• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 4.6 Visualisasi Prasasti III (Sumber : Dokumentasi Pribadi: 2011)

Prasasti III memiliki fisik yang cukup unik apabila dibandingkan dengan prasasti-prasasti yang lainnya. Tulisan yang terdapat pada batu ini sangat sedikit apabila melihat inskripsi yang terukir di Prasasti I dan Prasasti II. Meskipun demikian, batu ini tetap dapat digolongkan kedalam kategori prasasti karena memiliki tulisan di atasnya.

Tujuan dibuatnya batu ini oleh Prabu Niskala Wastu Kancana, para ahli memiliki beberapa pendapat yang berbeda, pendapat-pendapat tersebut adalah :

1. Pendapat pertama

Batu tapak merupakan media yang digunakan oleh Prabu Niskala Wastu Kencana untuk bertafakur. Bentuk satu tangan kiri dan sepasang kaki

105

di atas batu, menandakan bahwa saat melakukan tafakur, Prabu Niskala Wastu Kancana berada dalam posisi jongkok dengan tangan kanan yang disimpan di dagu, dan tangan kiri yang ditekankan ke batu.

Kotak-kotak yang berderet di atasnya, merupakan perlambangan. Lima buah persegi atau kotak yang di letakan sejajar ke bawah, adalah lambang dari lima panca indra manusia. Indra-indra manusia adalah, indra penglihatan, indra pendengaran, indra penciuman, indra perasa, dan indra peraba. Sembilan segiempat yang di letakan memanjang sejajar kesamping, diartikan sebagai lubang-lubang yang ada didalam tubuh manusia. Sembilan lubang manusia adalah, lubang mata, lubang telinga, lubang mulut, lubang kubul, dan lubang dubur.

2. Pendapat kedua

Pendapat kedua, merupakan pendapat paling umum dan dipercaya untuk dijadikan sebagai nama lain dari prasasti ini. Pendapat kedua mengatakan, bahwa kotak-kotak pada batu Prasasti III merupakan kalender yang dibuat oleh Prabu Niskala Wastu Kancana untuk menentukan hari baik, dan telapak kaki serta tangan yang tercetak di atasnya, adalah lambang kekuasaan. Menurut cerita, kekuatan raja pada masa itu, dibuktikan dengan mencapkan tangan atau kaki mereka pada benda yang keras seperti batu.

Sangat disayangkan, ketidakadaan sumber yang jelas, membuat bidang-bidang kotak yang terdapat di atas jejak kaki dan tangan yang diyakini sebagai kalender tersebut, tidak ada yang mengetahui bagaimana mengoperasikannya.

106

Dilihat dari bentuknya, Prasasti III ini tampak kurang begitu rapih. Diduga bentuk batu ini merupakan bentuk asli yang tidak dipahat lagi selain tulisan dan bidang garis yang terdapat di atasnya. Melihat fisik dari Prasasti III, Batu ini memiliki kesamaan dengan prasasti Ciaruteun yang merupakan peninggalan Raja Purnnavarmman, raja kerajaan Tarumanegara yang menjadi nenek moyang kerajaan Galuh/Sunda.

Kesamaannya terletak pada sepasang kaki yang tercetak di atas batu yang dijadikan sebagai prasasti tersebut. Menurut arkeolog, cap telapak kaki tersebut merupakan simbol fisik kekuatan sang raja yang berfungsi sebagai namarupa (wujud konkret). Pada Prasasti III atau yang biasa disebut sebagai batu tapak Astana Gede Kawali, cap tangan dan kaki yang berada di atas batu, merupakan tanda kekuasaan dan kekuatan dari Prabu Niskala Wastu Kancana.

Gambar 4.7 Cetakan Sepasang Kaki Pada Prasasti Ciaruteun (Sumber : http://www.kebudaya.cc.cc/: 2011)

Melihat makna dari batu ini yang dikaitkan dengan pendapat pertama mengenai tujuan dibuatnya Batu Tapak, prasasti ini memiliki pesan yang disampaikan dalam prasasti ini adalah, Kelima indra dan kesembilan lubang

107

yang kita miliki, harus kita pergunakan dengan baik karena akan mendatangkan malapetaka bila kelima dan kesembilan unsur itu disalahgunakan.

Adapun makna dari batu ini, apabila kita melihat teksnya yang berbunyi anana (sendiri/ datang menghampiri), batu ini merupakan salah satu media untuk mendapatkan wangsit atau jawaban atas permasalahan yang sedang dialami oleh Prabu Niskala Wastu Kancana. Wangsit akan turun sesuai dengan penanggalan pada kalender tersebut. Kalimat ‘datang menghampiri’ ini juga diduga sebagai kalimat mistik yang ditujukan kepada dzat yang dipuja dan diagung-agungkan atau disembah; yang dipuja tersebut adalah Dewa, atau raja yang sedang berkuasa.

Melihat pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa batu ini memiliki fungsi spiritual/ sakral dan lebih didasarkan pada sumber kepercayaan yang bernilai magis dan animistik. Alasan disebutnya batu ini memiliki fungsi spiritual bernilai magis, didasarkan pada anggapan bahwa batu ini merupakan batu untuk bertapa dan dianggap memiliki kekuatan gaib. Adapun alasan disebutnya batu ini memiliki fungsi spiritual bernilai animistik, didasarakan pada anggapan bahwa Prabu Niskala Wastu Kancana, dapat memperoleh ilham dari Sanghyang/ dewa terkait dengan peristiwa yang sedang terjadi di kerajaan melalui batu ini.

108

4. Prasasti IV

Gambar 4.8 Visualisasi Prasasti IV (Sumber : Dokumentasi Pribadi: 2011)

Prasasti IV adalah batu ke empat yang menjadi sumber tertulis di Astana Gede Kawali. Batu ini merupakan batu yang dipakai oleh Prabu Niskala Wastu Kancana sebagai penanda di makamkannya abu jenazah ayahnya yaitu Prabu Linggabuana. Berdasarkan alasan tersebut, batu ini memiliki nilai magis/sakral karena dianggap sebagai tempat diletakannya abu kremasi dari Prabu Linggabuana. Menurut cerita, Prabu Niskala Wastu Kancana sering mencari wangsit melalui batu ini. Melihat hal tersebut, batu ini merupakan media pemujaan arwah nenek moyang pada zaman dahulu kala yang khususnya digunakan oleh Prabu Niskala Wastu Kancana.

109

Apabila kita melihat teori tentang menhir, prasasti ini juga dapat dikategorikan sebagai menhir. Bentuk Prasasti IV ini, diduga merupakan bentuk asli yang didapat dari hasil sortiran dan tidak diolah lagi saat akan digunakan. Tulisan yang terukir pada batu ini, merupakan keterangan nama dari arwah nenek moyang yang dianggap bersemayam di batu ini, yaitu Prabu Linggabuana.

Makna/isi dari batu ini, selain sebagai tanda di makamkannya abu jenazah Prabu Linggabuana, Prasasti IV ini dianggap sebagai batu yang mencerminkan kehidupan laki-laki. Menurut keyakinan yang beredar di masyarakat, batu ini juga berperan sebagai alat untuk mengukur hidup laki-laki yang ingin nyandung (poligami), karena alasan tersebut, batu ini diberinama sebagai Batu Panyandungan.

Pusingnya nyandung, akan sama pusingnya apabila dia mengelilingi batu ini sebanyak 7 putaran dengan tidak bernafas. Batu ini juga berfungsi sebagai pesan yang ditujukan kepada laki-laki bahwa nyandung atau beristri lebih dari satu, itu tidak baik. Laki-laki yang tidak mampu nyandung, jangan tergoda untuk memperistri wanita lain, karena hanya akan mempersulit diri sendiri. Memiliki istri satu tapi mampu menjalaninya, akan lebih baik daripada beristri lebih dari satu, tapi hanya menimbulkan masalah dan kesukaran hidup. Dengan alasan seperti itulah, batu ini diberinama batu Panyandungan.

110

Melihat konteks di atas, penulis memperkirakan bahwa batu ini memiliki fungsi spiritual bernilai magis dan animistik. Alasan diperkirakannya batu ini memiliki fungsi spiritual bernilai magis karena Prabu Niskala Wastu Kencana menggunakannya untuk mendapatkan ilham, sedangkan alasan Prasasti IV bernilai magis karena batu ini dianggap sebagai tempat bersemayamnya Prabu Linggabuana. Fungsi fisik juga dapat disebutkan sebagai fungsi dari Prasasti V. Alasan tersebut didasari pada kegunaan batu ini sebagai alat tes hidup bagi laki-laki yang ingin nyandung.

5. Prasasti V

Gambar 4.9 Visualisasi Prasasti V (Sumber : Jurnal Penelitian BALAR: 1996)

111

Prasasti ini dapat dikatakan sebagai batu pasangan dari Prasasti IV. Sama halnya dengan Prasasti V, batu ini merupakan media yang dipilih oleh Prabu Niskala Wastu Kencana sebagai penanda tempat di kuburkannya abu jenazah ibu beliau. Batu ini dikategorikan sebagai prasasti karena adanya tulisan yang tertera di sana. Walaupun hanya tiga kata, tapi tetap menandakan bahwa batu ini adalah prasasti.

Secara teori, batu ini juga dapat digolongkan ke dalam kategori menhir, meskipun ada tulisan yang terukir pada batu ini. Alasannya adalah karena batu ini merupakan tugu peringatan atas meninggalnya seseorang yang dianggap berjasa yaitu ibu Prabu Niskala Wastu Kancana/ prameswari Prabu Linggabuana, dan merupakan tempat bersemayamnya arwah dari nenek moyang yang telah meninggal tersebut. Prasasti V ini diletakan berdampingan dengan Prasasti I. Prasasti V memiliki nama lain yaitu Batu Panyandaan. Apabila batu Panyandungan (Prasasti IV) dianalogikan sebagai laki-laki, maka batu Panyandaan dianalogikan sebagai batu perempuan.

Isi atau makna dari Prasasti V, Menurut narasumber serta cerita yang beredar di masyarakat, disebutnya Prasasti V sebagai batu Panyandaan, karena batu ini merupakan tempat bersandarnya wanita yang susah melahirkan, wanita yang sakit setelah melahirkan, dan wanita yang mandul. Wanita yang mengalami 3 masalah tersebut, apabila dia bersandar di Batu Panyandaan selama 40 hari, maka akan dilancarkan masalahnya. Wanita yang susah melahirkan, akan lancar dalam proses lahirannya. Wanita yang mengalami sakit, akan segera pulih dari sakitnya, dan wanita yang mandul,

112

akan segera dikaruniai anak. Adapun praktek bagaimana cara bersandarnya, sampai sekarang tidak ada yang mengetahui dan masih sebatas perkiraan.

Berkenaan dengan fungsi dari Prasasti V ini, penulis memperkirakan bahwa batu ini memiliki fungsi spiritual bernilai animistik karena batu ini dianggap sebagai tempat bersemayamnya ibu Prabu Niskala Wastu Kancana atau istri Prabu Linggabuana. Batu ini juga memiliki fungsi fisik apabila dikaitkan dengan peranannya sebagai tempat menyandarkan diri bagi wanita yang memiliki masalah terkait dengan peranannya sebagai seorang istri.

6. Prasasti VI

Gambar 4.10 Visualisasi Prasasti VI (Sumber : Dokumentasi Pribadi: 2011)

113

Prasasti IV adalah prasasti yang terakhir ditemukan di kompleks Astana Gede kawali. Sama dengan Prasasti-prasasti yang lainnya, batu ini dikategorikan sebagai prasasti karena adanya teks yang tertulis di atasnya. Prasasti VI adalah salah satu media penyampai amanat yang dipilih dan digunakan kembali oleh Prabu Niskala Wastu Kancana.

Prasasti VI memiliki bentuk yang sedikit cekung ke atas. Batu ini juga memiliki warna yang sangat indah apabila dibandingkan dengan prasasti-prasasti yang terdapat di sekitarnya, yaitu kuning kecoklatan dengan permukaan yang halus dan sedikit mengkilap. Prasasti ini di letakan dengan posisi yang sama dengan Prasasti I.

Pada sudat kiri atas batu, lebih tepatnya terletak di baris pertama teks, terdapat lambang Cakra. Lambang ini juga terdapat pada Prasasti I dengan letak dan posisi yang sama yaitu dibagian sudut kiri atas. Lambang ini merupakan lambang matahari di dalam agama Hindu.

Gambar 4.11 Ukiran Cakra pada Prasasti VI (Sumber : Dokumentasi Pribadi: 2011)

Prasasti VI memiliki fungsi yang sama dengan Prasasti I, yaitu berfungsi secara fisik. Hal ini didasarkan pada peranan batu ini sebagai

114

penyampai pesan atau amanat pribadi dari Prabu Niskala Wastu Kencana kepada anak, cucu, dan juga rakyatnya, serta bagi siapa saja yang akan mendiami daerah Kawali ini. Pesan tersebut tampak pada isi kalimatnya yang berbunyi ‘Ini perti [n], Gal nu atis-, Ti rasa ayama nu, Nosi dayoh iwo, Ulah botoh bisi, Kokoro’ (Inilah amanat dari mendiang yang telah sempurna. Bagi siapapun yang tinggal di negeri ini jangan serakah karena akan menimbulkan kesengsaraan/ penderitaan/ kemiskinan).

Kalimat Ulah botoh bisi Kokoro, adalah pesan Prabu Niskala Wastu Kancana agar siapapun yang menghuni daerah Galuh/ Kawali, tidak boleh melakukan hal-hal yang tercela seperti berjudi, mengadu hewan, memfitnah orang dan sebagainya. Perbuatan tersebut, hanya akan menjadikan hidup kita sengasara. Melihat teks yang tertulis pada prasasti ini, Prabu Niskala Wastu Kancana mengutarakan harapannya serta pesannya yang ditujukan kepada orang-orang yang mendiami Kerajaan Galuh dimasa datang.

115

7. Meja Surawisesa

Gambar 4.12 Visualisasi Meja Surawisesa (Sumber : Dokumentasi Pribadi: 2011)

Meja Surawisesa ini merupakan salah satu artefak di Astana Gede kawali yang berbentuk menyerupai meja. Ada beberapa pendapat mengenai subject matter atau tujuan dibuatnya meja ini,

- Pendapat pertama : Meja Surawisesa adalah meja yang digunakan sebagai tempat melantik raja-raja pada zaman dahulu. - Pendapat kedua : Meja Surawisesa adalah meja yang

digunakan untuk meletakan sasajen.

Melihat teori tentang dolmen dan gambaran tentang dolmen, penulis memperkirakan bahwa Meja Surawisesa ini termasuk ke dalam artefak jenis dolmen. Dolmen merupakan peninggalan berbahan batu yang berasal dari

116

zaman Megalitik namun masih dibuat di zaman sejarah. Dolmen biasanya berfungsi sebagai tempat sesaji dengan permukaan datar.

Dalam perkembangannya, Dolmen tidak hanya berfungsi sebagai tempat peletakan sesaji saja, akan tetapi ada juga Dolmen yang berfungsi ganda, yaitu sebagai tempat sesaji dan sebagai kubur batu. Peninggalan Megalitik berbentuk meja ini, menurut beberapa sumber tidak hanya terdapat di Indonesia, akan tetapi juga ditemukan di negara barat. Meja ini terdiri dari batu-batu berbagai ukuran dengan lempengan batu datar di atasnya yang disusun sedemikian rupa sehingga membentuk meja.

Melihat perbandingan bentuk fisik dari Meja Surawisesa dengan dolmen-dolmen yang lain, nampak jelas bahwa Meja Surawisesa dapat dikelompokan sebagai artefak berjenis dolmen. Berkenaan dengan itu, pendapat kedua yang mengatakan bahwa Meja ini adalah tempat untuk meletakan sesaji kepada Sanghyang, lebih mudah untuk diterima. Meja Surawisesa ini terletak 6 m dari pintu masuk teras kedua.

Dolmen yang terdapat di Astana Gede Kawali ini adalah salah satu dolmen yang tidak berkaki, namun disangga oleh tumpukan batu-batu berbagai ukuran. Dolmen yang terdapat di Astana Gede adalah dolmen yang terbuat pada zaman sejarah, lebih tepatnya pada masa Hindu. Sama halnya dengan Prasasti, dolmen ini juga diperkirakan dibuat pada masa pemerintahan Prabu Niskala Wastu Kencana.

Makna atau Isi dari Meja Surawisesa ini, apabila kita melihat tentang pendapat pertama mengenai tujuan pembuatannya yaitu sebagai tempat

117

pelantikan pemimpin baru, dapat dikatakan bahwa meja ini bermakna sebagai tanda akan diberhentikannya suatu pimpinan yang lama dan akan diganti oleh pimpinan pemerintahan yang baru yang diharapkan dapat membawa perubahan yang lebih baik lagi. Apabila dikaitkan dengan pendapat ke dua, makna meja ini berfungsi sebagai tanda bahwa masyarakat Sunda di zaman dahulu masih menjungjung tinggi adat tradisi tentang penghormatan dan kepercayaan terhadap Sanghyang.

Berkenaan dengan teori fungsi, melihat pendapat pertama dan kedua mengenai dolmen Astana Gede Kawali ini, penulis memperkirakan bahwa Meja Surawisesa ini memiliki fungsi spiritual bernilai adat dan fungsi spiritual yang bersumber pada sistem kepercayaan yang bernilai animistik. Fungsi spiritual bernilai adat, terlihat pada peranannya sebagai tempat untuk melantik pemimpin-pemimpin baru dan upacara sesajen, sedangkan fungsi spiritual bernilai animistik, terlihat pada peranan batu ini yang digunakan sebagai tanda penghormatan kepada Sanghyang melalui ritual sesaji.

118

8. Batu Pengeunteungan

Gambar 4.13 Visualisasi Batu Pangeunteungan (Sumber : Dokumentasi Pribadi: 2011)

Batu Pangeunteungan merupakan salah satu artefak di Astana Gede yang dianggap sebagai batu rangkaian dari Prasasti IV dan Prasasti V. Batu Pangeunteungan dibuat sebagai tanda di makamkannya abu jenazah kakak Prabu Niskala Wastu Kancana yaitu Diah Pitaloka. Batu ini juga dibuat sebagai bentuk penghormatan atas Diah Pitaloka/ Citraresmi yang tewas saat membela kerajaan Kawali pada peristiwa perang Bubat.

Melihat teori tentang menhir, Batu Pangeunteungan adalah salah satu artefak di Astana Gede Kawali yang penulis anggap sebagai menhir. Menhir adalah peninggalan budaya dari zaman Megalitik yang berbentuk tugu atau batu tunggal yang di letakkan pada suatu tempat sebagai tanda untuk memperingati seseorang atau tempat bersemayangnya arwah orang yang

119

sudah meninggal. Batu Pangeunteungan dianggap sebagai tempat bersemayamnya Diah Pitaloka.

Batu Pangeunteungan ini terdiri atas dua bagian, yaitu bagian tugu dan bagian lumpang/ batu tempat air. Apabila tugu batu dianggap sebagai batu gunung yang tidak diolah, lumpang ini diperkirakan diolah terlebih dahulu sebelum akhirnya di letakkan di depan tugu. Batu Pangeunteungan merupakan satu kesatuan dengan Batu Panyandungan dan Batu Panyandaan. Apabila Batu Panyandungan melambangkan sebagai ayah, Batu Panyandaan sebagai ibu, maka Batu Pangeunteungan ini merupakan batu yang melambangkan anak perempuan (Hendarman Praja).

Isi atau makna dari batu ini adalah agar kita selalu ngeunteung atau berkaca pada diri sendiri. Saat kita mencoba untuk bercermin melalui Batu Pangeunteungan, bayangan kita tidak akan nampak di air yang berada di cerukkan batu ini. Posisi antara sandaran badan dengan lumpangnya yang tidak sejajar tersebut, membuat kita susah untuk melihat bayangan diri sendiri, namun apabila kita kawenehan (karasukan), maka kita akan dapat melihat bayangan kita dengan jelas pada cermin air menhir ini.

Menurut narasumber yang memiliki pengetahuan yang lebih mengenai sejarah kerajaan Kawali dan Astana Gede, Batu Pengeunteungan ini sengaja dibuat susah untuk digunakan sebagai cermin karena fungsinya sebagai cerminan tentang makna kehidupan. Menurut beliau, arti filsafat dari batu ini sebagai lambang bahwa mengoreksi kesalahan diri sendiri itu sangat susah.

120

Melihat teori mengenai fungsi, Batu Pangeunteungan ini memiliki fungsi spiritual bernilai animistik dan fungsi fisik. Alasan tersebut didasarkan pada peranan batu ini sebagai tempat di makamkannya abu jenazah Diah Pitaloka dan batu ini juga dianggap sebagai tempat bersemayamnya Diah Pitaloka setelah meninggal. Menhir ini juga disebut memiliki fungsi fisik karena batu ini dibuat sebagai media untuk berkaca atau ngeunteung pada diri sendiri.

9. Makam

Tradisi mengubur mayat di Indonesia dan juga di belahan negara lainnya, sudah dilakukan sejak dulu. Hal ini dibuktikan dengan adanya kubur batu, sarkofagus, dan dolmen yang difungsikan sebagai peti mati, serta kendi-kendi berisi tulang belulang. Tradisi mengubur jenazah di Indonesia pada masa Hindu, mengikuti budaya Hindu yaitu dengan dibakar dan abunya dikubur dengan tugu sebagai penanda. Salah satu contohnya adalah Prasasti IV, Prasasti V, dan Batu Pangeunteungan.

Pada masa Islam, mayat dikuburkan langsung kedalam tanah. Jenazah tidak dikremasikan seperti pada masa Hindu, tetapi di kuburkan dalam bentuk utuh. Ciri khas makam Islam adalah adanya dua batu kecil yang saling berhadapan dengan ukuran tertentu. Makam Islam juga terdapat di Astana Gede Kawali yang notabene adalah budaya Hindu. Masuknya agama Islam pada kerajaan Kawali, tidak serta merta menghilangkan peninggalan Hindu yang lebih dulu ada, akan tetapi tetap dijaga kondisinya.

121

Di Astana Gede Kawali, terdapat 11 makam yang dilihat dari bentuknya adalah bergaya islam. Dalam objek karya tulis ini, penulis mengambil sampel dua makam Islam yang dianggap memiliki keunikan dari segi visual/ penglihatan. Kedua makam tersebut adalah makam Adipati Singacala dan makam Pangeran Usman yang keduanya adalah orang yang menyebarkan agama Islam di kerajaan Kawali.

1) Makam Adipati Singacala

Gambar 4.14 Visualisasi Makam Adipati Singacala (Sumber : Dokumentasi Pribadi: 2011)

Tujuan dibuatnya makam adalah sebagai bentuk penghormatan atas seseorang yang sudah meninggal, begitu juga dengan pembuatan makam Adipati Singacala. Sebagai bentuk penghormatan terhadap Adipati Singacala yang merupakan pemimpin Kawali pertama yang beragama Islam, makam Adipati ini didirikan di teras tertinggi di Astana Gede.

122

Melihat bentuk fisik makam Adipati Singacala, secara umum memiliki kesamaan dengan makam-makam yang ada di sekitarnya. Perbedaan terletak dari adanya tumpukan batu dalam berbagai ukuran yang membentuk teras dan menjadi pembatas makam. Makam ini dilindungi oleh pagar-pagar bambu yang didirikan di sekelilingnya.

Adapun makna peletakan makam Adipati Singacala di teras tertinggi adalah sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasa Adipati Singacala dalam membantu penyebaran agama Islam di daerah Kawali. Teras tertinggi Astana Gede, semula digunakan sebagai tempat pemujaan kepada dewa Hindu dan Sanghyang. Setelah Agama Islam menjadi agama kepercayaan yang dianut, teras ini beralihfungsi menjadi tempat ziarah ke makam Adipati Singacala.

Tidak hanya pada teras tertingginya saja, akan tetapi semua teras di kompleks Astana Gede ini juga akhirnya dialihfungsikan dan menjadi pemakaman islam. Berubah fungsinya Astana Gede sebagai tempat sakral Hindu, menjadi makam bergaya Islam (kuburan) adalah salah satu cara dari Dalem Adipati Singacala dalam menyebarkan agama Islam yang semula sudah dilakukan oleh Pangeran Usman. Walaupun Astana Gede sudah menjadi makam Islam, akan tetapi peninggalan-peninggalan dari masa pemerintahan Prabu Niskala Wastu Kencana yang terdapat disana, tidak disingkirkan dan tetap berada di posisinya semula di dalam kawasan Astana Gede.

123

Melihat konteks diatas, makam ini memiliki fungsi spiritual dengan sumber agama Islam sebagai dasar pembuatannya. Alasan demikian karena makam adalah objek bernilai sakral yang tidak boleh diganggu. Alasan yang lainnya karena makam ini adalah tempat di semayamkannya jenazah seorang penyebar agama Islam, dengan begitu gaya makam yang dipakai juga bercirikhaskan makam agama Islam.

2) Makam Pangeran Usman

Gambar 4.15 Visualisasi Makam Pangeran Usman (Sumber : Dokumentasi Pribadi: 2011)

Pangeran Usman adalah tokoh dianggap sebagai Wali karena merupakan orang yang pertama kali memperkenalkan agama Islam kedalam kerajaan Kawali. Setelah Pangeran Usman wafat, jenazah beliau di makamkan di Astana Gede. Sebagai bentuk penghormatan, makam beliau dibuat dengan ukuran yang sangat panjang yaitu sekitar 5 meter.

124

Melihat bentuk fisik dari makamnya, makam ini sama dengan makam-makam Islam pada umumnya, yaitu diberi dua tugu (nisan) sebagai pertanda bahwa lahan ini adalah tempat di kuburkannya jenazah. Ciri yang lainnya adalah adanya bagian tanah kosong (kijing/ jirat) yang memanjang di antara dua nisan sebagai tempat untuk menabur bunga. Apabila makam lain di batasi dengan batu-batu berukuran kecil atau sedang, batu-batu yang dipakai sebagai

Dokumen terkait