• Tidak ada hasil yang ditemukan

WAJAH LITERASI DAN DUNIA INTELEKTUAL IND

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "WAJAH LITERASI DAN DUNIA INTELEKTUAL IND"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

WAJAH LITERASI DAN

DUNIA INTELEKTUAL

INDONESIA

(2)

DAFTAR ISI

DARI DEMONTRASI KE MENULIS ~ 4

“SINDIRAN” PROF. ANT

HONY REID UNTUK

BANGSA INDONESIA ~ 6

PENDIDIKAN MALAYSIA LEBIH HEBAT DARI

INDONESIA? ~ 10

MEMAKSA DOSEN JADI PENELITI ~ 13

MASIH BANYAK YANG SALAH PAHAM DENGAN

“SARJANA FILSAFAT”

~ 18

NASIB BAHASA INDONESIA ~ 21

BERHENTI JADI GENERASI COPY PASTE ~ 25

KENAPA AKU MENULIS??? ~ 29

DOKTOR “CUMLAUDE”

~ 33

GELAR DOKTOR DIJUAL

BAK KACANG GORENG ~ 37

MENULISLAH DENGAN HATI, BUKAN MENCARI

SENSASI ~ 41

MENULIS DENGAN HATI ~ 43

MEMAKSA DOSEN JADI PENELITI ~ 47

MASA DEPAN

(3)

MAHASISWA FTV (FUN TANPA VISI) ~ 55

FENOMENA SELF PUBLISHING ~ 59

GERAKAN “AYO TERBITK

AN BUKU-

MU”

~ 63

PRESIDEN BEM UGM

DENGAN IPK SATU KOMA ~ 69

(4)

DARI DEMONTRASI

KE

MENULIS

“Scripta manent, verba volant”… Yang tertulis akan abadi. Yang terucap akan sirna bersama hembusan angin”

Kalimat indah ini, kukutip dari makalah Mas Najib yang disampaikan tadi pagi saat workshop penulisan di ruang sidang Fakultas Filsafat UGM. Kalimat yang begitu mengugah bagi setiap orang untuk mengabadikan diri dalam history lewat tulisan.

“Mas, anak-anak filsafat masih sering demo ngak”. Itulah pertanyaan spontan dari Pak Hardi pegawai akademik fakultas Teknologi Pertanian UGM, ketika aku menyabangi kantor beliau untuk meminta nilai hari kamis yang lalu. Pertanyaan yang mengindikasikan “popularitas” mahasiswa filsafat sebagai “tukang demo” sudah teramat familiar.

(5)

seenaknya saja di kamis itu. Saat ini, kritik sosial tidak mesti dilakukan dengan berteriak-teriak di pinggir jalan. Paradigma sudah berubah, cara elegan yang cukup efektif untuk menyampaikan aspirasi saat ini adalah dengan menulis.

Begitulah yang ditunjukan oleh politisi kita. Dimulai oleh pak Habibie yang meluncurkan buku seputar “masa kritis” saat transisi Orba Reformasi. Seolah tersengat dengan tulisan pak Habibie, Prabowo beberapa waktu kemudian turut pula meluncurkan buku.

Zaman ini, pendekatan kekerasan dan demonstrasi yang lebih mengandalkan fisik, telah menjadi usang. Zaman ini adalah zaman debat intelektual dengan cara yang santun tapi begitu berkesan di hati.

Stigma mahasiswa filsafat hanya bisa demo inilah yang hendak dirubah di filsafat. Seorang Pramodya Ananta Toer diteror oleh Orde Baru, bukan karena kekuatan fisik dan militer (yang tentu tidak dimilikinya), tapi karena tulisan-tulisan cerdas yang menohok pemerintah saat itu.

(6)

“SINDIRAN” PROF.

ANTHONY REID UNTUK

BANGSA

INDONESIA

Walaupun semakin banyak orang Indonesia belajar di luar negeri, mereka yang ada di bidang ilmu sosial menulis hampir secara eksklusif tentang negaranya sendiri, Indonesia. Hanya tinggal segelintir ilmuwan di universitas di Indonesia yang meneliti dan mengajar tentang negara selain Indonesia. Namun hampir 90% karya tertulis tentang Indonesia di jurnal-jurnal akademis internasional ditulis oleh orang yang tidak tinggal di Indonesia sesuatu yang membuat Indonesia menjadi salah satu negara yang paling tidak efektif di dunia dalam menjelaskan dirinya kepada dunia.

(7)

keterpurukan di berbagai bidang. Padahal ratusan ribu doktor tersebar di berbagai institusi baik pendidikan, pemerintahan maupun swasta. Tetapi kenapa kekuatan mereka “tidak mampu” menggerakkan lini-lini kehidupan dan membawa masyarakat ke arah yang lebih baik?

Ungkapan sinis dari beberapa orang terkait riset-riset terutama di bidang sosial bertemakan Indonesia yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia yang bersekolah di luar negeri sebagai “bentuk balas budi” dan “penyenang pemberi donasi” sedikit banyak tidak bisa dipungkiri. Karya ilmiah mereka baik berupa tesis maupun disertasi yang mengungkapkan “borok-borok” Indonesia hanya menjadi justifikasi kelemahan negara ini. Ketika mereka pulang untuk mengabdi, kesan yang paling kentara adalah menjelek-jelekan negeri sendiri dengan membandingkan raihan yang dicapai oleh negara-negara tempat mereka belajar. Alih-alih memberikan solusi, mereka lebih banyak terjebak pada debat-debat teoritis tanpa peran partisipatif aktif di tengah-tengah masyarakat. Yang lebih parah, masalah-masalah negeri sendiri kemudian diproposalkan untuk mendapatkan dana besar dari luar. Jadilah masalah sebagai “kelinci” percobaan ataupun sekedar riset penelitian.

(8)

dan koleksi tentang Indonesia karena pemerintah Belanda melakukan pemotongan anggaran yang sedemikian besar. Tahun 1960-1970-an Indonesia dianggap sebagai tempat penelitian yang seksi dikarenakan pertarungan Liberalisme dengan Komunisme begitu tajam kala itu.

Tapi pasca Reformasi, dana penelitian dan jumlah peneliti asing tentang Indonesia mulai berkurang baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Dana-dana penelitian untuk Indonesia tak terlalu besar, karena para master dan doktor Indonesia lulusan luar negeri dianggap sudah “cukup” untuk menjalankan misi dan keinginan para punggawa kebijakan luar negeri di negara-negara “maju” sana. Namun, seperti kritik Reid, sebagian besar mereka tak mampu menjadi “duta” yang “bisa” menjelaskan Indonesia kepada dunia. Karena apa yang sampaikan hanya replika dengan sedikit modifikasi dari pemikiran-pemikiran orang asing.

(9)

positif lebih besar daripada meneliti negeri sendiri kemudian hanya sekedar dibedah dengan metode-metode Asing.

Dua tantangan ini merupakan sebuah tugas berat. Tidak saja dari sisi “penyakit kronis” inlanderyang masih membelit banyak orang di negeri ini, tetapi dari persoalan finansial, dimana pemberi donasi cenderung memberikan persyaratan pemilihan penelitian yang menguntungkan mereka.

Sanggupkah kita segera sembuh dari belitan

(10)

PENDIDIKAN MALAYSIA

LEBIH HEBAT

DARI

INDONESIA?

Beberapa waktu yang lalu, dalam kuliah Bahasa Arab, Pak Hamdan, S.S,. M.A, seorang dosen muda yang dulu ku kenal di Jama’ah Shalahuddin menyampaikan suatu berita yang menarik terkait dengan lulusan Universitas Al Azhar dari Mesir. Kata beliau, dalam sejarah sampai hari ini, belum ada mahasiswa Malaysia yang memperoleh predikat cum laude dari Al Azhar.

(11)

Meski hafalan tidak kuat-kuat amat, namun sistem pendidikan pesantren di Indonesia yang memang sangat mengandalkan aspek hafalan, telah mempersiapkan calon mahasiswa Indonesia untuk kuliah di Universitas Islam ternama itu. Sehingga mereka tidak lagi canggung dengan model pendidikan di Al Azhar dan bisa menyelesaikan studi dengan predikat kelulusan cum laude.

Berbeda dengan sistem pendidikan di Malaysia yang banyak dipengaruhi oleh model Inggris (Eropa pada umumnya) yang mementingkan aspek pemahaman dan analisis. Sehingga ketika menemukan sistem pembelajaan yang berbeda mereka membutuhkan adaptasi.

Terlepas dari sistem itu, agaknya memang orang Indonesia lebih pintar dari orang Malaysia. Sekarang coba bandingkan berapa sih siswa Malaysia yang bisa meraih medali dalam lomba-lomba olimpiade sains tingkat internasional? Berapa dosen Indonesia yang mengajar di Malaysia dan dosen Malaysia yang mengajar di Universitas Malaysia?

Memang belakangan ini institusi pendidikan Malaysia banyak dilirik oleh orang-orang Indonesia karena dinilai bagus. Namun, menurut penulis ini bukan terkait dengan kalahnya universitas-universitas di Indonesia, tapi lebih kepada sistem dan lingkungan akademis yang kondusif di Malaysia. Di sana pemerintah memang sangat memperhatikan pendidikan. Kalau di negara kita, pemerintah masih setengah hati.

(12)

mereka punya akses yang lebih luas untuk melanjutkan studi ke berbagai negara yang berbahasa Inggris. Tapi, tetap saja statistik mahasiswa luar negeri mereka masih kalah dari Indonesia.

(13)

MEMAKSA DOSEN

JADI

PENELITI

Mari sedikit bicara dosen dan peneliti. Di indonesia, dosen dibebani dengan tugas mengajar seabrek dan tuntutan untuk menghasilkan penelitian yang berkualitas. Kalau bisa riset implementatif yang mudah dikembangkan secara massal oleh dunia industri.

Sebenarnya tidak ada masalah apabila pemerintah dan beberapa kalangan ilmuwan meminta dosen untuk memberikan kuliah berdasarkan riset terbaru yang dilakukannya. Hanya saja saya agak khawatir apabila permintaan itu tidak diiringi kesadaran akan kenyataan sosial dan budaya yang dihadapi oleh para dosen di Indonesia.

(14)

upacara ini dan itu, seminar, lokakarya, workshop dan lain sebagainya. Untuk dosen yang sudah terkenal, masih ada tawaran menjadi konsultan, staf ahli dan permintaan menulis di media massa serta menjadi mitra bestari oleh berbagai jurnal.

Semua bertumpuk ketika masih ada kewajiban sosial yang mesti dipenuhi oleh seorang dosen agar dia tidak dianggap asosial. Undangan pernikahan di akhir pekan, undangan sunatan, syawalan, tahlilan, tirakatan, rapat RT/RW, ngisi kajian dan khutbah Jum’at. Beban itu semakin complicated kalau sang dosen juga memegang jabatan di kampus, jabatan keprofesian, buka praktek di rumah (dosen-dokter), serta menjadi pengurus berbagai macam organisasi sosial, budaya dan keagamaan.

Mempertimbangkan kenyataan di atas, apakah cukup logis apabila kemudian pemerintah menuntut dosen untuk melakukan penelitian serius yang berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan, bangsa dan negara, yang kalau bisa bisa merubah dan menggemparkan dunia?

Sementara di sisi lain, dana penelitian tak pernah mencapai angka fantastis. Ya, hanya cukup makan dan bertahan hidup 3 bulan. Paling sisanya hanya bisa untuk nambah tabungan buat mengisi modal beli mobil baru.

(15)

luar kota untuk melakukan penelitian. Mahasiswa harus gigit jari, karena hanya diajar oleh asisten yang kapasitasnya tak setara dengan dosen asli pengampu mata kuliah tersebut.

Saat seabrek tanggung jawab dilimpahkan ke pundak dosen, berkawan dengan budget penelitian yang kunjung naik signifikan, rasanya riset-riset yang dibuat hanya riset-riset dangkal yang paling banter berhenti meja seminar dan prosiding. Padahal ada harapan, riset-riset itu bisa diteruskan oleh dunia industri dan dijadikan kebijakan oleh pengambil policy. Karena risetnya masih separoh-separoh, dilakukan dalam waktu singkat dan dana yang minim, yang terjadi kemudian hanyalah proses mengkonfirmasi hipotesis-hipotesis awal apakah benar atau tidak lewat penelitian singkat.

Kalaupun ada riset-riset serius dalam jangka panjang di Indonesia dalam bidang sains maupun bidang sosial, itu kebanyakan didanai oleh sponsor asing atau dibiayai oleh perusahaan-perusahaan raksasa yang beroperasi di Indonesia.

(16)

capaian yang luar biasa. Memberikan dosen waktu yang luas untuk memperbaiki kemampuan bahasa Inggris dan belajar bahasa asing ke-2 dan ke-3, rasanya lebih siginifikan. Daripada pemerintah dan beberapa pihak di dunia perguruan tinggi menuntut ekspetasi yang terlalu tinggi..

Biarlah kemudian riset-riset ditangani oleh orang-orang yang berprofesi dan menamakan diri sebagai “peneliti”. Mungkin mereka berada di LIPI, pusat-pusat kajian, lembaga-lembaga

penelitian, pusat-pusat studi dan badan-badan

pengembangan keilmuan lainnya. Bukalah seluas-luasnya lowongan kerja dengan kualifikasi “peneliti”. Jadikan itu sebagai “profesi yang bergengsi”. Biarkan mereka fokus dan serius melakukan berbagai riset sekaligus ada topangan dana yang besar entah itu dari pemerintah ataupun dari dunia industri.

Dengan demikian, kita tak lagi mengeluh kenapa hasil riset dosen Indonesia ngak berkualitas. Kenapa dosen lebih banyak di luar kampus dibanding di ruang kelas. Profesi sebagai dosen dan peneliti biarlah terpisah secara jelas, dan masing-masing kemudian bisa saling memanfaatkan produk masing-masing.

(17)
(18)

MASIH BANYAK YANG

SALAH PAHAM DENGAN

“SARJANA

FILSAFAT”

sarjana filsafat sebenarnya tidak harus distigmakan dan terjebak menjadi “pendebat” dan “herder galak” yang selalu menyalak terhadap agama…

beberapa teman saya, akhirnya menjadi lawyer dan memakai kekuatan berpikir logis dan sistematis yang ia dapatkan di jurusan filsafat untuk membela kaum2 tertindas dengan argumen-argumen yang bernas…beberapa kakak kelas saya, memilih berkarier di bidang jurnalistik dan punya reportase-reportase bagus yang digemari oleh banyak pembaca.. bahkan ada yang dipercaya menjadi orang penting di salah satu grup media besar di indonesia…

(19)

memegang ketua pimpinan wilayah sebuah partai politik nasional di sebuah provinsi yang terkenal sebagai gudang ulama dan intelektual… beberapa teman saya malah jadi bankir dan petani… mungkin masih banyak lagi bidang -bidang kehidupan yang digeluti oleh para sarjana filsafat…

terlalu sinis melihat anak filsafat dan dihujat sebagai biang kerok penghancur agama, rasanya tidak tepat… bahkan orang-orang yang sibuk mempertanyakan eksistensi tuhan dan mengerogoti agama malah dari orang yang tidak pernah punya degree filsafat dan berasal dari keilmuan luar filsafat…

stephen hawking, sang fisikawan terkenal masa ini, adalah ilmuwan yang sampai sekarang masih keras menentang eksistensi dan keber”ada”an Tuhan… seorang dosen bertitel doktor yang mengajar di universitas muhammadiyah sumatera barat yang beberapa waktu yang lalu melakukan aksi penginjak-injakan alqur’an karena mau membentengi mahasiswa dari pengaruh ISIS, S1, S2 dan S3 nya mengambil bidang pendidikan.. ia tak punya gelar sarjana, master atau doctor of philosophy…

(20)

untuk membangun sebuah pabrik pesawat dan industri obat tidak melulu cuma membutuhkan para technician dan pharmacist yang handal… tetapi ada landasan ideologi, ada worldview yang melatarbelakangi dan ada konsep pembangunan jangka panjang dari pengambil kebijakan…

indonesia sudah punya orang jenius dalam hal pembuatan pesawat… tapi jangankan bikin pesawat berbadan besar, memproduksi pesawat perintis saja masih banyak mendapat halangan.. persoalannya bukan tak ada uang dan investor… yang jadi masalah adalah ideologi dan orientasi pembangunan penguasa yang berasal dari pola pikir dan falsafah yg dianut pemimpin sebuah negara…

(21)

NASIB BAHASA

INDONESIA

Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, Bahasa Indonesia masih merupakan bahasa kedua setelah bahasa daerah (bahasa ibu). Termasuk juga bagi anak-anak Indonesia yang lahir dari perkawinan campur antar bangsa. Penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama kebanyakan kita temui pada keluarga yang terbentuk dari perkawinan antar etnis.

Kalau kita lihat dari sejarah, Bahasa Indonesia lahir dari Bahasa Melayu yang pada zaman dulu menjadi bahasa perdagangan antar pulau di Nusantara. Kemudian dikukuhkan menjadi Bahasa Persatuan melalui momen Sumpah Pemuda. Bahasa Melayu menjadi dominan di kala itu dikarenakan fleksibelitasnya akan bahasa-bahasa lain. Karena interaksi bangsa Indonesia saat itu lebih banyak dengan orang-orang Arab, maka Bahasa Arablah yang banyak diserap ke dalam Bahasa Melayu.

(22)

menjadi stagnan dan cendrung dianggap sebagai bahasa kuno. Sehingga kalau kita mencoba mengembangkan bahasa Indonesia dengan merujuk kepada bahasa asalnya memang agak sulit.

Eksistensi bahasa, selain dipengaruhi kemassifan penggunaanya, juga didukung oleh kemampuan bahasa tersebut dalam mengungkapkan fenomena baru yang berkembang. Bahasa secara filosofis adalah pengungkapan manusia atas realitas melalui simbol-simbol. Oleh karena itu, perkembangan Bahasa Indonesia sangat tergantung pada tingkat keberhasilan menciptakan kosa kata dan istilah-istilah baru.

Saat ini Bahasa Inggris menjadi Bahasa No. 1 di dunia.

Sehingga pengembangan Bahasa Indonesia sangat

(23)

pemeliharaan Bahasa Daerah yang saat ini mengalami kemunduran luar biasa. Sangat disayangkan potensi kekayaan kosa kata dan makna Bahasa Daerah yang dekat dalam kesehariaan kita dibiarkan begitu saja.

Problem kedua penggunaan Bahasa Indonesia adalah masih kentalnya dialek daerah dalam percakapan. Dalam pergaulan kita sering mendengar Bahasa Indonesia ala Minang, Bahasa Indonesia ala Medan, Bahasa Indonesia ala Papua, Bahasa Indonesia ala Sunda, Bahasa Indonesia ala Jawa, dan lain sebagainya. Seringkali hal ini membuat risih telinga. Kita tidak punya standar dialek Bahasa Indonesia yang baku. Jika dikatakan dialek Bahasa Indonesia yang benar adalah dialek Jakarta, maka ini barulah sekedar asumsi belaka.

Pengalaman penulis sampai hari ini di Universitas Gadjah Mada, para dosen masih menggunakan Bahasa Jawa dalam sesi-sesi perkuliahan. Bagi mahasiswa yang bukan berasal dari kultur Jawa, biasanya kesulitan ketika baru-baru masuk kuliah, karena belum mengerti kosa kata Bahasa Jawa. Bayangkan saja, universitas sekaliber UGM yang telah melaunching dirinya sebagai Univesitas Internasional, penggunaan Bahasa Indonesia masih tercampur oleh penggunaan Bahasa Daerah. Padahal keadaan sosiologis mahasiswa UGM sudah ibaratkan Indonesia mini, karena dari orang Aceh hingga orang Papua ada di sana. Bahkan mahasiswa asing-pun telah menjamur di UGM.

(24)

penggunaan dialek mempengaruhi ketercapaian makna bagi yang mendengar, tentu ini menjadi masalah dalam komunikasi. Paling tidak ini menjadi bahan kajian bagi para ahli bahasa, untuk merumuskan standar baku lisan Bahasa Indonesia.

Akhirnya, ketika kita meletakkan Bahasa Indonesia sebagai

Bahasa Persatuan, maka kepedulian kita demi

(25)

BERHENTI JADI

GENERASI COPY

PASTE

Tak ada yang salah dengan tulisan Prof. Rhenald Kasali, tidak ada yang sumir dari quote menyentuh dari Om Mario Teguh, semua baik-baik saja dengan tausiyah dari akhi Salim Al Fillah, semua terhibur dengan status kece Tere Liye dan semua tertarik dengan status cinta Setia Furqon Kholid. Namun hal-hal di atas bermetamorfosis menjadi masalah intelektual serius ketika kebanyakan dari orang Indonesia terlalu sering menjejali sosial medianya dengan threat copy paste dari orang-orang hebat itu.

(26)

sarjana. Tetap belum ada perubahan berarti di negeri ini setelah dengan sangat sadis dan kritis Prof. Anthony Reid, seorang Indonesianis berkebangsaan Inggris, menulis sebuah artikel yang menyoroti betapa minimnya karya ilmiah bertemakan Indonesia dalam bahasa Inggris yang ditulis oleh para ilmuwan dan cendikiawan asli Indonesia sendiri. Bahkan dengan halus Professor pakar sejarah Sumatera ini menyindir halus, “Indonesia adalah salah satu negara yang gagal mengenalkan dirinya sendiri kepada dunia.”

Di kampus-kampus pun masih sering didapati kasus mahasiswa yang mengupahkan skripsi untuk meraih gelar sarjana. Sayapun punya seorang teman yang rela merogoh kocek sekian juta demi kelulusan dari sebuah perguruan tinggi negeri yang memakai nama patih terkenal dari kerajaan Majapahit. Jika skripsi sudah bisa dibeli, apalagi hanya sekedar makalah dan laporan pratikum. Terlalu banyak di antara intelektual muda kita yang menyandarkan diri pada kemampuan browsing dan memindahkan apa yang ada di internet ke dalam beberapa lembar kertas sebagai makalah ataupun tugas kuliah.

(27)

orang-orang hebat dan ustadz-ustadz fenomenal bisa menaikkan pamor dan citra diri, namun sesungguhnya kita sedang menjebak diri kita dalam lingkaran berbahaya, terperosok dalam lubang “Generasi Copy Paste”.

Generasi copy paste sebenarnya adalah generasi yang malas berpikir dan sudah berpuas diri dengan motivasi dan inspirasi dari orang lain. Untuk masa singkat, kata-kata mutiara memang bisa memukau dan menghipnotis para pembaca dan penyimaknya. Namun, semangat yang lahir selepas membaca kemudian hilang tak berbekas ketika berhadapan dengan dunia dan problematika nyata. Sehingga terjadi proses ketergantungan, setiap hari sibuk mencari quote-quote motivasi dan kehilangan waktu untuk berkreasi dan melahirkan ide-ide sendiri.

Sudah saatnya kita mengimbangi budaya “tweet” dengan kebiasaan memperbanyak “credit” penulisan artikel-artikel ilmiah. Mestinya kita bersegera mengurangi status galau di facebook dengan menyibukkan diri dalam kerja “writing book”.

(28)

yang kontraproduktif dan tidak memberikan solusi atas kondisi yang ada.

Yang dibutuhkan Indonesia sekarang adalah generasi literasi. Generasi tipe ini dibangun di atas budaya membaca. Mereka melahirkan karya setelah mengambil pelajaran-pelajaran dari orang-orang telah lebih dahulu melewati jalan yang saat ini sedang ditempuhnya. Agar tidak terjadi pengulangan ketergelinciran dan keteperosokan di lubang yang sama. Mereka mahir membuat imajinasi dan membentuk persepsi orang terhadap diri, bukan lewat polesan ataupun penyandaran diri kepada orang-orang terkenal, tetapi membangun image lewat kekuatan kata dan karya-karya orisinal mereka sendiri.

(29)

KENAPA AKU

MENULIS???

Aku sadar sepenuhnya, aku hanyalah pemuda biasa yang tak punya apa-apa. Seringkali menghibur hati dengan lamunan-lamunan indah yang jauh dari kenyataan. Memang ketika menghadapi realitas, hadir rasa sakit karena semua hanya ilusi belaka. Tapi apa yang bisa kujadikan sebagai pengobat rasa sakit, selain meletakkan harapan bahwa esok akan lebih cerah?

Mungkin atas dasar itu pula, aku tertarik untuk membuat skripsi tentang “Messianik Yahudi”, yang bercerita tentang pengharapan bangsa Yahudi akan masa messiah, dimana Tuhan membuang segala duka, dan merubahnya dengan suka cita. Itulah yang membuat bangsa Yahudi bertahan di tengah penderitaan bertubi-tubi dari zaman sebelum masehi, sampai abad kontemporer ini. HANYA SEBUAH HARAPAN, tidak lebih.

(30)

eksistensi manusia sebagai social animal. Sama seperti Yahudi, agaknya begitu juga nasib yang kualami. Menjadi pemuda sunyi yang banyak menghabiskan waktu dalam kesendirian. Upaya untuk terlibat dalam hiruk-pikuk keramaian, hanya membuatku semakin luka karena banyak wajah-wajah tak suka. Maka tak jarang aku begitu gembira ketika bertemu dengan orang-orang hebat yang mau meluangkan waktu untuk sekedar mengobrol ataupun mendengarkan curhat tak jelasku.

Tak jarang aku menangis akan perhatian mereka. Orang-orang yang menyapa karena ikhlas, merajut persahabatan karena kasih. Tapi hanya sedikit sosok-sosok spesial seperti itu. Daripada terjebak dalam canda tawa penuh kemunafikan dengan orang-orang yang tak jelas punya tendensi apa, bukankah lebih baik menikmati kesunyian???

Kesunyianlah yang membuatku punya waktu untuk menuliskan apa yang kurasakan. Mungkin hanya sekedar cerita biasa yang sangat personal dan subjektif. Tapi bagiku, itu sudah cukup untuk meringankan belitan irrasionalitas kehidupan.

(31)

Dendam ataupun fanatisme menjadi konsekuensi atas semua itu. Manusia harus terus mengingat sejarah hidupnya, agar tak menjadi amnesia. Manusia yang melupakan sejarah, hanya akan menjadi sosok hipokrit yang tak punya pendirian. Dendam bukan berarti tak memaafkan. Karena sifat dasar manusia adalah khilaf. Tapi bukan berarti kita menjadi kehilangan sensitifitas memori. Kepahitan dan kegelapan menjadi pelajaran untuk kita melangkah ke depan tanpa terseret pada kesalahan di masa lalu.

Dengan apa sejarah dikekalkan? Memori manusia hanya bertahan sepanjang usia. Jika sudah meninggal, hilanglah semua kisah. Maka perlulah sebuah tulisan yang bisa dibaca oleh generasi setelah kita. Mungkin kisah kita hanyalah “kisah biasa”. Tapi tetaplah menuliskannya. Karena sesuatu yang biasa bisa menjadi begitu inspiratif jika kita menuliskannya dengan hati. Bukankah tulisan berhati, akan mampu menyentuh manusia yang punya hati?

Atas dasar itulah, sampai hari ini aku tetap menulis. Tanpa ambil pusing dengan komentar-komentar miring dari orang-orang yang merasa hebat. Buat pemuda sunyi sepertiku, menulis telah hadirkan kegembiraan, mengobati sakit, dan melanggengkan optimisme untuk melanjutkan kehidupan.

(32)
(33)

DOKTOR “CUMLAUDE”

Rapat tim penguji promosi doktor boleh saja memutuskan nilai “cumlaude”. Tapi bagiku pribadi sebagai pendengar yang baik selama ujian terbuka berlangsung, parade ini menyisakan banyak tanya. Pertama terkait, program studi yang meluluskan sang doktor bernama “Cultural and Media”. Apa yang terbayang dalam benak kita ketika mendengar istilah media dan budaya?

Pemahaman saya adalah prodi ini lebih menekankan bagaimana perkembangan budaya mendorong perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat. Bisa juga dipahami bagaimana perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan mempengaruhi perubahan-perubahan budaya di masyarakat.

(34)

perubahan dari mindset Negara Agraris menjadi Negara Maritim.

Sebagai prodi yang berlabel multidisiplin sah-sah saja menghubungkan fenomena yang ada dengan berbagai aspek kehidupan seperti politik, ekonomi, sosial dan budaya. Tetapi

pertanyaannya adalah apakah tindakan ini

tidak overlap dengan keberadaan program-program lain seperti Ketahanan Nasional, Ilmu Politik, atau Kebijakan Publik?

Anehnya, kekaburan penjurusan ini dimaklumi secara sadar oleh para profesor yang ketika memberikan perkuliahan begitu berapi-api menerangkan kekhasan metodologi ilmu pengetahuan dan filsafat ilmu pengetahuan. Bukankah sebuah karya akademis setingkat doktoral menekankan aspek kedalaman analisis bukan meloncat ke sana ke mari dan membiarkannya tanpa fokus yang jelas?

Sorotan kedua yang menjadi kegelisahan saya adalah ketika sang promovendus beberapa kali mengatakan bahwa data yang disampaikannya berdasarkan wawancara dan focus group discussion. Sulit untuk mempertahankan objektifitas jika semua itu dilakukan dalam balutan baju pejabat. Pertanyaan besarnya adalah apakah ketika proses-proses itu berlangsung, ada penanggalan embel-embel jabatan dan murni hadir sebagai peneliti?

(35)

dengan masyarakat setempat? Karena promotor sang doktor adalah guru besar yang seringkali menekankan perlunya “berlama-lama” di daerah penelitian untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif terkait komunitas yang diteliti.

Persoalan ketiga yang cukup membinggungkan adalah tesis yang disampaikan sang doktor bahwa masyarakat di sana lebih memilih diam atas keadaan yang ada. Hal itu didorong kearifan lokal setempat, “Orang lupa akan diingatkan Tuhan. Orang berbuat dosa akan diingatkan Tuhan.” Akan tetapi agak aneh rasanya jika itu menjadi sifat dominan masyarakat yang notabene berada di daerah kepulauan. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa orang laut bukanlah orang yang pantang menyerah dengan desakan-desakan yang terjadi baik karena faktor alam maupun tekanan penguasa.

Kebinggungan saya semakin kuat ketika mendengarkan kesimpulan sang doktor. Beliau menetengahkan konsep “Centering The Margin” dengan mengedepankan keterlibatan aktif masyarakat lokal dalam perumusan kebijakan pemerintah. Kalau kita cermati tulisan-tulisan yang ada di koran-koran ataupun dialog-dialog yang disiarkan oleh televisi, tawaran itu telah menjadi wacana populer. Terus dimana letak kebaruan konsep “Centering The Margin”, agar pantas disebut “the invention of dissertation”?

(36)

doktor bagaimana lahan pertanian semakin hari semakin berkurang oleh pergerakan properti? Berapa persen dana yang dianggarkan pemerintah untuk bidang pertanian dalam APBN? Belum lagi ketidakjelasan Negara Maritim yang

dimaksud? Apakah negara maritim itu sekedar

memperbanyak armada-armada kapal? Atau sekedar mempergiat pembangunan di daerah-daerah kepulauan?

Hari ini saya tersadar dengan status akademik bernama doktor. Tafsir idealis bahwa doktor itu adalah orang yang mampu membuat sebuah karya ilmiah mumpuni dan menghasilkan penemuan baru sangat perlu dipertanyakan. Terkadang gelar itu menunjukkan “kegamangan” universitas terhadap orang-orang yang memiliki kekuasaan demikian besar.

(37)

GELAR DOKTOR DIJUAL

BAK KACANG

GORENG

Hari itu, para pegawai sebuah perguruan tinggi beken dibuat kelabakan karena akan menghelat ujian promosi doktor seorang pejabat tinggi negara.

Menempuh pendidikan sampai ke jenjang tertinggi adalah setiap warga negara. Siapapun itu, orang miskin orang kaya, pegawai rendahan pejabat negara, laki-laki ataupun perempuan, tua-muda, pedagang asongan pengusaha kelas atas. Atas dasar inilah sebenarnya tidak ada yang spesial dengan prosesi pengukuhan seorang pejabat negara.

(38)

Sementara Wikipedia menyebutkan doktor adalah “Gelar akademik tingkat tertinggi yang diberikan kepada lulusan program pendidikan doktor (S-3) atau pascasarjana. Biasanya, pemberian gelar doktor membutuhkan pengakuan terhadap kandidat oleh dewan pengajar di universitas tempat dia belajar bahwa ia telah mencapai tingkat yang setara dengan para anggota dewan itu. Karya ilmiah yang digunakan untuk mencapai tingkat ini adalah disertasi.”

Persoalan kemudian muncul, ketika kita mempertanyakan, apa sebenarnya esensi sebuah gelar “doktor”?

Mari kita mulai dengan karya ilmiah yang bernama disertasi. Tradisi keilmuan yang dibangun di luar negeri menuntut seorang calon doktor untuk terjun langsung ke objek penelitian yang akan dikajinya. Sangat berpantang bagi mereka untuk “menyewa” orang lain melakukan riset. Maka tak salah kalau kita melihat para calon doktor di universitas di luar negeri masyuk di lapangan, perpustakaan ataupun bergelut di laboratorium. Seringkali mereka melepaskan semua pekerjaan yang ada demi keberhasilan riset doktoralnya.

(39)

Jangankan untuk seorang pejabat negara, para mahasiswa S3 yang cuma berstatus dosen atau pegawai negeri biasanya lebih memilih mengambil cuti kerja untuk fokus menyelesaikan disertasinya. Saya tidak tahu betapa hebatnya seorang pejabat membagi waktu antara studi dan kerja. Jika kemungkinan kedua yang lebih kuat, maka disorientasi akademik sesungguhnya telah terjadi.

Disorientasi akademik tidak mungkin ada tanpa ada campur tangan pihak-pihak tertentu di universitas. Entah apa kompensasi yang diberikan untuk sebuah gelar doktor?

Saya masih ingat ketika seorang doktor lulusan Amerika Serikat tidak meluluskan kandidat doktor di sebuah universitas Islam terkenal di Indonesia gara-gara ia tidak terjun langsung untuk mendapatkan data.

Sayapun tidak menutup mata bahwa di luar negeripun banyak pejabat yang bergelar Doktor. Sebut saja Barrack Husein Obama yang bergelar Doktor Hukum (J.D.) dengan predikat magna cum laude dari Harvard University. Tetapi doktor itu diraih sebelum ia sibuk menjadi presiden Amerika Serikat.

(40)
(41)

MENULISLAH DENGAN

HATI, BUKAN

MENCARI

SENSASI

Saya kembali teringat kata-kata yang disampaikan pakar Psikologi Pendidikan dan Penulis Buku Motivasi, Fauzil Adhim pada saat seminar “Trik Menjadi Penulis Sukses” sekitar 3 tahun yang lalu. Dalam kesempatan itu beliau menyampaikan, “Betapa banyak bacaan, artikel, dan buku yang beredar saat ini tak lebih dari sampah yang tak layak untuk dikonsumsi”.

(42)

selebritis baru. Mungkin Salman Rusdie dengan “Satanic Verses” dan Iip Wijayanto dengan publikasi “99,7 % Mahasiswa Jogja Tidak Perawan” bisa kita masukan dalam kategori ini”

Aktivitas menulis adalah upaya intelektual untuk menyampaikan informasi dan mudah-mudahan pencerahan bagi pembaca. Meskipun seorang filsuf Barat mengatakan, “Pandangan baru yang berbeda dari pandangan sebelumnya tidak elegan jika disikapi dengan pemberangusan. Karena melalui pandangan yang kontra itulah, orang akan mengetahui letak kesalahan dan menguji kekuatan pandangan yang telah ada”, namun ketika tulisan yang kita sampaikan akan semakin membuat resah masyarakat berarti ada spirit yang tidak tersampaikan yaitu, aspek kemanfaatannya.

(43)

MENULIS DENGAN HATI

Tentunya pembaca budiman sudah akrab dengan Novel Ayat-Ayat Cinta, buah karya Habiburrahman Al Shirazy yang telah diangkat ke layar lebar oleh sutradara muda Hanung Bramantyo. Sebuah Novel yang menjadi best seller dan menjadi rujukan banyak orang terutama muslim dalam melihat hakikat cinta.

Selain Novel Kak Abik, bagi pembaca yang akrab dengan sastra tentu kenal juga dengan “Tenggelamnya Kapal van Der Wicjk”, “Di Bawah Lindungan Ka’bah” dan “Merantau ke Deli” buah pena Ulama Besar Buya Hamka. Banyak yang mengisahkan, ketika membaca roman-roman Buya tersebut tak terasa airmata mengalir dibawa larut oleh cerita yang digugah.

(44)

oleh sastrawan dan tidak lahir pula dari training-training penulisan yang memberikan teori-teori gaya bahasa.

Hati…Ya, karya yang ditulis dengan hatilah yang bisa menggugah hati. Berdasarkan penuturan Kak Abik sendiri, Ayat-Ayat Cinta lahir ketika beliau mengalami kecelakaan yang mengakibat kakinya patah. Pada saat sakit beliau merasakan, belum ada usaha yang telah dilakukan untuk memperjuangkan agama Allah. Berangkat dari pengalaman antara hidup dan maut inilah Ayat-Ayat Cinta Lahir.

Sementara karya Buya Hamka hadir dari perjalanan hidup beliau yang pahit sejak masa kecil. Lahir sebagai anak laki-laki yang sangat dinantikan karena saudara-saudaranya perempuan semua, berjalan traumatik ketika Ayah beliau Haji Rasul beristri lagi yang membuat Hamka kecil teriris hatinya melihat penderitaan yang dialami oleh Ibu kandungnya. Sempat juga kabur dari rumah, lari menuju daerah selatan Minangkabau, namun di tengah perjalanan mengalami sakit yang hendak mengambil nyawa di badan.

Pengalaman hidup yang membekas di hati ketika disampaikan lewat karya sastra dengan pengolahan bahasa yang sederhana, bisa menjadi meteor yang berpijar sepanjang masa. Karena cerita yang disampaikan tidak lahir dari sebuah kebohongan dan khayalan semata, tapi hadir sebagai kritik dan ungkapan terdalam dari dalam jiwa.

(45)

mereka. Bagi yang menjalani hidup biasa-biasa saja tentu sulit untuk bermeditasi dan berefleksi secara mendalam.

(46)

MEMAKSA DOSEN

JADI

PENELITI

Mari sedikit bicara dosen dan peneliti. Di indonesia, dosen dibebani dengan tugas mengajar seabrek dan tuntutan untuk menghasilkan penelitian yang berkualitas. Kalau bisa riset implementatif yang mudah dikembangkan secara massal oleh dunia industri.

Sebenarnya tidak ada masalah apabila pemerintah dan beberapa kalangan ilmuwan meminta dosen untuk memberikan kuliah berdasarkan riset terbaru yang dilakukannya. Hanya saja saya agak khawatir apabila permintaan itu tidak diiringi kesadaran akan kenyataan sosial dan budaya yang dihadapi oleh para dosen di Indonesia.

(47)

upacara ini dan itu, seminar, lokakarya, workshop dan lain sebagainya. Untuk dosen yang sudah terkenal, masih ada tawaran menjadi konsultan, staf ahli dan permintaan menulis di media massa serta menjadi mitra bestari oleh berbagai jurnal.

Semua bertumpuk ketika masih ada kewajiban sosial yang mesti dipenuhi oleh seorang dosen agar dia tidak dianggap asosial. Undangan pernikahan di akhir pekan, undangan sunatan, syawalan, tahlilan, tirakatan, rapat RT/RW, ngisi kajian dan khutbah Jum’at. Beban itu semakin complicated kalau sang dosen juga memegang jabatan di kampus, jabatan keprofesian, buka praktek di rumah (dosen-dokter), serta menjadi pengurus berbagai macam organisasi sosial, budaya dan keagamaan.

Mempertimbangkan kenyataan di atas, apakah cukup logis apabila kemudian pemerintah menuntut dosen untuk melakukan penelitian serius yang berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan, bangsa dan negara, yang kalau bisa bisa merubah dan menggemparkan dunia?

Sementara di sisi lain, dana penelitian tak pernah mencapai angka fantastis. Ya, hanya cukup makan dan bertahan hidup 3 bulan. Paling sisanya hanya bisa untuk nambah tabungan buat mengisi modal beli mobil baru.

(48)

luar kota untuk melakukan penelitian. Mahasiswa harus gigit jari, karena hanya diajar oleh asisten yang kapasitasnya tak setara dengan dosen asli pengampu mata kuliah tersebut.

Saat seabrek tanggung jawab dilimpahkan ke pundak dosen, berkawan dengan budget penelitian yang kunjung naik signifikan, rasanya riset-riset yang dibuat hanya riset-riset dangkal yang paling banter berhenti meja seminar dan prosiding. Padahal ada harapan, riset-riset itu bisa diteruskan oleh dunia industri dan dijadikan kebijakan oleh pengambil policy. Karena risetnya masih separoh-separoh, dilakukan dalam waktu singkat dan dana yang minim, yang terjadi kemudian hanyalah proses mengkonfirmasi hipotesis-hipotesis awal apakah benar atau tidak lewat penelitian singkat.

Kalaupun ada riset-riset serius dalam jangka panjang di Indonesia dalam bidang sains maupun bidang sosial, itu kebanyakan didanai oleh sponsor asing atau dibiayai oleh perusahaan-perusahaan raksasa yang beroperasi di Indonesia.

(49)

capaian yang luar biasa. Memberikan dosen waktu yang luas untuk memperbaiki kemampuan bahasa Inggris dan belajar bahasa asing ke-2 dan ke-3, rasanya lebih siginifikan. Daripada pemerintah dan beberapa pihak di dunia perguruan tinggi menuntut ekspetasi yang terlalu tinggi..

Biarlah kemudian riset-riset ditangani oleh orang-orang yang berprofesi dan menamakan diri sebagai “peneliti”. Mungkin mereka berada di LIPI, pusat-pusat kajian, lembaga-lembaga

penelitian, pusat-pusat studi dan badan-badan

pengembangan keilmuan lainnya. Bukalah seluas-luasnya lowongan kerja dengan kualifikasi “peneliti”. Jadikan itu sebagai “profesi yang bergengsi”. Biarkan mereka fokus dan serius melakukan berbagai riset sekaligus ada topangan dana yang besar entah itu dari pemerintah ataupun dari dunia industri.

Dengan demikian, kita tak lagi mengeluh kenapa hasil riset dosen Indonesia ngak berkualitas. Kenapa dosen lebih banyak di luar kampus dibanding di ruang kelas. Profesi sebagai dosen dan peneliti biarlah terpisah secara jelas, dan masing-masing kemudian bisa saling memanfaatkan produk masing-masing.

(50)
(51)

MASA DEPAN SELF

PUBLISHING

DI

INDONESIA

Tiga tahun belakangan, geliat self publishing menjadi tren baru dunia perbukuan Indonesia. Hal ini bisa dibuktikan dengan kehadiran para penyedia layanan penerbitan indie seperti Leutika Prio, Nulis Buku, Indonesia Self Publishing, Gre Publishing dan lainnya yang mampu memasok ribuan judul buku baru hanya dalam waktu singkat. Walaupun bisa dikatakan cukup terlambat karena fenomena self publishing sudah “booming” di Amerika dan Eropa sejak awal tahun 1990-an, tetapi kemunculan mereka telah menjadi pelepas dahaga sekian tahun bagi ribuan penulis yang selama ini terbentur oleh ketatnya seleksi yang diberlakukan penerbit-penerbit konvensional.

(52)

dan kemudahan menerbitkan buku. Dengan biaya tak terlalu mahal lewat fasilitas POD (Print on Demand) dan regulasi bersahabat dari Perpustakaan Nasional yang membebaskan biaya pengurusan ISBN sejak 2011 lalu, menerbitkan buku bukan lagi wilayah eksklusif orang-orang tertentu.

Namun, ada baiknya kita berkaca dengan situasi self publishing di Eropa dan Amerika. Guardian 24 Mei 2012 merilis hasil survey yang dilakukan oleh Dave Cornford and Steven Lewis terkait raihan royalti 1,007 penulis yang memilih jalur self-published pada tahun 2011. Angka rata-rata yang diperoleh adalah $10.000. Akan tetapi, pencapaian itu didongkrak oleh kurang dari 10% penulis yang mampu meraih pendapatan lebih dari $100.000. Separuh dari penulis jalur indie gagal menembus pendapatan $500 dan seperempatnya menanggung kerugian karena tidak mampu menutupi biaya produksi.

Meskipun survey itu menyebutkan hanya 5% penulis indie yang kecewa dengan hasil penjualan bukunya, karena sebagian besar tidak menjadikan uang sebagai tujuan utama, tetapi kegagalan meraih keuntungan harus menjadi perhatian serius bagi pengelola jasa self publishing dan penulis yang ingin terjun via self published.

(53)

serius. Seringkali self publishing diledek karena kualitas cetakan dan konten yang asal-asalan.

Pertama, berkenaan dengan kesalahan ketik. Kebanyakan self publishing tidak mengurusi persoalan ini karena dianggap domain penulis. Walaupun tampak tidak terlalu signifikan, tetapi mata pembaca akan dibuat bosan kalau di sana-sini terdapat banyak kata-kata yang ditulis tidak sebagaimana mestinya. Kedua, soal pemilihan diksi. Keberhasilan sebuah buku adalah ketika mampu ditangkap maksudnya dengan cepat oleh pembaca. Akan sangat menyiksa jika harus menghabiskan 10 menit untuk setiap halaman karena kalimat-kalimat yang dirangkai sulit dipahami. Pengecualian mungkin bisa ditolerir untuk buku-buku yang sifatnya ilmiah dan filosofis. Tetapi tetap saja sesuatu yang mudah dimengerti lebih disukai daripada yang “njelimet”.

Untuk mengatasi kedua persoalan di atas, sebuah self publishing harus berbaik hati untuk menjadi proofreadear atas naskah yang diterbitkannya. Ketelatenan untuk memperbaiki kesalahan ketik dan ejaan serta kemampuan editing yang yahud semestinya dimiliki oleh sebuah self publishing agar tidak dipandang sebelah mata oleh pembaca yang sudah dimanjakan dengan terbitan-terbitan berkualitas dari penerbit-penerbit besar.

(54)

terkemuka menuju jalur self published. Mereka menghabiskan waktu 2, 5 kali lebih lama untuk menulis dan memperbaiki naskah dibandingkan ketika bekerjasama dengan penerbit konvensional terkemuka. Hal ini mengindikasikan, penulis pemula yang memilih jalur indie harus bersedia meluangkan lebih banyak waktu ketika menggarap sebuah karya. Termasuk juga ketika melakukan proses pemasaran. Keluwesan pergaulan sang penulis sangat berperan penting pada rating penjualan sebuah buku. Semakin banyak ia terlibat dalam berbagai ruang-ruang bersama atau komunitas, maka peluang untuk menjual lebih banyak akan semakin besar.

Sebagai sebuah bisnis berbasis kreativitas, para penyedia jasa penerbitan indie harus terus berbenah diri secara cepat. Karena pembaca Indonesia adalah pembaca yang cerdas dan sangat kritis dengan kualitas. Belum lagi ketergiuran penerbit besar terkemuka seperti Mizan untuk memasuki bisnis ini.

(55)

MAHASISWA FTV (FUN

TANPA

VISI)

Selesai menunaikan sholat Magrib, akupun memilih memutar streaming Metro TV di kamar. Sebenarnya lebih enak sih nonton di ruang TV asrama. Tapi berhubung remote sudah dipegang sama anak baru yang memutar siaran lain, akupun

mengalah menyingkir ke kamar. Aku bisa saja

mengedepankan ego-ku sebagai senior di asrama untuk mengambil alih kondisi di ruang TV. Namun, tindakan represif itu tak kuambil karena bisa terkesan semena-mena.

Fenomena memilih menonton sinetron, film, atau sekedar nonton sandiwara humor daripada menonton acara-acara agak serius di Metro TV atau TV One, tidak lagi jadi barang aneh bagiku. Meskipun sosok-sosok yang kuhadapi adalah teman-teman mahasiswa yang seharusnya punya sedikit interest terhadap kondisi aktual bangsa.

(56)

pada usia 20-an tahun. Jangan pula berpikir hendak mengejar pencapaian Bung Hatta lewat pledoi-nya yang berjudul “Indonesia Free” di depan pengadilan Belanda. Sudah bisa mengalihkan kecendrungan dari tontonan hedonistik menuju tontonan agak serius sudah menjadi pencapaian luar biasa bagi mahasiswa-mahasiswi saat ini.

Sebuah kondisi miris yang sudah menjalar secara massif. Sikap apatis pada anak-anak muda terhadap masalah-masalah aktual bangsa semakin kuat dengan doktrin menyesatkan, “Ah, buat apa mikir negara. Mikiran diri sendiri aja ngak bisa...”.

(57)

Hindia Belanda sebagai bagian dari Negara Belanda yang berada di Benua Biru sana.

Sungguh miris, ketika mahasiswa-mahasiswi sekarang ini lebih senang menikmati sinetron, gosip, musik, ataupun sandiwara humoris daripada sedikit bergerut dahi menyaksikan analisis dan dialog-dialoh para tokoh di televisi.

Menonton berita ataupun dialog memang terasa

membosankan, apalagi terkesan tak ada masalah yang selesai di negeri ini untuk dibahas.

Namun, begitulah latihan ringan untuk menjadi pemimpin bangsa sebelum terlibat langsung dengan polemik dan kasus-kasus yang ada. Sebagaimana kualitas hidup semakin meningkat dengan keberhasilan memecahkan persoalan, begitu juga kemajuan suatu bangsa semakin meningkat ketika bisa memecahkan problem yang dihadapinya.

Terus siapa yang bertanggung-jawab atas persoalan bangsa? Ya, kita semua orang-orang yang mengaku sebagai warga negara Indonesia. Apakah tidak terlalu besar diri ketika menyatakan diri sebagai bagian dari solusi permasalahan bangsa? Sama sekali TIDAK. Malahan itulah sikap para pemenang dan orang-orang besar.

(58)

“kasih tak sampai” dalam bercinta. Tapi lewat perjuangan dan karya-karya yang mengobarkan semangat merdeka 100%-kah, orang terus mencari jejaknya meski sekian puluh tahun hilang karena paranoid penguasa Orde Baru.

(59)

FENOMENA SELF

PUBLISHING

Dalam beberapa kesempatan mempromosikan “Print On Demand” (POD) kepada beberapa dosen dan beberapa kenalan di milis, mereka terkejut dan sangat antusias. Betapa tidak, dalam bayangan mereka menerbitkan buku adalah proses yang rumit. Mulai dari menyiapkan naskah, melego ke penerbit, sampai proses editing menjelang diputuskan layak cetak yang memakan waktu berbulan-bulan. Belum lagi ketidakpastian apakah naskah yang dikirim diterima dan persoalan royalti yang lebih menguntungkan penerbit daripada penulis.

Kebanyakan mereka adalah orang-orang yang suka menulis. Bahkan sudah punya sederetan naskah yang siap diterbitkan. Namun, karena keder duluan berhubungan dengan penerbit akhirnya mereka mengurungkan niat mengonversi naskah menjadi buku.

(60)

dengan meminta naskah mereka, kemudian saya buatkan cover dan edit selama semingguan, barulah mereka percaya dan tersenyum lebar. “Impian lama akhirnya terwujud hari ini”, begitu ujar salah seorang dari pemilik naskah yang saya bantu beberapa waktu lalu.

Melihat peluang bisnis dari penerbitan dengan sistem POD ini, beberapa orang mencoba untuk menawarkan jasa penerbitan buku dengan sistem “cetak buku sesuka hatimu”. Sebutlah namaGre Publishing, Leutika, Indie Book Corner, dan Nulisbuku, sebagai contoh dari dinamika baru dalam dunia penerbitan di Indonesia itu. Masing-masing memberikan jasa menarik, mulai editing, layout, pembuatan cover, pengurusan percetakan, pengurusan ISBN, sampai pemasaran. Yang membedakan penerbitan gaya baru ini dari “penerbit konvensial” adalah terkait biaya yang ditanggung oleh penulis. Hal ini tentu tidak terlalu memberatkan karena penulis bisa menjual bukunya dengan harga yang pantas, tanpa harus ribet memikirkan pembagian persenan dengan penerbit. Keuntungan murni untuk sang penulis.

Selain dilirik oleh “penulis-penulis pemula” dan “penulis berpengalaman tapi belum berhasil menembus penerbitan konvensional”, ternyata jasa POD ini menjadi angin segar bagi para dosen. Bayangkan saja, menerbitkan satu buku dihargai 40 kredit point (kum). Jauh lebih tinggi dibandingkan menulis di jurnal yang dinilai 18 kredit point.

(61)

keberadaan buku-buku hasil self publishing ini sebagai kredit point. Saya pribadi berharap, semoga hal ini tidak terjadi. Karena hanya melanggengkan situasi kebekuan suasana akademis. Sudah menjadi rahasia umum, para dosen di Indonesia miskin karya. Beban mengajar lebih banyak daripada research. Kalaupun ada yang melakukan reseach, kebanyakan hanya disebarkan dalam bentuk laporan penelitian. Karena tema yang diangkat tidak marketable, tentu saja penerbit-penerbit konvensional malas menerbitkan.

Kalau pertimbangan tidak mengakui buku-buku cetakan self publishing adalah demi penjaminan mutu, rasanya seperti menepuk air di dulang. Omong kosong dengan kualitas, kalau misalnya insentif research dan jam mengajar lebih padat daripada penelitian. Dosen saya yang pernah kuliah di AS, bercerita dosen-dosen di sana mengajar satu semester kemudian satu semester berikutnya diberikan waktu luang untuk penelitian. Di Indonesia, boro-boro mau memberlakukan kebijakan itu, malah banyak dosen semakin memadatkan jam mengajar dengan mencari sabetan di luar kampus utamanya.

(62)

karya-karya yang diminati oleh khalayak dan dengan mutu yang mumpuni. Kalau geliat ini sudah dibunuh sebelum berkembang, kapan lagi dosen-dosen Indonesia akan berkarya???

Jasa layanan penerbitan telah menjadi lahan bisnis baru. Mungkin sekarang baru beberapa yang eksis. Tapi, tidak mungkin beberapa bulan lagi hadir puluhan penyedia layanan penerbitan POD, yang pada titik tertentu akan melahirkan persaingan. Kita tentu tidak ingin persaingan ini menjadi tidak sehat sebagaimana yang kita saksikan pada penerbitan konvensional. Self publishing bermula dari keinginan untuk bebas dari belenggu penerbit konvensional. Oleh karena itu, ia harus kita bangun dengan semangat kemerdekaan juga.

(63)

GERAKAN “AYO

TERBITKAN

BUKU-MU”

Sulit membangun peradaban, tanpa budaya tulis dan baca.”

TS Eliot Penyair Inggris (1888-1965)

Beberapa bulan belakangan ini, penulis intens menyebarkan ide “Menerbitkan Buku itu Mudah”. Tidak hanya membuat tulisan yang memberikan gambaran bagaimana simple-nya menerbitkan buku, dan mengompori adik-adik di kampus , penulis juga aktif membantu akademisi dan eksekutif muda untuk mengkonversi naskah yang mereka miliki menjadi buku.

(64)

“Tercatat, dari 476 penerbit yang ada di Indonesia, buku -buku yang baru terbit per tahun hanya 12.000 eksemplar. Sementara itu, jumlah penduduk Indonesia 220 juta jiwa.” Raihan itu bisa masih kalah dengan India yang mampu menerbitkan 25.000 eksemplar. Apalagi kalau hendak diperbandingkan dengan Amerika Serikat (AS) yang mampu menerbitkan buku baru setiap tahun hingga 75.000 eksemplar.

Dari 12.000 eksemplar itupun kebanyakan merupakan buku-buku terjemahan, terutama dari bahasa Arab dan Inggris. Artinya, produktivitas penulisan di Indonesia masih sangat rendah.

Sekarang, mari kita mencoba untuk berangan-angan menghitung angka statistik apabila setiap mahasiswa yang lulus kuliah mampu menerbitkan satu buku. Pada tahun 2008 tercatat 4,3 juta mahasiswa yang menempuh pendidikan tinggi di berbagai perguruan tinggi baik di dalam maupun diluar negeri. Jika 100.000 ribu dari mahasiswa yang wisuda setiap tahunnya menerbitkan satu buku saja, maka lahirlah 100.000 judul buku baru. Apabila kemudian masing-masing judul dicetak 100 buah, maka telah akan beredar 10 juta buku di pasar.

Penelitian UNESCO memperlihatkan kondisi minat baca bangsa Indonesia yang menyedihkan:

(65)

negara berkembang, termasuk Indonesia, hanya dua jam setiap hari. Kurangnya minat baca dibuktikan dengan indeks membaca masyarakat Indonesia saat ini yang baru sekitar 0,001, artinya dari seribu penduduk, hanya ada satu orang yang masih memiliki minat baca tinggi. Angka ini masih sangat jauh dibandingkan dengan angka minat baca di Singapura. Indeks membaca di negara itu mencapai 0,45. Selain itu berdasarkan survei UNESCO, budaya baca masyarakat Indonesia berada di urutan ke-38 dari 39 negara

dan merupakan yang paling rendah di kawasan ASEAN”

Semuanya bisa kita rubah dengan gagasan “Ayo Terbitkan Buku Kamu”. Kenapa penulis begitu yakin menerbitkan buku bisa menaikkan minat baca bangsa ini? Banyak ahli yang mengatakan, menulis dan membaca adalah 2 sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Orang tak akan mampu menulis apabila tidak punya bacaan dan orang tak bisa membca apabila tidak ada buku yang diterbitkan. Maka, gerakan menerbitkan buku merupakan solusi efektif untuk

memperbaiki minat baca sekaligus menggerakkan antusias orang untuk menulis karena buku laku di pasaran.

(66)

kecocokan idealisme/warna penerbit mereka dengan tulisan kita. Terkadang, hal ini cukup menjengkelkan, karena seringkali penerbit besar menolak naskah-naskah penulis pemula.

Kalau gagal menembus penerbit besar, masih ada jalan lain yaitu mencoba ke penerbit kecil. Tapi lagi-lagi aspek marketable menjadi prioritas pertimbangan mereka. Belum lagi, kenyataan tidak adanya pembagian royalti kecuali hanya pembelian naskah di awal transaksi.

Eiittt, jangan putus asa dulu. Ditolak oleh penerbit besar ataupun penerbit kecil tidak akan memupus harapan teman-teman untuk menerbitkan buku. Apa solusinya? BIKINLAH PENERBIT SENDIRI. Ya, BIKINLAH PENERBIT SENDIRI atau Privat Publishing. Pasti dalam pikiran teman-teman, ini semakin memperumit masalah? He2… Tenang dulu. Mari ikuti penjelasan saya

Bikin penerbitan sendiri itu mudah. Hanya tinggal cari nama yang bagus, alamat, logo, dan penanggungjawab. Maka jadilah sebuah penerbitan yang telah bisa mendapatkan akses ISBN ke Perpustakaan Nasional agar buku yang telah kita buat punya legitimasi hukum.

(67)

Nah, sekarang menuju masalah yang paling esensial. Berapa sih uang yang mesti dikeluarkan menyetak satu buku? Berdasarkan pengalaman saya, menyetak satu buku setebal 140 halaman dengan ukuran A5 hanya Rp. 18.500 Rp. 20.500. Jadi kalau teman-teman punya naskah setebal 200 halaman paling ngak mesti mengeluarkan uang sebesar Rp. 25.000- an. Kalau nyetak 100 eksemplar mengeluarkan dana sekitar Rp. 2.500.000. Semisalnya menyetak sebanyak itu terlalu berat, teman-teman bisa menyetak 10 atau 20 eksemplar dulu aja (hanya butuh modal Rp. 250.000 Rp. Rp.500.000), sambil menunggu dijual sehingga didapatkan modal lagi untuk menyetak buku. Biasanya buku 200 halaman dijual Rp. 40.000 sampai Rp. 50.000. Jadi, dengan sirkulasi nyetak-jual-nyetak-jual, teman-teman tidak perlu dana yang besar.

Terus, bagaimana untuk distribusinya? Tenang, setiap persoalan pasti ada jalan keluar. Teman-teman bisa mempromosikannya lewat penulisan resensi di surat kabar dan publikasi online, baik itu lewat jejaring sosial (Facebook, Twitter, atau mailinglist), blog, dan forum jual beli Kaskus. Kalau seandainya punya modal menyetak banyak, teman bisa menitipkan di toko-toko buku tempat teman-teman berdomisili. Cukup mudah bukan???

(68)

dan menurunkan harga kertas, saya yakin dunia literasi di Indonesia akan jauh melejit dari kenyataan yang terjadi sekarang.

(69)

PRESIDEN BEM UGM

DENGAN IPK SATU

KOMA

Jika ditanya kepada mahasiswa UGM, siapakah Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa mereka?, maka jawaban yang terlontar mungkin lebih banyak ketidaktahuan. Bukan saja karena mahasiswa ngak peduli-peduli amat sama yang namanya BEM, tapi juga “kurang gaulnya” beberapa Presiden BEM UGM beberapa tahun ini yang dikuasai oleh salah satu partai mahasiswa bentuk KAMMI, menjadi pemicu situasi ini.

(70)

Namun, sampai detik ini SK dari rektor belum jua keluar. BEM yang menjadi organisasi paling elit di kampus seolah mati suri. Tak ada acara-acara berskala besar. Padahal di awal-awal tahun biasanya BEM UGM sudah show up menyajikan berbagai acara berkualitas baik berskala regional, nasional maupun internasioanl. Tentu pertanyaan yang menggelitik adalah kenapa SK belum juga keluar? Apakah pihak rektorat sengaja melakukan hal ini untuk membungkam daya kritis BEM KM yang memang sering melakukan protes dan demonstrasi terkait kebijakan kampus yang tidak pro-mahasiswa.

Usut demi usut, ternyata sikap rektor UGM untuk tidak melantik Presiden BEM terpilih dikarenakan faktor akademis. Informasi yang berkembang di kalangan dosen dan mahasiswa terkait keogahan rektor untuk mengeluarkan SK adalah Presiden BEM UGM terpilih hanya memilikiIPK SATU KOMA. Apa kata dunia kalau orang yang memimpin organisasi nomor satu di kampus terbaik se-Indonesia cuma punya IPK Satu Koma? Apa UGM ngak punya mahasiswa pinter yang juga punya kapabilitas untuk jadi pemimpin? Mungkin ini yang ada di pikiran Prof. Soejarwadi selaku rektor UGM.

(71)

Tapi pertanyaan baru muncul. Apakah alasan kesibukan di luar kampus menjadi alasan meninggalkan kuliah dan menjadi “mahasiswa siluman” dengan IPK di bawah dua?

Seharusnya tidak. Namanya juga mahasiswa, maka tugas utamanya ya kuliah. Toh mengurus organisasi tidak mesti 24 jam kan dan tak mesti sendirian kan? Manajemen waktu dan pendelegasian tugas bisa menjadi solusi.

Saya melihat ada beberapa problem terkait dengan hal ini. Pertama adalah sistem rekruitmen internal partai yang tidak berjalan secara baik. Partai seharusnya mampu melakukan fit and proper test baik itu soft skill maupun hard skill termasuk di dalamnya prestasi akademik ketika mengusung kandidat. Kedua, pemira tak lebih sekedar ajang tahunan perebutan/mempertahankan kekuasaan di BEM. Mahasiswa sebagai pemilih seringkali seperti membeli pisang dalam karung, sehingga ngak jelas apakah benar sudah masak/masih muda/sudah busuk? Hanya pamplet-pamplet dan spanduk-spanduk kamuflatif yang disajikan. Ketiga, ada paradigma berpikir yang salah terkait pemakluman bahwa untuk aktivis ngak masalah IPK rendah. Padahal gaya berpikir ini bisa dibalik, “aktivis harus punya IPK tinggi”. Toh contoh -contoh aktivis dengan IPK di atas 3,5 bisa kita temui di kampus. Mereka mampu memadukan kewajiban kuliah dengan aktivitas organisasi.

(72)
(73)

Sebuah Persembahan untuk Uda Suryadi (Lectrure Dept. of Languages and Cultures of Southeast Asia and Oceania Leiden University)

Beberapa orang menyesalkan sejarah, kenapa tidak Inggris (atau negara yang berbahasa Inggris) yang menjajah Indonesia dahulu? Kalau misalnya Inggris yang menjajah tentu kita tidak usah ribet-ribet pake ngejar TOELF tinggi untuk bisa kuliah ke luar negeri. Seandainya yang menkolonialisasi kita dahulu adalah negara yang berbahasa Inggris tentu kita tidak perlu ribut-ribut dengan rencana kebijakan liberalisasi tenaga kerja yang membuka peluang persaingan bebas antara tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja asing.

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulannya, Ujian Bacaan Teks Bahasa Melayu Perkataan Berkait Universiti Kebangsaan Malaysia ini boleh digunapakai untuk menilai prestasi membaca iaitu kelajuan membaca dan

Dari pembahasan diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian pengaruh tingkat pendidikan, sikap terhadap kebersihan genetalia pada ibu post partum di Rumah Sakit

BBHA juga memiliki kerjasama dengan masyarakat untuk pemanfaatan areal tanaman kehidupan melalui KUB (Koperasi Usaha Baru) yang anggotanya berjumlah sekitar 2.000

Di bawah ini adalah hasil analisis terhadap terhadap kata, frasa, klausa, dan kalimat dari hasil percakapan antara sampel guru terhadap peserta didik ketika

Luas wilayah Kecamatan Batangan adalah 50,66 km 2 dengan jumlah penduduk sebanyak 40.896 jiwa yang tersebar di delapan belas desa yaitu Desa Tlogomojo, Desa Sukoagung,

[r]

Saat user memilih tombol “MyProfile” pada layar “FriendList” maka akan muncul layar baru seperti Gambar 4.9, yang membedakan kali ini yang ditampilkan adalah data –

Penentuan kandungan logam berat tembaga (Cu) kadmium (Cd), dan timbal (Pb) menggunakan metode solid phase extraction dengan adsorben kitin terimobilisasi ditizon dari