• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II STUDI KEPUSTAKAAN

2.2 Landasan Teori

2.2.2 Pragmatik

Stephen C. Levinson (1983) dalam Rahardi (2003: 6) menuturkan pragmatik sebagai studi perihal ilmu bahasa yang mempelajari relasi-relasi antara bahasa dengan konteks tuturannya. Secara lebih lanjut, Yule (2006:3) berpendapat pula dalam teori yang beliau cetuskan pragmatik adalah ilmu yang mempelajari tentang makna atau maksud yang disampaikan penutur (atau penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (atau pembaca). Berdasarkan pendapat yang dimiliki oleh ahli diatas dapat diartikan bahwa pragmatik yakni cabang ilmu lingustik yang mempelajari hubungan antara maksud dari suatu tuturan. Begitu pula melalui pendapatnya, Rahardi (2003:15) menuturkan pragmatik secara lebih jelas dan mendalam yakni pragmatik merupakan ilmu bahasa yang mempelajari pemakaian dan penggunaan bahasa, yang dasarnya selalu harus ditentukan oleh konteks situasi tutur di dalam masyarakat dan wahana kebudayaan yang mewadahi serta melatarbelakanginya.

Melihat dari berbagai definisi pragmatik menurut beberapa pakar, peneliti menarik kesimpulan bahwa pragmatik merupakan ilmu bahasa yang mempelajari atau mengkaji unsur-unsur diluar hal-hal kebahasaan (maksud atau makna).

Berkaitan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti yang sekarang, teori pragmatik digunakan sebagai kajian ilmu yang mendasar dalam penelitian ini.

18 2.2.3 Konteks

Menurut Rahardi (2005:51) konteks adalah semua latar belakang pengetahuan yang diasumsikan sama-sama dimiliki oleh penutur dan mitra tutur serta mendukung interpretasi mitra tutur atas apa yang disampaikan oleh penutur dalam proses bertutur. Pendapat yang disampaikan oleh ahli diatas konteks yakni latar belakang suatu pengetahuan yang dimiliki oleh dua pihak yang sedang melakukan komunikasi, baik komunikator dan komunikan dengan tingkat pengetahuan yang sama sehingga komunikasi dapat berjalan dengan baik tanpa adanya kesalahan dalam menafsirkan suatu pertuturan. Kemudian secara lebih lanjut Mulyana (2005:21) mengungkapkan bahwa konteks merupakan situasi atau latar terjadinya suatu komunikasi. Konteks dapat dianggap sebagai sebab dan alasan terjadinya suatu dialog atau pembicaran yang hadir melatarbelakangi peristiwa tutur. Ditambahkan pula oleh Ida Bagus (2015:5) Konteks merupakan

“sesuatu yang ada sebelum dan atau sesudah sebuah kata, frasa, atau bahkan ujaran yang lebih panjang (dari frasa, yaitu klausa, kalimat) atau teks”. Jadi, konteks itu bisa berarti “yang melingkupi”.

Berdasarkan pendapat-pendapat ahli diatas peneliti dapat memahami hal yang dimaksud dengan konteks dan mengambil kesimpulan bahwa konteks merupakan hal-hal yang mendasar dan turut mempengaruhi atau melingkupi suatu pertuturan di dalam masyarakat. Berpatokan dari kesimpulan tersebut konteks hadir melatarbelakangi pertuturan yang terjadi antara penutur dan mitra tutur.

19 2.2.4 Elemen dan Fungsi Konteks Sosial

Dalam tautannya dengan komunikasi, konteks sosial memiliki andil yang dominan dalam sebuah pertuturan. Konteks sosial (Social context) menurut Mey (1993) dalam Rahardi (2003:15) merupakan konteks kebahasaan yang timbul sebagai akibat dari munculnya komunikasi dan interaksi antar anggota masyarakat dengan latar belakang sosial dan budaya yang sangat tertentu sifatnya. Hal yang dimaksudkan Mey dalam definisinya yakni konteks sosial merupakan konteks yang hadir sebagai dampak yang terjadi dari adanya interaksi antar masyarakat yang menimbulkan adanya komunikasi dengan menitikberatkan pada konteks situasi dan konteks budaya yang melatarbelakangi sebuah pertuturan.

Poedjosoedarmo (1985) dalam Baryadi (2015:24) menyatakan, beberapa faktor yang dapat memberikan pengaruh pada penggunaan bahasa disebut konsep memoteknik OOEMAUBICARA, yaitu (1) O1= orang ke satu atau penutur, (2) O2 = orang ke dua atau mitra tutur, (3) E= emosi, (4) M= maksud dan tujuan percakapan, (5) A= adanya O3 dan barang-barang lain disekeliling adegan percakapan, (6) U= urutan tutur, (7) B= bab yang dipercakapkan; pokok pembicaraan, (8) I= instrumen tutur atau sarana tutur, (9) C= citarasa tutur, (10) A= adegan tutur, (11) R= register tutur/ genre, (12) A= aturan atau norma kebahasaan. Dalam penjelasan komponen OOEMAUBICARA oleh ahli diatas, keseluruhan komponen akan di bahas oleh peneliti sebagai berikut :

a. O1 (Orang kesatu atau penutur)

O1 merupakan diri seorang penutur yang dapat dilihat dari latar belakang kehidupan penutur. Hal yang dimaksud penjelasan diatas yakni bersangkutan

20

dengan bagaimana kondisi fisik dari penutur, mental yang dimiliki oleh penutur dan kemahiran berbahasa yang dimiliki penutur itu sendiri. Latar belakang yang dimaksudkan yakni jenis kelamin penutur, asal daerah, strata dalam kelas sosial masyarakat, umur dan profesi yang dimiliki oleh penuntur.

b. O2 (Mitra tutur)

O2 yang dimaksud dalam komponen OOEMAUBICARA ini yakni orang kedua dalam suatu pertuturan. Dalam sebuah interaksi sosial, komunikasi tidak akan terjadi dengan sempurna apabila tidak ada orang kedua. Orang kedua atau mitra tutur dalam sebuah komunikasi dijadikan sebuah subjek untuk memberikan timbal balik pada tuturan yang dilakukan oleh O1.

c. E (Emosi)

Emosi penutur turut memberikan pengaruh yang cukup besar dalam sebuah bentuk pentuturan. Apabila seseorang yang sedang mengalami gugup, marah, akan melontarkan ujaran atau pertuturan yang dapat dikatakan kurang teratur.

Beda halnya dengan seseorang yang sedang merasa tenang dan senang akan mengeluarkan ujaran yang baik atau teratur.

d. M (Maksud atau tujuan percakapan)

Maksud atau tujuan pertuturan turut memberikan pengaruh dalam sebuah pertuturan yang dilakukan oleh seseorang. Maksud penutur memberikan pengaruh dalam pemilihan bahasa, tingkat tutur, ragam, dialek, idiolek, dan pemilihan ungkapan-ungkapan tertentu untuk menunjang maksud yang ingin disampaikan secara lebih jelas, atau pemilihan unsur suprasegmental tertentu.

21 e. A ( Adanya O3 atau orang ke tiga)

Hal yang dimaksud dalam “ adanya O3” yakni kehadiran orang lain pada suatu ujaran. Dalam suatu ujaran, isi dari pembicaran dapat berganti bentuknya dari apa yang seharunya terjadi apabila ada seseorang yang secara tidak sengaja hadir dalam dialog yang dilakukan oleh O1 dan O2. Pergantian bentuk atau pengubahan tersebut terjadi karena ada beberapa alasan yang terjadi, diantaranya karena ingin mengikut sertakan O3 dalam sebuah percakapan, ingin menyembunyikan sesuatu dari O3 dan sebagainya.

f. U (Urutan bicara)

Urutan bicara, berhubungan dengan siapa yang harus memulai pembicaraan terlebih dahulu, dan siapa yang harus berbicara kemudian. Hal seperti ini dalam masyarakat memiliki aturan namun berdasarkan norma dari budaya setempat.

Biasanya dalam masyarakat seseorang yang memiliki strata sosial yang lebih tinggi atau orang yang dianggap dituakan harus berbicara terlebih dahulu.

g. B ( Bab yang akan dibicarakan)

Bab yang dibicarakan mempengaruhi hal apa yang akan dibicarakan dalam sebuah percakapan. Hal ini tidak berarti setiap pokok pembicaraan harus dibahas secara detil tetapi dapat dibahas menggunakan ragam bahasa tertentu. Namun, dalam sebuah percakapan yang memiliki topik pembicaraan tertentu sehingga mengharuskan penggunaan kode-kode dalam berbahasa apabila mereka ingin membicarakan hal itu.

22 h. I (Intrument atau sarana tutur)

Instrument tutur dapat memberikan pengaruh pada bentuk ujaran. Instrument tutur atau sarana tutur merupakan sarana yang digunakan saat menyampaikan tuturan. Misalnya saja, bahasa lisan dan bahasa tulis. Bahasa lisan menggunakan mulut atau disampaikan secara oral (lisan), sedangkan bahasa tulis menggunakan huruf-huruf yang dituliskan dengan alat tulis.

i. C (Citarasa penutur)

Hal yang dimaksud dengan citarasa yakni nada bicara yang secara keseluruhan dapat memberikan pengaruh pada O1 juga berpengaruh pada ragam tutur yang diucapkan oleh O1. Dalam hal ini citra rasa memiliki beberapa ragam bahasa seperti bahasa santai, bahasa formal, dan bahasa indah.

j. A (Adegan tutur)

Adegan tutur berkaitan erat dengan tempat, waktu dan peristiwa yang melatarbelakangi suatu pertuturan. Adegan tutur akan mempengaruhi bentuk-bentuk suatu ujaran. Contoh yang dilihat peneliti dalam komponen Adegan tutur ini dalam kehidupan sehari-hari yakni pada percakapakan di tempat-tempat ibadah, rumah sakit, dan ruang dosen saat mahasiswa sedang melaksanakan konsultasi. Percakapan-percakapan yang terjadi pada tempat-tempat tersebut biasanya tidak banyak bercanda, volume suara tidak terlalu keras, sopan, serius, dan khidmat.

k. R (Register atau bentuk wacana)

Terdapat beberapa bentuk wacana yang telah dimiliki dalam masyarakat seperti surat-menyurat dinas, percakapan dengan menggunakan telepon, pidato, dan

23

masih banyak lagi. Dalam wacana beberapa macam bentuk wacana diatas bentuknya sudah baik dan diketahui oleh banyak masyarakat. Apabila ada seseorang yang melanggar kaidah-kaidah bentuk wacana tersebut, maka masyarakat akan memberikan reaksi yang kurang baik pada penutur.

l. A (Aturan)

Aturan kebahasaan ini berkaitan dengan norma kebahasaan yang dimilliki pada masyarakat. Setiap daerah memiliki norma-norma yang berlaku pada masyarakat. Sebagai contoh struktur pembicaraan yang jelas, tidak menanyakan hal-hal yang bersifat pribadi, dan menghindar kata-kata yang bersifat tabu dapat memberikan penilaian yang baik pada O1 (penutur).

Berdasarkan peristiwa tutur yang terjadi tak terkecuali pada konteks sosial, selain untuk berkomunikasi tetapi juga untuk menyampaikan maksud-maksud tertentu. Hal-hal layaknya gagasan yang ingin disampaikan tetapi tidak diwakilkan menggunakan kata-kata akan dapat diketahui jika memahami pada konteks yang tejadi. Fungsi konteks, pada konteks sosial dibahas sebagai berikut:

a. Memberikan informasi yang jelas.

b. Memberikan informasi situasi dan kondisi peserta tutur.

c. Memberikan informasi sebab terjadinya tuturan.

d. Memberikan informasi tambahan.

Berdasarkan pada teori dari ahli diatas berserta pembahasaan yang telah dituliskan dibawahnya peneliti mengartikan fungsi konteks sosial sebagai penghubung antara pertuturan O1 dan O2 dengan berpatokan pada latarbelakang sosial yang sama. Sehingga dalam sebuah pertuturan partisipan (penutur dan

24

mitra tutur) tidak mengalami kesalahan dalam memahami isi dari sebuah pertuturan, dan membantu dalam ngerti topik pembicaraan secara lebih dalam.

2.2.5 Elemen dan Fungsi Konteks Situasi

Leech (1993) dalam Rahardi (2003:18) mengungkapkan konteks situasi tuturan merupakan aneka macam kemungkinan latar belakang pengetahuan (Background Knowledge) yang muncul dan dimiliki bersama-sama baik oleh penutur maupun mitra tutur, serta aspek-aspek non kebahasaan lainnya yang menyertai, mewadahi, serta melatarbelakangi hadirnya sebuah pertuturan tertentu.

Dalam pendapat yang telah disampaikan oleh ahli diatas, Leech ingin menegaskan bahwa dalam sebuah percakapan kedua belah pihak (penutur dan mitra tutur) telah memiliki latar belakang pengetahuan yang sama. Sehingga dalam pertuturan yang terjadi latar belakang yang sama dapat dijadikan sebagai sarana atau media yang terbentuknya komunikasi yang baik dan pemaknaan maksud dari tuturan.

Halliday dan Hasan (1992) dalam Baryadi (2015:18) menyatakan bahwa konteks situasi adalah lingkungan langsung dimana konteks itu benar-benar berfungsi. Berdasarkan pernyataan ahli diatas konteks situasi yakni merupakan keseluruhan lingkungan dimana teks itu diproduksi baik secara lisan (verbal) maupun secara tulisan (non-verbal).

Hakikat elemen konteks situasi dan jenis-jenisnya dinyataka oleh Leech (1993) dalam Baryadi (2015:31) yakni menggunakan komponen-komponen penentu dalam konteks situasi berbahasa yang dijadikan penentu dalam berbahasa.

25

Berikut penjelasan mengenai komponen-komponen penentu yang terkandung dalam konteks situasional :

a. Penyapa (yang menyapa) dan pesapa (yang disapa)

Penyapa merupakan seseorang atau individu yang melakukan aktivitas sosial yakni menyapa, sedang pesapa merupakan individu yang menerima sapaan dari pesapa. Penyapa dan pesapa merupan individu yang terlibat dalam sebuah komunikasi. Penyapa memilki arti penulis atau pembicara, sedang pesapa merupakan seseorang yang disebut sebagai pendengar atau pembaca.

b. Konteks sebuah tuturan

Konteks sebuah tuturan mecangkup aspek lingkungan fisik dan sosial yang terkait dengan sebuh tuturan. Dalam hal ini latar belakang pengetahuan yang sama berperan karena tingkat latar belakang pengetahuan yang sama dapat membantu penutur dan mitra tutur dalam memahami suatu pertuturan.

c. Tujuan tuturan

Tujuan tuturan merupakan hal-hal yang disampaikan oleh penutur maupun mitra tutur, diantaranya bertanya, meminta, menyuruh, memberitahu dan sebagainya.

dalam hal ini tujuan tuturan dapat diartikan sebagai hal yang ingin disampaikan guna melengkapi proses berkomunikasi.

d. Tuturan sebagai bentuk tindakan atau tindak ujar

Tuturan dapat artikan sebagai aktivitas ujar. Hal yang dimaksud yakni pragmatik memang membahas mengenai hal-hal yang bersifat konkret atau benar-benar terjadi.

26 e. Tuturan sebagai tindak verbal

Hal yang dimaksud tuturan sebagai tindak verbal yakni tuturan muncul karena adanya tindakan yang dilakukan secara verbal (oral) dan secara gramatikal. Hasil dari kegiatan ini yakni berupa kalimat, tetapi apabila dipandang secara pragmatik berupa tuturan yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan mitra tutur.

Setiap tuturan yang terjadi selain untuk menyampaikan atau menerima pesan, tentu memiliki tujuan lain. Hal-hal tersebut dapat ditentukan dari konteks tuturan yang melingkupi percakapan yang disampaikan oleh penutur kepada mitra tutur dan dapat langsung diterima dengan baik tanpa adanya kesalahan dalam memahami pertuturan.

Berdasarkan pembahasan mengenai konteks ini, khususnya konteks situasi akan jelaskan mengenai fungsi yang diperankan oleh konteks situasi. Namun secara linguistik fungsi dipahami sebagai peran sebuah bahasa dalam pertuturan.

Dalam sebuah pertuturan fungsi situasi di tunjukan melalui pemberian penjelasan secara terperinci dalam sebuah pertuturan, memberikan informasi lanjutan, memberikan penegasan dalam sebuah pertuturan agar mitra tutur memahami apa yang dikemukakan oleh penutur, dan memberikan keterangan mengenai keadaan atau kondisi mitra tutur.

2.2.6 Elemen dan Fungsi Konteks Kultural

Halliday (1989:49) menyebutkan bahwa “cultural context is the institusional and idelogical background that give value to the text and constraint it’s interpretation”. Hal tersebut memiliki arti konteks kultural sebagai latar belakang institusional dan idelogis yang memberikan nilai pada tuturan yang

27

harus diinterpretasikan karena menggambarkan kebudayaan tertentu. Sistem nilai dalam masyarakat menggambarkan pola-pola tertentu dari kebudayaan yang ada di dalam masyarakat. Sistem nilai di dalam lingkup masyarkat memiliki andil yang cukup besar. Sistem nilai merupakan hal yang dapat menentukan benar dan salah, serta baik maupun buruk seseorang apabila mentaati norma-norma yang tersedia atau tidak.

Berikutnya Hymes dalam Baryadi (2015:19) merumuskan faktor-faktor mengenai komponen penentu dalam pertuturan yakni SPEAKING. SPEAKING dijelaskan oleh peneliti sebagai seberikut :

a. S ( Setting and Scene)

Hal yang dimaksud Setting yakni latar belakang. Setting atau latar mencangkup suatu tempat dan waktu saat terjadinya sebuah tuturan. Berbeda dengan setting, scene atau suasana merupakan latar suasana yang menunjukan latar psikologis yang mengacu pada pertuturan yang dilakukan oleh penutur dan mitra tutur.

b. P ( Participant)

Partisipan menunjuk pada pihak-pihak diluar penutur yang terlibat dalam sebuah percakapan. Hal-hal tersebut dapat diartikan sebagai pendengar, pesapa, dan penerima.

c. Ends

Hal yang dimaksud ends adalah tujuan penutur dalam kegiatan bertutur.

d. Act of squence

Act of Squence mencangkup pada bentuk pesan dan isi pesan dalam sebuah pertuturan. Bentuk ujaran dimaksudkan dalam pertuturan yakni berkenaan

28

dengan kata-kata yang dipilih serta digunakan dalam bertutur. Isi ujaran yakni berkenaan pula dengan hubungan yang terkait antara apa yang dikatakan dengan topik yang sedang dibicarakan.

e. K (Key)

Menitik beratkan pada nada, cara, dan perasaan saat sedang bertutur, di mana suatu pesan disampaikan. Penyampaian pertuturan tersebut dapat menggunakan perasaan senang, nada yang tinggi atau halus, dengan tenang ataupun terbata-bata, sombong, mengejek dan sebagainya, maupun dapat ditunjukan dengan menggunakan bahasa tubuh dan bahasa isyarat lainnya.

f. I (Instrumentalities)

Berkaitan dengan sarana, media untuk menyampaikan suatu pertuturan baik lisan dan tulisan. Mengacu pada penggunaan jalur bahasa yang tepat dan juga mengacu pada kode-kode yang akan digunakan.

g. N ( Norms)

Bertumpu pada norma-norma yang berlaku pada pertuturan guna dapat berinteraksi dan dapat menaati kaidah-kaidah yang terkandung didalamnya.

Apabila dalam seseorrang penutur tidak mengindahkan kaidah-kaidah tersebut maka masyarakat akan memberikan penilian negatif pada diri penutur.

h. G (Genres)

Genres diartikan sebagai macam penyampaian pertuturan yang dilakukan oleh penutur baik lisan maupun tertulis. Contoh genres dalam pertuturan yakni disampaikan melalui narasi, puisi, doa, ceramah, pidato, dan sebagainya.

29

Berdasarkan pembahasan mengenai konteks kultural, akan dijelaskan pula fungsi dari konteks kultural yang terdapat dalam pertuturan antara dosen pembimbing dan mahasiswa bimbingannya di Prodi PBSI FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Tahun Akademik 2017/2018. Dalam penelitian ini fungsi konteks kultural yang dapat ditemukan antara lain, memberikan keterangan situasi dan kondisi perserta tutur, memberi informasi atau keterangan pengetahuan yang dimiliki oleh peserta tutur (penutur dan mitra tutur), memberikan keterangan atau informasi mengenai awalmula terjadinya pertuturan dan pengetahuan peserta tutur, memberikan keterangan yang bersifat teratur pada sebuah tuturan, memberikan keterangan atau informasi sebab tuturan yang terjadi atau sebelum peristiwa tutur terjadi, kemudian memberi informasi tambahan mengenai peserta tutur.

2.2.7 Elemen dan Fungsi Konteks Sosietal

Mey dalam Rahardi (2003:15) mengutarakan pendapatnya mengenai konteks sosietal yakni, konteks yang faktor penentunya adalah kedudukan sosial relatif (relative social rank) setiap anggota masyarakat di dalam institusi-institusi yang ada pada masyarakat dan lingkungan sosial tertentu. Konteks sosietal dapat terbentuk karena adanya hubungan vertikal, sebagai contoh yakni hubungan dalam komunikasi antara penutur dan mitra tutur dengan faktor penentu atasan dan bawahan.

Konteks sosietal, timbul dari adanya kekuatan (power) yang berasal dari

“rasa memiliki” kedudukan seseorang. Salah satu contoh yakni pertuturan antara dosen pembimbing dengan mahasiswa bimbingannya. Dosen memiliki kekuasaan

30

untuk memberikan perintah pada mahasiswa merevisi skripsi hasil tulisannya agar penelitiannya nantinya menjadi lebih baik.

Poedjosoedarmo dalam Baryadi (2015:24) menyatakan, beberapa faktor yang dapat memberikan pengaruh pada penggunaan bahasa disebut konsep memoteknik OOEMAUBICARA, yaitu (1) O1= orang ke satu atau penutur, (2) O2 = orang ke dua atau mitra tutur, (3) E= emosi, (4) M= maksud dan tujuan percakapan, (5) A= adanya O3 dan barang-barang lain disekeliling adegan percakapan, (6) U= urutan tutur, (7) B= bab yang dipercakapkan; pokok pembicaraan, (8) I= instrumen tutur atau sarana tutur, (9) C= citarasa tutur, (10) A= adegan tutur, (11) R= register tutur/ genre, (12) A= aturan atau norma kebahasaan. Dalam penjelasan komponen OOEMAUBICARA oleh ahli diatas, keseluruhan komponen akan di bahas oleh peneliti sebagai berikut :

a. O1 (Orang kesatu atau penutur)

O1 merupakan diri seorang penutur yang dapat dilihat dari dan latar belakang kehidupan penutur. Hal yang dimaksud penjelasan diatas yakni bersangkutan dengan bagaimana kondisi fisik dari penutur, mental yang dimiliki oleh penutur dan kemahiran berbahasa yang dimiliki penutur itu sendiri. Latar belakang yang dimaksudkan dalam yakni jenis kelamin penutur, asal daerah, strata dalam kelas masyarakat, umur dan profesi yang dimiliki oleh penuntur.

b. O2 (Mitra tutur)

O2 yang dimaksud dalam komponen OOEMAUBICARA ini yakni orang kedua dalam suatu pertuturan. Dalam sebuah interaksi sosial, komunikasi tidak akan terjadi dengan sempurna apabila tidak ada orang kedua. Orang kedua atau mitra

31

tutur dalam sebuah komunikasi dijadikan sebuah subjek untuk memberikan timbal balik pada tuturan yang dilakukan oleh O1.

c. E (Emosi)

Emosi penutur turut memberikan pengaruh yang cukup besar dalam sebuah bentuk pentuturan. Apabila seseorang yang sedang mengalami gugup, marah, akan melontarkan ujaran atau petuturan yang dapat dikatakan kurang teratur.

Beda halnya dengan seseorang yang sedang merasa tenang dan senang akan mengeluarkan ujaran yang baik atau teratur.

d. M (Maksud atau tujuan percakapan)

Maksud atau tujuan pertuturan turut memberikan pengaruh dalam sebuah pertuturan yang dilakukan oleh seseorang. Maksud penutur memberikan pengaruh dalam pemilihan bahasa, tingkat tutur, ragam, dialek, idiolek, dan pemilihan ungkapan-ungkapan tertentu untuk menunjang maksud yang ingin disampaikan secara lebih jelas, atau pemilihan unsur suprasegmental tertentu.

e. A ( Adanya O3 atau orang ke tiga)

Hal yang dimaksud dalam “ adanya O3” yakni kehadiran orang lain pada suatu ujaran. Dalam suatu ujaran, isi dari pembicaran dapat berganti bentuknya dari apa yang seharunya terjadi apabila ada seseorang yang secara tidak sengaja hadir dalam dialog yang dilakukan oleh O1 dan O2. Pergantian bentuk atau pengubahan tersebut terjadi karena ada beberapa alasan yang terjadi, diantaranya karena ingin mengikut sertakan O3 dalam sebuah percakapan, ingin menyembunyikan sesuatu dari O3 dan sebagainya.

32 f. U (Urutan bicara)

Urutan bicara, berhubungan dengan siapa yang harus memulai pembicaraan terlebih dahulu, dan siapa yang harus berbicara kemudian. Hal seperti ini dalam masyarakat memiliki aturan namun berdasarkan norma dari budaya setempat.

Biasanya dalam masyarakat seseorang yang memiliki strata sosial yang lebih tinggi atau orang yang dianggap dituakan harus berbicara terlebih dahulu.

g. B ( Bab yang akan dibicarakan)

Bab yang dibicarakan mempengaruhi hal apa yang akan dibicarakan dalam sebuah percakapan. Hal ini tidak berarti setiap pokok pembicaraan harus dibahas secara detil tetapi dapat dibahas menggunakan ragam bahasa tertentu. Namun, dalam sebuah percakapan yang memiliki topik pembicaraan tertentu sehingga mengharuskan penggunaan kode-kode dalam berbahasa apabila mereka ingin membicarakan hal itu.

h. I (Intrument atau sarana tutur)

Instrument tutur dapat memberikan pengaruh pada bentuk ujaran. Instrument tutur atau sarana tutur merupakan sarana yang digunakan saat menyampaikan tuturan. Misalnya saja, bahasa lisan dan bahasa tulis. Bahasa lisan menggunakan mulut atau disampaikan secara oral (lisan), sedangkan bahasa tulis menggunakan huruf-huruf yang dituliskan dengan alat tulis.

i. C (Citarasa penutur)

Hal yang dimaksud dengan citarasa yakni nada bicara yang secara keseluruhan dapat memberikan pengaruh pada O1 juga berpengaruh pada ragam tutur yang

33

diucapkan oleh O1. Dalam hal ini citra rasa memiliki beberapa ragam bahasa seperti bahasa santai, bahasa formal, dan bahasa indah.

j. A (Adegan tutur)

Adegan tutur berkaitan erat dengan tempat, waktu dan peristiwa yang melatarbelakangi suatu pertuturan. Adegan tutur akan mempengaruhi bentuk-bentuk suatu ujaran. Contoh yang dilihat peneliti dalam komponen Adegan tutur ini dalam kehidupan sehari-hari yakni pada percakapakan di tempat-tempat ibadah, rumah sakit, dan ruang dosen saat mahasiswa sedang melaksanakan konsultasi. Percakapan-percakapan yang terjadi pada tempat-tempat tersebut biasanya tidak banyak bercanda, volume suara tidak terlalu keras, sopan, serius, dan khidmat.

k. R (Register atau bentuk wacana)

Terdapat beberapa bentuk wacana yang telah dimiliki dalam masyarakat seperti surat-menyurat dinas, percakapan dengan menggunakan telepon, pidato, dan masih banyak lagi. Dalam wacana beberapa macam bentuk wacana diatas bentuknya sudah baik dan diketahui oleh banyak masyarakat. Apabila ada seseorang yang melanggar kaidah-kaidah bentuk wacana tersebut, maka masyarakat akan memberikan reaksi yang kurang baik pada penutur.

l. A (Aturan)

Aturan kebahasaan ini berkaitan dengan norma kebahasaan yang dimilliki pada masyarakat. Setiap daerah memiliki norma-norma yang berlaku pada masyarakat.

Sebagai contoh struktur pembicaraan yang jelas, tapi pembicaraan, tidak

34

menanyakan hal-hal yang bersifat pribadi, dan menghindar kata-kata yang bersifat tabu dapat memberikan penilaian yang baik pada O1 (penutur).

menanyakan hal-hal yang bersifat pribadi, dan menghindar kata-kata yang bersifat tabu dapat memberikan penilaian yang baik pada O1 (penutur).

Dokumen terkait