• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAIK SEDANGKURANG

C. Analisis Data

1. Pra Siklus

Kondisi pra siklus merupakan kondisi awal tentang bagaimana proses pembelajaran Sejarah pada kelas XI IPA 1, SMA Negeri 1 Sukodono dilakukan selama ini, dan kendala apa saja yang terjadi saat pembelajaran dilaksanakan. Hasil analisis pra siklus adalah sebagai berikut.

a) Pelaksanaan pembelajaran masih menggunakan metode diskusi biasa, kemudian siswa diminta mengerjakan soal-soal evaluasi secara kelompok, setelah selesai guru memberikan jawaban di depan kelas. b) Pembelajaran Sejarah yang disampaikan oleh guru masih bersifat teacher

oriented, yaitu berorientasi pada guru menyampaikan materi, atau pola

pembelajaran masih berpusat pada guru.

commit to user

d) Siswa kesulitan menemukan konsep cara menganalisis perkembangan masyarakat Indonesia sejak proklamasi hingga demokrasi terpimpin, sehingga siswa merasa jenuh, kurang memperhatikan, kurang menyampaikan pendapat, hal ini ditunjukkan siswa dalam mengerjakan soal-soal evaluasi belum benar.

e) Nilai karakter siswa belum optimal, hal ini ditunjukkan fakta hasil observasi tahap awal, dari 29 siswa kelas XI IPA 1, SMA Negeri 1 Sukodono, siswa yang nilai karakternya BT(Belum Terlihat) ada 12 atau 40%, MT (Mulai terlihat) ada 12 atau 41%, MB (Mulai Berkembang) ada 4 atau 15%, dan MK (Mulai Kebiasaan/Membudaya) hanya ada 1 siswa atau 4%.

f) Prestasi belajar siswa belum optimal, karena siswa masih kesulitan menemukan konsep menganalisis perkembangan masyarakat Indonesia sejak proklamasi hingga demokrasi terpimpin, maka akibatnya hasil belajar pada kompetensi dasar (KD); Menganalisis perkembangan masyarakat Indonesia sejak proklamasi hingga demokrasi terpimpin masih rendah, hal ditunjukkan dengan fakta hasil belajar dari 29 siswa kelas XI IPA 1 SMA Negeri 1 Sukodono, yang belum mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yaitu 75, ada 9 siswa atau 31%, dan yang sudah mencapai KKM ke atas ada 20 siswa atau 69%.

Berdasarkan identifikasi awal, adanya nilai karakter yang masih rendah, prestasi belajar yang masih rendah, dan pelaksanaan pembelajaran sejarah yang kurang menarik, yang dialami siswa kelas XI IPA 1, SMA Negeri 1

commit to user

Sukodono, tahun pelajaran 2011/2012 disebabkan proses pembelajaran yang dilakukan guru masih menekankan segi-segi teoritis yang menggunakan model pembelajaran konvensional. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya siswa yang merasa jenuh, kurang aktif, tidak mampu menjawab pertanyaan, kurang berpendapat, mengerjakan tugas masih belum benar, serta kurang antusias pada akhir pembelajaran dalam mengikuti kegiatan pembelajaran.

Metode pembelajaran konvensional yang diterapkan sebagian besar guru selama ini kurang mampu memberdayakan siswa untuk aktif, kreatif, inovatif, bertanya, dan berpendapat, sehingga terasa kurang menyenangkan. Pelaksanaan pembelajaran sejarah yang berkualitas diharapkan siswa mampu dan mampu menganalisis perkembangan masyarakat Indonesia sejak proklamasi hingga demokrasi terpimpin. Pembelajarran Sejarah yang disampaikan guru masih lebih bersifat teacher oriented yaitu berorientasi pada guru menyampaikan materi ilmu, bukan berorientasi atau berpusat pada kepentingan siswa. Kondisi pembelajaran semacam ini harus segera diubah agar pembelajaran dapat memberdayakan siswa untuk aktif, kreatif dan inovatif. Guru dituntut profesional, berkompetensi, mampu menerapkan strategi pembelajaran agar peserta didik tidak jenuh, tetapi menyenangkan sehingga siswa dapat aktif, kreatif, inovati dan menyenangkan. Sebagai langkah awal mengubah kondisi semacam ini adalah melakukan pencarian fakta dengan cara melakukan observasi terhadap subyek penelitian, yaitu siswa kelas XI IPA 1 SMA Negeri 1 Sukodono tahun pelajaran 2011/2012, yang berkaitan dengan kondisi dan permasalahan-permasalahan dalam

commit to user

pembelajaran Sejarah. Dalam melakukan observasi berkolaborasi dengan teman guru Sejarah kelas XI IPA 1.

Setelah dilakukan observasi bersama dengan kolaboran, maka diidentifikasi masalah-masalah yang terjadi dalam pembelajaran sejarah tahap awal.

2. Siklus I.

Beberapa temuan pada siklus I, berdasarkan data yang diperoleh dari pengamatan nilai karakter siswa pada siklus I, yang dikategorikan dalam kategori BT (Belum Terlihat), kategori MT (Mulai Terlihat), kategori MB (Mulai Berkembang), dan kategori MK (Mulai Kebiasaan/Membudaya), maka diketahui bahwa dari 29 siswa kelas XI IPA 1, SMA Negeri 1 Sukodono, sebanyak 2 siswa atau 8% untuk kategori BT (Belum Terlihat), 11 siswa atau 38% untuk kategori MT (Mulai Terlihat), 11 Siswa atau 38% untuk kategori MB (Mulai Berkembang), dan 5 siswa atau 16% untuk kategori MK (Mulai Kebiasaan/Membudaya). Hal ini menunjukkan nilai karakter siswa mengalami peningkatan pada semua kategori. Hal ini bahwa berdasarkan indikator kinerja peningkatan nilai karakter siswa sudah mulai telah tercapai.

Berdasarkan data yang diperoleh mengenai hasil pembelajaran Sejarah pada siklus I, yang dilihat dari ketuntasan belajar, yang diukur dari Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), maka pada siklus I dari 29 siswa kelas XI IPA 1 SMA Negeri 1 Sukodono, jumlah siswa yang tuntas ada 24 siswa atau 83%, dan yang belum tuntas sebanyak 5 siswa atau 17%. Hal ini berarti

commit to user

berdasarkan indikator kinerja ketuntasan belajar belum tercapai. Tetapi berdasarkan data mengenai hasil tes untuk nilai rata-rata klasikal mengalami peningkatan dari 72,48 pada pra siklus menjadi 75,52 pada siklus I, dan berdasarkan indikator kinerja nilai rata-rata hasil tes telah tercapai yaitu lebih dari KKM yaitu 75.

3. Siklus II

Pada siklus II berdasarkan data yang diperoleh dari pengamatan nilai karakter siswa pada siklus II, yang dikategori dalam BT (Belum Tampak), kategori MT (Mulai Terlihat), kategori MB (Mulai Berkembang), dan kategori MK (Mulai Kebiasaan/Membudaya), maka diketahui bahwa dari 29 siswa kelas XI IPA 1, SMA Negeri 1 Sukodono, sebanyak 0 siswa atau 0% untuk kategori BT (Belum Terlihat), 7 siswa atau 26% untuk kategori MT (Mulai Terlihat), 16 Siswa atau 55% untuk kategori MB (Mulai Berkembang), dan 6 siswa atau 19% untuk kategori MK (Mulai Kebiasaan/Membudaya). Hal ini menunjukkan nilai karakter siswa mengalami peningkatan pada kategori MB (Mulai Berkembang), yaitu pada siklus I ada 11 siswa atau 38%, sedangkan pada siklus II menjadi 16 siswa atau 55%. Selain itu juga terdapat kenaikan pada kategori MK (Mulai Kebiasaan/Membudaya), yaitu pada siklus I ada 5 siswa atau 16%, pada siklus II ada 6 siswa atau 19%. Hal ini bahwa berdasarkan indikator kinerja peningkatan nilai karakter sudah mulai tercapai.

Berdasarkan data yang diperoleh mengenai prestasi Belajar Sejarah pada siklus II, yang dilihat dari ketuntasan belajar, yang diukur dari

commit to user

Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), maka pada siklus II dari 29 siswa kelas XI IPA 1 SMA Negeri 1 Sukodono, jumlah siswa yang tuntas ada 28 siswa atau 97%. Hal ini berarti berdasarkan indikator kinerja ketuntasan belajar telah tercapai, kemudian berdasarkan data mengenai hasil tes untuk nilai rata-rata klasikal mengalami peningkatan dari 75,52 pada siklus I menjadi 77,72 pada siklus II, dan berdasarkan indikator kinerja nilai rata-rata hasil tes telah tercapai.

Hasil analisis perbandingan data mengenai nilai karakter siswa antara siklus I dan siklus II yang dilihat dari kategori BT (Belum Terlihat), kategori MT (Mulai Terlihat), kategori MB (Mulai Berkembang), dan kategori MK (Mulai Kebiasaan/Membudaya), dapat dilihat pada tabel 25, dan grafik berikut ini.

Tabel 25. Analisis Perbandingan Nilai Karakter Siswa Siklus I dan Siklus II

No Kategori Siklus I Siklus II Peningkatan

1 BT (Belum Terlihat) 8% 0% -8%

2 MT (Mulai Terlihat) 38% 26% -12%

3 MB (Mulai Berkembang) 38% 55% 17%

4 MK (Mulai Membudaya) 16% 19% 3%

Peningkatan Nilai Karakter 20%

Gambar 14. Grafik Analisis Perbandingan Nilai Karakter Siswa

Siklus I dan Siklus II 0 10 20 30 40 BT MT MB MK Siklus I BT MT MB MK Siklus II Kategori dlm % Kategori dlm %

commit to user

Analisis perbandingan hasil belajar kognitif siswa, berdasarkan ketuntasan belajar antara sebelum pelaksanaan tindakan atau awal, siklus I, dan siklus II yang diperoleh dari tes tertulis dapat dilihat tabel 26 dan grafik berikut ini.

Tabel 26. Analisis Perbandingan Hasil Belajar Kognitif Siswa Sebelum Tindakan dan Setelah diberi Tindakan

No Ketuntasan Belajar Pra Siklus Siklus I Siklus II

1 Tuntas 69% 83% 97%

2 Rata-Rata Klasikal 72.48 75.52 77.72

Gambar 15. Grafik Analisis Perbandingan Hasil Belajar Kognitif Siswa Sebelum Tindakan dan Setelah Tindakan.

Berdasarkan tabel 25 di atas diketahui bahwa hasil belajar siswa atau prestasi dengan penerapan model pembelajaran kontekstual (contextual

teaching and learning) mengalami peningkatan. Ketuntasan belajar siswa

sebelum tindakan ialah 69%, pada siklus I menjadi 83% sehingga terjadi peningkatan 14%, dan pada siklus II menjadi 97% sehingga terjadi peningkatan 14%. Kemudian rerata klasikal hasil belajar sebelum tindakan ialah 72.48, pada siklus I meningkat sebesar 3,40 sehingga menjadi 75,52,

0 20 40 60 80 100

Pra Siklus Siklus I Siklus II

Tuntas dlm % Rerata Nilai

commit to user

dan setelah siklus II mengalami peningkatan sebesar 3,20 sehingga menjadi 77.72.

Dari data di atas diketahui bahwa hasil belajar siswa sebelum diberi tindakan dan setelah diberi tindakan mengalami peningkatan. Hal ini terlihat pada tabel 23 di atas, sebelum pelaksanaan tindakan rerata klasikalnya 72,48, meningkat pada siklus I menjadi 75,52, dan pada siklus II meningkat menjadi 77.72, sehingga indikator kinerja tercapai.

D. Pembahasan

1) Penerapan Model Kontekstual untuk Meningkatkan Nilai Karakter Dalam Pembelajaran Sejarah

Belajar merupakan proses aktif, guna menyikapi terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu. Belajar merupakan suatu proses yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan melalui berbagai pengalaman. Belajar adalah suatu proses melihat, mengamati, memahami obyek yang dipelajari. Belajar terjadi akibat adanya pengkondisian lingkungan yang diikuti dengan adanya penguatan. Belajar juga terjadi karena adanya usaha yang bertujuan, eksploratif, imajinatif dan kreatif. Saiful BD & A Zain (1996), belajar adalah sebagai suatu sistem, belajar mengajar meliputi suatu komponen antara lain : tujuan, bahan ajar, siswa, guru, metode, lingkungan, situasi dan kondisi serta sistem evaluasi. Agar tujuan tercapai semua komponen harus diorganisir sehingga terjadi kerjasama antar komponen. Lebih lanjut Menurut Lickona (1995) terdapat sepuluh kebajikan (virtues)

commit to user

yang membentuk karakter kuat seseorang, yaitu : kebijaksanaan (wisdom), keadilan (justice), keteguhan (fortitude), kontrol diri (self-control), cinta dan kasih sayang (love), perilaku positif (positive attitude), kerja keras (hard work) dan kemampuan mengembangkan potensi (resourcefulness), Integritas (integrity), rasa terimakasih (gratitude) dan kerendahan hati (humility).

Selain itu belajar juga memerlukan suatu model agar bisa tepat sasaran, model pembelajaran konvensional yang sebagian besar masih digunakan oleh guru selama ini kurang mampu memberdayakan siswa untuk aktif, kreatif, inovatif, bertanya, dan berpendapat, sehingga terasa kurang menyenangkan. Penerapan metode konvensional merupakan salah satu beberapa penyebab pembelajarran Sejarah di SMA Negeri 1 Sukodono masih belum tercapai salah satunya yang disampaikan guru masih lebih bersifat teacher oriented yaitu berorientasi pada guru menyampaikan materi ilmu, bukan berorientasi atau berpusat pada kepentingan siswa. Kondisi pembelajaran semacam ini harus segera diubah agar pembelajaran dapat memberdayakan siswa untuk aktif, kreatif dan inovatif. Permaslahan-permasalahan tersebut akan menjadi perhatian nantinya pada pelaksanaan siklus-siklus selanjutnya. Selain itu penggunaan metode ceramah akan susah menggali potensi potensi siswa, guru hanya sebatas menyelesaikan materi yang menjadi target dalam kurikulum. Seakan akan belajar hanya mengejar terget pengetahuan saja.

Permasalahan permasalahan sekolah di pinggiran kiranya juga menjadi perhatian dalam pembalajaran berikutnya. Secara jasmaniah siswa

commit to user

SMAN 1 sukodono berasal dari daerah daerah tandus dengan dengan jarak ke sekolah yang cukup jauh akan menjadi pertimbangan juga. Kesehatan, asupan gizi dari keluarga tentunya akan juga mendukung terjadinya proses pembelajaran yang baik. Selain itu faktor psikologis juga akan menjadi pertimbangan tersendiri nantinya, intelegensi, perhatian, minat, bakat kematangan dan kelelahan akan menjadi faktor kegagalan juga dalam pembelajaran. Faktor keluarga, sarana prasarana pembelajaran di sekolah, serta faktor lingkungan siswa.

Untuk menghadapi segala permasalahan diatas ada satu model yang bisa memberikan dampak perubahan pada siswa, seperti yang dilakukan oleh penelitian yang dilaksanakan oleh Tasrif Rantenai (2007), penelitian mengenai peningkatan prestasi belajar siswa pada pelajaran Sejarah dengan menggunakan model pembelajaran kontekstual dalam kurikulum berbasis kompetensi memiliki tujuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata pelajaran sejarah, meningkatkan minat belajar (antusias), kemampuan bertanya, mengemukakan pendapat siswa serta meningkatkan ketrampilan guru dalam mengembangkan metode dan media pembelajaran yang dapat digunakan dalam mata pelajaran sejarah di kelas XI IPS, metode penelitian yang digunakan adalah metode Penelitian Tindakan Kelas (PTK).

Dari penelitian tersebut ternyata dapat memberi dampak perubahan yang positif pada siswa. Model pembelajaran berbasis kontekstual dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dapat meningkatkan antusias siswa, ketrampilan guru dalam pengembangan model pembelajaran

commit to user

berbasis kontekstual, serta pengalaman belajar siswa. Hal ini ditunjukan dengan hasil dari pembelajaran pada Tahap Siklus I dengan Siklus II ada peningkatan antusias belajar siswa dari 99,41% menjadi 99,85% berarti naik 0.2%. selanjutnya ketrampilan guru dari Siklus I rata-rata 75,91%, kemudian pada Siklus II menjadi 80,5%, jadi ada peningkatan 4,59%. Pengalaman belajar siswa dari pernyataan sikap siswa juga menunjukan rata-rata 95,73%. Dengan demikian kualitas pembelajaran sejarah melalui Model Pembelajaran Berbasis Kontekstual sangat baik dilakukan. Hal senada juga dilakukan oleh Djoko Sarwidji (2008), penelitian yang menggunakan Pendekatan pembelajaran konvensional cenderung menimbulkan siswa pasif dan prestasi rendah. Model Pembelajaran CTL sebagai PAIKEM dapat diterapkan di kelas VIIC SMP Negeri 1 Mojosongo Boyolali tahun pembelajaran 2007/2008. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) merupakan sarana untuk meneliti, menyempurnakan dan mengevaluasi pembelajaran, dilakukan dengan 4 tahap, yaitu perencanaan, implementasi, observasi dan refleksi. Subyek penelitian adalah siswa kelas VIIC SMP Negeri 1 Mojosongo Boyolali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan model pembelajaran Kontekstual dilaksanakan secara kolaborasi, pada siklus pertama pertemuan ke-1 dan 2 menunjukkan aktivitas guru termasuk kategori cukup. Siklus ke dua pertemuan ke-1 dalam kategori kuat dan pada pertemuan ke-2 menunjukkan kategori sangat kuat Aktivitas siswa dalam kelompok yang meliputi berada dalam tugas,memberi kontribusi dan menghargai pendapat teman menunjukkan

commit to user

peningkatan. Hal ini juga diperkuat lagi oleh Johnson Elaine B (2012) bahwa proses pendidikan yang bertujuan menolong para siswa melihat makna di dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subyek-subyek akademik dengan konteks dalam kehidupan keseharian mereka. Untuk mencapai tujuan ini, sistem tersebut meliputi delapan komponen berikut : membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna, melakukan pekerjaan yang berarti, melakukan pembelajaran yang diatur sendiri, melakukan kerja sama, berfikir kritis dan kreatif, membantu individu untuk tumbuh dan berkembang, mencapai standar yang tinggi, dan menggunakan penilaian autentik. Dari pendapat pakar pendidikan di atas tentunya guru dituntut untuk bisa melakukan hal tersebut.

Dalam hal peningkatan nilai karakter pada penelitian ini, ada 8 dari 18 nilai karakter yang menjadi penekanan indikator, yaitu : Disiplin, Demokratis rasa ingin tahu, menghargai prestasi, jujur, kerja keras, cinta tanah air dan tanggungjawab, menjadi prioritas utama. Dari data data yang diperoleh, ada peningkatan nilai pada setiap kegiatan siklus. dari 29 siswa kelas XI IPA 1, SMA Negeri 1 Sukodono, siswa yang nilai karakternya BT(Belum Terlihat) ada 12 atau 40%, MT (Mulai terlihat) ada 12 atau 41%, MB (Mulai Berkembang) ada 4 atau 15%, dan MK (Mulai Kebiasaan/Membudaya) hanya ada 1 siswa atau 4%. Pada pengamatan pra siklus diatas nampak sekali bahwa nilai nilai karakter siswa belum dapat diungkap secara maksimal. Pada siklus I kalau dilihat dari keterlihatan pada

commit to user

masing masing kategori pada indikator yang akan dicapai, dari 29 siswa Kelas XI IPA 1, di mana ada 2 siswa atau 8% niilai karakternya masih BT (Belum Terlihat), 11 siswa atau 38% nilai karakternya masih MT (Mulai Terlihat), 11 siswa atau 38% Nilai karakternya sudah MB (Mulai Berkembang), dan sudah ada 5 siswa atau 16% yang nilai karakternya sudah MK (Mulai Kebiasaan/membudaya). Sedangkan pada siklus II kalau dilihat dari keterlihatan pada masing masing kategori pada indikator yang akan dicapai, dari 29 siswa Kelas XI IPA 1, di mana ada 0 siswa atau 0% niilai karakternya masih BT (Belum Terlihat), 7 siswa atau 26% nilai karakternya masih MT (Mulai Terlihat), 16 siswa atau 55% Nilai karakternya sudah MB (Mulai Berkembang), dan sudah ada 6 siswa atau 19% yang nilai karakternya sudah MK (Mulai Kebiasaan/membudaya).

Peningkatan nilai karaker belajar siswa yang menerapkan indikator delapan elemen model pembelajaran kontekstual juga diasumsikan siswa mempunyai tingkat keaktifan yang lebih di dalam pembelajaran dibandingkan dengan keaktifan guru. Berkurangnya porsi ceramah yang digunakan guru, untuk merangsang siswa untuk berfikir. Dengan demikian siswa memperoleh pengalaman sendiri setelah melaksanakan pembelajaran. Secara klasikal peningkatan indikator nilai karakter pada siklus II sudah memnuhi standar yang ditetapkan pada indikator keberhasilan di atas. Untuk nilai karakter apabila siswa dapat memenuhi minimal 72% dari total skor nilai yang diperoleh 23. Sedangkan secara klasikal minimal harus 70% harus sudah tercapai. Di dalam siklus II ini hanya terdapat 2 siswa yang

commit to user

masih memiliki nilai BT. Satu siswa pada nilai kejujuran dan satu siswa terdapat pada indikator kerja keras. Karena telah mencapai target indikator keberhasilan maka penulis hanya melakukan penelitian pada siklus II, walaupun kalau dilihat dari nilai angkanya belum memuaskan tetapi untuk tingkatan SMA di tingkat kecamatan dengan berbagai macam permasalahnnya penulis anggap sudah berhasil.

Pendidikan karakter bangsa yang diterapkan di SMA Negeri 1 Sukodono merupakan pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam memberikan keputusan baik-buruk, mempertahankan yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati, seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang N0. 20 Tentang Sistem Pendidikan di Indonesia. Sehubungan dengan hakekat tersebut, pendidikan budaya dan karakter bangsa di SMA berfungsi sebagai (1) Pengembangan potensi, pendidikan budaya dan karakter bangsa berfungsi mengembangkan potensi dasar peserta didik agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik; (2) perbaikan generasi, pendidikan budaya dan karakter bangsa memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur untuk menjadi bangsa yang bermartabat ; dan (3) penyaring budaya. Pendidikan budaya dan karakter bangsa menyaring budaya yang negatif dan menyerap budaya yang lebih sesuai dengan karakter bangsa, untuk meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia. Tujuan pendidikan budaya dan karakter bangsa di SMA pada intinya adalah

commit to user

untuk mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warga negara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa, mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religious, menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa, mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan, dan mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity).

Pendidikan karakter merupakan upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan. Kemudian nilai-nilai tersebut terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.

Pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa terintegrasi pada setiap mata pelajaran, demikian juga pada bidang studi sejarah. Pengembangan nilai karakter dimulai dengan melakukan pemetaan atau mengidentifikasi nilai-nilai karakter dalam SKL mata pelajaran, tujuan, SK, dan KD yang sesuai pada setiap mata pelajaran. Selanjutnya guru perlu

commit to user

memasukkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa ke dalam Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Pengembangan nilai-nilai karakter melalui pembelajaran dilakukan sebagai berikut : mengkaji SK dan KD pada Standar Isi (SI) untuk mengidentifikasi apakah nilai-nilai budaya dan karakter bangsa sudah tercakup di dalamnya, melakukan pemetaan yang memperlihatkan keterkaitan antara SKL mata pelajaran, tujuan mata pelajaran, SK dan KD dengan nilai karakter, mencantumkankan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa dalam silabus, mencantumkan nilai-nilai-nilai-nilai karakter yang tertera pada silabus ke dalam RPP, menentukan indikator pencapaian karakter dan mengembangkan instrumen penilaian, melaksanakan pembelajaran peserta didik secara aktif yang memungkinkan peserta didik memiliki kesempatan melakukan internalisasi nilai-nilai karakter dan menunjukkannya dalam perilaku yang sesuai, dan yang terakhir adalah memberi bantuan kepada peserta didik yang belum menunjukkan internalisasi nilai-nilai karakter dengan menunjukkannya dalam perilaku.

Peningkatan nilai karakter siswa dalam mata pelajaran sejarah dapat dilihat dari keterlihatan siswa dalam indikator perilaku, yaitu penanda yang menunjukkan perilaku peserta didik di kelas dan sekolah yang dapat diamati melalui pengamatan guru ketika seorang peserta didik melakukan suatu tindakan di sekolah, tanya jawab dengan peserta didik lain, jawaban yang diberikan peserta didik terhadap tugas dan pertanyaan guru, serta tulisan peserta didik dalam laporan dan pekerjaan rumah. Sedangkan peningkatan

commit to user

nilai karakter dalam penelitian adalah agar siswa dapat mengembangkan indikator indikatornya.

Dengan menerapkan model pembelajaran kontekstual tentunya siswa dituntut untuk belajar berkomunikasi dengan lingkungannya, kondisi konkrit yang dilihat dan dialami siswa akan berdampak pada munculnya nilai nilai karakter sesuai yang diharapkan.

2) Penerapan Model Pembelajaran Kontektual untuk meningkatkan Prestasi Belajar Sejarah

Seperti penulis kemukakan dalam bab-bab diatas, prestasi belajar merupakan permasalahan yang utama untuk sekolah sekolah pada tingkat kecamatan, akses-skses untuk mencari informasi yang berkaitan dengan sumber belajar dan ketersediaan sumber daya manusia dalam hal ini guru agaknya menjadi permaslahan yang cukup serius. Keterbatasan siswa dan guru menemukan konsep pada kompetensi dasar tertentu juga akan mempengaruhi prestasi belajar. Pada hal di dalam menyampaikan pembelajaran sejarah hendaknya penyajian peristiwa sejarah dimulai dari hal hal yang konkrit yang menjadikan siswa akan terbentuk daya imajinasinya. Berangkat dari tujuan pendidikan nasional bangsa Indonesia yaitu mengembangkan potensi siswa untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia artinya tidak hanya membentuk manusia yang cerdas , namun juga kepribadian dan berkarakter.

commit to user

Pelajaran sejarah di sekolah menurut Moh Ali bertujuan untuk :

Dokumen terkait