• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. 1.3 Pr ioritas Pengemban gan Skema Pendanaan In fras truktur

Dalam dokumen Index of /enm/images/dokumen (Halaman 35-39)

(1) Mengembangkan mekanisme "fund raising" untuk membantu pendanaan infrastruktur, dengan beberapa syarat sebagai berikut:

a. Institusi fund raising (FR) bisa duduk bersama pemerintah provinsi, kabupaten dan kota untuk menopang kepentingan berbagai jenis investasi termasuk investasi infrastruktur.

b.Pemerintah propinsi dalam pembentukan institusi fund raising tersebut adalah:

• Pemerintah provinsi menyiapkan ma dat dari Gubernur kepada Manager dari FR propinsi, sesuai n dengan kebutuhannya.

• Pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/kota; mempersiapkan berbagai studi kelayakan untuk kepentingan berbagai investasi; term suk investasi infrastruktur dengan memperhatikan keinginan a pasar modal/ pasar uang.

• Institusi FR harus membantu sosialisasi untuk berbagai investasi termasuk investasi infrastruktur agar dapat menjadi sumber informasi untuk pihak-pihak yang berminat melakukan investasi dan memberikan dukungan dana.

(2) Pembangunan infrastruktur dan sektor lainnya bekerjasama dengan potensi global baik kerjasama G to G, G to P, atau P to P perlu mendapat kajian komitmen bilateral dan komitmen multilateral sampai tingkat daerah. Dalam hat ini diperlukan payung komitmen bilateral G to G yang pelaksanaannya oleh P to P. Dalam komitmen bilateral tersebut, pendalaman kepentingan pembangunan yang saling menguntungkan perlu mendapat penjabaran yang terperinci agar potensi dukungan lebih kongkrit berdasarkan uraian kebutuhan. Contoh: Propinsi Jawa Barat dengan Cina sedang menjajaki kerjasama perdagangan, di mana Cina membutuhkan produk pertanian dari Jawa Barat. Dalam kerjasama ini, tujuan utamanya bukan hanya untuk mempertinggi ekspor dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga mengintegrasikan kepentingan Cina dengan pembangunan Jawa Barat dalam hal: (a) Kepentingan Jawa Barat dalam pengembangan potensi Jawa Barat Selatan; (b) Kepentingan pembangunan potensi pertanian dan perkebunan dengan orientasi ekspor di Jawa Barat; (c) Kepentingan

pembangunan agro industri (canning, cold strorage, packing technology, dan sebagainya.); dan (d) Kepentingan eksplorasi/eksploitasi potensi pertambangan, metalurgi, dan migas, dan sebagainya. Untuk memperlancar kerjasama ini, Jawa Barat memerlukan dukungan infrastruktur regional yang bersifat strategis, antara lain: (a) Dukungan pembangunan pelabuhan samudera untuk kepentingan ekspor dan impor; (b) Dukungan pembangunan bandar udara kargo dan penumpang; (c) Dukungan pembangunan pembangkit listrik hidro dan irigasi pertanian; dan (d) Dukungan pembangunan jalan regional untuk mendukung aksesibilitas, dan sebagainya.

(3) Mobilisasi kekuatan masyarakat melalui "swadana" atau "matching fund" untuk pembangunan infrastruktur dasar pedesaan dan pemeliharaan infrastruktur lokal. Pendanaan infrastruktur dapat dilakukan oleh masyarakat sendiri (swadana), dalam hal ini pemerintah daerah menggerakkan partisipasi masyarakat termasuk potensi matching fund dari masyarakat, terutama di daerah pedesaan. Untuk tujuan tersebut, pemerintah daerah harus terlebih dahulu mensosialisasikan kebutuhan infrastruktur dan ketersediaan dana yang dimiliki pemerintah daerah. Disamping itu, partisipasi masyarakat perlu digalakkan dalam pemeliharan infrastruktur yang bersifat lokal.

(4) Penetapan tarif untuk infrastruktur yang bersifat revenue generating berdasarkan pada perhitungan yang mempertimbangkan aspek cost recovery, beban penggunaan, karakteristik dan affordability dari konsumen. Penetapan tarif yang demikian diharapkan akan meningkatkan partisipasi pihak swasta dalam pembangunan infrastruktur serta aksesibilitas masyarakat.

V.2.2 Solusi Jangka Panjang

(1) Dalam jangka panjang pembangunan infrastruktur harus berdasarkan pada pemetaan kebutuhan infrastruktur yang telah disiapkan di tingkat regional yang terpadu dengan perencanaan pusat yang bersifat top down.

(2) Diperlukan pengembangan infrastruktur yang komprehensif, berkelanjutan serta terintegrasi menjadi infrastruktur network yang bernilai ekonomis tinggi.

(3) Dari sisi pendanaan, perlu dilakukan mobilisasi modal domestik dan luar negeri dengan membedakan investasi infrastruktur menurut kompleksitas masalah dan besaran dana yang dibutuhkan serta teknologi yang dipertukan. Tabel 17 memperlihatkan opsi pembiayaan infrastruktur yang bersifat cost recovery, berskala nasional dan kemungkinan kerjasama dengan swasta.

Tabel 17. Matriks Opsi Pembiayaan Infrastruktur yang Bersifat Cost Recovery, Berskala Nasional dan Kemungkinan Kerjasama dengan Swasta

No. Karakteristik Proyek

1. Padat modal Kelangkaan sumberdaya - Pembiayaan multilateral - Konsorsium/sindikasi

- Jaminan pemerintah dengan dukungan

finansial 2. Masa persiapan cukup

lama

Mismatch dalam kewajiban asset

- Hentikan pembiayaan - Pinjaman jangka panjang - Sekuritisasi penerimaan

3. Persyaratan modal kerja berdasarkan tahapan proyek

Tumpang-tindih jadwal implementasi proyek

- Pembiayaan yang fleksibel memutuskan/

memisahkan tahap konstruksi dari tahap pasca-konstruksi

- Pembiayaan arus kas

4. Return tidak mencukupi dan tidak pasti

Dana biaya tinggi, tunggakan/resiko NPA

- Insentif pajak

- Pinjaman sektor prioritas - Sub-ordinate debt financing - Kebijakan tarif yang tegas - Escrow accounts

- Power Purchase Agreement - Sinking funds

5. Pinjaman jangka panjang Fluktuasi suku bunga dan nilai tukar

- Interest rate swap - Forward rate agreements - Suku bunga mengambang

6. Multiple debt servicing obligations

Rasio utang terhadap ekuitas tinggi

- Sub-ordinate debt financing - Suntikan ekuitas dari mitra strategis

7. Kekurangan tangible assets dan

jaminan/sekuritas

Realisasi jumlah pinjaman likuidasi atau tunggakan

- Letters of comfort

- Mengenakan pari passu atas escrow account - Jaminan bank

8. Berbagai keahlian dan teknologi canggih

Kurangnya keterampilan dalam melakukan penaksiran dan operasional

- Joint ventures

- Special Purpose Vehicle

9. Pelopor iklim/ resiko kelayakan

Risk on en masse deployment

- Venture capital funds - Project Initialisation Funds

Daftar Pustaka

Abimanyu, Yoopi (2005),”Pendanaan Infrastruktur”, makalah FGD, Jakarta: ISEI. .

Bappenas (2005), ”Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009”, Jakarta

BPS, Bappenas dan UNDP (2004), The Economics of Democracy, Indonesia Human Development Report 2004, Jakarta

ISEI (2005), ”Rekomendasi ISEI. Langkah-Langkah Strategis Pemulihan Ekonomi Indonesia”, Jakarta: Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia.

Kompas (2006a), “Paket Kebijakan Infrastruktur”, Bisnis & Keuangan, Sabtu, 18 Februari, hal. 17. Kompas (2006b), “Daya Saing Industri Kritis Tanpa Perbaikan”, Bisnis & Keuangan, Rabu, 15 Februari, hal. 19.

Manurung, Adler H. (2005), “Infrastructure Fund”, makalah FGD, Jakarta: ISEI

Pakpahan, Arten T. (2005), “Gambaran Belanja Modal Daerah, Dana Alokasi Khusus dan Hibah Pinjaman Luar Negeri Pemerintah untuk Pembansunan Infrastruktur”, makalah FGD, Jakarta: ISEI.

Pardede, Raden (2005), “Infrastructure Financing: Indonesia Challenges”, makalah FGD, Jakarta: ISEI. R.I (2004), ”Indonesia”, Progress Report on the Millennium Development Goals, February, Jakarta: Pemerintah Indonesia dan U.N.

Siregar, Hermanto (2005), “Penyediaan dan Pembiayaan Infrastruktur Dasar, “ makalah FGD, Jakarta: ISEI Pusat.

Suganda, Uce (2005), “Pembangunan Infrastruktur di Jawa Barat”, makalah FGD, Jakarta: ISEI.

Susantono, Bambang (2005), “Tindak Lanjut Pertemuan Puncak Infrastruktur 2005”, makalah FGD, Jakarta: ISEI.

Winoto, Joyo (2005), ”Peranan Pembangunan Infrastruktur Dalam Menggerakan Sektor Riil”, makalah dalam Sidang Pleno ISEI XI, 22-23 Maret, Jakarta.

World Bank (2004), Indonesia Averting an Infrastructure Crisis: A Framework for Policy and Action, Second ed., East Asia and Pacific Region Infrastructure Development, Washington, D.C. and Jakarta.

Dalam dokumen Index of /enm/images/dokumen (Halaman 35-39)

Dokumen terkait