• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRESIDEN BEM UGM

Dalam dokumen WAJAH LITERASI DAN DUNIA INTELEKTUAL IND (Halaman 69-80)

DENGAN IPK SATU

KOMA

Jika ditanya kepada mahasiswa UGM, siapakah Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa mereka?, maka jawaban yang terlontar mungkin lebih banyak ketidaktahuan. Bukan saja karena mahasiswa ngak peduli-peduli amat sama yang namanya BEM, tapi juga “kurang gaulnya” beberapa Presiden BEM UGM beberapa tahun ini yang dikuasai oleh salah satu partai mahasiswa bentuk KAMMI, menjadi pemicu situasi ini.

Pemira yang berlangsung tanpa greget dengan tingkat partisipasi kurang dari 10% telah menetapkan salah satu kandidat dari “partai mahasiswa berkuasa” tahun lalu di UGM sebagai pemenang. Tentu setelah penetapan oleh panitia pemira (semacam KPU lah), maka hasil itu diberitahukan kepada rektor sebagai pimpinan tertinggi di universitas untuk di-SK-kan. Seharusnya proses administratif ini bisa berjalan cepat dan launching Presiden BEM KM UGM yang baru bisa segera dilakukan.

Namun, sampai detik ini SK dari rektor belum jua keluar. BEM yang menjadi organisasi paling elit di kampus seolah mati suri. Tak ada acara-acara berskala besar. Padahal di awal- awal tahun biasanya BEM UGM sudah show up menyajikan berbagai acara berkualitas baik berskala regional, nasional maupun internasioanl. Tentu pertanyaan yang menggelitik adalah kenapa SK belum juga keluar? Apakah pihak rektorat sengaja melakukan hal ini untuk membungkam daya kritis BEM KM yang memang sering melakukan protes dan demonstrasi terkait kebijakan kampus yang tidak pro- mahasiswa.

Usut demi usut, ternyata sikap rektor UGM untuk tidak melantik Presiden BEM terpilih dikarenakan faktor akademis. Informasi yang berkembang di kalangan dosen dan mahasiswa terkait keogahan rektor untuk mengeluarkan SK adalah Presiden BEM UGM terpilih hanya memilikiIPK SATU KOMA. Apa kata dunia kalau orang yang memimpin organisasi nomor satu di kampus terbaik se-Indonesia cuma punya IPK Satu Koma? Apa UGM ngak punya mahasiswa pinter yang juga punya kapabilitas untuk jadi pemimpin? Mungkin ini yang ada di pikiran Prof. Soejarwadi selaku rektor UGM.

IPK memang tidak menjadi jaminan terkait kecerdasan dan kemampuan leadership seseorang. Toh, banyak juga aktivis mahasiswa yang harus droup out karena mengurus organisasi. Cukup dapat dimaklumi, aktivitas super sibuk di luar kampus telah membuat mereka mesti mengorbankan kuliah.

Tapi pertanyaan baru muncul. Apakah alasan kesibukan di luar kampus menjadi alasan meninggalkan kuliah dan menjadi “mahasiswa siluman” dengan IPK di bawah dua? Seharusnya tidak. Namanya juga mahasiswa, maka tugas utamanya ya kuliah. Toh mengurus organisasi tidak mesti 24 jam kan dan tak mesti sendirian kan? Manajemen waktu dan pendelegasian tugas bisa menjadi solusi.

Saya melihat ada beberapa problem terkait dengan hal ini. Pertama adalah sistem rekruitmen internal partai yang tidak berjalan secara baik. Partai seharusnya mampu melakukan fit and proper test baik itu soft skill maupun hard skill termasuk di dalamnya prestasi akademik ketika mengusung kandidat. Kedua, pemira tak lebih sekedar ajang tahunan perebutan/mempertahankan kekuasaan di BEM. Mahasiswa sebagai pemilih seringkali seperti membeli pisang dalam karung, sehingga ngak jelas apakah benar sudah masak/masih muda/sudah busuk? Hanya pamplet-pamplet dan spanduk-spanduk kamuflatif yang disajikan. Ketiga, ada paradigma berpikir yang salah terkait pemakluman bahwa untuk aktivis ngak masalah IPK rendah. Padahal gaya berpikir ini bisa dibalik, “aktivis harus punya IPK tinggi”. Toh contoh- contoh aktivis dengan IPK di atas 3,5 bisa kita temui di kampus. Mereka mampu memadukan kewajiban kuliah dengan aktivitas organisasi.

Saat ini, ngak zamannya lagi aktivis kampus punya IPK jelek. Pemimpin adalah sosok teladan. Jika untuk urusan kuliah saja seorang Presiden BEM tidak mampu memberikan contoh yang

baik, bagaimana mungkin ia akan dihormati oleh mahasiswa- mahasiswa yang lain? IPK memang bukan segalanya, tapi Presiden BEM di universitas sekelas UGM yang sedang gencar-gencarnya mencanangkan misi sebagai universitas riset dunia, punya IPK di bawah 2,5 apalagi di bawah 2, kayaknya malu-maluin aja.

Sebuah Persembahan untuk Uda Suryadi (Lectrure Dept. of Languages and Cultures of Southeast Asia and Oceania Leiden University) Beberapa orang menyesalkan sejarah, kenapa tidak Inggris (atau negara yang berbahasa Inggris) yang menjajah Indonesia dahulu? Kalau misalnya Inggris yang menjajah tentu kita tidak usah ribet-ribet pake ngejar TOELF tinggi untuk bisa kuliah ke luar negeri. Seandainya yang menkolonialisasi kita dahulu adalah negara yang berbahasa Inggris tentu kita tidak perlu ribut-ribut dengan rencana kebijakan liberalisasi tenaga kerja yang membuka peluang persaingan bebas antara tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja asing.

Kalau kita dengar cerita-cerita bapak-bapak atau ibu-ibu yang kerja di perusahaan multinasional, para ekspetariat bule biasa bergaji lebih tinggi dari pegawai lokal. Padahal dilihat dari kemampuan dan kapabilitas mereka biasa-biasa saja

malah ada yang lebih rendah capabiliy-nya dari orang-orang Indonesia. Ya, cuma modal bisa bahasa Inggris (memang sejak lahir sudah pake “yes -no” – “yes-no”) dan kulit putih bermata biru, mereka “dihargai” lebih dari kita.

Garis sejarah sudah tertoreh. Yang menjajah kita berabad- abad adalah Londo (Belanda) yang telah menyedot air laut untuk dijadikan daratan, hingga saat ini mereka memiliki kota-kota besar dengan nama “DAM”. Ya, paling tidak seperti India yang orang-orang di desanya bisa cas-cis-cus berbahasa Inggris (karena memang lama dijajah Inggris), seyogyanya masyarakat kitapun bisa dengan mudah berbahasa Belanda dalam kesehariannya. Tapi kenyataan hari ini, siapa yang bisa diantara masyarakat Indonesia (selain hidup pada zaman Belanda dan ikut kursus Bahasa Belanda) yang bisa memakai Bahasa negeri Ratu Victoria ini?

Salah satu jawabannya dapat kita temukan pada tulisan Denys Lombard, sejarahwan asal Perancis yang banyak dikagumi oleh ilmuan sejarah Indonesia dikarenakan karya monumentalnya “Nusa Jawa: Silang Budaya” yang 3 jilid itu, pernah menyampaikan analisanya tentang kebijakan Kolonial Jepang dan pemerintah Orde Lama yang melarang penggunaan Bahasa Belanda di segala bidang:

Yang akhirnya berakibat jauh lebih berat adalah keputusan untuk mempertahankan larangan menggunakan bahasa Belanda yang dikeluarkan oleh Jepang dan untuk tidak menyelenggarakan kembali pengajaran bahasa itu di segala tingkat pendidikan, bahkan di universitas. Memang ada

alasan kebahasaan dan politik yang baik untuk keputusan itu: bahasa Indonesia harus diterima sebagai satu-satunya bahasa nasional, terlindung dari segala persaingan, dan pemerintah waktu itu berharap dapat keluar selamanya dari orbit Belanda. Namun, para mahasiswa baru, yang jumlahnya justru meningkat sangat cepat, jadi terputus dari buku-buku pegangan yang tersedia, maupun dari seluruh pustaka ilmiah mengenai negerinya. Penggunaan bahasa Belanda tentu saja masih dipertahankan secara tidak resmi di kalangan mereka yang telah menyelesaikan studi sebelum tahun 1942, dan ada sekedar upaya untuk menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan menerbitkan pustaka Universitas yang diperlukan. Meski demikian, pemutusan itu tetap menimbulkan dampak sangat buruk. Kebijakan itu baru dihapuskan setelah tahun 1969, jadi hampir 25 tahun setelah kemerdekaan, dan pada saat bahasa Inggris sudah mengantikan bahasa Belanda sebagai bahasa asing pertama (Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya Jilid 1, Gramedia Pustaka Utama; Jakarta. 2005, halaman 273) Lombard menyayangkan kebijakan pemerintah Indonesia pada masa awal kemerdekaan yang tidak lagi mengajarkan bahasa Belanda di sekolah-sekolah. Alasan yang ditekankan Lombard adalah keterputusan intelektual, karena pada masa itu text-book yang dipakai masih banyak yang berbahasa Belanda.

Namun, apakah persoalan ini menjadi masalah serius dalam konteks keilmuan kontemporer? Saat ini yang menjadi lingua franca internasional adalah Bahasa Inggris. Bahasa Belanda,

jangankan jadi bahasa ilmiah internasional, masuk bahasa resmi United Nation aja ngak (yang masuk bahasa resmi PBB yaitu, Inggris, Mandarin, Perancis, Rusia, Arab, Spanyol).

Jadi kita bisa mengucapkan syukur karena pada masa pelarangan pengajaran Bahasa Belanda, para ahli bahasa kita semakin memassifkan dan menguatkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Sehingga, sebagai bangsa yang besar kita bisa berbangga memiliki bahasa sendiri yang menjadi pemersatu di berbagai suku bangsa yang tersebar di seluruh kepulauan nusantara.

Penjajah tetaplah penjajah, siapapun itu? Mau , Inggris, Belanda, Spanyol, Portugis, Perancis, semua tetap meninggalkan luka mendalam dalam alam bawah sadar historis bangsa terjajah. Meskipun upaya menghilangkan beban psikologis itu sudah dimulai sejak awal oleh founding father kita, tetap saja sampai saat ini “penyakit inlander” itu belum hilang dari memori bangsa Indonesia.

Kembali kepada pembuka di atas tadi, jika kita berandai- andai, memilih dijajah Inggris atau Belanda, melihat kemajuan commonwealth saat ini, tentu kita pilihan jatuh kepada Inggris.

Orang Belanda memang terkenal “pelit” untuk menjadikan bahasanya dipakai oleh bangsa lain. Kees Groeneboer (penasehat akademis pada program studi Belanda Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dan Pusat Bahasa Belanda Erasmus Jakarta) pernah menyampaikan:

“Di Hindia Timur, Belanda tidak pernah dipilih untuk

mengasimilasikan para penduduk dan justru diputuskan untuk tidak menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pergaulan umum. Pada tahun 50-an abad ke-19 muncul diskusi panjang lebar mengenai keinginan untuk menyebarkan bahasa Belanda. Secara eksplisit politik bahasa dan pendidikan seperti yang dilaksanakan Inggris di Hindia Inggris (India) ditentang, dan pendidikan barat pada skala besar pun ditolak. Suatu penyebaran pengetahuan barat yang tidak terpantau melalui bahasa Belanda dapat membahayakan keberadaan koloni, sebab meskipun penyebaran besar-besaran bisa saja menawarkan masa depan yang menarik bagi pasar buku berbahasa Belanda,

akan tetapi ‘kesadaran moral’ penduduk pribumi tidak bisa dikendalikan lagi kalau buku-buku berbahasa Belanda

dipasarkan secara bebas”(Kees Groeneboer, Bahasa Belanda Sebagai Bahasa Dunia, dalam “Menabur Kasih Menuai Kasih: Persembahan Karya Bahasa, Sosial, dan Budaya untuk Anton M. Moeliono pada Ulang Tahun yang ke-75, Yayasan Obor; Jakarta. 2004. Halaman 251).

Nampaklah bagaimana strategi penjajah membuat bodoh penduduk pribumi sehingga mereka tetap terbelakang dan menerima penindasan dari bangsa lain sebagai bentuk “takdir sejarah” yang mesti diterima.

Kehadiran politik etis yang didengungkan dari orang-orang Belanda yang masih memiliki “belas kasihan” atau penderitaan dan keadaan bangsa terjajah, telah memberikan “sedikit” kesempatan kepada anak-anak pribumi untuk

mendapatkan pendidikan formal di sekolah-sekolah yang didirikan oleh Belanda. Kenapa “sedikit”? Karena yang diperkenankan untuk memasuki sekolah itu hanyalah anak- anak kaum bangsawan di antara penduduk pribumi.

Lebih jauh Kees Groeneboer menyampaikan:

“Namun, lambat-laun penyebaran bahasa Belanda yang terbatas pada lapisan atas masyarakat dianggap bermanfaat, terutama untuk fungsi-fungsi dalam dunia usaha yang semain besar dan aparat pemerintah yang semakin luas. Hal ini terutama terjadi pada perempat akhir abad ke-19. Perkembangan dan pembudayaan dalam arti barat kaum elite pribumi akan bermanfaat bagi pemerintah, meningkatkan saling pengertian dan rasa percaya, dan dengan demikian loyalitas kepada pemerintah kolonial. Mengingat tujuan tersebut maka terutama sejak awal abad ke-20 kesempatan untuk mengikuti pendidikan berbahasa Belanda memang diperbesar, tetapi penyebaran pendidikan yang terlalu luas tidak dapat dipikirkan karena alasan finansial. Selain itu penyebaran pendidikan barat juga selalu tergantung kepada

pasar kerja” (Kees Groeneboer, Bahasa Belanda Sebagai Bahasa Dunia, dalam “Menabur Kasih Menuai Kasih: Persembahan Karya Bahasa, Sosial, dan Budaya untuk Anton M. Moeliono pada Ulang Tahun yang ke-75, Yayasan Obor; Jakarta. 2004. Halaman 251).

Untunglah anak-anak negeri yang dididik dalam asuhan Belanda dan dimanjakan dengan kesempatan meneruskan studi ke negeri Belanda, tidak menjadi “lupa kacang pada

kulitnya”, tidak menjadi “Melayu berkepala Londo”. Dari merekalah perjuangan kemerdekaan mendapatkan jalan sistematis lewat Volksraad dan lobi-lobi internasional.

Saat ini, keperluan terhadap Bahasa Belanda terutama sekedar pada studi ilmiah sejarah karena banyak literature mengenai Indonesia yang tersimpan di perpustakaan- perpustakaan negeri kincir angin itu. Karena, manjadikan Bahasa Belanda sebagai bahasa pergaulan internasional (sebagaimana yang diimpikan Kees) masih jauh panggang daripada api.

Tentu kita tidak bisa mengabaikan peran dari ilmuan-ilmuan negeri ini yang berkutat dengan naskah-naskah kuno jauh di Belanda sana. Lewat kerja keras merekalah kita bisa menelaah kembali khasanah alam pikiran nusantara yang tercerai berai karena tidak kuatnya tradisi menulis bangsa ini dan acuhnya masyarakat negeri ini terhadap peninggalan sejarah.

Kita berharap dari karya-karya sarjana inilah, usaha rekonstruksi worldview bangsa ini bisa diusahakan. Meskipun, bagi ada yang mengatakan “sejarah hanya indah untuk dikenang”, lebih dari itu, sejarahlah yang menentukan masa depan.

Dalam roman “Sengsara Membawa Nikmat” yang ditulis Sutan Sati, tertinggal sebuah pertanyaan, apa yang dilakukan si “Midun” (beristrikan Halimah, gadis ayu berdarah jawa) setelah menjadi “Demang” kaki tangan Belanda di

diajukan kepada putra-putri brilian negeri ini yang diberikan penghormatan untuk menempuh pendidikan di negara- negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Australia, Perancis, Jerman dan lainnya. Apakah hendak menjadi agen kepentingan asing ataukah bersedia melepaskan ikatan balas budi demi membangun negeri tercinta ini?

Dalam dokumen WAJAH LITERASI DAN DUNIA INTELEKTUAL IND (Halaman 69-80)

Dokumen terkait