• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prevalensi dan Faktor Risiko Gizi Kurang pada Anak Sekolah Dasar di Dusun Muntigung, Karangasem, Bali, 2015

Berdasarkan hasil perhitungan status gizi sebelumnya, kategori kurus pada responden dapat digolongkan kedalan status gizi kurang. Prevalensi siswa sekolah dasar di SD 3 dan SD 6 Tianyar Barat yang tergolong gizi kurang ada sekitar 14,2%, yaitu sebanyak 40 orang. Dari anak yang tergolong kurus, 75% adalah anak laki-laki dan 25% nya adalah anak perempuan. Anak kelas 3 SD lebih banyak yang masuk dalam kategori kurus yaitu 32.5% (13 orang), disusul oleh anak kelas 2 (27,5%), anak kelas 1 (15%), adank kelas 4 dan 5 masing-masing 10% dan anak kelas 6 (5%). Bila dilihat dari sekolahnya, SD 3 Tianyar Barat memiliki 80% (32 orang) anak dengan kategori kurus, dan SD 6 Tianyar Barat memiliki 20% (8 orang).

Faktor risiko gizi kurang (kurus) pada anak-anak sekolah dasar di SD 3 dan SD 6 Tianyar Barat dapat dilihat dari karakteristik responden yaitu pekerjaan orang tua, pendidikan orang tua, jumlah saudara yang masih hidup hingga saat ini di keluarga, kebiasaaan makan dan sarapan, serta aktifitas fisik yang biasa dilakukan oleh siswa.

Untuk menganalisa hubungan factor-faktor risiko tersebut, maka dilakukan analisa bivariate, untuk mengetahui apakah ada hubungan yang signifikan antara 2 variabel (variable dependen dan independen) agar bisa menguji hipotesis penelitian. Kedua variable baik dependen maupun independen dalam penelitian ini termasuk variable kategorik sehingga uji yang digunakan adalah Uji Kai Kuadrat (Chi Square). Hasil analisa Uji Kai Kuadrat dapat dilihat pada table berikut ini

Tabel 6. Distribusi Beberapa Faktor Risiko Terhadap Kejadian Gizi Kurang Pada Anak Sekolah Dasar di SD 3 dan SD 6 Tianyar Barat

N

o Var. Independen

Status Gizi

Total OR P

Kurang Normal - Lebih

n % n % n % (95%) CI) 1 Ayah tidak bekerja 35 13.6 223 86.4 258 100 0.6 0.5 Ayah bekerja 5 20.8 19 79.2 24 100 (0.2-1.7) 2 Ibu tidak bekerja 12 15.8 64 82.2 76 100 1.2 0.8

Ibu bekerja 28 13.6 178 86.4 206 100 (0.6-2.5) 3 Pendidikan ayah rendah 37 13.8 231 82.2 268 100 0.6 0.4 pendidikan ayah tinggi 3 21.4 11 78.6 14 100 (0.2-2.2) 4 Pendidikan ibu rendah 38 14.1 232 85.9 270 100 0.8 0.7 Penddidikan ibu tinggi 2 16.7 10 83.3 12 100 (0.2-3.9) 5 Keluarga besar 37 14.2 223 85.8 260 100 1.1 1 keluarga kecil 3 13.6 19 86.4 22 100 (0.3-3.7) 6 Tidak sarapan 18 15.5 98 84.5 116 100 1.2 0.7 Sarapan 22 13.3 144 86.7 166 100 (0.8-2.4) 7 Makanan tidak bervariasi 31 13.6 197 86.4 228 100 0.8 0.7 Makanan bervariasi 9 16.7 45 83.3 54 100 (0.4-1.8) 8 Tidak jajan di sekolah 1 9.1 10 90.9 11 100 0.6 1 Jajan disekolah 39 14.4 232 86.5 271 100 (0.1-4.8) 9 Jalan kaki ke sekolah 28 12.9 189 87.1 217 100 0.7 0.3 Diantar pakai motor 12 19.5 53 81.5 65 100 (0.3-1.37) 10 Les Pelajaran 4 10.3 35 89.7 39 100 0.7 0.6 Tidak Les Pelajaran 36 14.8 207 85.2 243 100 (0.2-1.9) 11 Mengikuti Ekstrakulikuler 27 14.4 161 85.6 188 100 1 1 Tidak Mengikuti Ekstrakulikuler 13 13.8 81 86.2 94 100 (0.5-2.1) 12 Laki-laki 30 75.0 122 50.4 152 100 2.95 0.05 Perempuan 10 25.0 120 49.6 130 100 (1.3-6.3) 13 Daerah tinggi (SD 3 Tianyar) 32 80.0 129 53.3 161 100 3.5 0.03 Daerah rendah 8 20.0 113 46.7 121 100 (1.6-7.9)

(Sd 6 Tianyar )

Hasil analisa hubungan antara variable-variabel independen dengan status gizi kurang pada anak SD di Tianyar Barat diperoleh bahwa hasil uji statistiknya hanya jenis kelamin siswa (P=0.05; OR=2,95) dan daerah geografis (P=0.03; OR=3,5) yang signifikan menjadi factor risiko yang berhubungan dengan kejadian gizi kurang pada anak sekolah dasar di Tianyar Barat dengan nilai p < 0.05, Dalam hal ini siswa laki-laki lebih berisiko dibandingkan siswa perempuan. Pada bab sebelumnya juga telah dijelaskan bahwa dari 40 siswa yang tergolong kurus, 75% nya adalah laki-laki. Sedangkan variable lainnya seperti variable pekerjaan ayah (P=0.6; OR=0.6), pekerjaan ibu (P=0.8; OR=1,2), pendidikan ayah (P=0.4; OR=0.6), pendidikan ibu (P=0.7; OR=0.8), jumlah keluarga (P=1; OR=1,1), variasi makanan (P=0.7; OR=0.8), kebiasaan sarapan (P=0.7; OR=1,2), kebiasaan jajan (P=1; OR=0.6), aktifitas fisik (berjalan kaki (P=0.3; OR=0.7) , kegiatan les (P=0.6; OR=0.7), kegiatan ekstrakulikuler (P=1; OR=1) tidak ada yang berhubungan dengan gizi kurang pada anak sekolah dasar di Tianyar Barat.

Untuk mengetahui seberapa besar siswa lali-laki memberikan peran dalam meningkatkan risiko gizi kurang, dapat kita lihat pada nilai Odd Ratio (OR) yaitu 2,95; yang artinya jenis kelamin memberikan factor risiko sebesar 2,95 kali lebih besar dibanding perempuan untuk kejadian gizi kurang di SD 3 dan SD 6 Tianyar Barat. Begitu juga dengan lokasi geografis, anak-anak yang berada di daerah tinggi lebih banyak terkena risiko gizi kurang sebesar 3.5 kali dibandingkan dengan anak-anak di daerah rendah.

K. PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil survei status gizi anak sekolah dasar di SD 3 dan SD 6 Tianyar Barat, didapatkan bahwa ada sebanyak 14,2% siswa tergolong kurus, 84,0% tergolong normal dan 1,8% tergolong gemuk. Dari Angka 14,2% anak kurus di SD 3 dan 6 Tianyar Barat, 75% adalah anak laki-laki dan 25% anak perempuan.

Hasil ini tidak jauh berbeda dengan Prevalensi anak kurus usia 6-14 tahun di Kabupaten Karangasem menurut data Riskesdas Bali tahun 2007, yaitu 12,6% pada anak laki-laki dan 11,1% pada anak perempuan. Begitu juga apabila dilihat menurut jenis kelamin, anak laki-laki (75%) di wilayah ini lebih banyak yang kurus dibanding anak perempuannya (25%).

Bila ditinjau dari penelitian Muliawan dkk (2009), Status gizi kurang pada balita di Dusun Muntigunung, Karangasem, berdasarkan BB/U (47,5%) dan berdasarkan TB/U (37,1%), maka status gizi kurang pada anak sekolah sebesar 14,2% tampak menunjukkan adanya perbaikan status gizi pada anak-anak balita sebelumnya. Namun, hal ini memerlukan penelitian lebih lanjut. Hal tersebut sangat penting karena bila status gizi dari balita tidak segera diperbaiki maka akan memberikan dampak pada usia sekolah. Menurut Sihad, dkk (2001), anak balita gizi buruk jika tidak segera mendapat penanganan yang serius akan memberikan dampak yang cukup fatal. Hasil penelitian pada awal usia 6 9 tahun yang sewaktu balita menderita gizi buruk memiliki rata-rata IQ yang lebih rendah 13,7 poin dibandingkan dengan anak yang tidak pernah mengalami gangguan gizi.

Anak sekolah dasar kelas 1-3 lebih banyak yang kurus dibandingkan anak kelas 4-6. Pada hasil survei di wilayah Muntigunung ini, nak kelas 3 SD lebih banyak yang masuk dalam kategori kurus yaitu 32.5% (13 orang), disusul oleh anak kelas 2 (27,5%), anak kelas 1 (15%), anak kelas 4 dan 5 masing-masing 10% dan anak kelas 6 (5%). Tampak bahwa aktifitas fisik tambahan berupa les dan ekstrakulikuler yang lebih banyak dilakukan anak kelas 4-6 tidak memberikan pengaruh besar pada kejadian gizi kurang di Muntigunung. Dari hasil survei juga menunjukkan hubungan yang tidak signifikan antara status gizi siswa dengan ketiga aktifitas tersebut.

Bila dilihat dari sekolahnya, SD 3 Tianyar Barat memiliki 80% (32 orang) anak dengan kategori kurus, dan SD 6 Tianyar Barat memiliki 20% (8 orang). Perlu kita ketahui bahwa SD 3 Tianyar Barat berada pada daerah yang lebih tinggi dan sulit aksesnya dibanding SD 6 Tianyar Barat. Dapat disimpulkan bahwa anak-anak di SD 3 Tianyar Barat , tempat tinggalnya tidak akan jauh juga dari sekolah, yang mana lokasinya ada di ketinggian. Hal ini tentunya memberikan pengaruh secara tidak langsung kepada masyarakat sekitarnya berupa akses yang sulit

untuk ketersediaan pangan. Apabila akses terhadap pangan kurang memadai, maka masyarakat di suatu daerah terpencil cenderung hanya menggunakan sumber pangan seadanya, sehingga mutu status gizi di daerah tersebut juga kurang. Hasil penelitian ini juga menunjukan hubungan yang signifikan antara lokasi geografis anak-anak sekolah berada, dimana anak-anak yang berada pada lokasi geografis tinggi lebih berisiko 3.5 kali lebih tinggi dibanding lokasi geografis rendah.

Karakteristik ayah dan ibu responden, yaitu tingkat pendidikan dan pekerjaan mereka, dalam penelitian ini tidak ada hubungannya dengan kejadian gizi kurang pada anak sekolah di SD 3 dan 6 Tianyar Barat. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Sulastri, dkk (2014), Aramico (2011) dan Kusuma (2011) yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan ibu memiliki hubungan bermakna pada status gizi anak baru masuk sekolah.

L. KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:

1. Status gizi anak sekolah dasar di SD 3 dan SD 6 Tianyar Barat adalah sebagai berikut 14,2% siswa tergolong kurus, 84,0% tergolong normal dan 1,8% tergolong gemuk.

2. Faktor yang berhubungan secara signifikan dengan 14,2% siswa yang tergolong kurus ini adalah jenis kelamin (OR=2,95) dan lokasi geografis tempat tinggalnya (OR=3,5)

M. SARAN

Masalah jenis kelamin memang tidak banyak bisa diintervensi. Lokasi siswa yang berada di ketinggian dengan kecenderungan kurang gizi lebih tinggi dapat kita upayakan dengan memfokuskan upaya pemenuhan gizi anak lewat sekolah dengan kerjasama bersama puskesmas setempat. Hal yang dapat dilakukan bisa dengan edukasi tentang gizi seimbang, penyediaan serta pemilihan jajanan lokal yang dapat memenuhi gizi anak melalui kantin sekolah. Hal lainnya yang juga

dapat dilakukan adalah membuat kebijakan sarapan bersama seminggu sekali di sekolah untuk membiasakan anak sarapan sehingga asupan gizi bisa terpenuhi.

N. JADWAL PELAKSANAAN

No. Kegiatan 1 2 3 4 5 6

1. Persiapan

2. Pengumpulan Data

3. Pengolahan dan Analisis Data 4. Penyusunan dan Pengumpulan

Laporan

P. PERSONALIA PENELITIAN

Dokumen terkait