• Tidak ada hasil yang ditemukan

Praktik Perlindungan WNI/BHI Kondisi saat ini (Das Sein)

Dalam dokumen BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang (Halaman 22-35)

Berdasarkan database e-perlindungan yang dimiliki oleh Kementerian Luar Negeri, tercatat per Januari 2017 terdapat sebanyak 2.919.261 WNI yang berada di luar negeri. Jumlah tersebut tidaklah bersifat mutlak mengingat banyaknya WNI yang tidak melaporkan diri ke Perwakilan RI di negara setempat. Besarnya jumlah WNI di luar negeri tentunya membawa konsekuensi yang berbanding lurus dengan permasalahan WNI di luar negeri.

Pada periode 20 Oktober 2015 hingga 20 Oktober 2016, setidaknya terdapat 15.748 kasus WNI di luar negeri, yang meliputi; kasus pidana (1.111 kasus), kasus perdata (27), kasus keimigrasian (10.414), kasus ketenagakerjaan (2.344), dan kasus-kasus lainnya (1.851). Dari jumlah tersebut, sebanyak 10.243 kasus (65%) dapat diselesaikan oleh Kementerian Luar Negeri dan Perwakilan RI di luar negeri. Sementara, 5.505 (35%) kasus lainnya masih berjalan dan terus ditangani.

Dari jumlah tersebut di atas, terdapat beberapa kasus dengan karakteristik khusus, seperti: permasalahan WNI ABK kapal penangkap ikan di luar negeri, permasalahan terkait haji, umroh, dan ziarah keagamaan lainnya, penyanderaan WNI, repatriasi, tindak pidana perdagangan orang, terorisme, perang dan konflik politik, dan permasalahan TKI.

Page 23 of 87 Terkait permasalahan WNI ABK, pada umumnya kasus-kasus yang ditangani meliputi: sengketa upah, perlakuan tidak manusiawi dan kondisi kerja yang tidak baik, tindak pidana dan dokumentasi, sengketa kontrak kerja atau perjanjian kerja laut, kompetensi dan pengetahuan yang tidak memadai, asuransi dan permasalahan administrasi. Setidaknya, dalam kurun waktu 20 Oktober 2015 hingga 20 Oktober 2016, terdapat 441 kasus WNI ABK, dimana 210 kasus diantaranya (48%) berhasil diselesaikan, sementara sisanya masih terus ditindaklanjuti.

Permasalahan terkait haji, umroh dan ziarah keagamaan lainnya merupakan permasalahan WNI di luar negeri yang cukup unik dan membutuhkan penanganan khusus. Pada pertengahan Agustus 2016, masyarakat dikejutkan oleh pencekalan 177 WNI calon haji dan penahanan 106 WNI jamaah haji pengguna paspor Filipina pada periode 22-29 September 2016, oleh Otoritas Imigrasi Filipina. Tidak berhenti di situ, pada tanggal 8 September 2016 juga terjadi penangkapan 229 WNI yang hendak menunaikan ibadah haji di daerah Aziziyah, Mekkah terkait dengan pelanggaran keimigrasian. Seluruhnya berhasil ditangani dengan baik oleh Kementerian Luar Negeri dan Perwakilan RI di Arab Saudi, seluruh WNI bisa dipulangkan kembali ke Indonesia, tanpa perlu menghadapi tuntutan hukum dari otoritas di Filipina maupun Arab Saudi. Padahal jelas yang dilakukan oleh para WNI tersebut adalah pelanggaran hukum negara setempat.

Penyanderaan WNI juga menjadi salah satu fenomena baru dalam dinamika perlindungan WNI di luar negeri. Sepanjang tahun 2016, dan dalam kurun waktu lima bulan (Maret-Agustus), telah terjadi lima kali insiden penyanderaan terhadap total 32 orang WNI ABK di Filipina Selatan. Selain penyanderaan WNI di Filipina, Pemerintah Indonesia juga menangani penyanderaan WNI ABK Kapal Naham 3 oleh perompak di Somalia yang telah berlangsung sejak Maret 2012.

Page 24 of 87 Program repatriasi, atau yang sering disebut dengan pemulangan, WNI overstayers (WNIO) atau TKI undocumented (TKIU) juga dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo pada 17 Desember 2014. Program tersebut dimaksudkan untuk memulangkan secara bertahap sekitar 1,8 juta WNIO/TKIU yang tersebar di berbagai negara, terutama di Malaysia, Arab Saudi dan Timur Tengah, kembali ke Indonesia.

Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di luar negeri juga tidak luput dari perhatian Kementerian Luar Negeri dan Perwakilan RI di luar negeri. Selama periode 2012 sampai dengan 12 Juni 2016, sebanyak 2.118 WNI korban TPPO telah dipulangkan dan mendapatkan penanganan di Indonesia.

Dinamika keamanan global juga turut mempengaruhi kerja perlindungan WNI di luar negeri. Sepanjang tahun 2016, intensitas serangan teror yang terjadi di seluruh penjuru dunia semakin meningkat. Aksi keji para teroris terjadi di berbagai penjuru dunia; seperti Paris, Istanbul, Brussels hingga Orlando. Hal ini tentunya berimbas pada keselamatan WNI, dan bahkan dalam banyak kasus terdapat indikasi keterlibatan WNI sebagai bagian dari kelompok teror.

Turbulensi politik di berbagai penjuru dunia masih menjadi salah satu faktor yang mengancam keselamatan dan keamanan WNI di luar negeri. Beberapa negara di Timur Tengah seperti Yaman, Suriah, Libya, Irak dan Sudan masih terus bergejolak. Konflik politik yang berkepanjangan kemudian melahirkan perang saudara, kerusuhan horizontal hingga aksi terorisme. Padahal masih cukup banyak WNI yang berada di wilayah Timur Tengah, baik sebagai TKI maupun pelajar/mahasiswa.

Page 25 of 87 Berbagai macam kejadian buruk menimpa para WNI di luar negeri. Meskipun mayoritas kasus WNI di luar negeri masih didominasi oleh kasus TKI, khususnya mereka yang bekerja di sektor domestik, namun beberapa kasus WNI non-TKI juga dapat dijadikan pelajaran tersendiri dalam khazanah perlindungan WNI di luar negeri. Pemerintah dituntut bukan hanya dapat memberikan perlindungan kepada WNI yang menjadi korban tindak kejahatan, tapi juga memastikan proses hukum yang adil dan non-diskriminatif kepada WNI yang menjadi pelaku tindak kejahatan.

Bentuk perlindungan yang dilakukan sangat beragam, mulai dari pelayanan kekonsuleran (pembuatan paspor, visa, legalisasi dokumen, dan lain sebagainya), pendampingan hukum, hingga mengambil alih tanggung jawab yang seharusnya menjadi beban pemberi kerja/penyalur atau WNI/TKI itu sendiri; membiayai pemulangan, biaya pengobatan, hingga biaya pengacara. Berbagai bentuk perlindungan tersebut, yang bahkan banyak diantaranya dilakukan beyond state responsibility, tentunya menjadi beban tersendiri, tidak hanya pada anggaran negara, namun juga mereka yang melakukan perlindungan WNI di luar negeri, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Kondisi yang diharapkan (Das Sollen) a. Batasan Perlindungan

Tekanan media yang begitu tinggi diiringi dengan desakan masyarakat menciptakan persepsi akan adanya kewajiban Pemerintah untuk memberikan perlindungan tanpa batas. Sementara itu, ketentuan hukum yang ada baik pada tataran internasional maupun nasional juga tidak menyediakan panduan yang jelas mengenai upaya-upaya apa saja yang wajib dilakukan Pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap warga negaranya di luar negeri. Padahal, perlu dipahami bahwa perlindungan yang diberikan tentunya berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku baik berdasarkan hukum nasional, hukum setempat, maupun hukum internasional. Artinya, dalam upaya pemberian

Page 26 of 87 perlindungan terhadap warga negaranya di luar negeri, Pemerintah tidak dapat mengintervensi hukum negara lain, dan begitu pula sebaliknya.

Praktik pemberian perlindungan berbeda-beda di setiap negara, tergantung ketentuan nasional masing-masing negara, serta tunduk pada pembatasan yang diberikan oleh hukum internasional. Indonesia, meskipun belum memiliki panduan jelas mengenai pemberian perlindungan, pada praktiknya selama ini telah memberikan perlindungan secara lebih luas, jika dibandingkan dengan praktik negara lain, khususnya negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris atau Australia. Pemberian perlindungan secara lebih luas ini mempertimbangkan antara lain perbedaan karakteristik WNI di luar negeri dengan warga negara asing lain. WNI di luar negeri mayoritas berasal dari kalangan menengah ke bawah, bergender perempuan dan memiliki tingkat pendidikan yang relatif rendah. Hal ini berbeda dengan karakteristik warga negara lain yang mayoritas berasal dari kalangan menengah ke atas, dan memiliki tingkat pendidikan relatif lebih tinggi.

Atas pertimbangan tersebut, dipandang perlu untuk menciptakan suatu batasan perlindungan sebagai pedoman Pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada WNI di luar negeri. Batasan ini tentu tidak harus sama seperti batasan yang dibuat oleh negara lain, namun menyesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia, serta menerjemahkan keinginan umum yang timbul di masyarakat tentang bagaimana seharusnya praktik perlindungan warga negara oleh Pemerintah dilakukan. Namun demikian, batasan ini juga seyogyanya dapat dibuat dengan memperhatikan prinsip dasar perlindungan warga negara, dimana Pemerintah tidak mengambil alih tanggung jawab pidana atau perdata WNI. Batasan ini sekaligus untuk mengedukasi masyarakat bahwa WNI bertanggung jawab atas setiap tindakan yang diperbuatnya. Artinya, tidak setiap akibat tindakannya dapat dialihkan kepada orang lain apalagi Pemerintah. Prinsip ini sesuai dengan amanat UUD NRI 1945 yang

Page 27 of 87 menyatakan bahwa Pemerintah melindungi segenap bangsa Indonesia, namun juga memiliki kewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

b. Perlindungan WNI dalam Kondisi Khusus (Bencana Alam, Perang dan Konflik)

Berbeda dengan penanganan kondisi darurat di dalam negeri yang memiliki prosedur penanganan secara teknis dan terlembaga dengan baik, pengaturan penanganan WNI di luar negeri yang menghadapi kondisi darurat, seperti bencana alam, perang ataupun konflik, belum memiliki pengaturan secara jelas. Padahal hal ini telah menjadi kebutuhan nyata yang harus segera diatur. Pengaturan ini mutlak dibutuhkan sebagai pedoman dan juga pertanggungjawaban perlindungan yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia kepada WNI di luar negeri yang menghadapi kondisi darurat.

c. Pemisahan Isu Perlindungan WNI dengan Isu Perlindungan BHI

Selain melindungi kepentingan WNI, Pemerintah juga memiliki kewajiban untuk melindungi kepentingan Badan Hukum Indonesia (BHI) di luar negeri. Kewajiban ini pada tingkat nasional diatur dalam Pasal 18 UU Hublu, dan pada tingkat internasional tercantum dalam Pasal 5 butir (a) Konvensi Vienna 1963 tentang Hubungan Konsuler.

Meskipun kewajiban perlindungan terhadap WNI dan BHI disejajarkan dalam pengaturan yang sama, sifat dan praktik pemberian perlindungan WNI dan BHI merupakan dua hal yang berbeda. Pemberian perlindungan terhadap WNI pada prinsipnya adalah upaya guna menjamin pemenuhan hak individu tersebut oleh negara tujuan, yang dilaksanakan dalam berbagai bentuk, antara lain: pemberian bantuan kekonsuleran dan pemberian pendampingan serta bantuan hukum. Di lain pihak, pemberian perlindungan terhadap BHI lebih menekankan pada aspek promosi dan kemudahan berusaha, yang dilaksanakan dalam bentuk: penyediaan

Page 28 of 87 informasi pasar (market intelligence), fasilitasi kemudahan perizinan, atau fasilitasi guna mempertemukan business demand di negara tujuan dengan

business supply yang tersedia di Indonesia.

Atas pertimbangan tersebut, perlindungan terhadap BHI dinilai perlu untuk diatur secara terpisah dari bab perlindungan terhadap WNI, guna dapat mengoptimalkan pemberian perlindungan terhadap BHI.

3. Aspek Organisasi Internasional Kondisi saat ini (Das Sein)

Pengaturan mengenai keanggotaan Indonesia pada Organisasi Internasional secara komprehensif diatur oleh Keputusan Presiden Nomor 64 Tahun 1999 Tentang Keanggotaan Indonesia dan kontribusi Pemerintah RI pada Organisasi-Organisasi Internasional.

Perlu menjadi catatan bahwa Keppres tersebut lahir pada saat krisis ekonomi 1998 yang mana pada saat itu Pemerintah tidak dapat membayar seluruh kontribusi pada OI karena hampir seluruh tagihan dalam mata uang asing. Dengan adanya Keppres tersebut, pembayaran kontribusi Pemri pada OI yang semula dilakukan oleh instansi penjuru, kini dilakukan satu pintu oleh Kemenlu, agar pembayarannya dapat dilakukan berdasarkan skala prioritas pemerintah. Keppres tersebut juga tidak berkaitan dengan UU Hublu dan UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional karena kedua UU tersebut lahir setelah diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 64 Tahun 1999.

Pada sisi lain, seiring dengan pemulihan ekonomi Indonesia, perubahan kebijakan pemerintah seperti prinsip money follows programs, serta terbitnya UU Hublu dan UU PI yang lebih tinggi hirarkis peraturan perundang-undangannya, Keppres tersebut saat ini tengah mengalami revisi khususnya pada definisi OI dan Kontribusi Pemri. Oleh karena itu, sejalan dengan hal tersebut, revisi UU Hublu khususnya yang terkait

Page 29 of 87 dengan norma keanggotaan Indonesia pada OI dapat dituangkan secara umum, luwes, namun tetap dapat memberikan ruang untuk mengakomodir prinsip-prinsip keanggotaan Indonesia dan kontribusi Pemerintah RI pada OI antara lain keangotaan Indonesia dan kontribusi Pemerintah RI pada OI dilakukan berdasarkan prinsip cost and benefit, mempertimbangkan manfaat, efektivitas, besarnya kontribusi, kedudukan dan peranan Indonesia dan kondisi keuangan negara

Kondisi yang diharapkan (Das Sollen)

Peran serta Indonesia dalam dunia internasional, termasuk keanggotaan Indonesia pada OI, merupakan suatu keniscayaan. selain karena merupakan amanat alinea keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, agar pemerintah RI ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, peran serta Indonesia dalam dunia internasional merupakan salah satu upaya untuk mencapai kepentingan nasional Indonesia di tengah semakin kompleksnya kondisi dunia saat ini.

Khusus mengenai pengaturan keanggotaan Indonesia pada OI, diharapkan agar keanggotaan Indonesia pada OI dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk pencapaian kepentingan nasional antara lain mencakup:

- Keanggotaan Indonesia pada OI dilakukan dengan mempertimbangkan manfaat yang diperoleh serta dilakukan berdasarkan asas cost and

benefit.

- Instansi yang menjadi penjuru keanggotaan Indonesia pada OI dapat didorong untuk melakukan optimalisasi keanggotaan Indonesia pada OI yang diikuti.

Terkait revisi UU Hublu, terdapat dua hal yang diharapkan dapat terakomodir dalam revisi UU Hublu, yaitu:

- Mempertahankan definisi OI sebagaimana UU Hublu yaitu ’organisasi antar-pemerintah’. Hal ini sejalan dengan prinsip money follows

Page 30 of 87

programs dan pengelolaan kontribusinya juga dibatasi menjadi

kontribusi keanggotaan saja.

- Merevisi Pasal 9 ayat (1) UU Hublu agar persetujuan masuknya Indonesia pada OI oleh DPR dilakukan secara selektif dan hanya dibatasi pada hal-hal yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi harkat hidup rakyat seperti masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara, perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah RI, kedaulatan, HAM, lingkungan hidup, pembentukan kaidah hukum baru atau pinjaman/hibah luar negeri.

4. Aspek Kerja Sama Daerah Kondisi saat ini (Das Sein)

Pada awalnya kerja sama internasional yang dijalani Pemerintah Daerah (Pemda) lebih pada tataran bilateral (misalnya sister city dan sister

province, promosi perdagangan dan sebagainya). Pada perkembangannya

terdapat kecenderungan meluasnya cakupan dan intensitas kerja sama Pemda ke tataran multilateral (misalnya pembentukan Mayor for Peace,

Global Covenant of Mayor for Climate and Energy, serta undangan

berpartisipasi pada konferensi internasional).

UU Hublu tidak memuat pengaturan mengenai kerja sama internasional oleh daerah, namun hanya mengandung referensi singkat mengenai “daerah” pada bagian Ketentuan Umum. Saat ini sedang dibahas rancangan Peraturan Pemerintah mengenai teknis kerja sama internasional yang dilakukan oleh Pemda.

Kondisi yang diharapkan (Das Sollen)

Mengingat hal-hal tersebut diatas kedepan diharapkan agar ketentuan-ketentuan umum terkait penyelenggaraan kerja sama internasional oleh daerah dapat menjadi pedoman dan penegasan peran Kemlu terkait koordinasi dan konsultasi daerah dapat diatur dalam revisi

Page 31 of 87 UU Hublu agar terdapat keselarasan kerja sama luar negeri oleh daerah dengan Polugri RI

5. Aspek Kerja Sama Teknik Kondisi Saat ini (Das Sollen)

Kerja Sama Teknik (KST) telah menjadi salah satu aset Polugri yang penting. KST merupakan salah satu bentuk kontribusi nyata Indonesia bagi masyarakat internasional antara lain melalui triangular coorperation dan pengembangan kapasitas bagi negara kurang berkembang. Namun demikian, pengaturan mengenai KST belum masuk dalam revisi UU Hublu.

Kondisi yang diharapkan (Das Sein)

Dalam rangka menegaskan peranan sentral Kemlu bahwa KST merupakan salah satu bentuk perwujudan Polugri, perlu dipertimbangkan untuk memasukkan ketentuan umum mengenai KST pada naskah revisi UU Hublu.

1. Aspek Penjelasan Cakupan Hubungan Luar Negeri Dan Hubungan Dengan Organisasi Internasional

Kondisi saat ini (Das Sein)

Dalam UU Hublu tidak ada pengaturan jelas dan tegas mengenai cakupan dari hubungan luar negeri. Hal tersebut pada gilirannya menimbulkan ketidakjelasan ruang lingkup yang diatur dalam hubungan luar negeri.

Selain itu, hubungan dengan organisasi internasional memiliki praktik yang berbeda dengan hubungan bilateral dengan negara lain. Hal tersebut belum secara jelas digambarkan dalam UU Hublu.

Page 32 of 87 Revisi UU Hublu perlu untuk mencakup hal-hal yang diatur dalam berbagai UU lain yang terkait dengan hubungan luar negeri seperti Perdagangan, Perindustrian, Keamanan Negara, dan lain-lain.

Terkait hubungan dengan organisasi internasional, diperlukan pengaturan bahwa Kementerian Luar Negeri merupakan koordinator dalam melakukan hubungan dengan organisasi-organisasi internasional.

2. Aspek Pemberian Fasilitas Diplomatik Kondisi Saat ini (Das Sein)

Praktik pemberian fasilitas diplomatik pada saat ini didasarkan pada hukum nasional masing-masing negara. Hal ini terutama terlihat jelas pada pengenaan pajak kepada Perwakilan Negara Asing. Ketentuan bahwa negara pengirim harus menghormati dan mematuhi peraturan negara penerima ditetapkan dalam Pasal 41 Konvensi Wina tahun 1961. Sementara itu, Pemerintah RI saat ini masih mengedepankan hukum internasional sebagaimana diatur dalam Pasal 34 Konvensi Wina tahun 1961 dimana Pemerintah RI selaku negara penerima memberikan fasilitas pembebasan pajak.

Situasi demikian pada gilirannya menyebabkan ketidakseimbangan pemberian fasilitas diplomatik antara Pemerintah RI dengan negara sahabat yang memiliki Perwakilan di Indonesia. Ketidakseimbangan ini berpotensi merugikan negara. Salah satu faktor yang mendukung terjadinya kondisi demikian adalah lemahnya koordinasi antara K/L terkait dengan Kementerian Luar Negeri yang memiliki data pemberian fasilitas diplomatik yang diterima Perwakilan RI di negara sahabat.

Kondisi yang diharapkan (Das Sollen)

Untuk memastikan pemberian fasilitas diplomatik yang seimbang dipandang perlu untuk menempatkan Kementerian Luar Negeri sebagai koordinator dalam hal pemberian fasilitas diplomatik dan acuan pengambilan keputusan bagi K/L terkait. Pemberian fasilitas diplomatik

Page 33 of 87 yang melebihi standar umum kepada Perwakilan Negara Asing dimungkinkan sepanjang dilakukan melalui Perjanjian Bilateral dan berdasarkan asas timbal balik.

3. Aspek Perjanjian Internasional Kondisi saat ini (Das Sein)

Kompleksitas hubungan luar negeri juga dipengaruhi oleh proliferasi aturan hukum dan perundang-undangan nasional yang bersinggungan dengan hubungan luar negeri termasuk sengketa yang lahir dari pelaksanaan aturan hukum dan perundang-undangan tersebut. Misalnya RUU Pertembakauan yang masuk prolegnas 2017 mengandung beberapa ketentuan yang bertentangan dengan komitmen Indonesia di berbagai instrumen hukum internasional di WTO.

Sebagai akibat dari dinamika ini, muncul berbagai sengketa antara negara dengan non-state actor seperti MNCs. Hal ini tidak lepas dari fakta bahwa pelaksanaan suatu perjanjian internasional terkadang terbentur dengan aturan hukum nasional.

Selama ini belum ada rujukan dasar hukum yang mengatur siapa yang menjadi koordinator apabila terjadi sengketa yang timbul dari suatu perjanjian internasional (treaty based dispute). Praktik selama ini, koordinator penyelesaian sengketa adalah K/L yang menangani perjanjian internasional dimaksud. Di sisi lain, Kementerian Luar Negeri menurut peraturan perundang-undangan memiliki satuan kerja setingkat eselon 1 yang mempunyai tugas dan fungsi untuk menangani penyelesaian sengketa yang timbul dari suatu perjanjian internasional.

Kondisi yang diharapkan (Das Sollen)

Kegiatan pembuatan, pengawasan, evaluasi, termasuk penyelesaian sengketa yang bersumber dari perjanjian internasional tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Oleh karena itu, diperlukan suatu norma

Page 34 of 87 hukum yang tegas mengenai hal ini. Pengaturan hal ini sebaiknya diatur dalam revisi UU Hublu yang baru.

4. Aspek Aparatur Hubungan Luar Negeri Kondisi Saat Ini (Das Sein)

Sesuai dengan core tugas Perwakilan RI, Unsur Pelaksana Utama dalam pelaksanaan operasional Perwakilan adalah Pejabat Fungsional Diplomat yang berasal dari unsur Kementerian Luar Negeri. Pejabat Fungsional Diplomat adalah Jabatan Fungsional Tertentu dimana Kementerian Luar Negeri merupakan instansi pembinanya. Core tugas jabatan dari Jabatan Fungsional Diplomat adalah melaksanakan diplomasi guna memperjuangkan kepentingan bangsa, negara, dan pemerintah Indonesia dengan negara-negara mitra dan/atau organisasi internasional melalui representing, negotiating, promoting, reporting, protecting, dan

managing.

Di dalam UU Hublu saat ini, terdapat istilah Pejabat Dinas Luar Negeri (PDLN). Pasal 31 dan Pasal 32 UU Hublu sama-sama memberikan definisi untuk istilah PDLN tersebut. Pasal 31 menyebutkan bahwa PDLN adalah Pegawai Negeri Sipil yang telah mengikuti pendidikan dan latihan khusus untuk bertugas di Departemen Luar Negeri dan Perwakilan RI. Kemudian Pasal 32 menyebutkan bahwa PDLN adalah Pejabat Fungsional Diplomat. Pejabat Fungsional Diplomat dapat memegang jabatan struktural selain sebagai jabatan fungsional. Tahun 2014 lalu, telah diterbitkan UU kepegawaian yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Menurut UU ASN, seorang PNS tidak dapat memegang jabatan struktural dan jabatan fungsional pada saat yang bersamaan. UU ASN tidak mengenal istilah PDLN dan praktek selama ini di Kemlu dan Perwakilan RI dimana seorang Pejabat Fungsional Diplomat dapat memegang jabatan struktural dan fungsional pada saat yang bersamaan, tidak dapat diterima di dalam UU ASN.

Page 35 of 87

Kondisi Yang Diharapkan (Das Sollen)

Jabatan Fungsional Diplomat memiliki karakter khusus karena diadopsi dari sistem jenjang kepangkatan diplomatik yang berlaku di seluruh dunia. Terdapat delapan jenjang kepangkatan mulai dari yang terendah, Atase, hingga yang tertinggi, Duta Besar. Jenjang kepangkatan diplomatik ini digunakan khususnya ketika seorang diplomat akan bertemu dengan counterpart-nya dari negara sahabat. Ketika seorang Eselon II melepas jenjang kepangkatan diplomatiknya, yang bersangkutan tidak dapat bertemu dengan counterpart-nya padahal pertemuan dimaksud membutuhkan pengambilan keputusan tingkat Eselon II. Karena kekhususannya ini, sifat dari Jabatan Fungsional Diplomat harus tertutup. Jabatan struktural di Kemlu juga tidak dapat dijabat oleh pejabat selain Jabatan Fungsional Diplomat dikarenakan sifat Kemlu sebagai koordinator hubungan luar negeri dan politik luar negeri. ASN dari K/L lain yang ingin pindah ke Kemlu untuk menjabat dalam jabatan struktural, harus menjadi pejabat fungsional diplomat terlebih dahulu.

D. Kajian Terhadap Implikasi Sistem Baru Yang Akan Diatur Dalam

Dalam dokumen BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang (Halaman 22-35)

Dokumen terkait