• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

Page 1 of 87 BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (UU Hublu) merupakan peraturan perundangan yang mengkodifikasi praktik penyelenggaraan hubungan luar negeri yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah Republik Indonesia (Pemerintah RI). Undang-Undang tersebut juga menetapkan norma dan kaidah penyelenggaraan hubungan luar negeri sebagai implementasi dari ketentuan-ketentuan dasar yang tercantum dalam Pembukaan maupun Batang Tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berkenaan dengan hubungan luar negeri.

Seiring dengan perkembangan domestik di Indonesia dan perkembangan dunia internasional, disadari bahwa berbagai perkembangan tersebut menuntut perlunya perubahan terhadap UU Hublu yang sudah disahkan hampir dua dekade yang lalu. Perkembangan domestik yang menjadi perhatian antara lain proses reformasi yang melahirkan pemerintahan yang semakin demokratis, amandemen terhadap UUD NRI 1945, pengesahan berbagai peraturan perundang-undangan nasional termasuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan dan lain-lain, meningkatnya peran pemerintah daerah dan civil society, serta munculnya kebebasan individu dalam iklim demokrasi. Sedangkan di tingkat Internasional, peran non-state actors global, perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat yang mengaburkan batas-batas antar-negara dalam pergaulan internasional, dan kepentingan nasional yang akan berhadapan dengan regionalisme kiranya perlu pula mendapatkan perhatian dalam rangka perubahan undang-undang tersebut.

(2)

Page 2 of 87

Urgensi atas perubahan terhadap UU Hublu dimaksudkan sebagai upaya untuk semakin menyempurnakan undang-undang tersebut agar dapat mengantisipasi dan mengakomodasikan berbagai perkembangan yang terjadi, khususnya untuk melengkapi kodifikasi praktik penyelenggaraan hubungan luar negeri oleh Pemerintah RI yang belum termuat dalam undang-undang sebelumnya, serta menetapkan dan mengatur kaidah hukum baru dalam hubungan luar negeri. Sementara itu ketentuan-ketentuan yang masih relevan dalam UU Hublu akan tetap dipertahankan, dan apabila perlu diperkuat.

Revisi UU Hublu diharapkan akan menghasilkan peraturan perundang-undangan yang implementatif sebagai pedoman bagi Pemerintah RI dalam menyelenggarakan hubungan luar negeri. Karena itu, pasal-pasal dalam UU Hublu yang baru diharapkan dapat dioperasionalisasikan di lapangan. Untuk pasal-pasal yang memuat kaidah atau norma hukum, ataupun pasal-pasal yang mengatur prinsip dasar dan bersifat umum, perlu ditindaklanjuti dengan pembentukan peraturan perundang-undangan dibawahnya. Selain itu, UU Hublu yang baru juga harus dapat memperkuat dasar dan pedoman penyusunan kebijakan di bidang hubungan luar negeri. Hubungan luar negeri saat ini mengalami dinamika yang semakin pesat. Pada saat ini, hampir semua kementerian/lembaga dan pemerintah daerah juga melaksanakan hubungan luar negeri, dengan tujuan antara lain untuk mendorong perkembangan dan pembangunan ekonomi. Selain itu, kompleksitas hubungan luar negeri juga dipengaruhi oleh proliferasi aturan hukum dan perundang-undangan yang bersinggungan dengan hubungan luar negeri termasuk sengketa yang lahir dari pelaksanaan aturan hukum dan perundang-undangan tersebut. Sementara itu, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi memberikan kemudahan berbagai pihak dalam pelaksanaan hubungan luar negeri. Kondisi ini mensyaratkan perlunya pengaturan tentang peran Kementerian Luar Negeri sebagai koordinator hubungan luar negeri. Untuk itu diperlukan penguatan

(3)

Page 3 of 87

kelembagaan maupun aparatur Kementerian Luar Negeri dalam rangka koordinasi penyelenggaraan hubungan luar negeri.

Perubahan terhadap UU Hublu juga dimaksudkan untuk menyusun peraturan perundang-undangan yang terpadu guna memperkuat upaya memperjuangkan kepentingan nasional sebagaimana diamanatkan pembukaan UUD NRI 1945 antara lain ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Paparan singkat di atas menegaskan perlunya melakukan Perubahan atas Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Dapat dicatat bahwa Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri sudah masuk dalam Daftar Perubahan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Tahun 2015-2019 sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 4/DPR/III/2015-2019 tanggal 26 Januari 2016 dan menjadi prakarsa Pemerintah. Selain itu, Perubahan UU Hublu juga sudah masuk dalam daftar Rancangan Undang-Undang Usulan Pemerintah untuk tahun 2017 dalam pembahasan dengan Badan Legislasi DPR pada bulan November 2016.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, beberapa permasalahan yang dapat diidentifikasikan, antara lain:

1. Permasalahan apa yang dihadapi dalam pelaksanaan UU Hublu bagi kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat serta bagaimana permasalahan tersebut dapat diatasi?

2. Mengapa perlu dilakukan penggantian UU Hublu?

3. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan RUU Hubungan Luar Negeri?

(4)

Page 4 of 87

4. Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan , dan arah pengaturan RUU Hubungan Luar Negeri?

C. Tujuan dan Kegunaan

Sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan Naskah Akademik (NA) ini adalah sebagai berikut:

1. Merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan UU Hublu bagi kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat serta cara-cara mengatasi permasalahan tersebut.

2. Merumuskan urgensi penggantian UU Hublu tentang Hubungan Luar Negeri sebagai dasar hukum penyelesaian atau solusi permasalahan dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

3. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Undang-Undang Hubungan Luar Negeri.

4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan Undang-Undang Hubungan Luar Negeri.

Adapun kegunaan dari NA ini adalah sebagai acuan atau referensi dalam menyusun dan membahas RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Hubungan Luar Negeri. Perubahan Undang-Undang-Undang-Undang Hubungan Luar Negeri ini akan menjadi landasan hukum yang kuat dan menjadi pedoman untuk menyelenggarakan hubungan luar negeri yang lebih responsif dalam mengemban tugas sesuai dengan tuntutan kondisi yang ada, serta menyelaraskan berbagai kegiatan hubungan luar negeri yang telah diselenggarakan oleh berbagai instansi dan lembaga pemerintah.

(5)

Page 5 of 87

1. Jenis Penelitian

Penyusunan NA revisi UU Hublu pada dasarnya merupakan suatu kegiatan penelitian sehingga digunakan metode penyusunan Naskah Akademik yang berbasiskan metode penelitian hukum atau penelitian lain. Penelitian hukum dapat dilakukan melalui metode yuridis normatif dan metode yuridis empiris. Metode yuridis empiris dikenal juga dengan penelitian sosiolegal. Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi pustaka yang menelaah (terutama) data sekunder yang berupa Peraturan Perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian, kontrak, atau dokumen hukum lainnya, serta hasil penelitian, hasil pengkajian, dan referensi lainnya. Metode yuridis normatif dapat dilengkapi dengan wawancara, diskusi (focus group discussion) dan rapat dengar pendapat. Metode yuridis empiris atau sosiolegal adalah penelitian yang diawali dengan penelitian normatif atau penelaahan terhadap peraturan perundang-undangan (normatif) yang dilanjutkan dengan observasi yang mendalam serta penyebarluasan kuesioner untuk mendapatkan data faktor non-hukum yang terkait dan yang berpengaruh terhadap peraturan perundang-undangan yang diteliti.

2. Teknik Pengumpulan Data dan Sumber Data

Penelitian yuridis normatif merupakan suatu penelitian kepustakaan yang dilakukan dengan meneliti data atau dokumen. Penelitian yuridis normatif dilakukan dengan meneliti ketentuan-ketentuan yang ada di dalam peraturan perundang-undangan, konvensi internasional, dan literatur terkait.

Penelitian empiris menggunakan data atau dokumen yang bersifat primer. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari penelitian lapangan atau narasumber. Data primer diperoleh melalui berbagai kegiatan focus group discussion yang membahas secara mendalam

(6)

Page 6 of 87

berbagai topik yang telah dipersiapkan sebelumnya dengan mengundang beberapa narasumber, yaitu akademisi, praktisi, dan mantan duta besar.

3. Waktu dan Lokasi Penelitian

Waktu penelitian dilakukan sejak tahun 2013 hingga 2016, dengan berbagai lokasi di Indonesia apabila berhubungan dengan kerja sama internasional yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Selain itu, dilakukan

juga pengamatan selama melakukan perundingan-perundingan

internasional, termasuk pengamatan intensitas beban kerja pada Perwakilan Republik Indonesia (Perwakilan) yang menangani perlindungan Warga Negara Indonesia (dengan jumlah Tenaga Kerja Indonesia banyak) dan melakukan perbandingan dengan Perwakilan lainnya yang memiliki beban kerja yang berbeda.

4. Teknik Penyajian dan Analisis Data

Hasil penelitian dijabarkan secara deskriptif analitis dan preskriptif. Analitis deskriptif, yaitu mendeskripsikan fakta-fakta yang ada, kemudian dilakukan analisis berdasarkan hukum positif maupun teori-teori yang ada. Analisis deskriptif tertuju pada pemecahan masalah yang ada. Pelaksanaan metode deskriptif ini tidak terbatas hanya sampai pada tahap pengumpulan dan penyusunan data tetapi meliputi analisis dan interpretasi tentang arti data itu sendiri.1 Sifat preskriptif bahwa penelitian mengemukakan

rumusan regulasi yang diharapkan untuk menjadi alternatif penyempurnaan norma-norma serta sistem pengaturannya di masa yang akan datang.

1 Soejono dan Abdurrahman, Metode Penelitian Hukum, cetakan kedua (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hlm 22.

(7)

Page 7 of 87 BAB II

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS A. Kajian Teoritis

Hubungan luar negeri merupakan gabungan implementasi dari beragam disiplin ilmu yang dipraktikkan dalam hubungan antarnegara atau masyarakat dalam panggung internasional. Hubungan luar negeri pada dasarnya merupakan interaksi keseharian atau dinamika masyarakat tetapi dengan cakupan yang lebih universal.

Beberapa kajian seperti Morgenthau dengan bukunya Politik Antar Bangsa2, adalah salah satu contoh analisa spesifik terkait politik

internasional dan hubungan luar negeri. Demikian juga dengan Holsti dengan bukunya, The State, War and the State of War3. Dua contoh tersebut

merupakan beberapa kajian yang membahas persoalan hubungan luar negeri dilihat dari kaca mata aliran Realisme. Beberapa kajian lainnya dilakukan dengan menggunakan paradigma atau aliran berbeda seperti Keohane4 dan Ruggie5 dengan pandangan Liberalismenya, atau Alexander

Wendt dengan pandangan Konstruktivismenya6.

Grotian atau Rasionalis menggambarkan sistem internasional sebagai hubungan kerja sama antarnegara. Meskipun dipersepsikan bahwa dunia

2 Morgenthau, Hans J., Politik Antar Bangsa, terjemahan S. Maimoen, (Jakarta: YOI, 1990).

3 Kalevi J. Holsti., The State, war, and the State of War, (Cambridge: CUP, 1996). 4 salah satu tulisan Keohane adalah (bersama) Joseph S. Nye Jr., “Power and Interdependence in the Information Age”, Foreign Affairs, Vol.77/5, (September/October 1998).

5 John G. Ruggie., Multilateralism: The anatomy of Institutions, International Organization, Vol. 46, No. 3 (Summer, 1992).

6 beberapa pandangan konstruktivisme Wendt dapat ditelusuri dalam beberapa karyanya, seperti: Alexander Wendt. Constructing International Politics, International Security, Vol.20. No.1, (Summer 1995); Social Theory of International Politics, (Cambridge: Cambridge University Press, 1999); “The Agent – Structure Problem in International Reklations Theory”, International Organization, Vol.41/3, (Summer, 1987)

(8)

Page 8 of 87

ini anarkis dan penuh konflik, tetapi masyarakat internasional masih bisa ditata melalui berbagai kesepakatan. Pemikiran ini menitikberatkan pada kerja sama, hukum, diplomasi, atau institusi internasional. Oleh sebab itu sistem internasional tidak bebas dari nilai dan moral. Setiap negara diikat oleh etika pergaulan agar negara-negara tersebut tetap dihormati oleh negara lain. Pemikiran ini memandang pentingnya law and order dan juga

ethics. Para ahli yang termasuk dalam kelompok pemikiran ini adalah Locke, Burke, Castlereagh, Gladstone, Roosevelt, dan Churchill yang mempelopori berdirinya Liga Bangsa-Bangsa.

Berbeda dengan Realisme, baik Pluralisme, Grotian, maupun Rasionalisme tidak melihat negara sebagai satu-satunya aktor dalam panggung politik internasional. Aktor lain yang juga memiliki peran penting dan signifikan, meskipun tidak sekuat negara, adalah NGO internasional, perusahaan multinasional, organisasi antarnegara, dan lain-lain. Pemikiran ini juga tidak menjadikan keamanan sebagai isu utama melainkan pada ekonomi yang memungkinkan negara-negara lebih mudah untuk melakukan kerjasama daripada isu keamanan militer yang cenderung kaku. Untuk membantah asumsi Realis yang cenderung tidak mempercayai adanya saling kejujuran antarnegara dalam bekerjasama yang berakibat pada minimnya hasil, atau bahkan nihil, pemikiran ini berasumsi bahwa berbagai kecurangan tersebut dapat diantisipasi dengan adanya manajemen dan distribusi informasi serta ditegakkannya monitoring yang bisa memberikan sanksi bagi para pelaku curang. Kerjasama tersebut tidaklah harus selalu membuahkan hasil optimal karena hasil bukan merupakan satu-satunya keinginan yang hendak diraih, tetapi proses kerjasama itulah yang lebih penting.

Kantian atau Revolusionalis menolak pandangan Machiavelian dan Grotian. Bagi pengikut Kantian, sistem internasional tidak hanya dimonopoli oleh interaksi negara saja sebagai aktornya tetapi juga dilakukan oleh masyarakat sebagai salah satu unsur pembentuk negara. Pada akhirnya masyarakat internasional yang menentukan arah interaksi

(9)

Page 9 of 87

dalam sistem internasional ini. Meskipun sependapat dengan pandangan moralitas internasional, konsepsi mereka berbeda dengan Grotian yang mengharuskan negara untuk berperilaku baik sebagai anggota sistem internasional. Kantian menekankan pada imperatif revolusioner yang memaksa setiap manusia untuk bekerja demi persaudaraan bersama.

Realisme dan pluralisme mewarnai perdebatan teori hubungan internasional pada 1970-an. Oleh sebab itu, dibandingkan keduanya, globalisme relatif baru serta memiliki pemikiran yang berbeda. Meskipun pemikiran ini menghadirkan harapan titik temu diantara perbedaan pandangan, namun tetap tidak memiliki preskripsi yang lengkap untuk menjawab berbagai persoalan ketimpangan masyarakat internasional, pemikiran ini sampai saat ini kurang menjadi rujukan utama dalam analisis internasional.

Realisme Pluralisme Globalisme Unit

Analisa

Negara Negara dan

bukan negara

Kelas, negara,

masyarakat dan aktor

bukan negara

merupakan bagian

dari sistem kapitalis dunia

Aktor Negara Negara yang

kemudian tersebar pada berbagai komponen dan aktivitasnya bisa berskup transnasional Hubungan internasional dilihat dari perspektif sejarah, khususnya mengenai kontinuitas pembangunan kapitalisme dunia Dinamika Behavioral Negara merupakan Proses pembuatan

Difokuskan pada pola dominasi yang terjadi

(10)

Page 10 of 87 aktor rasional yang selalu berupaya memaksimalkan pencapaian kepentingan nasionalnya yang melalui kebijakan luar negerinya kebijakan luar negeri dan transnasional yang meliputi konflik, bargaining, koalisi dan kompromi tidak harus selalu membuahkan hasil yang optimal. dalam masyarakat Isu Keamanan nasional Multiple agenda dimana kesejahteraan atau sosioekonomi merupakan isu yang lebih penting daripada keamanan nasional Faktor-faktor ekonomi merupakan

isu yang paling

penting

Tabel Asumsi Utama Pemikiran Internasional

Sumber: Paul R. Viotti and Mark V. Kauppi. International Relations Theory; Realism, Pluralism, Globalism, Second Edition, (Massachusetts:

Allyn and Bacon, 1993), hal.10

Kemudian terdapat sebuah pendekatan atau aliran yang relatif baru yaitu konstruktivisme. Konstruktivisme pada dasarnya lahir sebagai kritik atas pemikiran neo-Realis yang sangat strukturalis. Disamping itu juga,

(11)

Page 11 of 87

Konstruktivisme memiliki kritikan terhadap paradigma neo-Liberalis. Perdebatan berfokus pada siapa yang sesungguhnya memiliki peranan paling dominan dalam mengkreasi sistem internasional.

Pada awalnya, Konstruktivis tidak menjadikan dan mengakui negara sebagai unit analisa dan aktor sebagaimana halnya Globalisme atau Strukturalisme. Bagi Konstruktivis, aktor utama adalah individu yang memiliki kekuatan untuk mengendalikan atau mempengaruhi perspektif internasional. Pada tahap selanjutnya, setelah menghadapi berbagai kritik luas dan evaluasi ulang terhadap hal tersebut, para pemikir Kontruktivis mengakui posisi negara baik sebagai aktor maupun unit analisa dengan catatan bahwa itu terjadi setelah berbagai permasalahan yang terjadi di bawah negara telah selesai

B. Kajian Terhadap Asas/Prinsip Yang Terkait Dengan Penyusunan Norma

Pelaksanaan hubungan luar negeri Indonesia diselenggarakan berdasarkan Konstitusi khususnya yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 yang didasari juga oleh asas dan prinsip dalam teori hubungan maupun hukum internasional. Hubungan luar negeri dimaksud diselenggarakan sesuai dengan politik luar negeri, peraturan perundang-undangan nasional, dan hukum serta kebiasaan internasional.

Pada dasarnya prinsip dan asas tersebut secara umum telah digambarkan dalam UU Hublu. Namun demikian, perkembangan konstelasi politik, ekonomi, sosial-budaya, serta pertahanan dan keamanan dunia berkembang dengan cepat. Situasi ini memberikan dampak terhadap pelaksanaan hubungan luar negeri antara Indonesia dengan negara mitra maupun aktor lainnya dalam hubungan internasional.

Perkembangan ini perlu ditanggapi secara strategis dan konstruktif untuk terlibat dalam upaya mewujudkan amanat Konstitusi. Hal ini

(12)

Page 12 of 87

menjadi dasar untuk memperkuat UU Hublu sehingga pelaksanaan hubungan luar negeri Indonesia dapat terselenggara dengan lebih efektif. Penguatan UU Hublu ini dilakukan untuk mencakup secara komprehensif sektor-sektor substantif yang spesifik, hubungan kelembagaan, dan pengaturan aparatur penyelenggara hubungan luar negeri.

Sehubungan dengan hal tersebut, penyempurnaan dan penguatan asas serta prinsip bagi penyelenggaraan hubungan luar negeri baik dari kaca mata hubungan internasional maupun hukum internasional dalam penguatan UU ini adalah sebagai berikut:

1. Prinsip Kebijakan Luar Negeri Yang Bebas Aktif Dalam Memperjuangan Kepentingan Nasional.

Penggunaan istilah “politik luar negeri” setelah dilakukan pengkajian tidak tepat karena memberikan kesan bahwa arah kebijakan luar negeri hanya dibidang politik saja. Dalam prakteknya nuansa politis muncul pada saat, antara lain: (1) menentukan perlu tidaknya membuka atau menutup suatu hubungan diplomatik dengan negara lain; (2) keputusan untuk masuk atau keluar dari suatu organisasi internasional; (3) pembuatan perjanjian dengan negara lain atau organisasi internasional; (4) keputusan untuk turut serta dalam suatu traktat atau konvensi atau persetujuan internasional dalam bidang-bidang tertentu; dan (5) pembukaan kantor perwakilan asing atau organisasi internasional di Indonesia.

Dalam perkembangan globalisasi saat ini, hubungan luar negeri mencakup berbagai aspek mulai dari politik, ekonomi, keamanan, pertahanan hingga peningkatan people-to-people contact.

2. Prinsip Koordinasi Kepada Menteri Yang Menangani Urusan Luar Negeri

(13)

Page 13 of 87

Berdasarkan UUD NRI 1945, Presiden sebagai penentu kebijakan hubungan luar negeri (foreign policy and foreign relations) memberikan mandat kepada Menteri Luar Negeri sebagai koordinator. Berdasarkan hal tersebut, seluruh penyelenggaraan hubungan dan kerja sama luar negeri yang dilaksanakan oleh unsur Pemerintah Pusat dan Daerah harus dikonsultasikan kepada Menteri Luar Negeri.

Dalam kerangka perlindungan WNI dan BHI di luar negeri, Bab V UU Hublu menjabarkan kewajiban Perwakilan RI untuk memberikan perlindungan kepada warga Negara Indonesia di luar negeri, baik pada kondisi normal/umum (Pasal 19) maupun pada kondisi khusus adanya ancaman nyata (Pasal 21). Pada praktik yang ditemui di lapangan, pemberian perlindungan kepada WNI seringkali tidak dapat dilakukan sendiri oleh Perwakilan RI, melainkan memerlukan bantuan dan peran serta dari Kementerian dan Lembaga terkait di Indonesia. Sebagai contoh, (1) dalam penanganan perdagangan manusia, WNI yang teridentifikasi oleh Perwakilan RI sebagai korban perlu mendapatkan fasilitasi lanjutan dari instansi terkait di Indonesia, antara lain: perlindungan di dalam negeri dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, serta kelanjutan proses hukum dari Kepolisian dan Kejaksaan RI; (2) Dalam penanganan bencana alam, perang atau konflik politik di negara lain, pemulangan WNI dari wilayah tersebut oleh Perwakilan RI juga memerlukan fasilitasi dari instansi terkait di Indonesia, seperti: Badan Nasional Penanggulangan Bencana, TNI, dan Kepolisian RI.

Bantuan dan peran serta Kementerian dan Lembaga terkait di Indonesia dirasakan sangat penting dalam mendukung tugas perlindungan yang dijalankan oleh Perwakilan RI di luar negeri. Namun demikian, guna memastikan tugas perlindungan tersebut dapat dilaksanakan dengan lancar, efektif, dan sejalan dengan kepentingan nasional Indonesia, maka revisi UU Hublu yang dilakukan kiranya dapat menekankan bahwa seluruh upaya perlindungan WNI di luar negeri dikomandoi oleh Menteri yang

(14)

Page 14 of 87

dilimpahkan wewenang penyelenggaraan hubungan luar negeri dan politik luar negeri, dalam hal ini Menteri Luar Negeri.

3. Prinsip Kebijakan Satu Pintu Di Perwakilan Republik Indonesia Di Luar Negeri

Perwakilan Republik Indonesia (Perwakilan RI) di luar negeri merupakan perpanjangan tangan Presiden dalam meningkatkan kerja sama luar negeri untuk sebesar-besarnya kemakmuran Rakyat. Untuk memastikan pelaksanaan hubungan luar negeri yang selaras dengan fungsi tersebut, maka sangatlah penting agar seluruh urusan hubungan luar negeri di bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, serta pertahanan dan keamanan, dilakukan melalui kebijakan satu pintu, yaitu melalui Perwakilan RI di luar negeri.

4. Prinsip Satu Anggaran (Unified Budget).

Penyelenggaraan administrasi negara yang efektif merupakan tujuan utama dari prinsip satu anggaran ini. Hal ini untuk memastikan tata kelola pemerintahan yang efektif, akuntabel dan transparan. Dengan demikian, prinsip tanggung-jawab tunggal dalam hal manajemen, keuangan, dan pelaporan seluruh unsur perwakilan RI di luar negeri harus dilaksanakan melalui mekanisme satu pintu.

5. Prinsip Non-Diskriminasi Dalam Memberikan Perlindungan Kepada WNI Di Luar Negeri.

Pemberian perlindungan WNI di luar negeri sebaiknya tidak membedakan status, apakah WNI tersebut merupakan TKI ataupun non-TKI. Keberadaan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri terkesan menimbulkan dualisme dan pembedaan dalam pemberian perlindungan kepada WNI di luar negeri, khususnya kepada TKI.

(15)

Page 15 of 87

Perlindungan kepada TKI sebaiknya hanya pada masa pra-penempatan dan pasca-penempatan, sedangkan pada masa penempatan di luar negeri, rezim yang berlaku sebaiknya hanya UU Hublu atau UU nasional yang terkait dengan WNI (antara lain UU Kewarganegaraan, UU Administrasi Kependudukan, dan UU Hak Asasi Manusia).

Selain itu, perlu ada pembatasan sampai sejauh mana perlindungan dapat diberikan kepada WNI khususnya terkait masalah TKI yang terancam hukuman mati di Arab Saudi. Jika yang bersangkutan memang terbukti bersalah melakukan tindak pidana, apakah dapat dibebaskan dengan memberikan uang jaminan/diyat dengan menggunakan anggaran perlindungan. Hal ini perlu dibahas lebih lanjut dan diatur dalam revisi UU Hublu.

6. Asas Timbal Balik

Dalam hubungan internasional dikenal asas resiprositas atau asas timbal balik, yaitu adanya hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antar negara yang mengadakan hubungan. Dalam prakteknya, asas ini selain diterapkan dalam pemberian fasilitas diplomatik, juga diterapkan dalam diplomasi seperti pada pembukaan perwakilan diplomatik/konsuler dan penempatan Home staff di negara penerima.

7. Prinsip Selektif, Biaya dan Manfaat (Cost and Benefit)

Prinsip ini diterapkan sebagai bahan pertimbangan untuk masuk atau keluarnya Indonesia dalam suatu organisasi internasional.

C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi Yang Ada, Serta Permasalahan Yang Dihadapi Masyarakat

A. Aspek Kelembagaan Kondisi Saat Ini (Das Sein)

Perwakilan RI adalah lembaga pemerintah yang memiliki tugas untuk memperjuangkan kepentingan bangsa, negara dan pemerintah pada

(16)

Page 16 of 87

negara/wilayah akreditasi dan/atau organisasi internasional. Sesuai dengan Pasal 7 UU Hublu dan Pasal 51 Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun 2015 tentang Kementerian Luar Negeri, pelaksanaan tugas dan fungsi Perwakilan RI berada di bawah koordinasi Kementerian Luar Negeri sebagai koordinator penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri.

Struktur organisasi di Perwakilan RI terdiri dari unsur Home Staff

dan Pegawai Setempat (Local Staff). Adapun unsur Home Staff adalah sebagai berikut:

a. Unsur Pimpinan (Kepala Perwakilan dan Wakil Kepala Perwakilan)

b. Unsur Pelaksana Utama (Pejabat Fungsional Diplomat dari unsur Kementerian Luar Negeri) dan Unsur Pelaksana Tambahan (Atase Pertahanan/Atase Teknis/Staf Teknis/Pejabat Teknis lainnya dari unsur K/L teknis)

c. Unsur Penunjang yaitu Penata Kanselerai yang berasal dari Jabatan Fungsional Penata Kanselerai dan Petugas Komunikasi yang berasal dari Jabatan Fungsional Pengelola Teknologi Informasi dan Komunikasi Diplomatik atau Jabatan Fungsional Sandiman.

Pelaksanaan tugas dan fungsi operasional di Perwakilan RI dilakukan oleh Unsur Pelaksana. Pendekatan yang dilakukan dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya adalah functional base. Sementara unsur yang memberikan support administrasi adalah Unsur Penunjang. Pendekatan

functional base mengandung makna bahwa pelaksanaan tugas oleh Unsur Pelaksana dilakukan berdasarkan Fungsi. Pembagian Fungsi didasarkan pada sektor kerja sama antara Indonesia dengan negara akreditasi atau penanganan isu-isu yang dikelompokkan menjadi 4 (empat) besaran, yaitu Fungsi Politik (kecuali di Perwakilan Konsuler), Fungsi Ekonomi, Fungsi Sosial dan Budaya, dan Fungsi Protokol dan Konsuler.

Sesuai dengan core tugas Perwakilan RI, maka Unsur Pelaksana Utama dalam pelaksanaan operasional Perwakilan adalah Pejabat

(17)

Page 17 of 87

Fungsional Diplomat yang berasal dari unsur Kementerian Luar Negeri. Pejabat Fungsional Diplomat adalah Jabatan Fungsional Tertentu dimana Kementerian Luar Negeri merupakan instansi pembinanya. Core tugas jabatan dari Jabatan Fungsional Diplomat adalah melaksanakan diplomasi guna memperjuangkan kepentingan bangsa, negara, dan pemerintah Indonesia dengan negara-negara mitra dan/atau organisasi internasional melalui representing, negotiating, promoting, reporting, protecting, dan

managing.

Dalam kondisi tertentu, Menteri dapat mengangkat pejabat dari K/L teknis untuk mengemban tugas sebagai Unsur Pelaksana Tambahan pada Perwakilan RI dengan jabatan Atase Pertahanan/Atase Teknis/Staf Teknis/Pejabat Teknis. Tugas dari Atase Pertahanan/Atase Teknis/Staf Teknis/Pejabat Teknis adalah membantu Unsur Pelaksana Utama (Pejabat Fungsional Diplomat) dalam melaksanakan tugas Perwakilan RI yang bersifat teknis-sektoral dan berkesinambungan sehingga memerlukan keahlian pejabat dengan kompetensi teknis tertentu bagi penanganannya.

Permohonan kebutuhan pembentukan formasi Atase

Pertahanan/Atase Teknis/Staf Teknis/Pejabat Teknis seharusnya diajukan oleh Perwakilan RI dan bukan dari K/L teknis, karena yang mengetahui kebutuhan nyata di lapangan adalah Perwakilan RI itu sendiri. Namun yang seringkali terjadi justru sebaliknya. K/L Teknis yang mengajukan pembentukan formasi Atase Pertahanan/Atase Teknis/Staf Teknis/Pejabat Teknis di Perwakilan RI. Padahal sudah ada parameternya jika akan membentuk formasi baru, antara lain:

a. Bobot Misi Perwakilan RI

Bobot misi Perwakilan adalah indikator yang menunjukkan prioritas kepentingan nasional yang harus diperjuangkan oleh Perwakilan RI di Negara Penerima. Pengkajian didasarkan pada bobot misi Perwakilan RI yang mengacu pada beban masing-masing fungsi pada Perwakilan RI sesuai dengan indeks masing-masing Perwakilan. Indeks Perwakilan

(18)

Page 18 of 87

merupakan skala penilaian 1 sampai dengan 5 untuk menentukan bobot misi, derajat hubungan, komposisi dan jumlah staf Perwakilan dengan menggunakan tolok ukur kepentingan nasional.

b. Intensitas Derajat Hubungan

Derajat hubungan adalah tingkat intensitas hubungan dan kerja sama antara Indonesia dengan Negara Penerima yang didasarkan pada kepentingan nasional. Pengkajian dilakukan dengan melihat intensitas kerja sama dengan Negara Penerima pada bidang yang diusulkan oleh K/L termasuk potensi perkembangannya untuk saat ini dan proyeksi ke depan.

c. Kebutuhan nyata

Pengkajian dititikberatkan pada sejauh mana kehadiran pejabat tersebut memenuhi kebutuhan nyata Perwakilan, sesuai dengan kondisi obyektif di lapangan, serta kebutuhan Perwakilan RI terhadap

technical/special expertise untuk penanganan bidang/isu tertentu pada Perwakilan RI.

Pengkajian dilakukan untuk melihat kebutuhan nyata terhadap sejauh mana technical/special expertise serta pelaksanaan tugas dan fungsi

yang diemban oleh Atase Pertahanan/Atase Teknis/Staf

Teknis/Pejabat Teknis bersifat rutin/permanen, sehingga kehadirannya mutlak diperlukan guna menangani isu-isu terkait secara berkesinambungan, terus-menerus, dan tidak tumpang tindih atau duplikasi dengan pelaksanaan tugas dan fungsi Pejabat Diplomatik dan Konsuler.

d. Asas manfaat

Asas manfaat merujuk kepada sejauhmana pelaksanaan tugas dan fungsi yang dilakukan oleh pejabat yang bersangkutan memberikan manfaat dan dampak yang nyata (outcome) bagi kepentingan nasional serta mendukung visi dan misi Perwakilan RI.

(19)

Page 19 of 87

e. Asas Timbal Balik

Pengkajian juga dilakukan dengan pertimbangan prinsip timbal balik (resiprositas) penempatan Atase Pertahanan/Atase Teknis/Staf Teknis/Pejabat Teknis lainnya di bidang yang sama oleh negara asing di Indonesia.

f. Pertimbangan Komposisi Dan Jumlah Staf Perwakilan RI

Pejabat Diplomatik dan Konsuler merupakan pelaksana utama kegiatan diplomatik di Perwakilan RI. Apabila dipandang perlu, dapat dipertimbangkan untuk dibentuk Atase Pertahanan/Atase Teknis/Staf Teknis/Pejabat Teknis lainnya sebagai unsur pelaksana. Terkait dengan komposisi dan jumlah staf Perwakilan RI, Vienna Convention on Diplomatic Relations 1961 mengatur jika tidak diperjanjikan sebelumnya, maka Negara Penerima memiliki kewenangan untuk mengatur jumlah komposisi perwakilan asing sesuai kewajaran, bahkan Negara Penerima dapat menolak untuk menerima pejabat dalam kategori tertentu.

g. Analisis Beban Kerja

Dalam kondisi tertentu, terkait dengan usulan pembukaan formasi Atase Pertahanan/Atase Teknis/Staf Teknis/Pejabat Teknis, akan dikaji pula beban kerja dari pejabat yang bersangkutan. Hal ini bertujuan untuk melihat keperluan pembentukan formasi asisten Atase Pertahanan/Atase Teknis/Staf Teknis, dan melihat sejauhmana pemberian dukungan cukup dilakukan oleh Pegawai Setempat pada Perwakilan RI.

Hal utama yang perlu dicatat adalah ketentuan Vienna Convention on Diplomatic Relations Tahun 1961 yang mengatur bahwa kewenangan untuk menyatakan persetujuan akhir adalah negara penerima/pemerintah setempat. Dikatakan di dalam Vienna Convention on Diplomatic Relations

(20)

Page 20 of 87

memiliki kewenangan untuk mengatur jumlah komposisi perwakilan asing sesuai kewajaran, bahkan Negara Penerima dapat menolak untuk menerima pejabat dalam kategori tertentu.

Kondisi yang diharapkan (Das Sollen)

Atase Pertahanan/Atase Teknis/Staf Teknis/Pejabat Teknis, secara administratif dan operasional merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perwakilan RI. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, Atase Pertahanan/Atase Teknis/Staf Teknis/Pejabat Teknis berada di bawah koordinasi Fungsi terkait dan bertanggung jawab kepada Kepala Perwakilan RI. Sebagai contoh: Atase Pertahanan berada di bawah koordinasi Fungsi Politik; Atase Perdagangan berada di bawah koordinasi Fungsi Ekonomi; Atase Imigrasi berada di bawah koordinasi Fungsi Protokol dan Konsuler; Atase Pendidikan berada di bawah koordinasi Fungsi Sosial dan Budaya; dan seterusnya.

Atase Pertahanan/Atase Teknis/Staf Teknis/Pejabat Teknis wajib menyampaikan laporan rutin kepada Kepala Perwakilan RI dan mengoordinasikannya dengan Fungsi terkait. Setiap bentuk laporan Atase Pertahanan/Atase Teknis/Staf Teknis/Pejabat Teknis yang akan disampaikan ke Pusat harus melalui legalisasi Kepala Perwakilan RI. Laporan menggunakan format laporan berdasarkan standar yang telah ditetapkan oleh Kementerian Luar Negeri. Laporan disampaikan oleh Kepala Perwakilan RI kepada Menteri Luar Negeri dan kepada K/L teknis terkait.

Atase Pertahanan/Atase Teknis/Staf Teknis/Pejabat Teknis wajib membuat Perjanjian Kinerja dengan Kepala Perwakilan RI mengenai target misi yang ingin dicapai setiap tahunnya. Kepala Perwakilan RI wajib menyampaikan hasil evaluasi kinerja tahunan Atase Pertahanan/Atase Teknis/Staf Teknis/Pejabat Teknis kepada Menteri Luar Negeri dan K/L teknis pejabat bersangkutan.

(21)

Page 21 of 87

Formasi Atase Pertahanan/Atase Teknis/Staf Teknis/Pejabat Teknis pada Perwakilan RI dapat dievaluasi sewaktu-waktu berdasarkan

assessment kebutuhan Perwakilan RI terkait. Evaluasi dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri melalui konsultasi dengan Kementerian PANRB dan K/L pejabat bersangkutan.

Anggaran bagi pelaksanaan tugas dan fungsi Perwakilan RI beserta seluruh unsur di dalamnya, termasuk Atase Pertahanan/Atase Teknis/Staf Teknis/Pejabat Teknis, baik itu anggaran untuk Belanja Barang Operasional (BBO) maupun Belanja Barang Non Operasional (BBNO) adalah anggaran Perwakilan RI (single-budgeting policy). Pengalokasian dilakukan

di bawah koordinasi Kementerian Luar Negeri. Tata cara

penempatan/penarikan Home Staff Perwakilan RI diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Menteri Luar Negeri. Hal ini sejalan dengan kebijakan

money follow functions yang akan mengefisienkan pengalokasian anggatan dan menghindari overlapping tugas/fungsi/kegiatan.

Saat ini Kementerian Luar Negeri tengah melakukan penataan terhadap organisasi Perwakilan RI. Sesuai mandat Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun 2015, Kementerian Luar Negeri harus melakukan analisis jabatan dan analisis beban kerja pada Perwakilan. Hal ini mengkondisikan Kementerian Luar Negeri untuk meninjau kembali keorganisasian yang ada di Perwakilan RI dengan segala unsur di dalamnya, termasuk unsur Atase.

Sesuai dengan mandat dari Kementerian PANRB, perlu dilakukan reformasi birokrasi di Perwakilan RI dengan mengarahkan organisasi Perwakilan menjadi organisasi yang ramping, tepat fungsi, dan tepat ukuran, sehingga dapat berjalan efektif dan efisien. Postur kelembagaan Perwakilan RI tidak harus selalu berkembang, namun harus didasarkan kepada prinsip dynamic governance. Kementerian PANRB juga menekankan

(22)

Page 22 of 87

agar Kemenlu dapat menyusun kriteria yang rinci dan rigid terhadap kapan suatu Perwakilan membutuhkan Pejabat Teknis dan kapan tidak. Kapan formasi dapat dibuka dan pada kondisi seperti apa maka formasi dapat ditutup.

B. Praktik Perlindungan WNI/BHI Kondisi saat ini (Das Sein)

Berdasarkan database e-perlindungan yang dimiliki oleh Kementerian Luar Negeri, tercatat per Januari 2017 terdapat sebanyak 2.919.261 WNI yang berada di luar negeri. Jumlah tersebut tidaklah bersifat mutlak mengingat banyaknya WNI yang tidak melaporkan diri ke Perwakilan RI di negara setempat. Besarnya jumlah WNI di luar negeri tentunya membawa konsekuensi yang berbanding lurus dengan permasalahan WNI di luar negeri.

Pada periode 20 Oktober 2015 hingga 20 Oktober 2016, setidaknya terdapat 15.748 kasus WNI di luar negeri, yang meliputi; kasus pidana (1.111 kasus), kasus perdata (27), kasus keimigrasian (10.414), kasus ketenagakerjaan (2.344), dan kasus-kasus lainnya (1.851). Dari jumlah tersebut, sebanyak 10.243 kasus (65%) dapat diselesaikan oleh Kementerian Luar Negeri dan Perwakilan RI di luar negeri. Sementara, 5.505 (35%) kasus lainnya masih berjalan dan terus ditangani.

Dari jumlah tersebut di atas, terdapat beberapa kasus dengan karakteristik khusus, seperti: permasalahan WNI ABK kapal penangkap ikan di luar negeri, permasalahan terkait haji, umroh, dan ziarah keagamaan lainnya, penyanderaan WNI, repatriasi, tindak pidana perdagangan orang, terorisme, perang dan konflik politik, dan permasalahan TKI.

(23)

Page 23 of 87

Terkait permasalahan WNI ABK, pada umumnya kasus-kasus yang ditangani meliputi: sengketa upah, perlakuan tidak manusiawi dan kondisi kerja yang tidak baik, tindak pidana dan dokumentasi, sengketa kontrak kerja atau perjanjian kerja laut, kompetensi dan pengetahuan yang tidak memadai, asuransi dan permasalahan administrasi. Setidaknya, dalam kurun waktu 20 Oktober 2015 hingga 20 Oktober 2016, terdapat 441 kasus WNI ABK, dimana 210 kasus diantaranya (48%) berhasil diselesaikan, sementara sisanya masih terus ditindaklanjuti.

Permasalahan terkait haji, umroh dan ziarah keagamaan lainnya merupakan permasalahan WNI di luar negeri yang cukup unik dan membutuhkan penanganan khusus. Pada pertengahan Agustus 2016, masyarakat dikejutkan oleh pencekalan 177 WNI calon haji dan penahanan 106 WNI jamaah haji pengguna paspor Filipina pada periode 22-29 September 2016, oleh Otoritas Imigrasi Filipina. Tidak berhenti di situ, pada tanggal 8 September 2016 juga terjadi penangkapan 229 WNI yang hendak menunaikan ibadah haji di daerah Aziziyah, Mekkah terkait dengan pelanggaran keimigrasian. Seluruhnya berhasil ditangani dengan baik oleh Kementerian Luar Negeri dan Perwakilan RI di Arab Saudi, seluruh WNI bisa dipulangkan kembali ke Indonesia, tanpa perlu menghadapi tuntutan hukum dari otoritas di Filipina maupun Arab Saudi. Padahal jelas yang dilakukan oleh para WNI tersebut adalah pelanggaran hukum negara setempat.

Penyanderaan WNI juga menjadi salah satu fenomena baru dalam dinamika perlindungan WNI di luar negeri. Sepanjang tahun 2016, dan dalam kurun waktu lima bulan (Maret-Agustus), telah terjadi lima kali insiden penyanderaan terhadap total 32 orang WNI ABK di Filipina Selatan. Selain penyanderaan WNI di Filipina, Pemerintah Indonesia juga menangani penyanderaan WNI ABK Kapal Naham 3 oleh perompak di Somalia yang telah berlangsung sejak Maret 2012.

(24)

Page 24 of 87

Program repatriasi, atau yang sering disebut dengan pemulangan, WNI overstayers (WNIO) atau TKI undocumented (TKIU) juga dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo pada 17 Desember 2014. Program tersebut dimaksudkan untuk memulangkan secara bertahap sekitar 1,8 juta WNIO/TKIU yang tersebar di berbagai negara, terutama di Malaysia, Arab Saudi dan Timur Tengah, kembali ke Indonesia.

Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di luar negeri juga tidak luput dari perhatian Kementerian Luar Negeri dan Perwakilan RI di luar negeri. Selama periode 2012 sampai dengan 12 Juni 2016, sebanyak 2.118 WNI korban TPPO telah dipulangkan dan mendapatkan penanganan di Indonesia.

Dinamika keamanan global juga turut mempengaruhi kerja perlindungan WNI di luar negeri. Sepanjang tahun 2016, intensitas serangan teror yang terjadi di seluruh penjuru dunia semakin meningkat. Aksi keji para teroris terjadi di berbagai penjuru dunia; seperti Paris, Istanbul, Brussels hingga Orlando. Hal ini tentunya berimbas pada keselamatan WNI, dan bahkan dalam banyak kasus terdapat indikasi keterlibatan WNI sebagai bagian dari kelompok teror.

Turbulensi politik di berbagai penjuru dunia masih menjadi salah satu faktor yang mengancam keselamatan dan keamanan WNI di luar negeri. Beberapa negara di Timur Tengah seperti Yaman, Suriah, Libya, Irak dan Sudan masih terus bergejolak. Konflik politik yang berkepanjangan kemudian melahirkan perang saudara, kerusuhan horizontal hingga aksi terorisme. Padahal masih cukup banyak WNI yang berada di wilayah Timur Tengah, baik sebagai TKI maupun pelajar/mahasiswa.

(25)

Page 25 of 87

Berbagai macam kejadian buruk menimpa para WNI di luar negeri. Meskipun mayoritas kasus WNI di luar negeri masih didominasi oleh kasus TKI, khususnya mereka yang bekerja di sektor domestik, namun beberapa kasus WNI non-TKI juga dapat dijadikan pelajaran tersendiri dalam khazanah perlindungan WNI di luar negeri. Pemerintah dituntut bukan hanya dapat memberikan perlindungan kepada WNI yang menjadi korban tindak kejahatan, tapi juga memastikan proses hukum yang adil dan non-diskriminatif kepada WNI yang menjadi pelaku tindak kejahatan.

Bentuk perlindungan yang dilakukan sangat beragam, mulai dari pelayanan kekonsuleran (pembuatan paspor, visa, legalisasi dokumen, dan lain sebagainya), pendampingan hukum, hingga mengambil alih tanggung jawab yang seharusnya menjadi beban pemberi kerja/penyalur atau WNI/TKI itu sendiri; membiayai pemulangan, biaya pengobatan, hingga biaya pengacara. Berbagai bentuk perlindungan tersebut, yang bahkan banyak diantaranya dilakukan beyond state responsibility, tentunya menjadi beban tersendiri, tidak hanya pada anggaran negara, namun juga mereka yang melakukan perlindungan WNI di luar negeri, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Kondisi yang diharapkan (Das Sollen) a. Batasan Perlindungan

Tekanan media yang begitu tinggi diiringi dengan desakan masyarakat menciptakan persepsi akan adanya kewajiban Pemerintah untuk memberikan perlindungan tanpa batas. Sementara itu, ketentuan hukum yang ada baik pada tataran internasional maupun nasional juga tidak menyediakan panduan yang jelas mengenai upaya-upaya apa saja yang wajib dilakukan Pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap warga negaranya di luar negeri. Padahal, perlu dipahami bahwa perlindungan yang diberikan tentunya berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku baik berdasarkan hukum nasional, hukum setempat, maupun hukum internasional. Artinya, dalam upaya pemberian

(26)

Page 26 of 87

perlindungan terhadap warga negaranya di luar negeri, Pemerintah tidak dapat mengintervensi hukum negara lain, dan begitu pula sebaliknya.

Praktik pemberian perlindungan berbeda-beda di setiap negara, tergantung ketentuan nasional masing-masing negara, serta tunduk pada pembatasan yang diberikan oleh hukum internasional. Indonesia, meskipun belum memiliki panduan jelas mengenai pemberian perlindungan, pada praktiknya selama ini telah memberikan perlindungan secara lebih luas, jika dibandingkan dengan praktik negara lain, khususnya negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris atau Australia. Pemberian perlindungan secara lebih luas ini mempertimbangkan antara lain perbedaan karakteristik WNI di luar negeri dengan warga negara asing lain. WNI di luar negeri mayoritas berasal dari kalangan menengah ke bawah, bergender perempuan dan memiliki tingkat pendidikan yang relatif rendah. Hal ini berbeda dengan karakteristik warga negara lain yang mayoritas berasal dari kalangan menengah ke atas, dan memiliki tingkat pendidikan relatif lebih tinggi.

Atas pertimbangan tersebut, dipandang perlu untuk menciptakan suatu batasan perlindungan sebagai pedoman Pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada WNI di luar negeri. Batasan ini tentu tidak harus sama seperti batasan yang dibuat oleh negara lain, namun menyesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia, serta menerjemahkan keinginan umum yang timbul di masyarakat tentang bagaimana seharusnya praktik perlindungan warga negara oleh Pemerintah dilakukan. Namun demikian, batasan ini juga seyogyanya dapat dibuat dengan memperhatikan prinsip dasar perlindungan warga negara, dimana Pemerintah tidak mengambil alih tanggung jawab pidana atau perdata WNI. Batasan ini sekaligus untuk mengedukasi masyarakat bahwa WNI bertanggung jawab atas setiap tindakan yang diperbuatnya. Artinya, tidak setiap akibat tindakannya dapat dialihkan kepada orang lain apalagi Pemerintah. Prinsip ini sesuai dengan amanat UUD NRI 1945 yang

(27)

Page 27 of 87

menyatakan bahwa Pemerintah melindungi segenap bangsa Indonesia, namun juga memiliki kewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

b. Perlindungan WNI dalam Kondisi Khusus (Bencana Alam, Perang dan Konflik)

Berbeda dengan penanganan kondisi darurat di dalam negeri yang memiliki prosedur penanganan secara teknis dan terlembaga dengan baik, pengaturan penanganan WNI di luar negeri yang menghadapi kondisi darurat, seperti bencana alam, perang ataupun konflik, belum memiliki pengaturan secara jelas. Padahal hal ini telah menjadi kebutuhan nyata yang harus segera diatur. Pengaturan ini mutlak dibutuhkan sebagai pedoman dan juga pertanggungjawaban perlindungan yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia kepada WNI di luar negeri yang menghadapi kondisi darurat.

c. Pemisahan Isu Perlindungan WNI dengan Isu Perlindungan BHI

Selain melindungi kepentingan WNI, Pemerintah juga memiliki kewajiban untuk melindungi kepentingan Badan Hukum Indonesia (BHI) di luar negeri. Kewajiban ini pada tingkat nasional diatur dalam Pasal 18 UU Hublu, dan pada tingkat internasional tercantum dalam Pasal 5 butir (a) Konvensi Vienna 1963 tentang Hubungan Konsuler.

Meskipun kewajiban perlindungan terhadap WNI dan BHI disejajarkan dalam pengaturan yang sama, sifat dan praktik pemberian perlindungan WNI dan BHI merupakan dua hal yang berbeda. Pemberian perlindungan terhadap WNI pada prinsipnya adalah upaya guna menjamin pemenuhan hak individu tersebut oleh negara tujuan, yang dilaksanakan dalam berbagai bentuk, antara lain: pemberian bantuan kekonsuleran dan pemberian pendampingan serta bantuan hukum. Di lain pihak, pemberian perlindungan terhadap BHI lebih menekankan pada aspek promosi dan kemudahan berusaha, yang dilaksanakan dalam bentuk: penyediaan

(28)

Page 28 of 87

informasi pasar (market intelligence), fasilitasi kemudahan perizinan, atau fasilitasi guna mempertemukan business demand di negara tujuan dengan

business supply yang tersedia di Indonesia.

Atas pertimbangan tersebut, perlindungan terhadap BHI dinilai perlu untuk diatur secara terpisah dari bab perlindungan terhadap WNI, guna dapat mengoptimalkan pemberian perlindungan terhadap BHI.

3. Aspek Organisasi Internasional Kondisi saat ini (Das Sein)

Pengaturan mengenai keanggotaan Indonesia pada Organisasi Internasional secara komprehensif diatur oleh Keputusan Presiden Nomor 64 Tahun 1999 Tentang Keanggotaan Indonesia dan kontribusi Pemerintah RI pada Organisasi-Organisasi Internasional.

Perlu menjadi catatan bahwa Keppres tersebut lahir pada saat krisis ekonomi 1998 yang mana pada saat itu Pemerintah tidak dapat membayar seluruh kontribusi pada OI karena hampir seluruh tagihan dalam mata uang asing. Dengan adanya Keppres tersebut, pembayaran kontribusi Pemri pada OI yang semula dilakukan oleh instansi penjuru, kini dilakukan satu pintu oleh Kemenlu, agar pembayarannya dapat dilakukan berdasarkan skala prioritas pemerintah. Keppres tersebut juga tidak berkaitan dengan UU Hublu dan UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional karena kedua UU tersebut lahir setelah diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 64 Tahun 1999.

Pada sisi lain, seiring dengan pemulihan ekonomi Indonesia, perubahan kebijakan pemerintah seperti prinsip money follows programs, serta terbitnya UU Hublu dan UU PI yang lebih tinggi hirarkis peraturan perundang-undangannya, Keppres tersebut saat ini tengah mengalami revisi khususnya pada definisi OI dan Kontribusi Pemri. Oleh karena itu, sejalan dengan hal tersebut, revisi UU Hublu khususnya yang terkait

(29)

Page 29 of 87

dengan norma keanggotaan Indonesia pada OI dapat dituangkan secara umum, luwes, namun tetap dapat memberikan ruang untuk mengakomodir prinsip-prinsip keanggotaan Indonesia dan kontribusi Pemerintah RI pada OI antara lain keangotaan Indonesia dan kontribusi Pemerintah RI pada OI dilakukan berdasarkan prinsip cost and benefit, mempertimbangkan manfaat, efektivitas, besarnya kontribusi, kedudukan dan peranan Indonesia dan kondisi keuangan negara

Kondisi yang diharapkan (Das Sollen)

Peran serta Indonesia dalam dunia internasional, termasuk keanggotaan Indonesia pada OI, merupakan suatu keniscayaan. selain karena merupakan amanat alinea keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, agar pemerintah RI ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, peran serta Indonesia dalam dunia internasional merupakan salah satu upaya untuk mencapai kepentingan nasional Indonesia di tengah semakin kompleksnya kondisi dunia saat ini.

Khusus mengenai pengaturan keanggotaan Indonesia pada OI, diharapkan agar keanggotaan Indonesia pada OI dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk pencapaian kepentingan nasional antara lain mencakup:

- Keanggotaan Indonesia pada OI dilakukan dengan mempertimbangkan manfaat yang diperoleh serta dilakukan berdasarkan asas cost and benefit.

- Instansi yang menjadi penjuru keanggotaan Indonesia pada OI dapat didorong untuk melakukan optimalisasi keanggotaan Indonesia pada OI yang diikuti.

Terkait revisi UU Hublu, terdapat dua hal yang diharapkan dapat terakomodir dalam revisi UU Hublu, yaitu:

- Mempertahankan definisi OI sebagaimana UU Hublu yaitu ’organisasi antar-pemerintah’. Hal ini sejalan dengan prinsip money follows

(30)

Page 30 of 87 programs dan pengelolaan kontribusinya juga dibatasi menjadi kontribusi keanggotaan saja.

- Merevisi Pasal 9 ayat (1) UU Hublu agar persetujuan masuknya Indonesia pada OI oleh DPR dilakukan secara selektif dan hanya dibatasi pada hal-hal yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi harkat hidup rakyat seperti masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara, perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah RI, kedaulatan, HAM, lingkungan hidup, pembentukan kaidah hukum baru atau pinjaman/hibah luar negeri.

4. Aspek Kerja Sama Daerah Kondisi saat ini (Das Sein)

Pada awalnya kerja sama internasional yang dijalani Pemerintah Daerah (Pemda) lebih pada tataran bilateral (misalnya sister city dan sister province, promosi perdagangan dan sebagainya). Pada perkembangannya terdapat kecenderungan meluasnya cakupan dan intensitas kerja sama Pemda ke tataran multilateral (misalnya pembentukan Mayor for Peace, Global Covenant of Mayor for Climate and Energy, serta undangan berpartisipasi pada konferensi internasional).

UU Hublu tidak memuat pengaturan mengenai kerja sama internasional oleh daerah, namun hanya mengandung referensi singkat mengenai “daerah” pada bagian Ketentuan Umum. Saat ini sedang dibahas rancangan Peraturan Pemerintah mengenai teknis kerja sama internasional yang dilakukan oleh Pemda.

Kondisi yang diharapkan (Das Sollen)

Mengingat hal-hal tersebut diatas kedepan diharapkan agar ketentuan-ketentuan umum terkait penyelenggaraan kerja sama internasional oleh daerah dapat menjadi pedoman dan penegasan peran Kemlu terkait koordinasi dan konsultasi daerah dapat diatur dalam revisi

(31)

Page 31 of 87

UU Hublu agar terdapat keselarasan kerja sama luar negeri oleh daerah dengan Polugri RI

5. Aspek Kerja Sama Teknik Kondisi Saat ini (Das Sollen)

Kerja Sama Teknik (KST) telah menjadi salah satu aset Polugri yang penting. KST merupakan salah satu bentuk kontribusi nyata Indonesia bagi masyarakat internasional antara lain melalui triangular coorperation dan pengembangan kapasitas bagi negara kurang berkembang. Namun demikian, pengaturan mengenai KST belum masuk dalam revisi UU Hublu.

Kondisi yang diharapkan (Das Sein)

Dalam rangka menegaskan peranan sentral Kemlu bahwa KST merupakan salah satu bentuk perwujudan Polugri, perlu dipertimbangkan untuk memasukkan ketentuan umum mengenai KST pada naskah revisi UU Hublu.

1. Aspek Penjelasan Cakupan Hubungan Luar Negeri Dan Hubungan Dengan Organisasi Internasional

Kondisi saat ini (Das Sein)

Dalam UU Hublu tidak ada pengaturan jelas dan tegas mengenai cakupan dari hubungan luar negeri. Hal tersebut pada gilirannya menimbulkan ketidakjelasan ruang lingkup yang diatur dalam hubungan luar negeri.

Selain itu, hubungan dengan organisasi internasional memiliki praktik yang berbeda dengan hubungan bilateral dengan negara lain. Hal tersebut belum secara jelas digambarkan dalam UU Hublu.

(32)

Page 32 of 87

Revisi UU Hublu perlu untuk mencakup hal-hal yang diatur dalam berbagai UU lain yang terkait dengan hubungan luar negeri seperti Perdagangan, Perindustrian, Keamanan Negara, dan lain-lain.

Terkait hubungan dengan organisasi internasional, diperlukan pengaturan bahwa Kementerian Luar Negeri merupakan koordinator dalam melakukan hubungan dengan organisasi-organisasi internasional.

2. Aspek Pemberian Fasilitas Diplomatik Kondisi Saat ini (Das Sein)

Praktik pemberian fasilitas diplomatik pada saat ini didasarkan pada hukum nasional masing-masing negara. Hal ini terutama terlihat jelas pada pengenaan pajak kepada Perwakilan Negara Asing. Ketentuan bahwa negara pengirim harus menghormati dan mematuhi peraturan negara penerima ditetapkan dalam Pasal 41 Konvensi Wina tahun 1961. Sementara itu, Pemerintah RI saat ini masih mengedepankan hukum internasional sebagaimana diatur dalam Pasal 34 Konvensi Wina tahun 1961 dimana Pemerintah RI selaku negara penerima memberikan fasilitas pembebasan pajak.

Situasi demikian pada gilirannya menyebabkan ketidakseimbangan pemberian fasilitas diplomatik antara Pemerintah RI dengan negara sahabat yang memiliki Perwakilan di Indonesia. Ketidakseimbangan ini berpotensi merugikan negara. Salah satu faktor yang mendukung terjadinya kondisi demikian adalah lemahnya koordinasi antara K/L terkait dengan Kementerian Luar Negeri yang memiliki data pemberian fasilitas diplomatik yang diterima Perwakilan RI di negara sahabat.

Kondisi yang diharapkan (Das Sollen)

Untuk memastikan pemberian fasilitas diplomatik yang seimbang dipandang perlu untuk menempatkan Kementerian Luar Negeri sebagai koordinator dalam hal pemberian fasilitas diplomatik dan acuan pengambilan keputusan bagi K/L terkait. Pemberian fasilitas diplomatik

(33)

Page 33 of 87

yang melebihi standar umum kepada Perwakilan Negara Asing dimungkinkan sepanjang dilakukan melalui Perjanjian Bilateral dan berdasarkan asas timbal balik.

3. Aspek Perjanjian Internasional Kondisi saat ini (Das Sein)

Kompleksitas hubungan luar negeri juga dipengaruhi oleh proliferasi aturan hukum dan perundang-undangan nasional yang bersinggungan dengan hubungan luar negeri termasuk sengketa yang lahir dari pelaksanaan aturan hukum dan perundang-undangan tersebut. Misalnya RUU Pertembakauan yang masuk prolegnas 2017 mengandung beberapa ketentuan yang bertentangan dengan komitmen Indonesia di berbagai instrumen hukum internasional di WTO.

Sebagai akibat dari dinamika ini, muncul berbagai sengketa antara negara dengan non-state actor seperti MNCs. Hal ini tidak lepas dari fakta bahwa pelaksanaan suatu perjanjian internasional terkadang terbentur dengan aturan hukum nasional.

Selama ini belum ada rujukan dasar hukum yang mengatur siapa yang menjadi koordinator apabila terjadi sengketa yang timbul dari suatu perjanjian internasional (treaty based dispute). Praktik selama ini, koordinator penyelesaian sengketa adalah K/L yang menangani perjanjian internasional dimaksud. Di sisi lain, Kementerian Luar Negeri menurut peraturan perundang-undangan memiliki satuan kerja setingkat eselon 1 yang mempunyai tugas dan fungsi untuk menangani penyelesaian sengketa yang timbul dari suatu perjanjian internasional.

Kondisi yang diharapkan (Das Sollen)

Kegiatan pembuatan, pengawasan, evaluasi, termasuk penyelesaian sengketa yang bersumber dari perjanjian internasional tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Oleh karena itu, diperlukan suatu norma

(34)

Page 34 of 87

hukum yang tegas mengenai hal ini. Pengaturan hal ini sebaiknya diatur dalam revisi UU Hublu yang baru.

4. Aspek Aparatur Hubungan Luar Negeri Kondisi Saat Ini (Das Sein)

Sesuai dengan core tugas Perwakilan RI, Unsur Pelaksana Utama dalam pelaksanaan operasional Perwakilan adalah Pejabat Fungsional Diplomat yang berasal dari unsur Kementerian Luar Negeri. Pejabat Fungsional Diplomat adalah Jabatan Fungsional Tertentu dimana Kementerian Luar Negeri merupakan instansi pembinanya. Core tugas jabatan dari Jabatan Fungsional Diplomat adalah melaksanakan diplomasi guna memperjuangkan kepentingan bangsa, negara, dan pemerintah Indonesia dengan negara-negara mitra dan/atau organisasi internasional melalui representing, negotiating, promoting, reporting, protecting, dan

managing.

Di dalam UU Hublu saat ini, terdapat istilah Pejabat Dinas Luar Negeri (PDLN). Pasal 31 dan Pasal 32 UU Hublu sama-sama memberikan definisi untuk istilah PDLN tersebut. Pasal 31 menyebutkan bahwa PDLN adalah Pegawai Negeri Sipil yang telah mengikuti pendidikan dan latihan khusus untuk bertugas di Departemen Luar Negeri dan Perwakilan RI. Kemudian Pasal 32 menyebutkan bahwa PDLN adalah Pejabat Fungsional Diplomat. Pejabat Fungsional Diplomat dapat memegang jabatan struktural selain sebagai jabatan fungsional. Tahun 2014 lalu, telah diterbitkan UU kepegawaian yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Menurut UU ASN, seorang PNS tidak dapat memegang jabatan struktural dan jabatan fungsional pada saat yang bersamaan. UU ASN tidak mengenal istilah PDLN dan praktek selama ini di Kemlu dan Perwakilan RI dimana seorang Pejabat Fungsional Diplomat dapat memegang jabatan struktural dan fungsional pada saat yang bersamaan, tidak dapat diterima di dalam UU ASN.

(35)

Page 35 of 87 Kondisi Yang Diharapkan (Das Sollen)

Jabatan Fungsional Diplomat memiliki karakter khusus karena diadopsi dari sistem jenjang kepangkatan diplomatik yang berlaku di seluruh dunia. Terdapat delapan jenjang kepangkatan mulai dari yang terendah, Atase, hingga yang tertinggi, Duta Besar. Jenjang kepangkatan diplomatik ini digunakan khususnya ketika seorang diplomat akan bertemu dengan counterpart-nya dari negara sahabat. Ketika seorang Eselon II melepas jenjang kepangkatan diplomatiknya, yang bersangkutan tidak dapat bertemu dengan counterpart-nya padahal pertemuan dimaksud membutuhkan pengambilan keputusan tingkat Eselon II. Karena kekhususannya ini, sifat dari Jabatan Fungsional Diplomat harus tertutup. Jabatan struktural di Kemlu juga tidak dapat dijabat oleh pejabat selain Jabatan Fungsional Diplomat dikarenakan sifat Kemlu sebagai koordinator hubungan luar negeri dan politik luar negeri. ASN dari K/L lain yang ingin pindah ke Kemlu untuk menjabat dalam jabatan struktural, harus menjadi pejabat fungsional diplomat terlebih dahulu.

D. Kajian Terhadap Implikasi Sistem Baru Yang Akan Diatur Dalam Undang-Undang Terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat Dan Dampaknya Terhadap Aspek Beban Keuangan Negara

1. Aspek Kelembagaan

Sistem money follows function dan single budgeting policy di Perwakilan akan membuat sistem anggaran menjadi lebih efektif dan efisien. Sistem tersebut juga akan menciptakan suatu sistem yang lebih terkoordinir dan terpadu.

2. Aspek Perlindungan WNI/BHI

Pembangunan sistem database yang terintegrasi dengan berbagai K/L. Perlindungan WNI akan lebih ditekankan/difokuskan kepada warga negara.

(36)

Page 36 of 87

Dengan penerapan asas selektif, biaya dan manfaat (cost and benefit), keikutsertaan Indonesia dalam suatu OI tidak hanya didasarkan pada aspek politik namun pada manfaat yang akan diperoleh Indonesia dari OI tersebut.

4. Aspek Kerja Sama Daerah

Penegasan bahwa daerah dapat melakukan kerja sama internasional dengan pemerintah daerah/lembaga di luar negeri, namun bukan untuk membuat suatu perjanjian internasional.

5. Aspek Kerja Sama Teknik

Peningkatan hubungan Indonesia dengan negara sahabat melalui program-program Kerja Sama Teknik. Penegasan kedudukan Kementerian Luar Negeri untuk mengkoordinasi kerja sama teknik dengan negara lain. Terbentuknya suatu badan yang menangani kerja sama teknik sebagai badan dari diplomasi Indonesia.

6. Aspek Pemberian Fasilitas Diplomatik

Terkoordinasinya pemberian fasilitas diplomatik di bawah kewenangan Kementerian Luar Negeri sesuai kebiasaan dan hukum internasional yang berlaku.

7. Aspek Perjanjian Internasional

Penegasan bahwa Menlu mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan perundingan (negosiasi) dalam pembuatan norma hukum dan perjanjian internasional, meliputi pembuatan perjanjian internasional (penetapan posisi perundingan, surat kepercayaan dan surat kuasa), monitoring pelaksanaan perjanjian internasional, evaluasi pelaksanaan perjanjian internasional, dan penyelesaian sengketa yang timbul dari perjanjian internasional dan hukum internasional lainnya.

(37)

Page 37 of 87 BAB III

EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1982 tentang Pengesahan Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik beserta Protokol Opsionalnya Mengenai Hak Memperoleh Kewarganegaraan (Vienna Convention on Diplomatic Relations and Optional Protocol to the Vienna Convention on Diplomatic Relations Concerning Acquisition of Nationality), 1961 dan Pengesahan Konvensi Mengenai Hubungan Konsuler beserta Protokol Opsionalnya Mengenai Hak Memperoleh Kewarganegaraan (Vienna Convention on Consular Relations and Optional Protocol to the Vienna Convention on Consular Relations Concerning Acquisition of Nationality), 1963 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3211)

Konvensi yang mencerminkan pelaksanaan hubungan diplomatik ini ditujukan untuk meningkatkan hubungan persahabatan antara bangsa-bangsa di dunia tanpa membedakan ideologi ataupun sistem politik. Konvensi ini menetapkan aturan, antara lain memberikan hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik guna kelancaran pelaksanaan fungsi perwakilan diplomatik sebagai wakil negara. Konvensi ini mengatur mengenai hubungan konsuler, hak-hak istimewa, dan kekebalan-kekebalannya.

Hak istimewa dan kekebalan tersebut diberikan guna menjamin pelaksanaan fungsi perwakilan konsuler secara efisien. Konvensi ini mengatur antara lain hubungan konsuler pada umumnya, fasilitas, hak-hak istimewa, dan kekebalan kantor perwakilan konsuler, pejabat

(38)

Page 38 of 87

konsuler, dan anggota perwakilan konsuler lainnya serta tentang pejabat-pejabat konsul kehormatan dan konsulat-konsulat kehormatan. Baik Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik, maupun Konvensi Wina mengenai Hubungan Konsuler masing-masing dilengkapi dengan Protokol Opsional mengenai Hak memperoleh kewarganegaraan dan Protokol Opsional mengenai Penyelesaian Sengketa Secara Wajib.

Dalam hal ini, Indonesia telah menerima seluruh isi Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik beserta Protokol Opsionalnya dan Konvensi Wina mengenai Hubungan Konsuler beserta Protokol Opsionalnya, kecuali Protokol Opsional mengenai Penyelesaian Sengketa secara wajib. Pengecualian ini disebabkan karena Pemerintah RI lebih mengutamakan penyelesaian sengketa melalui perundingan dan konsultasi atau musyawarah antara negara-negara yang bersengketa.

Protokol Opsional mengenai Hak Memperoleh Kewarganegaraan mengatur bahwa anggota-anggota perwakilan diplomatik dan perwakilan konsuler yang bukan warga negara penerima dan keluarganya tidak akan memperoleh kewarganegaraan negara penerima tersebut semata-mata karena berlakunya hukum di negara penerima tersebut.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas, terkait dengan Ketentuan Pasal 16 UU Hublu mengenai kekebalan diplomatik perlu diperjelas pengaturan mengenai pemberian kekebalan, hak istimewa dan pembebasan dari perwakilan asing dan para diplomatnya di Indonesia.

2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1982 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Misi Khusus (Convention on Special Missions), New York, 1969 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 3; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3212)

Gambar

Tabel Asumsi Utama Pemikiran Internasional

Referensi

Dokumen terkait

Pada Sub Bab yang ketiga tentang Peranan International Organization for Migration dalam menangani Imigran Ilegal asal Timur-Tengah di Indonesia, yang terdiri dari

Dapat diikuti oleh mahasiswa yang mendapatkan hu ruf mutu D untuk seluruh kategori mata kuliah dengan persetujuan dosen koordinator mata kuliah. Tidak dapat diikuti

Penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepuasan mahasiswa terhadap pemilihan program studi matematika dengan

Penelitian lain yang mendukung hasil penelitian ini adalah penelitian oleh Mojally dan Al- Hindi, (2020) terhadap mahasiswa kesehatan di Mekah Saudi Arabia dengan

33 Secara default, ketika ada beberapa user yang memasuki configuration mode dan melakukan konfigurasi secara bersamaan, semua user bisa melakukan konfigurasi dan

Data yang diperoleh melalui wawancara dalam penelitian ini di analisis dengan menggunakan analisis deskritif kualitatif yaitu dengan cara data yag diperoleh dari hasil wawancara

Aspek yang diteliti dalam penelitian ini meliputi 2 variabel, yaitu variabel pertama tentang tanggapan siswa terhadap keterampilan guru dalam memberikan penguatan

1) Teknik pengumpulan data menggunakan metode survei. Pengambilan sampel ikan dilakukan sebanyak 2 kali ulangan. Sebagai data pendukung dilakukan pengamatan langsung