• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Preparasi Sampel Alga merah Laurencia papillosa (Forskal) Graville

Selanjutnya jenis spesies alga merah yang didapat diidentifikasi dengan bantuan dari pihak laboratorium Sistematika Tumbuhan (Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta). Hasil identifikasi, sampel alga merah termasuk dalam ordo Ceramiales, familia Rhodomelacaeae, genus Laurencia, spesies Laurencia papillosa (Forskal) Graville (lihat lampiran 1).

B. Preparasi Sampel Alga merah Laurenciapapillosa (Forskal) Graville Alga merah Laurencia papillosa (Forskal) Graville dikumpulkan, dicuci dengan air tawar mengalir sebanyak dua kali untuk menghilangkan kotoran berupa debu, pasir (silikat), material laut bukan berasal dari alga merah yang ikut

terbawa dan mengotori sampel alga merah. Langkah pencucian ini perlu dilakukan dengan cermat agar pengotor tidak mengotori sampel yang ingin diteliti.

Senyawa silikat juga dapat membentuk kompleks molibdat dari reagen Folin dalam suasana asam. Bentuk kompleks asam molibdat yang terbentuk H6[SiMo12O40].n H2O (Auterhoff & Knabe, 1978). Setelah itu, dilakukan langkah sortasi atau penyortiran terhadap alga yang dipanen agar materi dari jenis alga spesies lain atau bahan organik asing tidak tercampur dengan sampel alga merah karena alga tumbuh bersama-sama dalam satu habitat dengan alga atau rumput laut yang berbeda spesies juga, tidak hanya dalam bentukan populasi. Sampel yang didapat benar-benar merupakan alga merah Laurencia papillosa (Forskal) Graville dilihat dari ciri morfologisnya. Bagian akar alga dibuang dengan pisau atau gunting karena alga umumnya berakar pada suatu karang sehingga bagian akarnya dibuang agar materi asing dari batu karang tidak ikut dan mengganggu hasil analisis. Secara umum tujuan sortasi untuk meminimalkan keberadaan materi organik asing karena materi organik maupun organic dust ini dapat menggangu hasil analisis.

Organic dust ini dapat turut mereduksi kompleks asam dalam reagen membentuk warna kehijauan sesuai laporan penelitian Otto Folin. Namun hal ini tidak banyak memberi pengaruh pada hasil analisis, mengingat reagen Folin-Ciocalteau sendiri mengandung banyak stabilizer untuk mengatasi berbagai ketidakstabilan dari reagen termasuk karena organic dust ini, kandungan bromin dari reagen dapat menghilangkan hasil reduksi ini, sehingga tidak lagi membentuk warna menyerupai tinta kehijauan (Wu, 1920).

Selain itu, pada pengamatan saat dilakukan sortasi terdapat senyawa berupa kalsium seperti butiran kapur berwana putih yang melingkupi daerah sekitar thallus alga, kalsium ini merupakan produk alamiah alga yakni hasil kalsifikasi. Kalsium yang masih ada setelah dilakukan sortasi tidak akan mengganggu analisis. Senyawa Ca ini bukanlah reduktor sehingga praktis tidak mampu memiliki kemampuan mereduksi kompleks asam molibdat-fosfat pada reagen Folin-Ciocalteau yang digunakan.

Setelah lolos proses sortasi maka ganggang merah diproses dalam autoklaf selama 30 menit pada suhu 100 0C untuk mendenaturasi protein yang ada dalam ganggang termasuk enzim polifenol oksidase atau Polyphenol Oxydase (PPO). Efek perlakuan panas terhadap aktivitas PPO menunjukkan pemberian suhu menyebabkan meningkatnya kecepatan reaksi antara enzim dan senyawa fenolik sebagai substratnya. Perlakuan pada 55 0C, membuat enzim inaktif secara parsial. PPO telah dilaporkan menjadi inaktif dengan direbus dalam air panas pada 100 0C selama 1,5 menit (Mustapha & Ghalem, 2007).

Enzim PPO ini mengkatalisis hidroksilasi dari monofenol menjadi o -difenol. Lebih lanjut, dapat mengkatalisis oksidasi o-difenol untuk membentuk o -kuinon. Proses polimerisasi o-kuinon ini cepat berlangsung menghasilkan pigmen berupa senyawa polifenol. Jika enzim PPO inaktif maka proses polimerisasi fenol tidak lagi berlangsung, membentuk polimer polifenol yang lebih panjang. Secara sederhana digambarkan pada gambar 6 (Sullivan et al., 2003).

O O

o-kuinon

OH OH

O O

Enzim PPO Enzim PPO

OH

Gambar 6. Proses oksidasi fenol oleh enzim polifenol oksidase (PPO)

Hasil autoklaf dijadikan simplisia dengan cara dikeringkan dalam oven selama beberapa hari pada suhu 90 0C, agar menjadi simplisia alga merah kering dengan tingkat kekeringan tertentu sehingga mudah untuk dihancurkan dengan tangan kemudian diserbuk dengan alat blender bermotor. Alga harus benar-benar kering agar didapat partikel yang serbuk yang cukup halus. Kadar air atau lembab yang semakin rendah maka sel-sel tanaman alga menjadi lebih rapuh terhadap kekuatan mekanis mesin blender sehingga lebih mudah untuk dihaluskan menjadi serbuk. Derajat kehalusan serbuk yang diambil 20/30 dengan cara pengayakan agar diperoleh ukuran partikel serbuk yang lebih homogen dan partikel yang tidak terlalu besar atau kecil.

Ekstraksi akan bertambah baik bila luas permukaan area spesifik serbuk simplisia yang kontak dengan cairan penyari semakin luas sehingga meningkatkan efisiensi ekstraksi serbuk simplisia alga. Sementara partikel serbuk yang terlalu halus juga tidak menguntungkan karena dapat menyebabkan

flogging (partikel-partikel kecil menyumbat pori-pori yang ada) pada filter saat sokhletasi sehingga proses ekstraksi serbuk alga menjadi terhambat. Selanjutnya dilakukan penetapan kadar air serbuk alga dilakukan dengan metode Karl Fischer karena metode ini spesifik mengukur kadar air dalam analit

dan sensitif untuk mengukur sampel dalam jumlah yang sedikit serta akurat. Kadar air dari serbuk alga merah yang terukur dengan metode ini:

• Replikasi I : 8,53%

• Replikasi II : 6,00 %

• Replikasi III : 5,97 %

Hasil penetapan kadar air adalah 6,83 ± 1,469 %, masih memenuhi syarat atau masih di bawah 10 % sehingga dapat diterima sebagai simplisia kering untuk selanjutnya diekstraksi dengan cara sokhletasi. Hasil penetapan kadar air pada replikasi I berbeda jauh dari kadar yang didapat pada replikasi II dan III dimungkinkan oleh sampel yang menyerap lembab sebelum dilakukan analisis dengan Karl Fischer. Penetapan kadar air dengan metode Karl Fischer berdasar atas reaksi redoks antara SO2 dan I2 menghasilkan garam asam hidroiodat dan garam alkil sulfat. Reaksi redoks ini hanya berlangsung dengan adanya air seperti gambar 7, reaksi di bawah ini (Evans, 2002).

Gambar 7. Reaksi saat penetapan kadar air dengan Karl Fischer

Tujuan pengontrolan kandungan lembab di bawah 10 % ini untuk menekan pertumbuhan mikroba yang mampu menguraikan kandungan organik

ganggang sebagaimana yang disyaratkan dalam MMI (Materia Medika Indonesia) untuk simplisia tanaman umumnya.

Dokumen terkait