• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebijakan Publik

2.2.1 Prasarana dan Sarana Pengelolaan Sumber daya Air

Saat ini, masalah utama yang dihadapi oleh sumber daya air meliputi kuantitas air yang sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan yang terus menerus meningkat dan kualitas air untuk keperluan domestik yang semakin menurun. Kegiatan industri, domestik dan kegiatan lain berdampak negatif terhadap sumber daya air, antara lain menyebabkan penurunan kualitas air. Hal ini dapat menimbulkan gangguan, kerusakan dan bahaya bagi semua makhluk hidup yang bergantung pada sumber daya air.

Permasalahan air adalah ketidakseimbangan antara permintaan atau kebutuhan dan ketersediaan, serta kualitas air yang ada semakin menurun akibat pencemaran lingkungan. Kerusakan lingkungan di daerah tangkapan air (catchment area), tingginya erosi dan ancaman banjir. Telah terjadi krisis air yang melanda beberapa negara di dunia termasuk Indonesia.

Sejak tahun 1970-an degradasi SDA yang berupa lahan gundul tanah kritis, erosi pada lereng-lereng curam baik yang digunakan untuk pertanian maupun untuk penggunaan lain seperti permukiman dan pertambangan, sebenarnya telah memperoleh perhatian pemerintah Indonesia. Namun proses degrasi SDA tersebut terus berlanjut, karena tidak adanya keterpaduan tindak dan upaya yang dilakukan dari sektor atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan SDA. Pendekatan menyeluruh pengelolaan SDA secara terpadu menuntut suatu manajemen terbuka yang menjamin keberlangsungan proses koordinasi antara lembaga terkait.

Pendekatan terpadu juga memandang pentingnya peranan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan SDA mulai dari perencanaan, perumusan kebijakan, pelaksanaan dan pemungutan manfaat. Awalnya, perencanaan pengelolaan SDA lebih banyak dengan pendekatan pada faktor fisik dan bersifat sektoral. Namun, sejak sepuluh tahun yang lalu telah dimulai dengan pendekatan holistik, yaitu melalui rencana pengelolaan SDA terpadu, yang antara lain dimulai dari DAS prioritas. Namun urutan prioritas tersebut dikaji ulang, dengan pertimbangan seperti: (1) urutan DAS prioritas perlu disesuaikan dengan pertimbangan teknik yang lebih maju dan pertimbangan kebijakan yang berkembang pada saat ini, (2) pengelolaan DAS juga memerlukan asas legalitas yang kuat dan mengikat bagi instansi terkait dalam berkoordinasi dan merencanakan kebijakan pengelolaan DAS, dan (3) perubahan arah pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi. Pentingnya posisi DAS sebagai unit perencanaan yang utuh merupakan konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumber daya hutan, tanah dan air.

Kurang tepatnya perencanaan dapat menimbulkan adanya degradasi SDA yang mengakibatkan buruk seperti yang dikemukakan di atas. Dalam upaya menciptakan pendekatan pengelolaan SDA secara terpadu, diperlukan perencanaan secara terpadu, menyeluruh, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dengan mempertimbangkan SDA sebagai suatu unit pengelolaan. Dengan demikian bila ada bencana, apakah itu banjir maupun kekeringan, penanggulangannya dapat dilakukan secara menyeluruh yang dmulai dari daerah hulu sampai hilir.

Pengelolaan SDA ditujukan untuk terwujudnya kondisi yang optimal dari sumberdaya vegetasi, tanah dan air sehingga mampu memberi manfaat secara maksimal dan berkesinambungan bagi kesejahteraan manusia. Selain itu pengelolaan SDA termasuk DAS, dipahami sebagai suatu proses formulasi dan implementasi kegiatan atau program yang bersifat manipulasi sumber daya alam dan manusia yang terdapat di SDA untuk memperoleh manfaat produksi dan jasa tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumber daya air dan tanah. Dalam hal ini termasuk identifikasi keterkaitan antara tataguna lahan, tanah dan air, dan

keterkaitan antara daerah hulu dan hilir suatu DAS (Asdak, 2002), seperti yang tertera pada Gambar 4 berikut ini.

Gambar 2. Hubungan biofisik antara bagian hulu dan hilir DAS (Asdak, 2010)

Dalam menjabarkan model pengelolaan air maka setiap unit SDA termasuk DAS, secara substansi dan strateginya, serta bentuk-bentuk DAS harus dipelajari dengan seksama. Hal ini perlu dilakukan karena bentuk DAS merupakan refleksi kondisi bio-fisik dan merupakan wujud dari proses alamiah yang ada. Implikasi dari hal tersebut adalah memperlihatkan bahwa pengelolaan SDA merupakan suatu sistem hidrologi dan sistem produksi, dan hal ini membuka terjadinya konflik kepentingan antar institusi terhadap pengelolaan komponen-komponen sistem pengelolaan air.

DAS bagian hulu mempunyai peran penting, terutama sebagai tempat penyedia air untuk dialirkan ke bagian hilirnya. Oleh karena itu bagian hulu DAS seringkali mengalami konflik kepentingan dalam penggunaan lahan, terutama untuk kegiatan pertanian, pariwisata, pertambangan, serta permukiman.

Mengingat DAS bagian hulu mempunyai keterbatasan kemampuan, maka setiap kesalahan pemanfaatan akan berdampak negatif pada bagian hilirnya. Pada prinsipnya, sistem pengelolaan DAS bagian hulu dapat dilakukan usaha konservasi dengan mencakup aspek-aspek yang berhubungan dengan suplai air. Secara ekologis, hal tersebut berkaitan dengan ekosistem tangkapan air (catchment ecosystem) yang merupakan rangkaian proses alami daur hidrologi.

Pengkajian permasalahan pengelolaan SDA dapat dilakukan dengan mengkaji komponen-komponen SDA dan menelusuri hubungan antar komponen yang saling berkaitan, sehingga kegiatan pengelolaan dan pengendalian yang dilakukan tidak hanya bersifat parsial dan sektoral, tetapi sudah terarah pada penyebab utama kerusakan dan akibat yang ditimbulkan, serta dilakukan secara terpadu. Salah satu persoalan pengelolaan SDA dalam konteks wilayah adalah letak hulu sungai yang biasanya berada pada suatu kabupaten tertentu dan melewati beberapa kabupaten serta daerah hilirnya berada di kabupaten lainnya. Bahkan terdapat sungai yang hulunya berada di wilayah provinsi a dan melewati provinsi b, padahal hulunya sampai kepada provinsi c atau lintas wilayah provinsi. Oleh karena itu, daerah-daerah yang dilalui harus memandang DAS sebagai suatu sistem terintegrasi, serta menjadi tanggung jawab bersama.

Menurut Asdak (2010), dalam keterkaitan biofisik wilayah hulu-hilir suatu DAS, perlu adanya beberapa hal yang menjadi perhatian, yaitu sebagai berikut: 1. Kelembagaan yang efektif seharusnya mampu merefleksikan keterkaitan

lingkungan biofisik dan sosial ekonomi dimana lembaga tersebut beroperasi. Apabila aktifitas pengelolaan di bagian hulu DAS akan menimbulkan dampak yang nyata pada lingkungan biofisik dan/atau sosial ekonomi di bagian hilir dari DAS yang sama, maka perlu adanya desentralisasi pengelolaan DAS yang melibatkan bagian hulu dan hilir sebagai satu kesatuan perencanaan dan pengelolaan.

2. Eksternalities, adalah dampak (positif/negatif) suatu aktifitas/program dan atau kebijakan yang dialami/dirasakan di luar daerah dimana program/kebijakan dilaksanakan. Dampak tersebut seringkali tidak terinternalisir dalam perencanaan kegiatan. Dapat dikemukakan bahwa

negative ekternalities dapat mengganggu tercapainya keberlanjutan pengelolaan DAS bagi: (a) masyarakat di luar wilayah kegiatan (spatial externalities), (b) masyarakat yang tinggal pada periode waktu tertentu setelah kegiatan berakhir (temporal externalities), dan (c) kepentingan berbagai sektor ekonomi yang berada di luar lokasi kegiatan (sectoral externalities).

3. Dalam kerangka konsep “externalities”, maka pengelolaan sumber daya alam dapat dikatakan baik apabila keseluruhan biaya dan keuntungan yang timbul oleh adanya kegiatan pengelolaan tersebut dapat ditanggung secara proporsional oleh para aktor (organisasi pemerintah, kelompok masyarakat atau perorangan) yang melaksanakan kegiatan pengelolaan sumberdaya alam termasuk sumber daya air dan para aktor yang akan mendapatkan keuntungan dari adanya kegiatan tersebut.

Agar proses terpeliharanya sumber daya tanah (lahan) akan terjamin, maka setiap kawasan pertanian atau budidaya tersedia kelas-kelas kemampuan dan kelas kesesuaian lahan. Dengan tersedianya kelas kemampuan dan kelas kesesuaian ini, pemanfaatan lahan yang melebihi kemampuannya dan tidak sesuai jenis penggunaannya dapat dihindari. Pada salah satu bentuk model pengelolaan DAS, pengelolaan DAS hulu-hilir yang dikaitkan dengan masalah ekonomi-sosial- budaya, pengembangan wilayah dalam bentuk ekologis maupun adminstratif, yang menuju pada optimalisasi penggunaan lahan dan mengefisienkan pemanfaatan sumber daya air melalui perbaikan kelembagaan, teknologi, serta penyediaan pendanaan.

Selama ini metodologi perencanaan pengelolaan DAS kurang memperhatikan aspek tata ruang dan kurang mengintegrasikan berbagai kepentingan kegiatan pembangunan. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang bertujuan mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan; (a). terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan buatan, (b).terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan SD alam & buatan dengan mempehatikan SDM, (c). terwujudnya perlindungan fungsi ruang & pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Untuk itu perencanaan pengelolaan SDA harus memperhatikan

kepentingan pengembangan pertanian, kepentingan industri dan kepentingan daya dukung lingkungan (ecological demands). Perkembangan pembangunan di bidang permukiman, pertanian, perkebunan, industri, eksploitasi sumber daya alam berupa penambangan, dan eksploitasi huatan menyebabkan penurunan kondisi hidrologis suatu DAS dan menyebabkan berkurangnya kemampuan DAS untuk berfungsi sebagai penyimpan air pada musim hujan dan kemudian dipergunakan melepas air pada musim kemarau.

Kurang tepatnya perencanaan tata ruang dapat menimbulkan adanya degradasi daerah aliran sungai yang mengakibatkan lahan menjadi gundul, tanah/lahan menjadi kritis dan erosi pada lereng-lereng curam. Pada akhirnya proses degradasi lahan dan air tersebut dapat menimbulkan banjir yang besar di musim hujan, debit sungai menjadi sangat rendah di musim kemarau, kelembaban tanah di sekitar hutan menjadi berkurang di musim kemarau sehingga dapat menimbulkan kebakaran hutan, terjadinya percepatan sedimen pada waduk-waduk dan jaringan irigasi yang ada, serta penurunan kualitas air. Pada prinsipnya kebijakan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) secara terpadu merupakan hal yang sangat penting dalam rangka mengurangi dan menghadapi permasalahan sumberdaya air baik dari segi kualitas dan kuantitasnya. Kebijakan ini merupakan bagian terintegrasi dari kebijakan lingkungan yang terkait dengan sumber daya air pada data akademis maupun teknis, beragamnya kondisi lingkungan pada beberapa daerah dan perkembangan ekonomi dan sosial sebagai suatu keseluruhan dimana perkembangan daerah. Beragamnya kondisi, maka beragam dan spesifik juga solusinya. Keberagaman ini harus diperhitungkan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan terkait tata ruang termasuk tata ruang air untuk memastikan bahwa perlindungan dan penggunaan sumber daya air secara berkelanjutan ada dalam suatu rangkaian kerangka kerja (framework).

Keberadaan daerah aliran sungai secara yuridis formal tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan dan Undang-undang Nomor 7 tahun 2004. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1970, daerah aliran sungai dibatasi sebagai suatu daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa sehingga merupakan suatu kesatuan

dengan sungai dan anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsi untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya, penyimpanannya serta pengalirannya dihimpun dan ditata berdasarkan hukum alam sekelilingnya demi keseimbangan daerah tersebut. Perkembangan pembangunan di bidang permukiman, pertanian, perkebunan, industri, eksploitasi sumber daya alam berupa penambangan, dan ekploitasi hutan menyebabkan penurunan kondisi hidrologis suatu daerah aliran sungai.

Gejala penurunan fungsi hidrologis DAS ini dapat dijumpai di beberapa wilayah Indonesia, seperti di Pulau Jawa, Pulau Sumatera, dan Pulau Kalimantan, terutama sejak tahun dimulainya Pelita I yaitu pada tahun1972. Penurunan fungsi hidrologis tersebut menyebabkan kemampuan DAS untuk berfungsi sebagai penyimpan air pada musim hujan dan kemudian dipergunakan melepas air sebagai“base flow” pada musim kemarau, telah menurun. Ketika air hujan turun pada musim penghujan air akan langsung mengalir menjadi aliran permukaan yang kadang-kadang menyebabkan banjir dan sebaliknya pada musim kemarau aliran “base flow” sangat kecil bahkan pada beberapa sungai tidak ada aliran sehingga ribuan hektar sawah dan tambak ikan tidak mendapat suplai air tawar. Walaupun masih banyak parameter lain yang dapat dijadikan ukuran kondisi suatu daerah aliran sungai, seperti parameter kelembagaan, parameter peraturan perundang-undangan, parameter sumber daya manusia, parameter letak geografis, parameter iklim, dan parameter teknologi, akan tetapi parameter air masih merupakan salah satu input yang paling relevan dalam model DAS untuk mengetahui tingkat kinerja DAS tersebut, khususnya apabila dikaitkan dengan fungsi hidrologis DAS.

Dalam prosesnya, maka kejadian-kejadian tersebut merupakan fenomena yang timbul sebagai akibat dari terganggunya fungsi DAS sebagai satu kesatuan sistem hidrologi yang melibatkan kompleksitas proses yang berlaku pada DAS. Salah satu indikator dominan yang menyebabkan terganggunya fungsi hidrologi DAS adalah terbentuknya lahan kritis. Hasil inventarisasi lahan kritis menunjukkan bahwa terdapat ± 14,4 juta hektar di luar kawasan hutan dan ± 8,3 juta hektar di dalam kawasan hutan (Pasaribu, 1999).

Selain itu bencana banjir, tanah longsor, dan berbagai kejadian alam yang melanda Indonesia tidak terlepas dari kerusakan ekologi. Bentuk kerusakan ekologi ini didominasi oleh kerusakan hutan. Berbagai bencana akibat kerusakan ekologi yang melanda Indonesia di tahun 2002 diawali oleh banjir besar yang menenggelamkan sebagian besar wilayah Jakarta pada awal Februari 2002. Dalam peristiwa tersebut, yang diindikasikan karena rusaknya kawasan hutan di daerah Bogor, Puncak dan Cianjur (Bopunjur), tidak hanya mengakibatkan kerugian harta dan benda, melainkan juga nyawa.

Hubungan fungsional di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa setiap investasi APBN di bidang kehutanan sebesar 1 unit (juta rupiah) meningkatkan nilai nisbah sebesar 0,007802. Beberapa faktor penyebab korelasi positif ini diantaranya adalah belum tepatnya alokasi APBN di bidang kehutanan, belum tepatnya perencanaan program/proyek sehingga alokasi dana yang ada belum tepat sasaran dalam pembangunan kehutanan. Analisa trend menunjukkan bahwa pada kurun waktu 5 tahun (1994-1998) alokasi APBN menurun jika dibandingkan dengan alokasi pada kurun waktu 5 tahun sebelumnya (1989-1993). Hingga saat ini investasi di bidang kehutanan khususnya untuk rehabilitasi hutan dipandang sebagai investasi yang beresiko dan hasilnya tidak diperoleh dalam jangka pendek sebagaimana bidang lainnya.

Kenaikan dana reboisasi Provinsi DKI Jakarta sebesar 1 unit (juta rupiah) akan menurunkan nisbah sebesar 0,003075. Keberadaan dana reboisasi diharapkan dapat menjadi alternatif pembiayaan pembangunan kehutanan khususnya untuk kegiatan reboisasi hutan. Kegiatan reboisasi diharapkan dapat memperbaiki kondisi tutupan hutan yang telah gundul atau dalam keadaan kritis sebagai akibat penebangan kayu hutan. Perbaikan terhadap kondisi tutupan hutan akan mengurangi limpasan langsung dipermukaan yang akhirnya akan mengurangi nilai nisbah (Pasaribu, 1999).

Kenaikan alokasi APBN sektor pertanian Propinsi DKI Jakarta setiap 1 unit (juta rupiah) akan menaikkan nilai nisbah sebesar 0,001013. Hal ini dapat dipahami karena investasi untuk kegiatan peningkatan produksi tanaman pangan akan meningkatkan kebutuhan akan debit air irigasi sebagai pendukung. Trend

menunjukkan alokasi APBN untuk sektor pertanian untuk peningkatan produksi mengalami kenaikan terus-menerus dari tahun 1989 hingga 1998, meskipun alokasi dana sektor kehutanan juga mengalami kenaikan, namun nilainya masih dibawah alokasi dana sektor pertanian dan sumber daya air.

Padahal hutan mempunyai peranan yang penting sebagai penyangga sistem DAS karena keberadaannya sebagai pengatur tata guna air, sektor sumberdaya air berperan dalam pendistribusian air melalui pembuatan sistim irigasi. Kegiatan investasi di sektor pertanian berkaitan dengan peningkatan produksi tanaman pangan seharusnya diiringi dengan pemilihan tipe irigasi dan drainase yang tepat, hal ini akan mempengaruhi karakteristik aliran langsung di permukaan. Irigasi yang baik akan memungkinkan air terdistribusi dengan baik dan memperbesar kapasitas infiltrasi. Drainase yang baik akan menghambat terbawanya partikel-partikel tanah ke dalam sungai yang akan menyebabkan pendangkalan sungai.

Pemilihan pola tanam dan pemilihan jenis tanaman akan mempengaruhi keadaan tutupan lahan yang selanjutnya berpengaruh pada aliran langsung di permukaan. Budidaya di lahan pertanian secara intensif harus memberikan ruang untuk konservasi air. Selain daripada itu diperlukan pula perubahan pola pikir dan persepsi tentang perlunya reorientasi sistem produksi pertanian nasional dari paddy field oriented menjadi upland agriculture development oriented melalui penggunaan lahan kering. Lahan kering sangat menjanjikan dalam menopang produksi pertanian nasional. Selain karena hemat air, produksi pangan lahan kering juga dapat mendekati lahan sawah apabila irigasi suplementer dapat dikembangkan.

Sungai sebagai bagian dari wilayah DAS merupakan sumber daya yang mengalir (flowing resources), dan pemanfaatan di daerah hulu akan mengurangi manfaat di hilirnya. Sebaliknya perbaikan di daerah hulu manfaatnya akan diterima di hilirnya. Oleh karena itu diperlukan perencanaan terpadu dalam pengelolaan DAS dengan melibatkan semua sektor terkait, seluruh stakeholder dan daerah yang ada dalam lingkup wilayah DAS dari hulu hingga ke hilir.

Pendekatan dalam perencanaan DAS dapat pula dilakukan melalui pendekatan input-proses-output. Semua input di sub-DAS hulu akan diproses pada sub-DAS tersebut menjadi output. Output dari sub-DAS hulu menjadi input bagi sub-DAS tengah, dan melalui proses yang ada menjadi output dari sub-DAS ini. Selanjutnya, output ini menjadi input bagi sub-DAS hilir, proses yang ada pada sub-DAS hilir menghasilkan output terakhir dari DAS. Pada masa kedepan nanti bukan hal yang tidak mungkin jika output dari sub-DAS hilir menjadi input bagi sub-DAS di hulunya. Hal ini dapat terwujud melalui mekanisme subsidi hilir-hulu dengan penerapan ‘user pays principle’ maupun ‘polluter pays principle’ atau melalui payment environmet service (PES).

Kinerja DAS tidak hanya dipengaruhi oleh satu atau dua sektor tertentu, tetapi paling tidak ketiga sektor pembangunan yang dianalisis memberikan pengaruh secara bersamaan dengan intensitas yang cukup signifikan. Alokasi dana pembangunan untuk kegiatan-kegiatan di sektor kehutanan cenderung mempunyai pengaruh yang baik terhadap kinerja DAS. Demikian pula halnya investasi di sektor sumber daya air. Di sisi lain, investasi di sektor pertanian dan perkebunan cenderung memperburuk kondisi DAS, disebabkan beberapa kegiatan-kegiatan pertanian dan perkebunan menambah pembukaan lahan. Kajian ini merekomendasikan pengelolaan DAS terpadu, artinya bukan hanya mengembangkan satu sektor sementara mengabaikan pengembangan sektor lainnya. Pengelolaan DAS seharusnya melibatkan seluruh sektor dan kegiatan di dalam sistem DAS. Bila tidak, maka kinerja DAS akan memperburuk yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat produksi sektor-sektor lain.

Daerah aliran sungai secara umum didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah/kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada sungai utama ke laut atau danau. Linsley (1995) menyebut DAS sebagai “A river of drainage basin in the entire area drained by a stream or system of connecting streams such that all stream flow originating in the area discharged through asingle outlet”. Menurut IFPRI (2002) “A watershed is a geographic area that drains to a common point,

which makes it an attractive unit for technical efforts toconserve soil and maximize the utilization of surface and subsurface water for cropproduction, and a watershed is also an area with administrative and property regimes, and farmers whose actions may affect each other’s interests”.

Definisi di atas, memperlihatkan bahwa DAS merupakan ekosistem, dengan unsur organisme dan lingkungan biofisik serta unsur kimia berinteraksi secara dinamis dan didalamnya terdapat keseimbangan inflow dan outflow dari material dan energi. Selain itu pengelolaan DAS dapat disebutkan merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang secara umum untuk mencapai tujuan peningkatan produksi pertanian dan kehutanan yang optimum dan berkelanjutan (lestari) dengan upaya menekan kerusakan seminim mungkin agar distribusi air sungai yang berasal dari DAS dapat merata sepanjang tahun.

Pemahaman akan konsep daur hidrologi (Gambar 5) sangat diperlukan terutama untuk melihat masukan berupa curah hujan yang selanjutnya didistribusikan melalui beberapa cara seperti diperlihatkan pada konsep daur hidrologi air menjelaskan bahwa air hujan langsung sampai ke permukaan tanah untuk kemudian terbagi menjadi air larian, evaporasi dan air infiltrasi, yang kemudian akan mengalir ke sungai sebagai debit aliran.

Gambar 3. Daur hidrologi (Asdak, 2010)

Dalam mempelajari ekosistem air, dapat diklasifikasikan menjadi daerah hulu, tengah dan hilir (Asdak 2010). DAS bagian hulu dicirikan sebagai daerah konservasi, DAS bagian hilir merupakan daerah pemanfaatan. DAS bagian hulu mempunyai arti penting terutama dari segi perlindungan fungsi tata air, karena itu setiap terjadinya kegiatan di daerah hulu akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transport sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran airnya. Hal tersebut memperlihatkan bahwa ekosistem DAS, bagian hulu mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan DAS. Perlindungan ini antara lain dari segi fungsi tata air, dan oleh karenanya pengelolaan DAS hulu seringkali menjadi perhatian mengingat dalam suatu DAS bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi. 2.2.2 Definisi Air Baku dan Air Bersih.

Menurut Peraturan Menteri PU Nomor 18/PRT/M/2007 Pasal 1 ayat (1) air baku untuk air minum rumah tangga, yang selanjutanya disebut air baku adalah air yang dapat berasal dari sumber air permukaan, cekungan air tanah dan/atau air hujan yang memenuhi baku mutu tertentu sebagai air baku untuk air minum. Pasal

1 ayat (2) air minum adalah air minum rumah tangga yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum. Jadi istilah air minum adalah air minum rumah tangga dan yang langsung dapat diminum.

Air bersih (clean water) adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari- hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak. Air minum (drinking water) adalah air yang melalui proses