• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tugas Hukum dan Etika Bisnis Ferly Gita

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tugas Hukum dan Etika Bisnis Ferly Gita"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

Nama : Ferly Gita Pratama

NIM : 20142411160

Mata Kuliah : Hukum dan Etika Bisnis Nama Dosen : Agus Ariesta

Kelas : Stie Negara

1. Perlindungan konsumen

Perlindungan konsumen adalah perangkat hukum yang diciptakan untuk melindungi dan terpenuhinya hak konsumen. Sebagai contoh, para penjual diwajibkan menunjukkan tanda harga sebagai tanda pemberitahuan kepada konsumen.

UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Republik Indonesia menjelaskan bahwa hak konsumen diantaranya adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan atau jasa; hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan sebagainya.

Di Indonesia, dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat mengajukan perlindungan adalah:

 Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 , dan Pasal 33.

 Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821

(2)

 Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian Sengketa

 Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen

 Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota

 Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795 /DJPDN/SE/ 12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen

A. Hak dan Kewajiban Konsumen serta Pelakku Usaha 1. Konsumen

a. Hak-hak konsumen

Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, jika ditengarai adanya tindakan yang tidak adil terhadap dirinya, ia secara spontan menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.

Berdasarkan UU Perlindungan konsumen pasal 4, hak-hak konsumen sebagai berikut :

o Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa. o Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan

kondisi serta jaminan yang dijanjikan .

o Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa.

o Hak untuk didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa yang digunakan.

(3)

o Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.

o Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskrimainatif.

o Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

o Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Disamping hak-hak dalam pasal 4 juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal 7, yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha merupakan hak konsumen. selain hak-hak yang disebutkan tersebut ada juga hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang. Hal ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa kegiatan bisnis yang dilakukan oleh pengusaha sering dilakukan secara tidak jujur yang dalam hukum dikenal dengan terminologi “persaingan curang”.

Di Indonesia persaingan curang ini diatur dalam UU No. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, juga dalam pasal 382 bis KUHP. Dengan demikian jelaslah bahwa konsumen dilindungi oleh hukum, hal ini terbukti telah diaturnya hak-hak konsumenyang merupakan kewajiban pelaku usaha dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, termasuk didalamnya juga diatur tentang segala sesuatu yang berkaitan apabila hak konsumen, misalnya siapa yang melindungi konsumen, bagaimana konsumen memperjuangkan hak-haknya.

b. Kewajiban Konsumen

Kewajiban Konsumen Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, kewajiban konsumen adalah :

o Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.

o Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. o Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.

(4)

2. Pelaku Usaha

a. Hak Pelaku Usaha

Seperti halnya konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:

oHak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

oHak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.

oHak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.

oHak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

oHak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. b. Kewajiban Pelaku Usaha

Sedangkan kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 UUPK adalah:

 Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

 Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.

 Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

 Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.

 Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

(5)

 Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Bila diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Ini berarti hak bagi konsumen adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Demikian pula dengan kewajiban konsumen merupakan hak yang akan diterima pelaku usaha.

Bila dibandingkan dengan ketentuan umum di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tampak bahwa pengaturan UUPK lebih spesifik. Karena di UUPK pelaku usaha selain harus melakukan kegiatan usaha dengan itikad baik, ia juga harus mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif, tanpa persaingan yang curang antar pelaku usaha.

B. Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha

Ketentuan mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha diatur dalam Pasal 8 – 17 UU PK. Ketentuan-ketentuan ini kemudian dapat dibagi kedalam 3 kelompok, yakni:

 Larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8).  Larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16).  Larangan bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17).

Ada 10 larangan bagi pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PK, yakni pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :

1. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

2. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;

3. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;

(6)

5. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

6. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;

7. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;

8. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label.

9. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat.

10. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Tiap bidang usaha diatur oleh ketentuan tersendiri. Misalnya kegiatan usaha di bidang makanan dan minuman tunduk pada UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Tak jarang pula, tiap daerah memiliki pengaturan yang lebih spesifik yang diatur melalui Peraturan Daerah. Selain tunduk pada ketentuan yang berlaku, pelaku usaha juga wajib memiliki itikad baik dalam berusaha. Segala janji-janji yang disampaikan kepada konsumen, baik melalui label, etiket maupun iklan harus dipenuhi. Selain itu, ayat (2) dan (3) juga memberikan larangan sebagai berikut:

o Ayat (2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.

(7)

UU PK tidak memberikan keterangan yang jelas mengenai apa itu rusak, cacat, bekas dan tercemar. Bila kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah-istilah tersebut diartikan sebagai berikut:

oRusak: sudah tidak sempurna (baik, utuh) lagi.

oCacat: kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna.

oBekas: sudah pernah dipakai.

oTercemar: menjadi cemar (rusak, tidak baik lagi).

Ternyata cukup sulit untuk membedakan rusak, cacat dan tercemar. Menurut saya rusak berarti benda tersebut sudah tidak dapat digunakan lagi. Cacat berarti benda tersebut masih dapat digunakan, namun fungsinya sudah berkurang. Sedangkan tercemar berarti pada awalnya benda tersebut baik dan utuh. Namun ada sesuatu diluar benda tersebut yang bersatu dengan benda itu sehingga fungsinya berkurang atau tidak berfungsi lagi. Ketentuan terakhir dari pasal ini adalah: Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

C. Tanggung Jawab Pelaku Usaha

Setiap pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau diperdagangkan. Tanggung jawab produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat dari “ produk yang cacat “, bisa dikarenakan kekurang cermatan dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau melakukan perbuatan melawan hukum.

Di dalam undang-undang nomor 8 tahun 1999 diatur psal 19 sampai dengan pasal 28. di dalam pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran, kerusakan, kerugian konsumen.

(8)

22 menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsure kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana telah diatur dalam pasal 19

Di dalam pasal 27 disebut hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yand diderita konsumen, apabila :

o Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk diedarkan o Cacat barang timbul pada kemudian hari.

o Cacat timul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang. o kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen.

o Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan

D. Sanksi Bagi Pelaku Usaha

Sanksi Bagi Pelaku Usaha Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Sanksi Perdata :

Ganti rugi dalam bentuk : - Pengembalian uang atau - Penggantian barang atau - Perawatan kesehatan, dan/atau - Pemberian santunan

Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi Sanksi Administrasi :

maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25

Sanksi Pidana : Kurungan :

- Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, - 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18

(9)

*Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian.

* Hukuman tambahan , antara lain : · Pengumuman keputusan Hakim · Pencabuttan izin usaha.

· Dilarang memperdagangkan barang dan jasa. · Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa.

· Hasil Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat CONTOH KASUS PERLINDUNGAN KONSUMEN:

Kasus 1:

Seorang pedagang daging giling terbukti menjual daging celeng yang disamarkan sebagai daging sapi. Daging giling itu biasa digunakan untuk bahan baku bakso. "Sudah diperiksa di laboratorium, hasilnya memang benar itu daging celeng," kata Kepala Seksi Pengawasan dan Pengendalian Suku Dinas Peternakan dan Perikanan Jakarta Barat, Pangihutan Manurung, Senin, 5 Mei 2014.

Menurut Pangihutan, instansinya mendapat laporan tentang penjualan daging celeng di di Jalan Pekojan III Tambora, Jakarta Barat. Penjualnya bernama bernama Sutiman Wasis Utomo, 55 tahun. "Laporannya pekan lalu, dan langsung kami tindaklanjuti," kata Pangihutan. Sutiman selama ini dikenal sebagai pengusaha rumahan yang menjual bakso olahan untuk penjual bakso keliling. Sehari setelah laporan masuk, seorang pegawai Suku Dinas Peternakan membeli bakso tersebut dan memeriksanya di laboratorium. Hasil pemeriksaan menyatakan daging bakso itu mengandung daging babi hutan atau celeng.

(10)

Menurut Pangihutan, daging celeng yang dijual Sutiman tak melalui pengawasan oleh Suku Dinas Peternakan. Celeng tersebut diburu di berbagai daerah di Pulau Jawa dan langsung dipasarkan secara terselubung. "Tak ada jaminan daging yang dipasarkan itu sehat dan layak dikonsumsi," katanya.

Atas perbuatan tersebut, Dinas Peternakan melaporkan Sutiman ke Polsek Penjaringan. Dia dijerat Pasal 62 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Sutiman dianggap menipu konsumen karena tak menyebutkan bahan baku sebenarnya dan mengabaikan standar kesehatan. "Dia melanggar karena tak melewati proses pengawasan dengan menggunakan babi dari rumah potong dan berterus terang kepada pembeli," kata Pangihutan.

Kasus 2:

Kasus Susu Formula

Di Indonesia, nasib perlindungan konsumen masih berjalan tertatih-tatih. Hal-hal menyangkut kepentingan konsumen memang masih sangat miskin perhatian. Setelah setahun menunggu, Kementerian Kesehatan akhirnya mengumumkan hasil survei 47 merek susu formula bayi untuk usia 0-6 bulan. Hasil survei menyimpulkan, tidak ditemukan bakteri Enterobacter sakazakii.

Hasil ini berbeda dengan temuan peneliti Institut Pertanian Bogor, yang menyebutkan, 22,73% susu formula (dari 22 sampel), dan 40% makanan bayi (dari 15 sampel) yang dipasarkan April hingga Juni 2006 terkontaminasi Enterobacter sakazakii.

Apa pun perbedaan yang tersaji dari kedua survei tersebut, yang jelas, kasus susu formula ini telah menguak fakta laten dan manifes menyangkut perlindungan konsumen. Ini membuktikan bahwa hal-hal menyangkut kepentingan (hukum) konsumen rupanya memang masih miskin perhatian dalam tata hukum kita, apalagi peran konsumen dalam pembangunan ekonomi.

(11)

Dapat kita lihat di kasus ini terjadi dimana penjual daging ini tidak mengatakan kepada konsumennya bahwa daging yang dia buat menjadi bakso itu adalah daging celeng. Kita harus ketahui bahwa hak konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang atau jasa. Dan konsumen akan sangat dirugikan sekali bila mereka mengetahui bahwa daging yang dibelinya itu tidak sesuai dengan kemasannya yang tertulis daging sapi.

Dan sebagai pelaku usaha seharusnya penjual daging ini memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi barang yang dijualnya. Pelaku telah melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dimana ketidaksesuaiaannya isi barang dengan label kemasannya yang dituliskan daging sapi padahal didalamnya daging celeng.

Seperti yang dikatakan berita diatas, pelaku terjerat Pasal 62 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, pasa ini berisikan bahwa :

1. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah). 2. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal

12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

3. Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.

Kasus 2:

Agar tidak terulang lagi kejadian-kejadian yang merugikan bagi konsumen, maka kita sebagai konsumen harus lebih teliti dalam memilih atau memakai barang/jasa yang ditawarkan, seperti:

(12)

2. Teliti sebelum membeli (Baca keterangan label yang ada). 3. Biasakan belanja sesuai rencana.

4. Memilih barang yang bermutu dan berstandar yang memenuhi aspek keamanan, keselamatan,kenyamanan dan kesehatan.

5. Membeli sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan. 6. Perhatikan label, keterangan barang dan masa kadaluarsa. Sumber:

https://id.wikipedia.org/wiki/Perlindungan_konsumen

http://ekoprabowoo.blogspot.co.id/2015/06/kasus-perlindungan-konsumen-uu-no-8.html

http://lindamaya.blogspot.com/2013/07/contoh-kasus-perlindungan-konsumen.html

http://www.investor.co.id/home/kasus-susu-formula-dan-perlindungan-konsumen/15923

2. HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual)

Hak Atas Kekayaan Intelektual adalah hak eksklusif yang diberikan suatu hukum atau peraturan kepada seseorang atau sekelompok orang atas karya ciptanya. Menurut UU yang telah disahkan oleh DPR-RI pada tanggal 21 Maret 1997, HaKI adalah hak-hak secara hukum yang berhubungan dengan permasalahan hasil penemuan dan kreativitas seseorang atau beberapa orang yang berhubungan dengan perlindungan permasalahan reputasi dalam bidang komersial (commercial reputation) dan tindakan / jasa dalam bidang komersial (goodwill).

(13)

tersebut adalah kecerdasan, daya pikir, atau produk pemikiran manusia (the Creations of the Human Mind) (WIPO, 1988:3). Setiap manusia memiliki memiliki hak untuk melindungi atas karya hasil cipta, rasa dan karsa setiap individu maupun kelompok.

Kita perlu memahami HAKI untuk menimbulkan kesadaran akan pentingnya daya kreasi dan inovasi intelektual sebagai kemampuan yang perlu diraih oleh setiap manusia, siapa saja yang ingin maju sebagai faktor pembentuk kemampuan daya saing dalam penciptaan Inovasi-inovasi yang kreatif.

Prinsip-prinsip Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI)

Prinsip-prinsip Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) adalah sebagai berikut :  Prinsip Ekonomi

Dalam prinsip ekonomi, hak intelektual berasal dari kegiatan kreatif dari daya pikir manusia yang memiliki manfaat serta nilai ekonomi yang akan member keuntungan kepada pemilik hak cipta.

 Prinsip Keadilan

Prinsip keadilan merupakan suatu perlindungan hukum bagi pemilik suatu hasil dari kemampuan intelektual, sehingga memiliki kekuasaan dalam penggunaan hak atas kekayaan intelektual terhadap karyanya.

 Prinsip Kebudayaan

Prinsip kebudayaan merupakan pengembangan dari ilmu pengetahuan, sastra dan seni guna meningkatkan taraf kehidupan serta akan memberikan keuntungan bagi masyarakat, bangsa dan Negara.

(14)

Prinsip sosial mengatur kepentingan manusia sebagai warga Negara, sehingga hak yang telah diberikan oleh hukum atas suatu karya merupakan satu kesatuan yang diberikan perlindungan berdasarkan keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat/ lingkungan.

Dasar Hukum Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia

Dalam penetapan HaKI tentu berdasarkan hukum-hukum yang sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dasar-dasar hukum tersebut antara lain adalah :

 Undang-undang Nomor 7/1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO)

 Undang-undang Nomor 10/1995 tentang Kepabeanan  Undang-undang Nomor 12/1997 tentang Hak Cipta  Undang-undang Nomor 14/1997 tentang Merek  Undang-undang Nomor 13/1997 tentang Hak Paten

 Keputusan Presiden RI No. 15/1997 tentang Pengesahan Paris Convention for the Protection of Industrial Property dan Convention Establishing the World Intellectual Property Organization

 Keputusan Presiden RI No. 17/1997 tentang Pengesahan Trademark Law Treaty  Keputusan Presiden RI No. 18/1997 tentang Pengesahan Berne Convention for the

Protection of Literary and Artistic Works

 Keputusan Presiden RI No. 19/1997 tentang Pengesahan WIPO Copyrights Treaty Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut maka Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) dapat dilaksanakan. Maka setiap individu/kelompok/organisasi yang memiliki hak atas pemikiran-pemikiran kreatif mereka atas suatu karya atau produk dapat diperoleh dengan mendaftarkannya ke pihak yang melaksanakan, dalam hal ini merupakan tugas dari Direktorat Jenderal Hak-hak Atas Kekayaan Intelektual, Departemen Hukum dan Perundang-undangan Republik Indonesia.

(15)

Secara umum Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) terbagi dalam dua kategori, yaitu :

1. Hak Cipta

2. Hak Kekayaan Industri, yang meliputi :  Hak Paten

 Hak Merek

 Hak Desain Industri

 Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu  Hak Rahasia Dagang

 Hak Indikasi

Hak Cipta

Hak Cipta adalah Hak khusus bagi pencipta untuk mengumumkan ciptaannya atau memperbanyak ciptaannya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19/2002 Pasal 1 ayat 1 mengenai Hak Cipta :

(16)

 UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

 UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1982 Nomor 15)

 UU Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1987 Nomor 42)

 UU Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 1987 (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 29)

 Hak Kekayaan Industri

Hak kekayaan industri adalah hak yang mengatur segala sesuatu milik perindustrian, terutama yang mengatur perlindungan hukum. Hak kekayaan industri sangat penting untuk didaftarkan oleh perusahaan-perusahaan karena hal ini sangat berguna untuk melindungi kegiatan industri perusahaan dari hal-hal yang sifatnya menghancurkan seperti plagiatisme. Dengan di legalkan suatu industri dengan produk yang dihasilkan dengan begitu industri lain tidak bisa semudahnya untuk membuat produk yang sejenis/ benar-benar mirip dengan mudah. Dalam hak kekayaan industri salah satunya meliputi hak paten dan hak merek.

Hak Paten

(17)

penyempurnaan dan pengembangan proses, serta penyempurnaan dan pengembangan hasil produksi.

Perlindungan hak paten dapat diberikan untuk jangka waktu 20 tahun terhitung dari filling date. Undang-undang yang mengatur hak paten antara lain :

 UU Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 1989 Nomor 39)  UU Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan UU Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten

(Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 30)

 UU Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 109).

Hak Merek

Berdasarkan Undang-undang Nomor 15/2001 pasal 1 ayat 1, hak merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Merek merupakan tanda yang digunakan untuk membedakan produk/jasa tertentu dengan produk/jasa yang sejenis sehingga memiliki nilai jual dari pemberian merek tersebut. Dengan adanya pembeda dalam setiap produk/jasa sejenis yang ditawarkan, maka para costumer tentu dapat memilih produk.jasa merek apa yang akan digunakan sesuai dengan kualitas dari masing-masing produk/jasa tersebut. Merek memiliki beberapa istilah, antara lain :

 Merek Dagang

Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya.

(18)

Merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.

 Merek Kolektif

Merek Kolektif adalah merek yang digunakan pada barang atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang atau jasa sejenis lainnya.

Selain itu terdapat pula hak atas merek, yaitu hak khusus yang diberikan negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu, menggunakan sendiri merek tersebut atau memberi izin kepada seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk menggunakannya. Dengan terdaftarnya suatu merek, maka sudah dipatenkan bahwa nama merek yang sama dari produk/jasa lain tidak dapat digunakan dan harus mengganti nama mereknya. Bagi pelanggaran pasal 1 tersebut, maka pemilik merek dapat mengajukan gugatan kepada pelanggar melalui Badan Hukum atas penggunaan nama merek yang memiliki kesamaan tanpa izin, gugatan dapat berupa ganti rugi dan penghentian pemakaian nama tersebut.

Selain itu pelanggaran juga dapat berujung pada pidana yang tertuang pada bab V pasal 12, yaitu setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama secara keseluruhan dengan merek terdaftar milik orang lain atau badan hukum lain, untuk barang atau jasa sejenis yang diproduksi dan diperdagangkan, dipidana penjara paling lama tujuh tahun dan denda paling banyak

(19)

 UU Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 1992 Nomor 81)

 UU Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan UU Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 31)

 UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 110)

Dalam pembahasan ini, dapat disimpulkan bahwa HaKI adalah bagian penting dalam penghargaan dalam suatu karya dalam ilmu pengetahuan, sastra maupun seni dengan menghargai hasil karya pencipta inovasi-inovasi tersebut agar dapat diterima dan tidak dijadikan suatu hal untuk menjatuhkan hasil karya seseorang serta berguna dalam pembentukan citra dalam suatu perusahaan atau industri dalam melaksanakan kegiatan perekonomian.

CONTOH KASUS HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual): Kasus 1:

MA Tolak Gugatan Bajaj ke Honda Soal Hak Paten

Bajaj mengklaim teknologi dua busi satu silinder adalah miliknya.

VIVAnews – Mahkamah Agung (MA) hari ini telah memutuskan perkara perseteruan antara produsen sepeda motor Bajaj dan Honda terkait hak paten penggunaan dua busi dalam satu silinder pada mesin sepeda motor. Hasilnya, gugatan hukum Bajaj ke Honda soal sengketa itu ditolak.

MA “Menolak permohonan kasasi Bajaj Auto Limited,” begitu bunyi pengumuman panitera MA, Kamis 30 Agustus 2012. Ini terkait vonis yang diputuskan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 15 Agustus 2012 lalu oleh Ketua Majelis Hakim Agung, Muhammad Taufik, serta Hakim Anggota Djafni Djamal dan Takdir Rahmadi.

MA, dalam amarnya, memutuskan Honda sebagai perusahaan yang pertama kali mematenkan penggunaan dua busi dalam satu silinder pada mesin sepeda motor masa kini.

(20)

pada mesin sepeda motor. Bajaj, perusahaan asal India, mengklaim penggunaan dua busi dalam satu silinder pada produk mereka itu merupakan ystem pertama yang digunakan di dunia.

Argumen Honda

Namun, sebagai perusahaan sepeda motor dan mobil ternama di dunia asal Jepang, Honda membantah klaim Bajaj. Berdasarkan versi Ditjen HAKI, ystem itu telah dipatenkan atas nama Honda Giken Kogyo Kabushiki Kaisha di Amerika Serikat pada 1985. Lantas, oleh Honda didaftarkan di Indonesia pada 28 April 2006. Penemu ystem itu dalam hak paten yang sudah didaftarkan Honda atas nama Minoru Matsuda.

Namun dalih ini dimentahkan oleh Bajaj. Satu silinder, menurut perusahaan itu, jelas berbeda dengan dua silinder. Klaim Bajaj bahwa untuk konfigurasi busi memang masih kemungkinan ada klaim yang baru, terutama dalam silinder dengan karakter lain.

Klaim baru yang dimaksud adalah ukuran ruang yang kecil di mana harus ada busi dengan jumlah yang sama. Hal di atas adalah baru sebab penempatannya pada satu mesin V (double silinder) dan lainnya adalah satu silinder.

Terlambat Sehari

Putusan kasasi MA kian menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam sidangnya, majelis PN Jakpus menolak gugatan Bajaj tersebut. Alasannya, Bajaj terlambat satu hari mengajukan gugatan ke PN Jakarta Pusat dari batas maksimal tiga bulan setelah mengajukan gugatan ke keputusan Komisi Banding Merek.

(21)

Kasus 2:

Kasus Merek Marlboro Cleartaste, Philip Morris Kalah Lawan Japan Tobacco Jakarta - Upaya perusahaan rokok asal Amerika Serikat (AS) Philip Morris untuk membatalkan merek rokok Clear milik Japan Tobacco gagal. Sebab kantor hukum SKC Law tidak sah secara hukum untuk mewakili Philip.

"Majelis memutuskan gugatan tidak dapat diterima," kata ketua majelis hakim Lidya Sasando saat membacakan putusan, di Pengadilan Negeri Jakarat Pusat (PN Jakpus), Jl Gajah Mada, Jakarta, Selasa (11/2/2014).

Hakim berpendapat jika SCK Law dianggap tidak dapat mewakili Managing Director Philip Morris sebagai pihak penggugat. Saat dimintai keterangan, kuasa hukum Philip memilih tak memberikan statemen apa pun. Sementara itu kuasa hukum Japan Tobacco diketahui tidak hadir.

Kasus ini berawal saat Japan Tobacco mendaftarkan merek Clear ke Ditjen HKI. Philip Morris tak terima dengan merek tersebut karena dianggap sama dengan merek produknya Marlboro Cleartaste. Atas hal itu, Philip Morris pun menggugat.

Marlboro merupakan merek rokok yang diproduksi oleh Philip Morris International, perusahaan rokok nomor satu dunia. Merek rokok ini pertama kali ditampilkan pada tahun 1904.

PENYELESAIAN: Kasus 1:

(22)

kasasi MA kian menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam sidangnya, majelis PN Jakpus menolak gugatan Bajaj tersebut. Alasannya, Bajaj terlambat satu hari mengajukan gugatan ke PN Jakarta Pusat dari batas maksimal tiga bulan setelah mengajukan gugatan ke keputusan Komisi Banding Merek.

Kasus 2:

Dari contoh kasus merek diatas bahwa upaya perusahaan rokok asal Amerika Serikat (AS) Philip Morris untuk membatalkan merek rokok Clear milik Japan Tobacco gagal. Sebab kantor hukum SKC Law tidak sah secara hukum untuk mewakili Philip. Kasus ini berawal saat Japan Tobacco mendaftarkan merek Clear ke Ditjen HAKI. Philip Morris tak terima dengan merek tersebut karena dianggap sama dengan merek produknya Marlboro Cleartaste. Atas hal itu, Philip Morris pun menggugat. Pada akhirnya Marlboro merupakan merek rokok yang diproduksi oleh Philip Morris International, perusahaan rokok nomor satu dunia. Merek rokok ini pertama kali ditampilkan pada tahun 1904.

Sumber:

https://dhiasitsme.wordpress.com/2012/03/31/hak-atas-kekayaan-intelektual-haki/

http://otomotif.news.viva.co.id/news/read/347543-soal-paten--ma-tolak-gugatan-bajaj-ke-honda

http://news.detik.com/read/2014/02/11/191542/2493835/10/kasus-merek-marlboro-cleartaste-philip-morris-kalah-lawan-japan-tobacco?nd771104bcj

http://id.wikipedia.org/wiki/Paten http://id.wikipedia.org/wiki/Hak_cipta http://id.wikipedia.org/wiki/Merek

(23)

A. Pengertian Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Menurut UU No. 5 Tahun 1999, monopoli adalah suatu bentuk penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.

Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.

Menurut Sherman Act, ada beberapa hal yan berhubungan dengan proses terjadinya monopoli secara ilmiah, yaitu:

1. Monopoli terjadi akibat dari suatu superrior skill, yang salah satunya dapat terwujud dari

pemberian hak paten secara eksklusif oleh negara, berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku kepada pelaku usaha tertentu atas hasil riset dan pengembangan atas teknologi tertentu. Selain itu ada juga yang dikenal dengan istilah Trade Secret (rahasia dagang), yang meskipun tidak memperoleh eksklusivitas pengakuan oleh negara, namun dengan rahasia dagangnya mampu membuat produk yang superior.

2. Monopoli terjadi karena pemberian negara (Ketentuan pasal 33 (2) dan 33 (3) UUD 1945

yang dikutip kembali dalam pasal 51 UU No. 5 Tahun 1999)

3. Monopoli yang terjadi akibat adanya historical accident, yaitu monopoli yang terjadi

karena tidak disengaja, dan berlangsung karena proses alamiah, yang ditentukan oleh berbagai faktor terkait dimana monopoli tersebut terjadi. Dalam hal ini penilaian mengenai pasar bersangkutan yang memungkinkan terjadinya monopoli menjadi sangat relevan.

Terdapat dua teori yang terdapat dalam hukum anti monopoli, yaitu:

1. Teori Perse, teori yang melarang monopoli an sich, tanpa melihat apakah ada ekses

negatifnya. Beberapa bentuk kartel, monopoli dan persaingan usaha tidak sehat harus dianggap dengan sendirinya bertentangan dengan hukum. Titik beratnya adalah unsur formal dari perbuatan tersebut.

2. Teori Rule of Reason, teori ini melarang kartel dan monopoli jika dapat dibuktikan bahwa

ada ekses negatifnya.

(24)

Ada beberapa argumen yang dapat dikemukakan sehubungan dengan proses terjadinya monopoli secara ilmiah. Hal tersebut antara lain meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. Monopoli terjadi akibat dari suatu superior skill, yang salah satunya dapat terwujud dari

peberian hak paten secara ekslusif oleh Negara.

2. Monopoli terjadi karena pemberian Negara. Di Negara kita hal ini sangat jelas dapat dilihat

dalam ketentuan pasal 33 (2) dan 33 (3) UUD 1945 yang dikutip kembali dalam pasal 51 UU No. 5 tahun 1999.

3. Monopoli yang terjadi akibat adanya historical accident, yaitu monopoli yang terjadi

karena tidak sengaja, dan berlangsung karena proses alamiah, yang ditentukan oleh berbagai faktor terkait dimana proses monopoli itu terjadi.

Untuk menilai berlangsungnya suatu proses monopolisasi, sehingga dapat terjadi suatu bentuk monopoli yang dilarang ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

1. Penentuan mengenai pasar bersangkutan (the relevant market)

Dalam UU No.5 Tahun 1999, pasar bersngkutan didefinisikan sebagai pasar yang berkaitan dengan jangkuan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang atau jasa yang sama atau subtitusi dari barang atau jasa tesebut.

Untuk menetukan relevansi atau kedudukan dari suatu pasar bersangkutan pada umumnya orang mencoba mendekatinya melalui pendekatan sensifitas produk. Salah satu yang dapat dipakai adalah pendekatan “elasticity of demand”. Untuk menilai relevansi keterkaitanya dengan produk competitor deperkenalkan konsep “cross elasticity demand/CED” antara kedua produk yang saling dikaitkan.

Dalam hal ini terdapat beberapa hal yang dapat dianggap cukup relevan dan berpengaruh yaitu:

a. Struktur pasar adalah keadaan pasar yang memberikan ptrhadap perilaku penting terhadap

usaha dan kinerja pasar antara lain jumlah penjual dan pembeli, hambatan masuk dan keluar pasar,keragama produk, system distribusi dan penguasaan pangsa pasar.

b. Perilaku pasar adalah tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha dalamkapasitasnya

(25)

c. Pangsa pasar adalah presentase nilai jual dan beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai

oleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun kelender tertentu.

d. Harga pasar adalah harga yang dibayar dalam transaksi barang dan jasa sesuai kesepakatan

antara pihak dalm pasar yang bersangkutan.

2. Penilaian terhadap keadaan pasar dan jumlah pelaku usaha.

Pelaku usaha dianggap menguasai pangsa pasar secara monopoli.jika ia mempunyai pangsa pasar lebih dari 75%. UU No. 5 Tahun 1999 pasal 4 (2) menyatan bahwa “Pelaku usaha patut diduga dan dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan pemasaran barang atau jasa, jika 2 atau 3 pelaku usaha atau kelompok pelaku uasaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar satu atau jenis barang atau jasa tertentu.

3. Ada tidaknya kehendak untuk melakukan monopoli oleh pelaku usaha tertentu.

Pada pasar bersangkutan yang sudah jenuh, kehendak untuk menjadi besar terkadang dilaksanakan dengan cara yang tidak wajar dan tidakk sehat.

Monopoli dilarang karena mengandung beberapa efek negatif yang merugikan, yaitu:

a. Terjadi peningkatan suatu produk. Harga yang tinggi akan menyebabkan inflasi yang

merugikan masyarakat luas.

b. Adanya kekurangan (profil) diatas kewajaran yang normal, pelaku usaha akan menetapkan

harga agar meperoleh keuntungan yang sangat besar karena konsumen tidak ada pilihan lain dan terpaksa membeli produk tersebut.

c. Terjadinya eksploitasi terhadap konsumen karena tidak adanya hak pilih konsumen atas

produk.

d. Terjadi ketidakekonomisan dan ketidakefisiensi yang akan dibebankan kepada konsumen

dalam menghasilkan suatu produk karena perusahaan monopoli cenderung tidak beroprasi pada average cost yang minimum.

e. Adanya entry barrier dimana perusahaan lain tidak dapat masuk kedalam bidang usaha

perusahaan monopoli.

f. Pendapatan tidak merata karena sumber dana dan modal tersedot kedalam perusahaan

(26)

C. Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Praktek monopoli adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Pada dasarnya, ada 4 unsur yang terdapat dalam praktek monopoli:

1. Adanya pemusatan kekuatan ekonomi

2. Pemusatan kekuatan tersebut berada pada satu atau lebih pelaku usaha ekonomi

3. Pemusatan kekuatan ekonomi tersebut menimbulkan persaingan usaha tidak sehat

4. Pemusatan kekuatan ekonomi tersebut merugikan kepentingan umum.

Dalam UU No. 5 Tahun 1999 dijelaskan bahwa selama suatu pemusatan kekuatan ekonomi tidak menyebabkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat, maka hal itu tidak dapat dikatakan telah terjadi suatu praktek monopoli, yang melanggar atau bertentangan dengan undang-undang ini, meskipun monopoli itu sendiri secara nyata terjadi (dalam bentuk penguasaan produksi dan/ atau pemasaran barang dan/ atau jasa tertentu). Jadi, sebenarnya monopoli tidak dilarang, yang dilarang adalah praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa salah satu prasyarat pokok dapat dikatakan telah terjadi suatu pemusatan ekonomi adalah terjadinya penguasaan nyata dari suatu pasar bersangkutan sehingga harga dari barang atu jasa yang diperdagangkan tidak lagi menggikuti hukum ekonomi mengenai permintaan dan penjualan, melainkan semata-mata ditentukan oleh satu atau lebih pelaku ekonomi yang menguasai pasar tersebut.

D. Perjanjian-Perjanjian yang Dilarang

Pengertian Perjanjian

(27)

kembali oleh salah satu pihak dalam perjanjian tersebut, kecuali penarikan atau pencabutan tersebut juga disepakati secara bersama oleh kedua belah pihak.

Sahnya Perjanjian

Ketentuan pasal 1320 KUHP mensyaratkan dipenuhinya 4 syarat untuk sah nya suatu perjanjian:

1. Adanya kesepakatan bebas dari para pihak yang berjanji

2. Adanya kecakapan untuk bertindak dari para pihak yang berjanji

3. Adanya suatu obyek yang diperjanjikan

4. Bahwa perjanjian tersebut adalah sesuatu yang diperkenankan, baik oleh

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk kebiasan dan kepatuhan hukum, serta kesusilaan dan ketertiban umum yang berlaku pada waktu perjanjian tersebut dibuat atau dilaksanakan

Dua persyaratan (pertama dan kedua) dalam ilmu hukum disebut dengan syarat subyektif, karena kedua hal tersebut berhubungan langsung dengan subyek hukum yang melakukan perbuatan hukum perjanjian tersebut. Selanjutnya dua persyaratan terakhir (ketiga dan keempat) dalam ilmu hukum lebih dikenal dengan syarat obyektif.

Perjanjian yang Dilarang

Untuk mencegah terjadinya monopoli atau persaingan usaha tidak sehat, undang-undang melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian tertentu dengan pelaku usaha lainnya. Larangan tersebut merupakan larangan terhadap keabsahan obyek perjanjian. Dalam undang-undang obyek perjanjian yang dilarang untuk dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya adalah sebagai berikut:

1. Melakukan penguasaan produksi atau pemasaran barang atau jasa yang dapat

mengakibatkan praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat (pasal 4 ayat (1)) 2. Menetapkan harga tertentu atas suatu barang atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen

atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama (pasal 5 ayat (1)), dengan pengecualian:

a. Perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan

(28)

3. Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang

berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang atau jasa yang sama (pasal 6)

4. Menetapkan harga dibawah pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha

tidak sehat (pasal 7)

5. Perjanjian yang memuat persyaratan bahwa penerima barang atau jasa tidak akan menjual

atau memasok kembali barang dan jasa yang telah diterima (pasal 8)

6. Perjanjian yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap

suatu barang dan jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (pasal 9)

7. Perjanjian yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama,

baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri (pasal 10 ayat (1))

8. Perjanjian untuk menolak menjual setiap barang dan jasa dari pelaku usaha lain, yang

mengakibatkan:

a.Kerugian atau dapat diduga menerbitkan kerugian bagi pelaku usaha lain

b.Pembatasan bagi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang atau jasa dari pasar bersangkutan (pasal 10 ayat (2))

9. Perjanjian yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan pemasaran

suatu barang atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat (pasal 11)

10.Perjanjian untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar (pasal 12)

11.Perjanjian yang bertujuan untuk bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan barang atau jasa tertentu (pasal 13 ayat (1))

12.Perjanjian yang bertujuan untuk menguasai sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang atau jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan merugikan masyarakat (pasal 14)

(29)

14.Perjanjian yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang atau jasa tetentu harus bersedia untuk membelibarang atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok (pasal 15 ayat (2))

15.Perjanjian mengenai pemberian harga atau potongan harga tertentu atas barang atau jasa (pasal 15 ayat (3))

16.Perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat (pasal 16)

Pada prinsipnya obyek yang dilarang bukanlah suatu obyek larangan yang bersifat mutlak dan tidak dapat ditawar menawar kembali. Suatu persyaratan “yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat” merupakan syarat pokok batalnya perjanjian tersebut.

Monopsoni merupakan istilah untuk monopoli dalam pembelian yang kenyatannya dapat menjelma dalam berbagai derivatif sampai beberapa strata yang membawa dosa masing-masing dalam strata. Dalam literatur, monopoli dilarang karena mengandung beberapa efek negatif yang merugikan antara lain:

a. Terjadinya peningkatan harga suatu produk sebagai akibat tidak adanya kompetisi dan

persaingan yang bebas. Harga yang tinggi akan menyebabkan inflasi yang merugikan masyarakat luas.

b. Adanya keuntungan (profit) diatas kewajaran yang normal.

c. Terjadi eksploitasi terhadap konsumen karena tidak adanya hak pilih konsumen atas

produk. Eksploitasi juga akan menimpa karyawan dan buruh yang bekerja, dengan menetapkan gaji dan upah yang sewenang-wenang tanpa memperhatikan ketentuan yang berlaku.

d. Terjadi ketidakekonomisan dan ketidakefisienan yang akan dibebankan kepada konsumen

dalam menghasilkan suatu produk karena perusahaan monopoli cenderung tidak beroperasi pada average cost yang minimum.

e. Adanya entry barrier dimana perusahaan lain tidak dapat masuk ke dalam bidang usaha

usaha perusahaan monopoli tersebut karena penguasaan pangsa pasarnya yang besar. f. Pendapatan menjadi tidak merata kerena sumber dana dan modal akan tersedot ke dalam

(30)

Menurut UU No.5/1999 perjanjian yang dilarang adalah sebagai berikut: a. Oligopoli

Adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit, sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar.

b. Penetapan harga

Dalam rangka penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, antara lain : a) Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan

atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama

b) Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang harus membayar dengan harga yang

berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama

c) Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga

pasar

d) Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang

dan atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah daripada harga yang telah dijanjikan.

c. Pembagian wilayah

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.

d. Pemboikotan

Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.

e. Kartel

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.

f. Trust

(31)

tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa.

g. Oligopsoni

Keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar komoditas.

h. Integrasi vertikal

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengelolaan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.

i. Perjanjian tertutup

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.

j. Perjanjian dengan pihak luar negeri

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

E. Kegiatan-Kegiatan yang Dilarang

Undang-undang anti monopoli memberikan satu bab khusus yang mengatur kegiatan yang dilarang, yaitu Bab IV yang terdiri dari 8 pasal. Kegiatan yang dilarang dapat kita golongkan menjadi 4 kegiatan yaitu :

1. Monopoli, yang diatur dalam pasal 17 2. Monopsoni, yang diatur dalam pasal 18

(32)

1. Kegiatan yang dilakukan oleh pelaku usaha yang bertujuan untuk memperoleh penguasaan

atas produksi yang dan atau pemasaran barang dan jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat Parameter yang dijadikan tolak ukur dalam undang-undang tersebut adalah :

a. Barang atau jasa yang bersangkutan belum ada substansinya

b. Mengakibatkan pelaku usaha lain (pelaku usaha yang mempunyai kemampuan yang

signifikan dalam pasar yang bersangkutan)

c. Satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar

satu jenis barang atau jasa tertentu.

2. Kegiatan untuk menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang

dan jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Parameternya yang dijadikan tolak ukur dalam undang-undang tersebut adalah : Apabila satupelaku usaha atau satu kelompok usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

3. Satu atau lebih kegiatan yang dilakukan, baik oleh satu pelaku usaha sendiri maupun

bersama-sama dengan pelaku usaha lainnya yang bertujuan untuk :

a. Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan dengan cara yang tidak wajar atau dengan alasan non-ekonomi, misalnya karena perbedaan suku, ras, status sosial dan lain-lain.

b. Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu.

c. Membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan. d. Melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.

4. Melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan melakukan cara jual rugi atau

menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan.

5. Melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi

bagian dari komponen harga barang dan atau jasa untuk memperoleh biaya faktor produksi yang lebih rendah dari seharusnya

6. Melakukan persekongkolan dengan pihak lain untuk mengatur dan menentukan pemenang

(33)

7. Melakukan persekongkolan dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan

usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan.

8. Melakukan persekongkolan dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan atau

pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi kurang baik dari kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.

Untuk kegiatan yang disebut dalam angka 1-5 kegiatan yang dilarang ini dilakukan oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha untuk menciptakan suasana persaingan yang tidak sehat.

Sedangkan untuk kegiatan yang disebut dalam angka 6-8 kegiatan yang dilarang ini dilakukan dengan cara persekongkolan atau kerjasama dengan pihak lain lain yang semua itu dapat menyebabkan suasana persaingan yang tidak sehat dan mengarah ke monopoli.

F. Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU)

Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) adalah suatu lembaga yang khusus di bentuk oleh dan berdasarkan undang-undang untuk mengawasi jalannya undang-undang.

KPPU bertanggung jawab langsung kepada presiden, selaku kepala negara. KPPU terdiri dari seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan sekurang-kurangnya 7 orang anggota lainnya. Ketua dan wakil ketua komisi dipilih dari dan oleh anggota komisi. Anggota KPPU ini diangkat dan diberhentikan oleh presiden atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Masa jabatan anggota KPPU hanya 2 periode, dengan masing-masing periode selama 5 tahun. Apabila karena berakhirnya masa jabatan menyebabakan kekosongan dalam keanggotaan komisi, maka masa jabatan anggota baru dapat diperpanjang sampai pengangkatan anggota baru.

Tugas dan wewenang KPPU

Tugas dan wewenang KPPU di atur dalam ketentuan pasal 35, yang dikatakan bahwa tugas komisi meliputi:

1. Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek

monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat

2. Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tidak pelaku usaha yang dapat

(34)

3. Melakukan penilaian terhadap ada dan tidak adanya penyalah gunaan posisi dominan yang

dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat 4. Mangambil tindakan dengan wewenangnya

5. Memberikan saran pertimbangan terhadap komisi kebijakan pemerintah yang berkaitan

dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat

6. Menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan undang-undang ini

7. Memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja komisi kepada presiden dan dewan

perwakilan rakyat.

Tata cara penanganan perkara oleh KPPU  Pemeriksaan oleh KPPU

Pasal 39 ayat 1 UU mewajibkan KPPU untuk berdasarkan laporan yang telah di sampaikan tersebut, melakukan pemeriksaan pendahuluan. Dari hasil pemeriksaan pendahuluan tersebut, dalam jangka waktu selambat-lambatnya 30 hari terhitung sejak KPPU menerimah laporan tersebut, KPPU wajib menetapkan perlu atau tidaknya dilakukan pemeriksaan lanjutan. Jika KPPU menetapkan perlunya untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan, maka KPPU wajib melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang dilaporkan.

Alat-alat bukti pemeriksaan KPPU berupa: 1) Keterangan saksi

2) Keterangan ahli

3) Surat dan atau dokumen

4) Petunjuk

5) Keterangan pelaku usaha

 Putusan KPPU

Putusan KPPU harus dibacakan dalam suatu bidang yang dinyatakan terbuka untuk umum dan segera diberitahukan kepada pelaku usaha. Pelaku usaha yang menerima pemberitahuan tersebut dapat mengajukan keberatan atas putusan KPPU.

 Keberatan atas putusan KPPU dan pelaksaan putusan KPPU

(35)

bersifat eksekutorial (putusan tersebut dapat dimintakan pelaksanaan penetapan eksekusi kepada Pengadilan Negeri). Selanjutnya undang-undang menentukan bahwa dalam 30 hari terhitung sejak pelaku usaha menerima pemberitahuan putusan KPPU, pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut dan menyampaikan laporan pelaksanaannya kepada KPPU. Jika putusan tersebut tidak dilaksanakan oleh pelaku usaha dalam jangka waktu yang telah ditentukan, maka KPPU menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan putusan KPPU sebagai bukti permulaan yang cukup untuk melakukan penyidikan.

 Keberatan atas putusan KPPU

Pelaku usaha yang tidak menerima putusan KPPU dapat mengajukan keberatan kepada Pengadikan Negeri selambat-lambatnya 14 hari setelah pemberitahuan putusan tersebut diterima. Pengadilan Negeri harus memeriksa keberatan yang diajukan oleh pelaku usaha dalam waktu 14 haru sejak diterimanya keberatan tersebut, dan harus memberikan putusan dalam waktu 30 hari sejak dimulainya pemeriksaan keberatan tersebut. Apabila terdapat keberatan atas putusan Pengadilan Negeri maka pihak yang berkeberatan atas putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri, dapat mengajukan Kasasi kepada Mahkamah Agung dalam waktu 14 hari terhitung sejak putusan dijatuhkan. Mahkamah Agung harus memberikan putusan dalam waktu 30 hari sejak permohonan kasasi diterima.

G. Macam-macam Sanksi yang dapat dikenakan

Sanksi yang diberikan dalam Undang-undang secara garis besar dapat dibedakan kedalam :

1. Tindakan administrative (pasal 47 ayat 2)

Tindakan administrative yang dapat diambil menurut ketentuan Undang-undang adalah sebagai berikut:

a. Penetapan pembatalan perjanjian yang dilarang oleh Undang-undang sebagaimana yang

diatur dalam ketentuan pasal 4 sampai dengan pasal 13, pasal 15 dan pasal 16 Undang-undang sebagaimana berikut:

1. Perjanjian untuk menguasai produksi dan atau pemasaran barang dan jasa yang dapat

(36)

2. Perjanjian yang menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar

oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.

3. Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang

berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama.

4. Perjanjian yang membuat suatu penetapan harga dibawah pasar,yang dapat

mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

5. Perjanjian yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan

menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang telah diterimanya, dengan harga yang lebih rendah dari pada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

6. Perjanjian yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar

terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

7. Perjanjian yang bertujuan untuk menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan

usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri. 8. Perjanjian dengan maksud untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari

pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut :

a. Merugikan atau dapat diduga merugikan pelaku usaha lain.

b. Membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan atau jasa

dari pasar bersangkutan

9. Perjanjian dengan tujuan untuk mempengaruhi harga dengan engatur produksi dan

atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

10. Perjanjian kerjasama untuk membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang

lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

11. Perjanjian yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau

(37)

pasar yang bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopolidan atau persaingan usaha tidak sehat.

12. Perjanjian yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa

hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.

13. Perjanjian yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa

tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok. 14. Perjanjian yang memberikan harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau

jasa, dengan syarat bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok :

a. Harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.

b. Tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha

lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.

15. Perjanjian yang dibuat dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang

dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. a.Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan pembuatan atau pelaksanaan perjanjian yang menyebabkan terjadinya intergrasi vertical yang antara lain dilaksanakan dengan pembatalan perjanjian, penglihatan sebagian perusahaan kepada pelaku usaha lain atau perubahan bentuk rangkaian produksinya yang dilarang oleh ketentuan pasal 14 Undang-undang.

b.Pemerintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat,berupa tindakan tertentu dan bukan kegiatan usaha pelaku usaha secara keseluruhan.

c. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi

dominan.

d.Penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 28 Undang-undang.

(38)

f. Pengenaan denda serendah-rendahnya Rp. 1.000.000.000,00 dan setinggi-tingginya

Rp.25.000.000.000,00.

2. Sanksi pidana pokok (pasal 48)

Selain sanksi administrative khusus untuk perbuatan-perbuatan hukum tertentu yang melanggar ketentuan undang juga dikenakan sanksi pidana pokok menurut Undang-undang sebagai berikut:

a. Pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan pasal 4 mengenai penguasaan produksi,

pasal 9 mengenai pembagian wilayah, pasal 10 yang bertujuan untuk menghalangi kegiatan usaha dari pelaku usaha lain, pasal 11 mengenai peraturan produksi, pasal 12 mengenai pembentukan kartel usaha, pasal 13 mengenai penguasaan pasokan secara bersama-sama oleh pelaku usaha, pasal 14 tentang integrasi vertical, pasal 16 tentang perjanjian internasional yang dilarang, pasal 17 tentang kegiatan monopoli, pasal 18 tentang monopsoni, pasal 19 mengenai kegiatan penguasaan pasar, pasal 25 tentang mengenai posisi dominan, pasal 27 tentang kepemilikan saham mayoritas dan pasal 28 tentang penggabungan, peleburan dan pengambilalihan saham dan diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp25.000.000.000,00 dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000,00 atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 bulan.

b. Pelanggaran terhadap ketentuan pasal 5 tentang penetapan harga secara bersama , pasal

6 tentang perbedaan harga jual, pasal 7 tentang penetapan harga dibawah harga pasar, pasal 8 tentang penentuan batas atau patokan harga tertentu, pasal 15 tentang perjanjian tertutup dengan pihak ke tiga, pasal 20 tentang penjualan rugi, pasal 21 tentang perlakuan kecurangan dalam biaya produksi, pasal 22 sampai dengan pasal 24 tentang persekongkolan dan pasal 26 tentang jabatan rangkap diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp.5.000.000.000,00 dan setinggi-tingginya Rp.25.000.000.000,00 atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 bulan.

c. Pelanggaran terhadap ketentuan pasal 41 mengenai pemeriksaan terhadap pelaku usaha

diancam pidana deda serendah-rendahnya Rp.1.000.000.000,00 dan setinggi-tingginya Rp.5.000.000.000,00 atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 bulan.

(39)

Di luar sanksi pidana pokok yang dikenakan dalam pasal 48 ayat 1 sampai dengan ayat 3 Undang-undang tersebut di atas ketentuan pasal 49 Undang-undang menetapkan sanksi pidana tambahan dengan menunjuk pada ketentuan pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana yang dijatuhkan berdasarkan ketentuan pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:

a. Pencabutan izin usaha

b. Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap

Undang-undang ini untuk menduduki jabatan Direksi atau Komisaris sekurang-kurangnya 2 tahun dan selama-lamanya 5 tahun.

c. Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada

pihak lain.

4. Pengecualian-pengecualian

Selain pengecualian yang secara khusus diatur dalam pasal 5 ayat 2 mengenai penetapan harga secara bersama, Undang-undang juga mengecualikan beberapa hal berikut ini dari berlakunya Undang-undang ini:

a. Perbuatan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan

yang berlaku

b. Perjanjian penetapan standar teknis produk barang atau jasa tidak mengekang dan tidak

menghalangi persaingan.

c. Perjanjian kerjasama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup

masyarakat yang luas.

d. Perjanjian internasioanal yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia.

e. Perjanjian kerjasama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup

masyarakat luas

f. Perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia

g. Perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu

kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri

h. Pelaku usaha yang tergolong dalam Usaha Kecil sebagaimana dimaksud

Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil

(40)

CONTOH KASUS PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT: Kasus 1:

Chevron Divonis Denda Rp 2,5 Milyard

JAKARTA. Raksasa perusahaan minyak Chevron Indonesia Company divonis bersalah melakukan tindakan diskriminasi dalam tender export pipeline front end enggineering & design contract. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menghukum Chevron membayar denda sebesar Rp 2,5 miliar.

“Menyatakan bahwa terlapor I (Chevron) terbukti secara sah dan menyakinkan melanggar Pasal 19 Huruf D Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999,” kata Ketua Majelis Komisi Muhammad Nawir Messi, Kamis (16/5).

Dalam Pasal 19 Huruf d disebutkan pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku uasaha lain yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat berupa melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.

Sementara itu, Majelis Komisi juga memutuskan bahwa PT Worley Parsons Indonesia (terlapor II) tidak terbukti melanggar Pasal 19 Huruf D UU No. 5 Tahun 1999. Chevron disebutkan melakukan praktek diskriminasi terhadap peserta tender lainnya yakni PT Wood Group Indonesia. Sementara itu, Chevron telah menetapkan PT Worley Parsons (terlapor II) selaku pemenang tender.

Terkait putusan ini, Stefanus Haryanto, Kuasa Hukum Chevron, enggan untuk memberikan komentarnya. “No comment ya,” katanya. Hal serupa juga disampaikan oleh Mochmad Fachri selaku kuasa hukum Worley Parsons.

Perkara ini berawal dari penyelidikan terhadap Resume Monitoring KPPU RI mengenai adanya Dugaan Pelanggaran Pasal 19 huruf d dan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 pada Dugaan Pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terkait dengan Tender Export Pipeline Front End Engineering & Design Contract (No. C732791) di Lingkungan Chevron Indonesia Company, yang dilakukan oleh Chevron Indonesia Company sebagai Terlapor I dan PT Worley Parsons Indonesia sebagai Terlapor II.

Referensi

Dokumen terkait

Manajemen sering diartikan sebagai seni untuk melaksanakan suatu pekerjaan melalui orang lain atau sekelompok orang yang memiliki wewenang dan tanggung jawab untuk mengelola

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, penulis penjatkan puji dan syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat

Sikap adalah gejala internal yang berdimensi afektif berupa kecenderungan untuk mereaksi atau merespon dengan cara yang relatif terhadap objek orang, barang, dan

Sumber itu asli atau salinan dan sudah dirubah (Ismaun, 2005, hlm. Kritik internal atau kritik dalam, yakni untuk menilai kredibilitas sumber terhadap aspek dari dalam

Peran serta masyarakat dan partisipasinya dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan pemerintahan desa dari seluruh aspeknya, tidak akan dapat berjalan secara maksimal, bilamana

Kalimantan Timur hanya terealisasi sebesar Rp10,51 triliun atau 28,72 persen dari pagu. Capaian ini menurun dibandingkan periode tahun lalu yang terealisasi 31,58 persen.. Nilai ini

Oleh karena itu hubungan kerjasama dapat berjalan hingga saat ini dan menyebabkan kemudahan dalam pengembangan kerjasama.Selama tiga periode, kerjasama sister city

Diharapkan dengan adanya penelitian ini maka dapat dirancang sistem yang baik melalui penggunaan SDLC dengan memperhatikan faktor perilaku yang mungkin muncul untuk