• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.3 Dampak Pengembangan Pelabuhan terhadap

4.3.2 Pranata Sosial dan Orientasi Nilai Budaya

Pranata sosial yang dimaksud merupakan kelembagaan yang berkembang di Gampong Kuala Langsa yang masuk dalam wilayah studi baik formal maupun informal. Lembaga formal meliputi aparat pemerintahan desa seperti Kepala Desa (geuchik), Sekdes dan kadus serta Dewan Penasihat/BPD (tuha peuet), sedangkan lembaga informal termasuk lembaga keagamaan (tengku imam meunasah dan kepala mukim). Peran tuha peuet adalah memberi pertimbangan terhadap berbagai keputusan yang ada di desa, memantau kinerja dan kebijakan yang diambil oleh geuchik. Imam meunasah berperan dalam kegiatan sosialisasi keagamaan termasuk musyawarah desa/gampong, sedangkan kepala mukim bertugas melaksanakan kegiatan adat dan pemerintahan desa di tingkat pemukiman.

Adapun orientasi nilai budaya mencakup tatanan kelembagaan itu sendiri dan pranata sosial yang tumbuh kembang yang dipakai sebagai acuan tata kehidupan suatu komunitas masyarakat di dalam wilayah penelitian. Sebagai satu kesatuan komunitas yang sudah terbentuk lama, penduduk Gampong Kuala Langsa yang menjadi lokasi penelitian ini tampaknya juga tidak luput dari siklus proses sosial yang sebagaimana yang dialami oleh tetangga-tetangga di kampung lain sekitarnya, atau bahkan di daerah asal mereka sendiri.

Persoalan-persoalan kenakalan remaja, penyimpangan perilaku orang dewasa, pencurian, saling melontarkan kata-kata yang menyinggung perasaan, persaingan dalam menjalankan kegiatan berekonomi, ataupun dalam penyelesaian utang piutang, bukan tidak mungkin sesekali menjadi penyulut pertikaian yang lebih luas. Dalam hal ini rata-rata mereka cenderung mengidentikkan diri sebagai penduduk pinggir pantai atau nelayan dengan sikap dan perilaku keras disaat-saat menghadapi tantangan, tetapi pada kesempatan lain menjadi lembut dan teguh pendirian dalam membela kepentingan bersama.

Mereka toleran dalam melepaskan tanah pertapakan rumah tempat tinggalnya pada awal tahun 1980 untuk memenuhi kebutuhan pelabuhan, kendatipun mereka sudah menempatinya dalam jangka waktu relatif lama. Secara bersama-sama mereka membangun lingkungan permukiman dari rawa-rawa, di lokasi yang sekarang. Pada saat itu, tanah merupakan benda bebas yang dapat dikuasai oleh siapa saja yang membutuhkan. Tidak terfikirkan oleh mereka pada waktu itu, bahwa status kepemilikan atas tanah yang dikuasai itu penting.

Kesadaran demikian baru muncul dalam tahun-tahun terakhir, terutama di saat pemerintah daerah juga membutuhkan lahan untuk program-program pembangunan. Kebutuhan akan status kepemilikan atas tanah yang sudah dikuasainya selama bertahun-tahun tampaknya mulai merisaukan reponden Kuala Langsa saat mereka mengetahui rencana pengembangan pelabuhan. Kerisauanpun menjadi ketenangan bagi mereka karena lahan yang akan diambil alih pemerintah direlokasi ke KM 6 Gampong Kuala Langsa yang berjarak 2 km dari kawasan Pelabuhan Kuala Langsa.

Potensi konflik lain yang sesekali menggejala kepermukaan adalah dalam kegiatan nelayan di perairan panti Kuala Langsa dan Sungai Pauh. Peralatan penangkapan ikan yang digunakan nelayan kampung lokasi penelitian relatif lebih sederhana, yaitu pukat langgar, ketimbang nelayan dari luar kawasan yang menggunakan pukat banting atau jaring harimau.

Penggunaan pukat harimau, menurut penduduk sungai pauh dapat merusak rumpon-rumpon yang ditempatkan nelayan setempat untuk tempat berkumpul ikan sehingga mudah menjaringnya. Lagi pula, penggunaan pukat harimau, menurut penjelasan penduduk yang sama, dapat merusak sumber daya perairan, karena semua ikan besar atau kecil akan ikut terjaring, kendati pun kemudian tidak dimanfaatkan.

Skala pertikaian pada tingkat intensitas demikian, menurut salah seorang responden lain dari Gampong Kuala Langsa, biasanya tidak lagi mampu diselesaikan oleh Panglima Laot (pimpinan nelayan) dari kedua belah pihak yang bertikai, tetapi lebih membutuhkan campur tangan DPR dan/atau Pemerintah Daerah. Hampir semua responden mengemukakan pendapat atau saran-saran tertentu untuk meningkatkan

kerja sama, mengarahkan persaingan, dan meredam munculnya konflik internal antara masyarakat setempat dan kegiatan kepelabuhanan. Seperti yang dikemukakan oleh beberapa orang responden yang penelitian ini, kehidupan bersama yang saling toleran dapat dibina jika kedua belah pihak saling merasakan satu kesatuan komunitas, dengan nilai-nilai sentral sama dipedomani dalam bertingkah bersikap dan bertingkah laku.

Kecuali potensi konflik yang lebih terbuka, seperti yang baru saja dikemukakan di atas, responden lain juga mengungkapkan pontensi lain yang bersifat fisik di lingkungan areal pelabuhan. Pemberlakuan Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh bukan tidak mungkin, bahwa penguasaan lahan dan perairan seluas lebih kurang 300 ha sebagai areal pelabuhan dan pengusahaan kegiatan pelabuhan, beralih dari PT. Pelindo Cabang Kuala Langsa. Pemerintahan Kota Langsa merencanakan pengembangan Pelabuhan Kuala Langsa sebagai pelabuhan transit terpadu untuk seluruh industri di sekitarnya. Kabupaten Aceh Timur dan Kabupaten Aceh Tamiang merupakan daerah perkebunan kelapa sawit tanpa di dukung oleh pabrik CPO.

Pemerintahan Kota Langsa melihat pengadaan pabrik CPO sebagai peluang bisnis. Direncanakan pula bahwa di lingkungan areal pelabuhan akan di bangun tanki penampungan CPO berukuran besar, yang kemudian disusul dengan pembangunan pabrik penyulingan CPO yang akan di ekspor, begitu pula dengan pabrik-pabrik lain yang berorientasi ekspor (Hamzirwan, 2003: 10).

Langkah awal kearah rencana yang dikemukakan diatas telah dimulai sejak tahun 2004. Rawa-rawa di sekitar areal Pelabuhan Kuala Langsa di reklamasi dengan lumpur hasil kerukan di alur Pelabuhan Kuala Langsa. Ketika penelitian lapangan ini berlangsung, lingkungan rawa-rawa di sebelah timur areal Pelabuhan Kuala Langsa telah tertimbun padat berbentuk lapangan pacu pesawat terbang dan direncanakan untuk lokasi pabrik. Masalahnya adalah bahwa rawa-rawa yang direklamasi itu, menurut responden penelitian ini, masih dalam status kepemilikan perusahaan swasta yang berkedudukan di Kota Langsa.

Rencana penimbunan rawa-rawa di sekitar areal Pelabuhan Kuala Langsa, menurut responden yang sama, selain tidak ada koordinasi dengan pengelola Pelabuhan Kuala Langsa, juga berpotensi menimbulkan pendangkalan pada alur Pelabuhan Kuala Langsa.

Dokumen terkait