• Tidak ada hasil yang ditemukan

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Dalam dokumen Tugas Hukum dan Etika Bisnis Ferly Gita (Halaman 26-40)

Praktek monopoli adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Pada dasarnya, ada 4 unsur yang terdapat dalam praktek monopoli:

1. Adanya pemusatan kekuatan ekonomi

2. Pemusatan kekuatan tersebut berada pada satu atau lebih pelaku usaha ekonomi 3. Pemusatan kekuatan ekonomi tersebut menimbulkan persaingan usaha tidak sehat 4. Pemusatan kekuatan ekonomi tersebut merugikan kepentingan umum.

Dalam UU No. 5 Tahun 1999 dijelaskan bahwa selama suatu pemusatan kekuatan ekonomi tidak menyebabkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat, maka hal itu tidak dapat dikatakan telah terjadi suatu praktek monopoli, yang melanggar atau bertentangan dengan undang-undang ini, meskipun monopoli itu sendiri secara nyata terjadi (dalam bentuk penguasaan produksi dan/ atau pemasaran barang dan/ atau jasa tertentu). Jadi, sebenarnya monopoli tidak dilarang, yang dilarang adalah praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa salah satu prasyarat pokok dapat dikatakan telah terjadi suatu pemusatan ekonomi adalah terjadinya penguasaan nyata dari suatu pasar bersangkutan sehingga harga dari barang atu jasa yang diperdagangkan tidak lagi menggikuti hukum ekonomi mengenai permintaan dan penjualan, melainkan semata-mata ditentukan oleh satu atau lebih pelaku ekonomi yang menguasai pasar tersebut.

D. Perjanjian-Perjanjian yang Dilarang

Pengertian Perjanjian

Dalam UU, perjanjian didefinisikan sebagai suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis. Jika dibandingkan definisi UU dengan ketentuan pasal 1313 KUHP, yang menjelaskan perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Dan sebagai konsekuensinya perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak tidak dapat ditarik

kembali oleh salah satu pihak dalam perjanjian tersebut, kecuali penarikan atau pencabutan tersebut juga disepakati secara bersama oleh kedua belah pihak.

Sahnya Perjanjian

Ketentuan pasal 1320 KUHP mensyaratkan dipenuhinya 4 syarat untuk sah nya suatu perjanjian:

1. Adanya kesepakatan bebas dari para pihak yang berjanji

2. Adanya kecakapan untuk bertindak dari para pihak yang berjanji 3. Adanya suatu obyek yang diperjanjikan

4. Bahwa perjanjian tersebut adalah sesuatu yang diperkenankan, baik oleh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk kebiasan dan kepatuhan hukum, serta kesusilaan dan ketertiban umum yang berlaku pada waktu perjanjian tersebut dibuat atau dilaksanakan

Dua persyaratan (pertama dan kedua) dalam ilmu hukum disebut dengan syarat subyektif, karena kedua hal tersebut berhubungan langsung dengan subyek hukum yang melakukan perbuatan hukum perjanjian tersebut. Selanjutnya dua persyaratan terakhir (ketiga dan keempat) dalam ilmu hukum lebih dikenal dengan syarat obyektif.

Perjanjian yang Dilarang

Untuk mencegah terjadinya monopoli atau persaingan usaha tidak sehat, undang-undang melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian tertentu dengan pelaku usaha lainnya. Larangan tersebut merupakan larangan terhadap keabsahan obyek perjanjian. Dalam undang-undang obyek perjanjian yang dilarang untuk dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya adalah sebagai berikut:

1. Melakukan penguasaan produksi atau pemasaran barang atau jasa yang dapat mengakibatkan praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat (pasal 4 ayat (1)) 2. Menetapkan harga tertentu atas suatu barang atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen

atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama (pasal 5 ayat (1)), dengan pengecualian:

a. Perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan

3. Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang atau jasa yang sama (pasal 6)

4. Menetapkan harga dibawah pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat (pasal 7)

5. Perjanjian yang memuat persyaratan bahwa penerima barang atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan jasa yang telah diterima (pasal 8)

6. Perjanjian yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap suatu barang dan jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (pasal 9)

7. Perjanjian yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri (pasal 10 ayat (1))

8. Perjanjian untuk menolak menjual setiap barang dan jasa dari pelaku usaha lain, yang mengakibatkan:

a.Kerugian atau dapat diduga menerbitkan kerugian bagi pelaku usaha lain

b.Pembatasan bagi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang atau jasa dari pasar bersangkutan (pasal 10 ayat (2))

9. Perjanjian yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan pemasaran suatu barang atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat (pasal 11)

10.Perjanjian untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar (pasal 12)

11.Perjanjian yang bertujuan untuk bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan barang atau jasa tertentu (pasal 13 ayat (1))

12.Perjanjian yang bertujuan untuk menguasai sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang atau jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan merugikan masyarakat (pasal 14)

13.Perjanjian yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan pada suatu tempat tertentu (pasal 15 ayat (1))

14.Perjanjian yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang atau jasa tetentu harus bersedia untuk membelibarang atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok (pasal 15 ayat (2))

15.Perjanjian mengenai pemberian harga atau potongan harga tertentu atas barang atau jasa (pasal 15 ayat (3))

16.Perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat (pasal 16)

Pada prinsipnya obyek yang dilarang bukanlah suatu obyek larangan yang bersifat mutlak dan tidak dapat ditawar menawar kembali. Suatu persyaratan “yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat” merupakan syarat pokok batalnya perjanjian tersebut.

Monopsoni merupakan istilah untuk monopoli dalam pembelian yang kenyatannya dapat menjelma dalam berbagai derivatif sampai beberapa strata yang membawa dosa masing-masing dalam strata. Dalam literatur, monopoli dilarang karena mengandung beberapa efek negatif yang merugikan antara lain:

a. Terjadinya peningkatan harga suatu produk sebagai akibat tidak adanya kompetisi dan persaingan yang bebas. Harga yang tinggi akan menyebabkan inflasi yang merugikan masyarakat luas.

b. Adanya keuntungan (profit) diatas kewajaran yang normal.

c. Terjadi eksploitasi terhadap konsumen karena tidak adanya hak pilih konsumen atas produk. Eksploitasi juga akan menimpa karyawan dan buruh yang bekerja, dengan menetapkan gaji dan upah yang sewenang-wenang tanpa memperhatikan ketentuan yang berlaku.

d. Terjadi ketidakekonomisan dan ketidakefisienan yang akan dibebankan kepada konsumen dalam menghasilkan suatu produk karena perusahaan monopoli cenderung tidak beroperasi pada average cost yang minimum.

e. Adanya entry barrier dimana perusahaan lain tidak dapat masuk ke dalam bidang usaha usaha perusahaan monopoli tersebut karena penguasaan pangsa pasarnya yang besar. f. Pendapatan menjadi tidak merata kerena sumber dana dan modal akan tersedot ke dalam

Menurut UU No.5/1999 perjanjian yang dilarang adalah sebagai berikut: a. Oligopoli

Adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit, sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar.

b. Penetapan harga

Dalam rangka penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, antara lain : a) Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan

atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama

b) Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama

c) Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar

d) Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah daripada harga yang telah dijanjikan.

c. Pembagian wilayah

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.

d. Pemboikotan

Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.

e. Kartel

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.

f. Trust

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan

tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa.

g. Oligopsoni

Keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar komoditas.

h. Integrasi vertikal

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengelolaan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.

i. Perjanjian tertutup

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.

j. Perjanjian dengan pihak luar negeri

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

E. Kegiatan-Kegiatan yang Dilarang

Undang-undang anti monopoli memberikan satu bab khusus yang mengatur kegiatan yang dilarang, yaitu Bab IV yang terdiri dari 8 pasal. Kegiatan yang dilarang dapat kita golongkan menjadi 4 kegiatan yaitu :

1. Monopoli, yang diatur dalam pasal 17 2. Monopsoni, yang diatur dalam pasal 18

3. Penguasaan pasar, yang diatur dalam pasal 19 sampai dengan pasal 21 4. Persekongkolan, yang diatur dalam pasal 22 sampai dengan pasal 24 Secara lengkapnya kegiatan yang dilarang tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :

1. Kegiatan yang dilakukan oleh pelaku usaha yang bertujuan untuk memperoleh penguasaan atas produksi yang dan atau pemasaran barang dan jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat Parameter yang dijadikan tolak ukur dalam undang-undang tersebut adalah :

a. Barang atau jasa yang bersangkutan belum ada substansinya

b. Mengakibatkan pelaku usaha lain (pelaku usaha yang mempunyai kemampuan yang signifikan dalam pasar yang bersangkutan)

c. Satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

2. Kegiatan untuk menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Parameternya yang dijadikan tolak ukur dalam undang-undang tersebut adalah : Apabila satupelaku usaha atau satu kelompok usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

3. Satu atau lebih kegiatan yang dilakukan, baik oleh satu pelaku usaha sendiri maupun bersama-sama dengan pelaku usaha lainnya yang bertujuan untuk :

a. Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan dengan cara yang tidak wajar atau dengan alasan non-ekonomi, misalnya karena perbedaan suku, ras, status sosial dan lain-lain.

b. Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu.

c. Membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan. d. Melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.

4. Melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan melakukan cara jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan.

5. Melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa untuk memperoleh biaya faktor produksi yang lebih rendah dari seharusnya

6. Melakukan persekongkolan dengan pihak lain untuk mengatur dan menentukan pemenang tender.

7. Melakukan persekongkolan dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan.

8. Melakukan persekongkolan dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi kurang baik dari kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.

Untuk kegiatan yang disebut dalam angka 1-5 kegiatan yang dilarang ini dilakukan oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha untuk menciptakan suasana persaingan yang tidak sehat.

Sedangkan untuk kegiatan yang disebut dalam angka 6-8 kegiatan yang dilarang ini dilakukan dengan cara persekongkolan atau kerjasama dengan pihak lain lain yang semua itu dapat menyebabkan suasana persaingan yang tidak sehat dan mengarah ke monopoli.

F. Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU)

Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) adalah suatu lembaga yang khusus di bentuk oleh dan berdasarkan undang-undang untuk mengawasi jalannya undang-undang.

KPPU bertanggung jawab langsung kepada presiden, selaku kepala negara. KPPU terdiri dari seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan sekurang-kurangnya 7 orang anggota lainnya. Ketua dan wakil ketua komisi dipilih dari dan oleh anggota komisi. Anggota KPPU ini diangkat dan diberhentikan oleh presiden atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Masa jabatan anggota KPPU hanya 2 periode, dengan masing-masing periode selama 5 tahun. Apabila karena berakhirnya masa jabatan menyebabakan kekosongan dalam keanggotaan komisi, maka masa jabatan anggota baru dapat diperpanjang sampai pengangkatan anggota baru.

Tugas dan wewenang KPPU

Tugas dan wewenang KPPU di atur dalam ketentuan pasal 35, yang dikatakan bahwa tugas komisi meliputi:

1. Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat

2. Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tidak pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat

3. Melakukan penilaian terhadap ada dan tidak adanya penyalah gunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat

4. Mangambil tindakan dengan wewenangnya

5. Memberikan saran pertimbangan terhadap komisi kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat

6. Menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan undang-undang ini

7. Memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja komisi kepada presiden dan dewan perwakilan rakyat.

Tata cara penanganan perkara oleh KPPU  Pemeriksaan oleh KPPU

Pasal 39 ayat 1 UU mewajibkan KPPU untuk berdasarkan laporan yang telah di sampaikan tersebut, melakukan pemeriksaan pendahuluan. Dari hasil pemeriksaan pendahuluan tersebut, dalam jangka waktu selambat-lambatnya 30 hari terhitung sejak KPPU menerimah laporan tersebut, KPPU wajib menetapkan perlu atau tidaknya dilakukan pemeriksaan lanjutan. Jika KPPU menetapkan perlunya untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan, maka KPPU wajib melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang dilaporkan.

Alat-alat bukti pemeriksaan KPPU berupa: 1) Keterangan saksi

2) Keterangan ahli

3) Surat dan atau dokumen 4) Petunjuk

5) Keterangan pelaku usaha  Putusan KPPU

Putusan KPPU harus dibacakan dalam suatu bidang yang dinyatakan terbuka untuk umum dan segera diberitahukan kepada pelaku usaha. Pelaku usaha yang menerima pemberitahuan tersebut dapat mengajukan keberatan atas putusan KPPU.

Keberatan atas putusan KPPU dan pelaksaan putusan KPPU

Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan atas KPPU dan pelaksaan putusan KPPU, dalam jangka 14 hari setelah pemberitahuan dianggap telah menerima keputusan KPPU, dan keputusan KPPU tersebut akan berlaku sebagai keputusan pada tingkat akhir (final) dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Sebagai konsekuensinya, putusan tersebut

bersifat eksekutorial (putusan tersebut dapat dimintakan pelaksanaan penetapan eksekusi kepada Pengadilan Negeri). Selanjutnya undang-undang menentukan bahwa dalam 30 hari terhitung sejak pelaku usaha menerima pemberitahuan putusan KPPU, pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut dan menyampaikan laporan pelaksanaannya kepada KPPU. Jika putusan tersebut tidak dilaksanakan oleh pelaku usaha dalam jangka waktu yang telah ditentukan, maka KPPU menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan putusan KPPU sebagai bukti permulaan yang cukup untuk melakukan penyidikan.

Keberatan atas putusan KPPU

Pelaku usaha yang tidak menerima putusan KPPU dapat mengajukan keberatan kepada Pengadikan Negeri selambat-lambatnya 14 hari setelah pemberitahuan putusan tersebut diterima. Pengadilan Negeri harus memeriksa keberatan yang diajukan oleh pelaku usaha dalam waktu 14 haru sejak diterimanya keberatan tersebut, dan harus memberikan putusan dalam waktu 30 hari sejak dimulainya pemeriksaan keberatan tersebut. Apabila terdapat keberatan atas putusan Pengadilan Negeri maka pihak yang berkeberatan atas putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri, dapat mengajukan Kasasi kepada Mahkamah Agung dalam waktu 14 hari terhitung sejak putusan dijatuhkan. Mahkamah Agung harus memberikan putusan dalam waktu 30 hari sejak permohonan kasasi diterima.

G. Macam-macam Sanksi yang dapat dikenakan

Sanksi yang diberikan dalam Undang-undang secara garis besar dapat dibedakan kedalam :

1. Tindakan administrative (pasal 47 ayat 2)

Tindakan administrative yang dapat diambil menurut ketentuan Undang-undang adalah sebagai berikut:

a. Penetapan pembatalan perjanjian yang dilarang oleh Undang-undang sebagaimana yang diatur dalam ketentuan pasal 4 sampai dengan pasal 13, pasal 15 dan pasal 16 Undang-undang sebagaimana berikut:

1. Perjanjian untuk menguasai produksi dan atau pemasaran barang dan jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

2. Perjanjian yang menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.

3. Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama.

4. Perjanjian yang membuat suatu penetapan harga dibawah pasar,yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

5. Perjanjian yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang telah diterimanya, dengan harga yang lebih rendah dari pada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

6. Perjanjian yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

7. Perjanjian yang bertujuan untuk menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri. 8. Perjanjian dengan maksud untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari

pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut :

a. Merugikan atau dapat diduga merugikan pelaku usaha lain.

b. Membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan

9. Perjanjian dengan tujuan untuk mempengaruhi harga dengan engatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

10. Perjanjian kerjasama untuk membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

11. Perjanjian yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam

pasar yang bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopolidan atau persaingan usaha tidak sehat.

12. Perjanjian yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.

13. Perjanjian yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok. 14. Perjanjian yang memberikan harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau

jasa, dengan syarat bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok :

a. Harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.

Dalam dokumen Tugas Hukum dan Etika Bisnis Ferly Gita (Halaman 26-40)

Dokumen terkait