• Tidak ada hasil yang ditemukan

SOLUSI KEBIJAKAN ALTERNATIF

Dalam dokumen Index of /enm/images/dokumen (Halaman 31-35)

V.1 Solusi Kebijakan Pemerintah Pusat

Dalam melakukan pembiayaan infrastrukur, pemerintah telah melakukan beberapa langkah penting seperti yang dijabarkan oleh Kantor Menko Perekonomian (ISEI, 2005):

(1) Reformasi Pengaturan Infrastruktur. Dalam hal ini berbagai kebijakan mengenai infrastruktur diperbaharui sehingga pada prinsipnya meliputi:

a. Peningkatan kembali peran swasta. Pelibatan peran swasta dalam pembangunan infrastruktur sebaiknya hanya untuk infrastruktur yang commercially viable. Sedangkan Pemerintah lebih terfokus pada infrastruktur dasar dan non-commercially viable tetapi economically feasible seperti jalan desa dan irigasi. Pemerintah sedang berupaya untuk merevisi Kepres No. 7 Tahun 1998 tentang cara

Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Swasta dalam Pembangunan dan Pengelolaan Infrastruktur. Namun sejauh ini hasil akhir revisi Kepres tersebut belum ditetapkan.

b.Mengakomodasi peran daerah. Sejak diterapkannya kebijakan otonomi daerah mulai 1 Januari 2001, pemerintahan daerah seharusnya memiliki tanggungjawab yang lebih besar dalam menetapkan arah pembangunannya, termasuk dalam pembangunan infrastruktur. Dengan semakin luasnya peran daerah dalam pembangunan infrastruktur memungkinkan daerah membangun infrastrukur daerah sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing. Hal ini diharapkan dapat mengatasi kesenjangan yang selama ini terjadi.

c. Penyediaan infrastruktur terbuka bagi BUMN/BUMD, Badan Usaha Swasta, Masyarakat, Koperasi, dan lembaga berbadan hukum. Dengan pelibatan peran swasta dan institusi lain dalam penyediaan infrastruktur diharapkan terjadi kompetisi yang pada akhirnya penyediaan infrastruktur tersebut dapat efisien.

d.Tariff setting bagi infrastruktur yang disediakan oleh swasta. Kerangka pengaturan tarif yang jelas akan mendorong swasta untuk melakukan investasi dalam penyediaan infrastruktur. Tarif ditentukan berdasarkan atas azas pemulihan biaya untuk infrastruktur yang menciptakan penghasilan/pemasukan. Tarif ditetapkan dengan kontrak guna memberi kepastian atas arus penerimaan dan mengurangi resiko atas proyek.

e. Pemisahan peran operator dan regulator. Disamping dibukanya kesempatan penyediaan infrastruktur oleh swasta dan institusi lain, peningkatan efisiensi penyediaan infrastruktur juga dapat dilakukan dengan memisahkan peran operator dan regulator. Disamping itu diperlukan Badan Pensatur yang independen sehingga kepentingan publik terlindungi dan sikap adil terhadap investor, sehingga prinsip komersial dapat dijaga.

f. Memperkenankan prinsip pemisahan pelayanan. Dengan diberlakukannya prinsip unbundling, penyelenggaraan infrastruktur dari hulu ke hilir tidak dilakukan oleh satu institusi, sehingga memungkinkan efisiensi pelayanan.

(2) Implementasi Undang-Undang Jalan, Undang-Undang Kelistrikan, Undang-Undang Sumberdaya Alam, Undang-Undang perhubungan dan Pengaturan Pembebasan Tanah untuk kepentingan pembangunan infrastruktur. Sejauh ini, pemerintah telah melakukan reformasi di bidang pengaturan regulasi mengenai jalan umum dengan merevisi Undang-Undang No. 13/1980 tentang Jalan yang ditetapkan dalam Undang-Undang No. 38/2004. Selain merevisi regulasi tentang jalan umum, pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Pemerintah No. 15/2005 tentang Jalan Tol. Di sektor air minum, pemerintah telah menetapkan PP No. 16/2005 tentang Sistem Penyediaan Air Minum. Selain itu pemerintah juga telah menetapkan PP No. 3/2005 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik; Permen 09/2005

tentang Prosedur Pembelian Tenaga Listrik; Permen No. 10/2005 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Ketenagalistrikan. Dalam hal pembebasan tanah, pemerintah telah menetapkan Perpres No. 36/2005. (3) Membuat prioritas proyek infrastruktur yang akan dilaksanakan. Mengingat keterbatasan dana dalam

pembangunan infrastruktur, maka perlu penajaman prioritas proyek infrastruktur yang akan dilaksanakan. Permasalahan-permasalahan dalam pembangunan infrastruktur yang terjadi selama ini hendaknya diselesaikan tanpa harus mengganggu pelaksanaan prioritas pembangunan infrastruktur.

V.2 Solusi Kebijakan Alternatif ISEI (ISEI, 2005)

Disamping kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah pusat tersebut di atas, beberapa solusi kebijakan lain yang direkomendasikan oleh ISEI adalah:

V.2.1 Solusi Jangka Pendek - Menengah

V.2.1.1 Prioritas Pengembangan Jenis-Jenis Infrastruktur

(1) Prioritas pengembangan infrastruktur transportasi darat: pembangunan monorail atau subway untuk daerah perkotaan dengan kepadatan penduduk tinggi. Mengingat terbatasnya sarana transportasi di perkotaan, khususnya daerah dengan kepadatan penduduk yang tinggi, monorail atau subway dapat menjadi salah satu alternatif tranportasi untuk mendukung lancarnya kegiatan perekonomian. Pembangunan subway juga diperkirakan dapat mengatasi kemacetan lalu lintas yang umumnya terjadi di kota-kota besar.

(2) Prioritas pengembangan infrastruktur, transportasi laut: optimalisasi peran transportasi laut sebagai sarana transportasi ramah lingkungan. Mengingat Indonesia sebagai negara kepulauan, transportasi laut mutlak dibutuhkan. Keberadaan transportasi laut perlu lebih ditingkatkan baik dari sisi kualitas maupun kuantitas serta penggunannya perlu lebih disosialisasikan sebagai sarana transportasi antar pulau karena disamping murah, alat transportasi laut mengandung emisi rendah, sehingga ramah lingkungan.

(3) Prioritas pengembangan infrastruktur air minum dan air bersih. Peningkatan jangkauan pelayanan PDAM, pengendalian tingkat kebocoran, dan perbaikan sistem administrasi. Selama ini banyak masyarakat yang harus membeli air minum karena rendahnya kualitas air minum yang tersedia dan keterbatasan pelayanan PDAM. Hal ini sebenarnya merupakan beban konsumsi masyarakat yang seharusnya dapat dipergunakan untuk membeli keperluan lainnya. Untuk mengatasi hal tersebut, beberapa kebijakan dalam pelayanan air mimum dapat dijadikan alternatif, antara lain:

• Perluasan jangkauan pelayanan PDAM selain di kota besar juga mencakup daerah-daerah dengan debit air minum rendah. Namun demikian, agar tercapai efisiensi, tidak semua daerah harus mempunyai PDAM, misalnya daerah dengan kepadatan penduduk rendah sementara debit air cukup

tinggi akan mengalami kekurangan permintaan air bersih, sehingga tidak memerlukan PDAM dan dapat bergabung dengan daerah sekitarnya yang mempunyai PDAM.

• Untuk meminimalisir biaya pelayanan PDAM, diperlukan peningkatan kinerja dalam pengendalian tingkat kebocoran air bersih yang diakibatkan oleh rusaknya pipa-pipa saluran air, yang diperkirakan mencapai 30% sampai 40%.

• Dalam rangka mengoptimalkan penerimaan PDAM dan menghindari tunggakan, dilakukan perbaikan sistem administrasi, di mana pembayaran rekening air bersih diintegrasikan dengan rekening pembayaran pajak. Sebagai contoh, di beberapa negara lain, rekening pembayaran air minum diintegrasikan dengan rekening pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan atau mekanisme pembayaran lainnya, disamping itu pengelolaan air minum dilakukan secara nasional.

(4) Prioritas pengembangan infrastruktur telekomunikasi: a) Pengembangan sarana telekomunikasi yang memanfaatkan gelombang radio untuk menjangkau daerah terpencil, hal ini mengingat penggunaan gelombang radio lebih efisien dan lebih murah dibanding pemanfaatan satelit; b) Peningkatan peran swadana (swasta) dalam koridor tertentu dalam mengembangkan jaringan telekomunikasi sehingga akses dapat diperluas sekaligus menghemat APBN. Dalam hal ini, terlebih dahulu dilakukan komunikasi dua arah sehingga tidak menimbulkan mispersepsi.

V.2.1.2 Prioritas Pengembangan SDM dan Institusi Pendukung Pembangunan Infrastruktur (1) Mapping kebutuhan infrastruktur dalam rangka mengintegrasikan perencanaan yang bersifat top down

dan bottom up. Untuk mengintegrasikan kerangka perencanaan pembangunan infrastruktur yang merupakan kombinasi antara top down dan bottom up terlebih dahulu harus dibuat pemetaan kebutuhan infrastruktur yang nantinya menjadi acuan kebutuhan investasi infrastruktur setiap daerah. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian terpadu dengan mengambil sampel beberapa Kabupaten/Kota sebagai pilot project. Selanjutnya sampel tersebut dapat diperiuas sehingga meliputi seluruh Kabupaten/Kota dan tersedia peta kebutuhan infrastruktur per daerah baik propinsi maupun Kabupaten/Kota.

(2) Integrasi pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur. Untuk optimalisasi biaya pemeliharaan infrastruktur, rencana pemeliharaan harus disusun bersamaan dengan rencana pembangunan.

(3) Capacity building untuk aparatur pemerintah yang terkait dalam konteks investasi infrastruktur dan berbagai skala investasi. Dalam hal ini, jika SDM pemerintah daerah belum siap, untuk sementara waktu dapat menggunakan konsultan sebagai pendamping.

(4) Ke amm puan untuk memeransertakan potensi swasta nasional di dalam pembangunan berbagai jenis infrastruktur bekerjasama dengan pihak pengusaha transnational dalam hubungan aliansi strategis.

(5) Mengkoordinasikan institusi yang menangani pembangunan, yaitu: koordinasi institusi pemerintah, koordinasi institusi swasta (investor) dengan institusi finansial, serta koordinasi konsultan, kontraktor, pemasok, vendors, supervisi, dan sebagainya.

(6) Sosialisasi pembangunan infrastruktur kepada masyarakat. Sosialisasi ini harus dilakukan dengan pendekatan yang tepat agar masyarakat mempunyai pengertian cukup terhadap rencana pembangunan infra ruktur sehingga tidast k menimbulkan misperseps a au kekhawatiran berlebii t han di kalangan m yaas rakat.

Dalam dokumen Index of /enm/images/dokumen (Halaman 31-35)

Dokumen terkait