapa informan menyebutkan harga
jual satu pohon sengon dengan diameter 20-30 cm adalah Rp 400.000,00. Tabel
5 menunjukan keuntungan responden per tahun dari hasil penjualan kayu rakyat,
yang diperoleh melalui perhitungan antara penghasilan usaha kayu rakyat per
siklus panen dibagi usia panen pohon. Total pendapatan pertahun didapat
berdasarkan keterangan penghasilan keluarga responden perbulan, dikalikan 12
bulan. Sehingga persentasi kontribusi usaha kayu rakyat responden pertahun
dihitung melalui keuntungan usaha kayu rakyat pertahun dibagi total pendapatan
No. Responden
Sumber Nafkah Keluarga
Usaha kayu rakyat
Usaha pertanian lain
Non pertanian
Lahan basah Lahan kering
1 Budidaya sengon [Sawah] [Karet] [Sekertaris Desa (PNS)],
[Pabrik pengolahan karet (lateks)]
2 Budidaya sengon [Sawah] [Karet] [Staf Desa (bukan PNS)]
3 Budidaya sengon [Sawah] [Karet, Bambu] [Wiraswasta]
4 Budidaya sengon [Sawah] [Karet] [Pedagang]
5 Budidaya sengon [Sawah] [Karet, Bambu]
-6 Budidaya sengon [Sawah] [Karet, Bambu, Pisang, Singkong, Manggis]
[Pedagang]
7 Budidaya sengon [Sawah] [Karet] [Guru],[Pedagang]
8 Budidaya sengon [Sawah] [Karet, manggis, cempedak]
-9 Bagi hasil sengon - [Bagi hasil karet dan bambu] [Pedagang]
10 Budidaya sengon [Sawah] [Karet, Pisang, Singkong]
-11 Budidaya sengon [Sawah] [Karet, Kecapi] [Pedagang]
12 Budidaya sengon - [Karet, Bambu]
-13 Budidaya sengon [Sawah], [Buruh tani] [Karet] [Pedagang]
14 Budidaya sengon [Sawah] - [Buruh toko material]
15 Buruh angkut kayu [Bagi hasil sawah] -
Matriks 3. Jenis Sumber Nafkah Keluarga Pelaku Usaha Kayu Rakyat di Desa Curug Tahun 2010/2011
17 Budidaya sengon [Sawah] [Karet] [Karyawan]
18 Budidaya sengon [Sawah] [Karet, Kecapi]
-19 Bagi hasil sengon [Sawah], [Buruh tani] [Manggis]
-20 Budidaya sengon [Buruh tani] [Karet]
-21 Budidaya sengon [Sawah] [Karet, Rambutan] [Karyawan], [Tukang kredit]
22 Budidaya sengon [Sawah] [Karet, Jengkol, Manggis, Mangga] [Ustadz]
23 Budidaya sengon [Sawah] [Karet, Pisang, Singkong, Ubi] [Bengkel las], [Pedagang]
24 Budidaya sengon [Sawah] [Karet, bambu] [Guru ngaji]
25 Budidaya sengon [Sawah] [Karet] [Pedagang],[Guru ngaji]
26 Budidaya sengon [Sawah] -
-27 Budidaya sengon [Sawah] [Karet]
-28 Bagi hasil sengon [Sawah] [Karet]
-29 Budidaya sengon - - [Pabrik pengolahan karet (lateks)]
Tabel 5. Kontribusi Usaha Kayu Rakyat terhadap Total Pendapatan Rumahtangga
5 4 30.000 7.500 60.000 12.5
6 3 16.000 5.333 60.000 8.8
1 5 4.000 800 60.000 1.3
7 3 10.000 3.333 36.000 9.2
11 5 7.000 1.400 36.000 3.8
10 6 6.000 1.000 36.000 2.7
Pendapatan usaha
kayu rakyat
pertahun
=
Pendapatan usaha kayu rakyat per
panen
Tingkat kontribusi usaha kayu rakyat yang masih rendah disebabkan
produktivitas usaha kayu rakyat dan harga jual kayu yang rendah. Harga jual
kayu yang diterima petani lebih rendah dari harga pasar, karena petani menjual
kayu dengan sistem ijon atau tebang butuh.
Peran pendapatan dari usaha kayu rakyat menjadi sangat penting pada saat
pelaku usaha kayu rakyat membutuhkan dana yang cukup besar untuk
membiayai hal tertentu seperti berobat, nikahan anak, khitanan anak, pendidikan,
dan sebagainya. Hal ini dikarenakan pendapatan masyarakat perbulan biasanya
telah dialokasikan untuk berbagai keperluan rumahtangga, sehingga pada saat
tertentu keluarga membutuhkan dana lebih yang bisa dikeluarkan seperti
layaknya tabungan. Kayu dalam hal ini berperan sebagai tabungan jangka
panjang, dan dapat ditebang pada usia yang telah diperhitungkan, ataupun pada
saat dibutuhkan.
Berdasarkan data penelitian, kontribusi penghasilan dari usaha kayu rakyat
cenderung dibawah 5% dari total pendapatan keluarga pertahun. Hal ini
dikarenakan penjualan kayu rakyat oleh unit usaha kayu rakyat pada tingkat
keluarga belum terpola dengan baik. Kepemilikan lahan yang terbatas, menjadi
salah satu pengaruh yang berarti bagi produktivitas kayu rakyat. Bagi
masyarakat dengan lahan luas, siklus panen kayu rakyat dapat terjadi setiap
tahun, dua tahun sekali, atau tiga tahun sekali. Sedangkan bagi masyarakat yang
kayu hanya dapat terjadi setiap tiga sampai lima tahun sekali sesuai umur panen
kayu sengon yang ditanam. Namun dengan melihat Tabel 5 dan Tabel 6, secara
umum dapat disimpulkan bahwa responden yang total pendapatannya lebih besar
cenderung memiliki pendapatan dari usaha kayu rakyat yang lebih besar. Hal ini
dikarenakan petani tersebut memiliki lahan yang lebih luas, maupun pendapatan
berlebih yang dapat digunakan untuk menanam kayu lebih banyak.
Tabel 6. Jumlah Responden menurut Persentase Kontribusi Usaha Kayu Rakyat Terhadap Total Pendapatan Rumahtangga Petani
Kontribusi Usaha Kayu Rakyat (%) Jumlah Responden (%)
Belum ada 9 30
< 5 17 57
5,1 - 10 3 10
> 10 1 3
Jumlah 30 100
Sumber : Data Primer, 2011
Jumlah pohon yang dipanen tiap siklus kayu rakyat menjadi pengaruh
selanjutnya dari besaran kontribusi kayu rakyat terhadap total pendapatan
masyarakat. Bagi masyarakat dengan lahan relatif sempit, mereka hanya dapat
menanam beberapa batang pohon, bahkan pada saat penelitian ditemukan
masyarakat yang hanya memiliki dua hingga tiga batang pohon sengon yang
ditanam di pekarangan rumah. Masyarakat dengan lahan yang lebih luas dapat
menanam lebih banyak pohon sengon, baik berdampingan dengan karet, maupun
monokultur. Hal tersebut menjadi sebuah peluang bagi pelaku usaha kayu rakyat
untuk melakukan rotasi tanam dan panen kayu, sehingga penghasilan dari usaha
kayu rakyat menjadi semakin besar bila dihitung pertahun, dan meningkatkan
nilai kontribusi usaha kayu rakyat terhadap total pendapatan rumahtangga
BAB VI
KELEMBAGAAN USAHA KAYU RAKYAT
6.1 Kelembagaan Pengurusan Hutan Rakyat
Usaha kayu rakyat tidak menjadi mata pencaharian utama karena berbagai
alasan antara lain usia panen yang lama, tidak dapat dijadikan penghasilan
sehari-hari, dan kepemilikan lahan yang sempit, sehingga tidak dapat melakukan
penanaman dalam skala besar. Walaupun demikian, beberapa masyarakat
mengakui justru dengan lahan mereka yang terbatas, mereka lebih memilih
untuk menanam kayu daripada tanaman budidaya lainnya sebagai tabungan
apabila sewaktu-waktu dibutuhkan (tebang butuh). Menanam kayu juga diakui
tidak sulit, masyarakat memperoleh bibit dari hutan, dan setelah penanaman
tidak terlalu membutuhkan perawatan yang intensif.
Masyarakat Desa Curug sebagian besar tidak mengakui adanya norma
ataupun aturan-aturan khusus yang berlaku mengenai usaha kayu rakyat. Baik
berupa adat setempat ataupun aturan yang memang diberlakukan oleh
pemerintah. Akan tetapi pemerintah desa setempat mengakui bahwa sebenarnya
terdapat sebuah aturan khusus mengenai usaha kayu rakyat ini. Seharusnya
terdapat pencatatan dalam setiap batang kayu yang keluar dari tanah desa, atau
disebut juga SKAU (Surat Keterangan Asal Usul) kayu, sehingga desa dapat
memonitor setiap kayu yang keluar. Namun pada kenyataannya aturan ini tidak
diakui wajib oleh masyarakat setempat, dan kebanyakan tidak melaksanakannya.
Seperti dituturkan oleh AER (30), seorang staf desa berikut.
“Sebenarnya ada aturan kepada masyarakat untuk melaporkan setiap menjual kayu, ya memang ada biaya semacam retribusi sebesar 10% dari hasilnya. Itu digunakan untuk keperluan administrasi saja, dan fleksibel juga, tidak harus segitu, seikhlasnya saja. Namun masyarakat tidak ada yang peduli, tidak melaporkan. Kan kita yang bingung, mau laporan ke kecamatan juga gimana.”
Masalah lain yang ditemukan di lokasi penelitian adalah masyarakat
dipersulit dengan aturan seperti SKSHH (Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan)
dan SIT (Surat Izin Tebang), khususnya untuk membudidayakan tanaman Jati
segan untuk membudidayakan tanaman Jati dan Mahoni karena kesulitan
mengurus SKSHH dan SIT. Petani kayu mengakui mereka lebih memilih untuk
membudidayakan tanaman sengon (Paraserianthes falcataria) karena tidak
memerlukan ijin khusus untuk menanam atau menebang tanaman tersebut.
Pengertian dan penafsiran serta program pengembangan tentang Hutan
Rakyat sudah harus disesuaikan dengan kondisi di lapangan supaya
pengembangan teknologi, manajemen, dan kelembagaan Hutan Rakyat lebih
intensif dan inovatif untuk memelihara budaya masyarakat dalam
membudidayakan tanaman kehutanan di lahan miliknya. Pengertian-pengertian
tersebut, jangan sampai menimbulkan kesan sebagai bentuk intervensi
pemerintah yang kontra produktif bagi pengembangan gerakan penanaman
pohon yang sedang digalakkan. Pengelolaan tanaman kayu oleh rakyat yang
dikembangkan secara swadaya, dengan modal biaya, lahan dan tenaga kerja
sendiri harus terlepas dari berbagai hambatan birokratis. Aturan SKSHH dan SIT
harus dibuat untuk dalam rangka penataan, pengaturan, dan pengurusan serta
pengembangan Hutan Rakyat yang berorientasi kelestarian lingkungan dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas.
Pada saat penelitian, tidak ditemukan adanya usaha pembibitan yang
dilakukan oleh masyarakat desa curug. Hampir seluruh responden mengakui
mereka mendapatkan bibit dari hutan, sehingga tidak ada biaya yang dikeluarkan
untuk membeli bibit. Kegiatan budidaya sengon diakui sudah menjadi tradisi
lama di Desa Curug. Beberapa responden mengatakan bahwa sejak habisnya
masa HGU PTP. Jasinga, masyarakat mulai menanam pohon sengon untuk
mengisi tanah-tanah kosong milik mereka. Hal ini dilakukan setelah adanya
tanda terima dan persetujuan pemerintah atas permohonan penggarapan tanah
adat oleh masyarakat. Sejak saat itu, kegiatan budidaya sengon menjadi usaha
sampingan yang banyak dilakukan masyarakat.
Masyarakat Desa Curug yang menanam pohon sengon pada lahan-lahan
milik mereka, biasanya dicampur dengan tanaman lain seperti karet, kecapi, dan
tanaman buah-buahan pada lahan yang berkisar antara 0,5 – 1 Ha. Petani pemilik
lahan yang lebih luas dari 1 Ha cenderung menanam sengon dan karet pada
petani berlahan sempit atau dalam hal ini kurang dari 0,5 Ha menanam sengon
dimana saja terdapat lahan miliknya yang kosong seperti sekeliling rumah atau
di pinggir sawah mereka.
Tanaman Sengon dipilih sebagai usaha kayu rakyat dikarenakan usia
panennya yang relatif lebih pendek jika dibandingkan tanaman kayu lain, yaitu
4-5 tahun sudah memiliki diameter sekitar 20-30 cm dengan harga mencapai 400
ribu rupiah per pohon. Selain itu, setelah batang sengon ditebang akan muncul
sedikitnya dua tunas baru yang akan tumbuh kembali. Sehingga keuntungan
selanjutnya akan menjadi lebih besar. Siklus hidup satu pohon sengon tersebut
akan berulang setidaknya 3 kali. Setelah 3 kali dilakukan penebangan, pohon
tersebut sudah menurun kualitas kayunya sehingga harus dilakukan penebangan
habis dan menanam bibit yang baru.
Pemanenan kayu rakyat dilakukan berdasarkan sistem tebang butuh yang
menyebabkan konsep kelestarian hasilnya belum berdasarkan kepada kontinuitas
hasil yang dapat diperoleh dari perhitungan pemanenan yang sebanding dengan
pertumbuhan (riap) tanaman. Konsep kontinuitas hasil tidak terlalu
dipertimbangkan oleh masyarakat, selain karena desakan kebutuhan ekonomi
dan kepemilikan lahan yang relatif sempit, dengan jumlah pohon yang tidak
terlalu banyak, pembeli/pengumpul di daerah ini terbiasa melakukan sistem
borongan atau membeli semua pohon kayu yang masih berdiri tegak, tanpa
mempertimbangkan usia dari pohon-pohon tersebut. Hal tersebut mungkin
menjadi sebuah konsep kontinuitas yang dilakukan oleh pengumpul, karena
mereka melakukan daur pemanenan secara bergiliran dari tiap lahan masyarakat.
6.2 Kelembagaan Sosial
Aktor-aktor usaha kayu rakyat meliputi petani kayu, pedagang pengumpul,
“gesekan” atau penggergaji kayu, kemudian industri kayu. Selanjutnya hasil
olahan industri dipasarkan kembali sebagai barang jadi/setengah jadi. Pada
lokasi penelitian, tidak terlalu tampak adanya hubungan sosial yang kuat antar
aktor usaha kayu rakyat. Jenis dan jumlah pohon yang ditanam, serta penjualan
batang-batang pohon kayu rakyat ditentukan oleh keluarga petani, sedangkan