• Tidak ada hasil yang ditemukan

Preferensi Responden Terhadap Ikan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.4 Preferensi Responden Terhadap Ikan

Kepercayaan responden terhadap ikan sebagai sumber protein hewani yang baik telah menjadikan ikan sebagai nilai yang dianut dan dipertahankan oleh responden sebagai preferensi pribadinya dalam memilih sumber protein hewani. Dalam hal ini preferensi konsumen tentang ikan dapat diketahui dengan membandingkan keranjang pasar (market basket), yaitu dengan membandingkan ikan, daging unggas dan daging merah pada suatu keranjang pasar yang dapat dipilih responden, sebagaimana teori yang dikemukakan oleh Pindyck dan Rubinfield (1999). Dalam asumsi preferensi lengkap, ikan menduduki urutan pertama dalam preferensi responden. Tabel 22 menunjukkan bahwa ikan lebih disukai dan dipilih responden sebagai sumber protein hewani, dengan persentase sebesar 52.5% dan diikuti dengan daging unggas (43.33%) yang menempati porsi kedua.

Preferensi ini terjadi karena responden memiliki persepsi yang baik terhadap ikan, diantaranya berprotein tinggi, rendah kolesterol dan mengandung omega 3 yang baik untuk kesehatan. Beberapa responden berpendapat bahwa ikan sangat baik untuk diet.

Tabel 22. Sumber protein hewani yang paling disukai responden

Sumber protein hewani Responden

Jumlah %

Ikan 63 52.50

Daging unggas 52 43.33

Daging merah 5 4.17

Total 120 100

Jika dilihat dari pola preferensi (Supranto dan Limakrisna, 2007), terjadi segmen preferensi yang homogen, yakni suka pada ikan dalam bentuk segar, baik ikan air tawar maupun ikan air laut. Preferensi responden dalam mengonsumsi ikan olahan di Kota Bekasi jauh lebih rendah dibandingkan dengan preferensi ikan segar (Harlin, 2008). Preferensi homogen ini ditunjukkan pada Gambar 38.

Gambar 38. Preferensi responden dalam mengonsumsi ikan (n=120) Preferensi responden terhadap ikan dalam bentuk segar tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya karena kandungan gizi dan budaya (kebiasaan sejak kecil). Faktor ini dianggap berpengaruh pada preferensi responden karena lebih dari 50% responden menyatakan faktor tersebut mempengaruhi sikapnya dalam memilih dan mengonsumsi ikan (Tabel 23). Sementara itu, faktor lingkungan dan variasi produk olahan dianggap tidak mempengaruhi sikapnya dalam mengonsumsi ikan.

Tabel 23. Pendapat responden tentang hal yang mempengaruhi sikapnya dalam membeli dan mengonsumsi ikan (n=120)

Hal yang mempengaruhi

Pendapat responden

Berpengaruh Tidak berpengaruh

Jumlah % Jumlah %

Kandungan gizi 87 72.5 33 27.5

Budaya (kebiasaan sejak kecil) 76 63.3 44 36.7

Lingkungan tempat tinggal 33 27.5 87 72.5

Variasi produk olahan 23 19.2 97 80.8

Hanya suka ikan segar 77,59% Suka ikan segar dan olahan (keduanya) 22,41%

Faktor lingkungan memberikan nilai preferensi yang lebih rendah kepada responden dalam mengonsumsi ikan jika dibanding dengan faktor budaya karena sebagian besar responden sudah mempunyai preferensi tentang ikan yang melekat sejak responden kecil dengan kebudayaan tertentu yang dianutnya. Sebagai contoh pada masyarakat Jawa yang memiliki budaya membatasi makan ikan karena dianggap bisa menyebabkan cacingan. Sementara itu, faktor variasi produk olahan belum mempengaruhi sikap responden dalam mengonsumsi ikan karena produk olahan tersebut belum banyak di pasaran sehingga belum dikenal oleh responden.

Terjadi perbedaan pendapat mengenai faktor kandungan gizi dan faktor budaya dalam pengaruhnya terhadap preferensi pada tingkat pendidikan yang berbeda. Responden yang mempunyai tingkat pendidikan setingkat universitas menganggap bahwa pengaruh budaya cenderung berkurang pengaruhnya dan keputusannya mengonsumsi ikan. Hal ini terjadi karena pengetahuan dan informasi yang diperoleh telah mampu merubah preferensinya dalam mengonsumsi ikan, tidak hanya dipengaruhi oleh faktor budaya saja melainkan juga dipengaruhi faktor lain. Dalam hal ini, faktor kandungan gizi dalam ikan lebih berpengaruh pada preferensinya dalam memilih dan mengonsumsi ikan sebagai pilihan sumber protein hewani. Hal ini tentunya bisa menjadi pertimbangan dalam melakukan kegiatan sosialisasi tentang ikan kepada masyarakat luas.

Dengan demikian nilai-nilai yang dianut dan dipertahankan oleh responden sebagai preferensinya terhadap ikan dapat diketahui bahwa ikan dalam preferensi responden adalah ikan dalam bentuk segar. Preferensi ini cenderung dipengaruhi oleh budaya atau kebiasaan sejak kecil. Preferensi ini akan mengalami pergeseran ke bentuk ikan olahan karena inforrmasi formal yang diperolehnya setelah sebelumnya seseorang mengorganisasikan persepsinya tentang produk tersebut. Sementara itu, preferensi tentang tempat membeli ikan adalah yang mudah dijangkau atau dekat dengan tempat tinggal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden membeli ikan di tempat yang dekat dengan tempat tinggalnya. Dalam hal ini peran distribusi menjadi sangat penting untuk mendekatkan ikan kepada masyarakat.

4.5 Strategi Pengembangan Peningkatan Konsumsi Ikan

4.5.1 Faktor-faktor yang berpengaruh dalam keputusan pembelian ikan

Faktor-faktor yang berpengaruh dalam keputusan pembelian ikan oleh responden diperoleh melalui analisis logit. Variabel dependen yang digunakan dalam analisis logit adalah frekuensi makan ikan oleh responden setiap bulan. Variabel tersebut dibagi menjadi dua kategori yakni jarang dan sering. Kategori jarang dengan kode 0 apabila frekuensi makan ikan di bawah 12 kali per bulan, sedangkan kategori sering dengan kode 1 apabila frekuensi makan ikan di atas atau sama dengan 12 kali per bulan. Pemisahan kategori ini dilakukan atas dasar data konsumsi ikan di kota Depok yang masih rendah sebagaimana dijelaskan pada Bab I yakni sebesar 13.18 kg/kap/tahun. Dengan asumsi setiap kali makan ikan adalah sebanyak 200 gram, maka tingkat konsumsi ikan per tahun dengan frekuensi 12 kali dalam sebulan adalah sebesar 28.8 kg. Dengan demikian frekuensi makan ikan sebanyak 12 kali atau lebih dikategorikan sering dan jika kurang dari 12 kali dikategorikan jarang.

Pada permodelan logit ini seluruh responden teramati (120 responden), artinya tidak ada satu pun data yang tidak teramati. Hal ini dapat dilihat pada output model logit ini pada Lampiran 6. Pada blok 0 atau blok permulaan, dimana model belum menggunakan variabel independen dan hanya menggunakan konstanta saja, nilai signifikansi yang dihasilkan dari konstanta ini adalah 0.001 dengan exp (B) = 1.857. Hal ini berarti bahwa hanya dengan menggunakan model sederhana (hanya melibatkan konstanta saja), ternyata mampu memberikan penjelasan bahwa proporsi responden yang makan ikan 12 kali atau lebih per bulan (sering) adalah 1.857 kali proporsi responden yang makan di bawah 12 kali per bulan (jarang) tanpa dilibatkannya variabel usia (X1), tingkat pendidikan (X2), pengeluaran rumah tangga per bulan (X3) dan jumlah anggota keluarga (X4).

Hasil validasi kecocokan model menunjukkan bahwa model hasil estimasi signifikan fit atau model layak digunakan (Tabel 24). Hal ini terlihat dari hasil uji Chi-Square yang digunakan mempunyai nilai 1.245 dengan p-value sebesar 0.537 (>0.05), yang berarti model hasil estimasi signifikan fit (terima hipotesis nol).

Selanjutnya untuk melihat variabel mana yang sesungguhnya berpengaruh terhadap frekuensi makan ikan dapat dilihat pada tabel variable in the equation

dan variable not in the equation. Tabel 25 menunjukkan bahwa variabel usia signifikan mempengaruhi frekuensi makan ikan oleh responden (jarang atau sering). Hal ini diketahui dari nilai statistik uji Wald yang mempunyai nilai signifikansi value lebih kecil dari 0.05. Nilai statistik Wald untuk variabel usia adalah 5.759 dan nilai signifikasinya 0.016.

Tabel 24. Hosmer and Lemeshow Test pada hasil analisis logit Chi-square Derajat bebas Signifikansi

1.245 2 0.537

Tabel 25. Variabel yang signifikan pada model logit

Parameter Kefisien (B) S.E. Wald Derajat bebas Signifikansi (p-value) Exp(B) Konstanta -0.946 0.665 2.023 1 0.155 0.388 Usia 0.609 0.254 5.759 1 0.016 1.839

Berdasarkan hasil permodelan di atas, hanya terdapat satu faktor yang paling dominan mempengaruhi responden untuk mengonsumsi ikan yakni usia responden (X1). Sementara itu, ketiga faktor lain yakni tingkat pendidikan, pengeluaran rumah tangga per bulan dan jumlah anggota keluarga, yang dianggap mempengaruhi frekuensi makan ikan ternyata tidak dominan dalam model. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hanya ada satu faktor saja yang paling dominan mempengaruhi frekuensi makan ikan responden berdasarkan survei yang dilakukan. Nilai odds rasio pada kolom exp (B) menunjukkan bahwa dengan meningkatnya 1 satuan dalam kelompok usia maka terdapat perubahan odds ratio sebesar 1.839. Dalam hal ini responden memperlihatkan bahwa pada kelompok usia yang lebih tinggi lebih sering mengonsumsi ikan jika dibanding dengan kelompoik usia rendah, dengan tingkat akurasi sebesar 64.2% (Tabel 26).

Hasil penelitian yang dilakukan Myrland et al (1999) terhadap faktor yang mempengaruhi konsumsi makanan laut di Norwegia menunjukkan bahwa ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap tingkat konsumsi makanan laut yakni ukuran rumah tangga (jumlah anggota keluarga), usia, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan harga. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa wanita dengan usia dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi mempunyai tingkat konsumsi makan laut

yang lebih tinggi dibanding dengan yang memiliki usia dan tingkat pendidikan yang lebih rendah.

Penelitian Cheng dan Capps (1988) di Amerika Serikat menunjukkan kondisi yang berbeda. Pada penelitian tersebut, faktor-faktor yang mempengaruhi variasi pengeluaran rumah tangga dalam membeli ikan segar dan beku untuk dikonsumsi di rumah adalah harga, jumlah anggota keluarga (ukuran keluarga), tingkat pendapatan, wilayah geografis, urbanisasi, ras dan musim.

Secara umum, model regresi logit sebagaimana telah dijelaskan pada Bab III adalah sebagai berikut:

�� =�� ��

1− �� = �0+ �1�1�+�2�2� +⋯+ �8�8�+��

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan pada variabel yang signifikan (Tabel 25) diperoleh nilai koefisien konstanta sebesar -0.946 dan nilai koefisien variabel usia sebesar 0.609 sehingga diperoleh model regresi logit sebagai berikut:

�� 1− ���� = -0.946 + 0.609*usia

Tabel 26 menunjukkan perbandingan antara status frekuensi makan ikan hasil estimasi model (prediksi) dengan status awal (observasi). Tabel tersebut menunjukkan bahwa dari 42 data observasi yang berstatus jarang, 2 data diprediksi jarang dan ada 40 data yang diprediksi sering, dan dari 78 data observasi yang berstatus sering, ada 75 data yang diprediksi sering dan ada 3 data yang diprediksi jarang. Prediksi secara keseluruhan menunjukkan angka 64.20% atau dapat dikatakan bahwa data yang diprediksi secara tepat oleh model hasil estimasi adalah sebesar 64.20%.

Tabel 26. Klasifikasi frekuensi makan ikan pada model logit

Observasi (status awal)

Prediksi (estimasi model)

Persentase frekuensi makan ikan

Jarang (<12 kali) Sering (≥12 kali) Jarang (< 12 kali): 42 2 40 4.8 Sering (≥12 kali): 78 3 75 96.2

Keseluruhan (jarang &

4.5.2 Rumusan strategi

Secara garis besar, tingkat konsumsi ikan masyarakat dipengaruhi oleh sisi permintaan (demand) dan sisi pasokan (supply) (Poernomo 2007). Pada sisi permintaan, masalah preferensi yang dipengaruhi kultur dan faktor sosial dapat mempengaruhi keputusan dalam pembelian ikan, sedangkan pada sisi pasokan atau ketersediaan dipengaruhi oleh produksi dan distribusi. Sebagian masyarakat hanya mengenal jenis ikan tertentu yang dekat dengan tempat tinggal mereka, yang pada akhirnya menjadi preferensi secara pribadi.

Secara umum, strategi yang dilakukan adalah untuk meningkatkan konsumsi ikan per kapita dan usaha untuk mengatasi pasokan dan distribusi untuk konsumsi domestik. Strategi terkait dengan pengembangan produk diarahkan kepada produsen untuk mendekatkan ikan segar kepada masyarakat. Selain itu, produsen diarahkan untuk mengembangkan produk olahan baik olahan sekunder seperti ikan asin, ikan pindang, ikan asap dan ikan kaleng maupun produk olahan tersier seperti bakso, nugget dan sosis ikan. Sementara itu, strategi pengembangan kebijakan yang diperuntukkan bagi pemerintah mencakup dua sisi yakni meningkatkan konsumsi dan meningkatkan pasokan.

Strategi pengembangan peningkatan konsumsi ikan dalam hal ini dikelompokkan menjadi dua yakni strategi pengembangan produk yang dapat dilakukan produsen produk perikanan bersama dengan pemerintah, dan strategi penyusunan kebijakan dalam rangka peningkatan konsumsi ikan.

4.5.2.1 Strategi pengembangan produk

Berdasarkan data hasil penelitian tentang persepsi dan preferensi responden tentang ikan menunjukkan bahwa lebih dari 65% responden mengenal ikan dalam bentuk ikan segar, dengan jenis ikan yang terbatas sesuai dengan keterjangkauan responden. Hal ini menunjukkan bahwa ikan segar sangat dekat dengan ingatan responden.

Data pada tahun 2010 (sebagaimana telah dijelaskan pada Bab II) menunjukkan bahwa 60% dari total produksi dipasarkan dalam bentuk ikan segar dan hanya 40% dalam bentuk ikan olahan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa produsen ikan segar tidak memerlukan upaya yang besar untuk membuat produknya diterima responden. Dalam hal ini, strategi yang diperlukan adalah

mempertahankan tingkat konsumsi ikan masyarakat terhadap ikan segar, baik ikan segar air laut maupun ikan segar air tawar, dengan mendekatkan ikan segar kepada konsumen. Dari hasil penelitian, ikan segar air laut yang paling disukai responden pada penelitian ini berturut-turut adalah kembung (39.17%), tongkol (17.50%) dan bandeng (16.67%), sedangkan untuk ikan segar air tawar yakni ikan lele (50%), ikan mas (23.50%) dan ikan gurame (10%). Jika keenam jenis ikan tersebut diurutkan dalam tiga urutan teratas maka ikan segar yang paling digemari responden dan paling tepat untuk diperhatikan distribusinya dalam kaitannya dengan peningkatan konsumsi ikan adalah ikan lele (27.03%), ikan kembung (21.17%) dan ikan mas (12.16%).

Strategi pengembangan produk berikutnya adalah dengan pengembangan produk olahan. Strategi pengembangan produk olahan ikan tersebut dapat dilakukan berdasarkan data hasil penelitian terhadap tren tingkat pengeluaran dan tren tingkat pendidikan.

Berdasarkan pola tingkat pengeluaran (sebagai proksi tingkat pendapatan), diketahui bahwa tingkat kesukaan responden terhadap ikan asin, ikan pindang dan ikan asap semakin menurun seiring dangan semakin tinggi tingkat pengeluaran. Berdasarkan prosentase responden terhadap jenis ikan yang disukai (Tabel 11) menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pengeluaran, produk yang mengalami tren peningkatan adalah bakso ikan, nugget ikan dan ikan kaleng. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa proporsi tingkat pengeluaran > 3 juta rupiah menduduki urutan kedua setelah tingkat pengeluaran antara 1-2 juta rupiah. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan ketiga produk olahan pada kelompok tingkat pengeluaran tinggi mempunyai potensi pasar yang besar, terlebih lagi dengan adanya peran pemerintah yang senantiasa mendorong pertumbuhan ekonomi yang diharapkan akan meningkatkan pendapatan masyarakat secara keseluruhan.

Berdasarkan pola tingkat pendidikan, kelompok responden dengan tingkat pendidikan universitas mulai menyukai produk olahan meskipun belum meninggalkan konsumsi ikan segar. Dengan demikian terdapat peluang pengembangan produk olahan ikan dalam rangka peningkatan konsumsi ikan. Pangsa pasar yang dibidik dalam hal ini adalah masyarakat yang mempunyai

tingkat pendidikan universitas. Hal ini didukung oleh data indikator pendidikan dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2011 menunjukkan adanya peningkatan Angka Partisipasi Kasar (APK) perguruan tinggi pada lima tahun terakhir (APK adalah proporsi anak sekolah pada suatu jenjang tertentu dalam kelompok usia yang sesuai dengan jenjang pendidikan tersebut). Pada tahun 2006 APK perguruan tinggi menunjukkan angka sebesar 12.16 dan terus meningkat hingga 16.35 pada tahun 2010. Peningkatan terbesar terjadi pada tahun 2010 sebesar 12.06%. APK perguruan tinggi dari tahun 2006 hingga tahun 2010 dapat dilihat pada Gambar 39.

Gambar 39. Angka partisipasi kasar perguruan tinggi (APK), tahun 2006 sampai dengan 2010

Tren peningkatan jumlah penduduk yang menempuh perguruan tinggi tersebut menunjukkan potensi pasar produk olahan yang semakin meningkat. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan konsumsi ikan olahan pada responden dengan tingkat pendidikan universitas (perguruan tinggi) memberikan peluang bagi produsen dalam mengembangkan produk olahan ikan. Dalam hal ini pemerintah juga mempunyai peran dalam membuat suatu kebijakan yang mendukung pengembangan produk olahan ikan dan lebih mendekatkan produk olahan ikan kepada masyarakat luas.

Dari telaah deskriptif diketahui bahwa produk olahan ikan yang paling disukai adalah ikan asin, dan kemudian secara berurutan adalah ikan pindang, ikan kaleng, bakso ikan, ikan asap, nugget ikan, terasi dan sosis ikan. Namun jika dilihat berdasarkan tren tingkat pengeluaran dan tingkat pendidikan, ada tiga

12,16 13,31 14,42 14,59 16,35 10 11 12 13 14 15 16 17 2006 2007 2008 2009 2010 A P K (%) Tahun APK Perguruan Tinggi

produk olahan yang semakin disukai responden seiring dengan semakin tingginya tingkat pengeluaran dan tingkat pendidikan. Produk olahan tersebut adalah bakso ikan, nugget ikan dan ikan kaleng.

Strategi pengembangan produk dalam hal ini adalah dengan mengembangkan produk yang disukai responden berdasarkan hasil penelitian, yang meliputi produk segar dan produk olahan. Produk segar yang perlu diperhatikan distribusinya dalam kaitannya dengan peningkatan konsumsi ikan adalah ikan lele (27.03%), ikan kembung (21.17%) dan ikan mas (12.16%). Sementara itu, produk olahan yang perlu dikembangkan adalah bakso ikan, nugget

ikan dan ikan kaleng, sehingga mampu meningkatkan ikan dari sisi produk olahan ikan. Dalam pelaksanaan strategi ini perlu diperhatikan empat unsur bauran pemasaran yakni produk, harga tempat atau distribusi dan promosi sehingga dalam implementasinya mampu memberikan keuntungan baik bagi produsen maupun konsumen yang akan menjadi sasaran atas produk yang dikembangkan.

4.5.2.2 Strategi penyusunan kebijakan

Strategi penyusunan kebijakan yang dilakukan adalah untuk mendorong minat masyarakat dalam mengonsumsi ikan. Kebijakan tersebut harus mampu menyentuh sisi pasokan (ketersediaan dan keterjangkauan) dan sisi permintaan yang disinyalir menjadi penyebab rendahnya tingkat konsumsi ikan saat ini, sebagaimana telah diuraikan pada Bab II. Berdasarkan hasil analisis logit, keputusan responden dalam membeli dan mengonsumsi ikan yang dalam hal ini dicerminkan pada frekuensi mengkosumsi ikan, dipengaruhi oleh variabel usia (sig 0.016). Variabel ini yang kemudian akan diuraikan ke dalam strategi penyusunan kebijakan dalam rangka peningkatan konsumsi ikan.

1) Meningkatkan konsumsi dari sisi permintaan

Pola konsumsi ikan yang terjadi berdasarkan persepsi dan preferensi responden menunjukkan bahwa sebagian besar responden (lebih dari 65%) lebih menyukai ikan segar. Hal ini terjadi karena pengetahuan dan informasi yang diperoleh sebagai bahan persepsi dan preferensi terhadap ikan cenderung kearah ikan segar. Sebagian besar informasi dan pengetahuan tentang ikan diperoleh responden dari proses penglihatan dan pengamatan di sekitar tempat tinggal mereka. Ikan segar adalah bentuk ikan yang paling sering dijumpai di lokasi

tempat tinggal mereka atau yang sering mereka jumpai di tempat perbelanjaan mereka sehingga paling banyak dikenal dan disukai responden. Dalam hal ini aksesibilitas atau keterjangkauan menjadi faktor yang sangat berperan penting selain faktor ketersediaan dan keamanan pangan.

Data hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan formal yang diperoleh responden telah mampu menggeser tingkat kesukaan responden yang semula hanya menyukai ikan dalam bentuk segar menjadi menyukai ikan dalam bentuk segar beserta olahannya. Terkait dengan tersebut maka strategi kebijakan yang dapat diambil dari sisi permintaan ini adalah:

a) Memasyarakatkan produk olahan ikan

Produk olahan ikan masih kurang diminati oleh sebagian besar responden. Persepsi tentang ikan masih didominasi oleh ikan segar sehingga untuk meningkatkan konsumsi ikan diperlukan pengenalan produk olahan ikan kepada masyarakat. Jika dibandingkan dengan ikan segar, upaya pengenalan terhadap produk olahan ikan memerlukan pendekatan yag lebih serius. Pengenalan produk olahan ikan diperlukan untuk mendekatkan ikan kepada masyarakat sehingga dapat diinterpretasikan sebagai persepsinya. Pengenalan terhadap berbagai jenis olahan ikan diharapkan mampu mengurangi kejenuhan masyarakat terhadap ikan, sehingga ada penambahan konsumsi ikan dalam menu sehari-hari. Pengenalan produk olahan ini dilakukan dengan alasan kepraktisan dalam mengolah dan mengonsumsi ikan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada responden yang berpendidikan universitas telah mulai mengenal dan menyukai olahan ikan, sedangkan untuk strata pendidikan dibawahnya masih menunjukkan kesukaannya pada ikan segar. Dengan demikian diperlukan segmentasi pada sasaran pengenalan produk olahan ikan tersebut. Pengenalan produk olahan saat ini harus lebih difokuskan kepada masyarakat dengan tingkat pendidikan SLTA dan jenjang dibawahnya.

Sementara itu, bentuk olahan yang menjadi fokus pengenalan produk adalah bentuk olahan tersier seperti bakso, nugget dan sosis ikan, karena bentuk olahan yang lain lain seperti ikan pindang, ikan kaleng, ikan asap dan terasi telah dikenal sebagian responden. Dengan segmentasi pada sasaran pengenalan produk

dan pemilihan produk tersebut diharapkan mampu meningkatan konsumsi ikan secara keseluruhan.

b) Meningkatkan pengetahuan dan informasi kepada masyarakat tentang ikan

Berdasarkan hasil penelitian, usia responden terbukti signifikan mempengaruhi keputusan konsumen dalam mengonsumsi ikan. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada responden kelompok usia tua lebih sering mengonsumsi ikan dari pada kelompok usia muda. Oleh karena itu diperlukan suatu kebijakan yang mampu meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang ikan sejak usia dini. Peningkatan pengetahuan ini dapat diberikan melalui pendidikan formal maupun informal dengan memberikan pemahaman tentang keunggulan kandungan gizi yang terkandung di dalam tubuh ikan. Kegiatan melalui pendidikan formal yang dapat dilakukan diantaranya melalui pemberian bahan ajaran tentang kesehatan dan ikan, sedangkan kegiatan secara informal dapat dilakukan antara lain dengan memberikan pengetahuan cara mengolah ikan yang benar bagi ibu-ibu muda dan memberikan informasi tentang masakan yang sebelumnya tidak dikenal atau modifikasi menu yang telah ada.

Dalam penyampaian pengetahuan dan informasi tersebut perlu dibuat segmentasi berdasarkan tingkat pendapatan. Hal ini dilakukan berdasarkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pada tingkatan pendapatan yang berbeda terdapat persepsi yang berbeda tentang penggunaan media yang berpengaruh pada keputusan pembelian ikan. Gambar 40 menunjukkan perbedaan penggunaan media yang paling berpengaruh pada setiap tingkat pendapatan.

Media penyampaian pesan yang melibatkan target peserta secara langsung seperti pelaksanaan demo masak dan penyuluhan akan menjadi efektif jika dilakukan pada peserta dengan tingkat pendapatan di bawah 3 juta rupiah. Untuk penyuluhan seperti pada kegiatan PKK masih nampak efektif pada golongan pendapatan atara 3–4 juta rupiah. Sementara itu, media televisi paling tepat digunakan untuk menyampaikan pengetahuan dan informasi pada golongan tingkat pendapatan di atas 4 juta rupiah. Hal ini dipengaruhi oleh faktor kesibukan yang cenderung terjadi pada golongan pedapatan di atas 4 juta rupiah. Adapun bentuk penyampaian informasi dengan menggunakan media televisi ini dapat berupa iklan layanan masyarakat maupun tayangan dalam kegiatan seperti demo

masak maupun talk show tentang manfaat ikan. Hal perlu diperhatikan dalam penggunaan media adalah ketepatan waktu, tempat dan pilihan media yang digunakan.

Gambar 40. Tiga media yang paling berpengaruh dalam keputusan membeli ikan menurut tingkat pendapatan (n=120)

2) Meningkatkan ketersediaan ikan

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa persepsi tentang jenis ikan yang ada di benak responden terbentuk berdasarkan ketersedian dan keterjangkauan jenis ikan tersebut di sekitar tempat tinggal mereka. Dengan demikian diperlukan kebijakan peningkatan konsumsi ikan dari sisi pasokan. Pasokan yang dimaksud dalam hal ini adalah ketersediaan dan keterjangkauan ikan dan produk olahan ikan di pasaran. Ketersediaan ikan meliputi terjaminnya

Dokumen terkait