• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.6 Kerangka Teori

1.6.3 Praktik Penggemblakan

Praktik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2008: 1098) dapat diartikan sebagai pelaksanaan pekerjaan. Adapun dalam penelitian ini, praktik dimaksudkan sebagai pelaksanaan pekerjaan sebagai seorang gemblak. Gemblak diartikan sebagai penari (ronggeng) laki-laki yang menjadi piaraan laki-laki lain (KBBI, 2008: 435). Gemblak dalam penelitian ini adalah anak lelaki peliharaan seorang warok yang dipercaya dapat mempertahankan kesaktiannya. Tugas utama gemblak adalah melayani kebutuhan seks seorang warok.

Gemblak adalah anak laki-laki yang ganteng berusia di bawah 15 tahun, berkulit kuning, berprofesi sebagai teman kencan warok. Gemblak selalu menemani warok karena warok tidak boleh berhubungan seks dengan wanita. Oleh sebab itu, warok mengencani gemblak tersebut (Maryaeni, 2005: 102).

Gemblak juga merangkap sebagai penari jathilan. Gemblak merupakan penari laki-laki berkuda yang bertingkah dan didandani seperti perempuan. Mereka melambangkan pasukan Majapahit yang tidak jantan dan lemah. Gemblak yang berperan sebagai penari terdiri dari laki-laki yang berparas bagus dan biasa disebut

jathil. Mereka juga berfungsi sebagai pelayan para warok dalam menyalurkan hasrat seksualnnya (homoseksualitas) (Fauzanafi, 2005: 78-79).

Warok adalah tokoh kharismatik dalam kesenian reog Ponorogo yang biasanya ditarikan oleh laki-laki dengan atribut fisik berewok dan dadanya ditumbuhi bulu yang lebat. Ia berkedudukan sebagai pemimpin reog (Huda, 2009: 130). Warok merupakan ciri khas/ karakter jiwa masyarakat Ponorogo yang telah mendarah daging sejak dahulu yang diwariskan oleh nenek moyang kepada generasi penerus. Calon warok biasanya harus menjalani tirakat sangat berat, salah satunya pantang berhubungan seks dengan perempuan. Untuk mengalihkan hasrat seksualnya, warok memelihara gemblak yaitu pemuda belasan tahun yang dijadikan kekasih (Huda, 2009: 43-44).

Warok sendiri memiliki arti besar. Seseorang disebut warok jika sudah besar wibawanya dan besar sekali kedudukannya dalam masyarakat. Ia disegani dan dihormati. Warok berperawakan tinggi besar, berkumis, berjanggut panjang, dan memiliki senjata berupa usus-usus yang ampuh. Dahulu warok umumnya menjabat sebagai demang. Sedang dalam kesenian reog ia sebagai pemimpin sekaligus pemain barongan (Hartono, 1980: 33-34).

Masyarakat Ponorogo memandang warok sebagai teladan yang melegenda di dalam tradisi kesenian reog Ponorogo. Bisa dipastikan jika ada reog maka juga ada warok. Antara reog dengan warok dihubungkan dengan fakta bahwa keduanya merupakan dimensi pembentuk tradisi dalam kehidupan masyarakat Ponorogo (Huda, 2009: 88).

Menurut Riyadi (dalam Maryaeni, 2005: 83-84), kata reog berasal dari bahasa Arab (Riyyuq), karena pengaruh dari dialek bahasa Jawa maka berubah menjadi kata reog yang artinya khusnul khotimah atau bagus pada akhirnya (apik pungkasane dalam bahasa Jawa). Reog merupakan sendratari tradisional yang berasal dan berkembang di Kabupaten Ponorogo, 28 kilometer dari Madiun.

Reog adalah tarian tradisional dalam arena terbuka yang berfungsi sebagai hiburan rakyat, mengandung unsur magis, penari utamanya adalah orang berkepala singa dengan hiasan burung merak, ditambah beberapa penari bertopeng dan berkuda lumping yang semuanya laki-laki (KBBI, 2008: 1166). Menurut Koentjaraningrat (dalam Huda, 2009: 3), reog adalah tarian raksasa dari Ponorogo. Rombongan terdiri atas seorang penari topeng utama, empat penari kuda yang lazim disebut jathil, seseorang yang memerankan raksasa reog, ditambah seseorang yang berperan memerangi raksasa tersebut. Selain itu reog dilengkapi dengan pentulan dan lima atau enam orang pemain bunyi-bunyian yang terdiri atas kethuk, kendang, gong, ketipung, angklung, dan terompet.

Mahmudi (dalam Huda, 2009: 50) mengatakan reog memiliki lima fungsi, yaitu (1) reog berfungsi sebagai seni, (2) reog berfungsi sebagai kewaspadaan, (3) reog berfungsi sebagai perjuangan, (4) reog berfungsi sebagai hiburan, dan (5) reog berfungsi sebagai penggerak. Dari segi perlengkapan reog, pemain pernah mengalami trance (kesurupan) yang dipercaya sebagai bentuk tarian keagamaan dan pemujaan terhadap binatang atau totem. Kesurupan menandakan bahwa unsur animisme dan dinamisme sangat mewarnai identitas tyang ho’e (Huda, 2009: 50-51).

Tyang ho’e terdiri dari para senggakan, yaitu orang-orang yang bertugas mengeluarkan teriakan agar pentas reog semakin semarak. Suara bunyi-bunyian yang keluar dari mulut mereka adalah “hok’e..hok’e..hok’e atau hak’e.. hak’e.. hak’e” dan geraman menyerupai harimau, selebihnya adalah teriakan-teriakan spontan. Mereka adalah penonton, pengiring, dan pemain yang tergabung dalam komunitas reog (Huda, 2009: 6-7). Tyang ho’e merupakan ruh dalam kesenian reog Ponorogo meskipun mereka sendiri terhegemoni oleh isme-isme yang bermuatan ideologi, politik maupun ekonomi (Huda, 2009: 25).

Reog Ponorogo memiliki ciri-ciri khusus dan ciri-ciri khas. Ciri-ciri khususnya, yaitu reog disajikan dalam bentuk sendratari, reog berfungsi sebagai penggerak massa, reog memiliki sugesti yang kuat, reog menganut ilmu mistik, reog memiliki lagu-lagu khusus, dan reog dapat dimainkan di mana pun. Ciri-ciri khasnya, yaitu menggunakan pakaian daerah, semua pemain dan peserta kesenian reog orang laki-laki, penari kuda kepang anak laki-laki yang manis, dan menggunakan gamelan khusus (Hartono, 1980: 12-20).

Dalam perkembangannya, reog dibedakan menjadi reog festival dan reog obyogan. Reog festival biasanya dipentaskan dalam acara-acara resmi dan formal semacam Festival Reog Nasional (FRN) dan penyambutan tamu pemerintah. Reog obyogan atau disebut reog desa biasanya ditanggap oleh individu, keluarga atau desa dalam acara-acara khusus seperti pernikahan, khitanan, slametan atau bersih desa. Permainannya pun lebih bebas (Fauzanafi, 2005: 107-108).

Menurut Huda (2009: 47), reog Ponorogo yang semula disebut “Barongan” merupakan satire (sindiran) Demang Ki Ageng Kutu Suryongalam kepada raja Majapahit Prabu Brawijaya V (Bhree Kertabumi). Raja dianggap belum melaksanakan tugas-tugas secara tertib, adil, dan memadai. Kekuasaannya lebih dipengaruhi bahkan dikendalikan permaisurinya. Budaya rikuh pekewuh waktu itu masih kental sehingga Ki Ageng Kutu tidak bisa berbuat banyak sebagai bawahan. Ki Ageng terpaksa memperkuat dirinya dengan pasukan perang yang terlatih berikut para waroknya dengan berbagai ilmu kanuragan. Inilah yang sebenarnnya menjadi ciri khusus pada kesenian reog yang sekarang sudah berangsur berkurang, yaitu hubungan kesenian reog dengan ilmu mistik.

Penggemblakan adalah praktik homoseksual yang diterima begitu saja, bahkan diakui oleh sebuah masyarakat di daerah Jawa Timur sebagai bagian dari tradisi mereka. Gemblak berfungsi sebagai pelayan para warok dalam menyalurkan hasrat seksualnya (homoseksualitas). Praktik penggemblakan ini dikaitkan dengan ajaran kanuragan yang mereka pelajari yang melarang mereka berhubungan seks dengan wanita, karena hal itu dipercaya dapat menghilangkan kesaktian mereka (Wibowo dalam Fauzanafi, 2005: 79).

Penggemblakan dalam novel Gemblak dilakukan oleh warok Hardo Wiseso kepada Sapto dan Prapto. Bermula dari himpitan sosial dan ekonomi, Sapto harus merelakan dirinya menjadi piaraan seorang warok. Warok dalam hal ini (Fauzanafi, 2005: 198) yaitu orang lelaki yang mempunyai kedudukan tinggi di Ponorogo dan memelihara gemblak untuk dijadikan pemuas nafsu seksnya agar mendapat kesaktian.

Dalam urusan pergemblakan ini pun, ada mak comblangnya. Bila mak comblang sudah punya pandangan, biasanya lelaki tampan berusia 9-16 tahun, bertingkah laku lemah gemulai, dan sudah putus sekolah karena miskin, maka mak comblang akan mendatangi rumah orang tua calon gemblak. Kata si comblang, anak itu akan dimanfaatkan guna keperluan perkumpulan sinoman (para orang muda). Anak itu akan disekolahkan dan dirawat. Bapak dan ibu calon gemblak biasanya lalu maklum, anaknya dilamar untuk dijadikan gemblak. Bila gayung bersambut, langkah berikutnya adalah tawar-menawar masa kontrak dan imbalan (Tempo, 10/10/87).

Dokumen terkait