• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prevalensi Filariasis, Demam Berdarah Dengue, Malaria dan Pemakaian Obat Program Malaria menurut Kabupaten/Kota Kabupaten/Kota

di Provinsi Jawa Barat, Riskesdas 2007

Kabupaten/kota Filariasis DBD Malaria D DG D DG D DG O Kab.Bogor 0,04 0,07 0,3 0,4 0,1 0,24 17,7 Kab.Sukabumi 0,0 0,0 0,0 0,1 0,2 0,21 28,6 Kab.Cianjur 0,03 0,05 0,2 0,4 0,1 0,21 0,0 Kab.Bandung 0,0 0,02 0,1 0,4 0,1 0,22 53,9 Kab.Garut 0,03 0,08 0,2 0,3 0,0 0,20 27,3 Kab.Tasikmalaya 0,17 0,20 0,1 0,1 0,0 0,07 0,0 Kab.Ciamis 0,04 0,07 0,0 0,2 0,0 0,26 4,4 Kab.Kuningan 0,0 0,0 0,1 0,1 0,1 0,11 66,7 Kab.Cirebon 0,03 0,11 0,4 1,5 0,1 0,65 38,5 Kab.Majalengka 0,05 0,05 0,2 0,4 0,0 0,05 0,0 Kab.Sumedang 0,0 0,0 0,1 0,2 0,1 0,22 40,0 Kab.Indramayu 0,03 0,07 0,2 0,4 0,0 0,07 33,3 Kab.Subang 0,04 0,04 0,1 0,3 0,0 0,04 16,7 Kab.Purwakarta 0,0 0,0 0,6 0,9 0,1 0,15 100,0 Kab.Karawang 0,11 0,14 0,2 0,3 0,1 0,43 57,9 Kab.Bekasi 0,03 0,03 0,1 0,3 0,2 0,29 26,7 Kota Bogor 0,0 0,0 0,4 0,7 0,1 0,71 50,0 Kota Sukabumi 0,00 0,00 0,4 0,6 0,1 0,18 50,0 Kota Bandung 0,02 0,02 0,4 0,6 0,1 0,36 35,3 Kota Cirebon 0,0 0,0 0,4 0,4 0,2 0,17 50,0 Kota Bekasi 0,03 0,03 0,3 0,3 0,0 0,08 0,0 Kota Depok 0,04 0,04 0,2 0,3 0,0 0,15 0,0 Kota Cimahi 0,0 0,0 0,9 1,0 0,0 0,10 0,0 Kota Tasikmalaya 0,0 0,0 0,1 0,1 0,0 0,00 0,0 Kota Banjar 0,00 0,00 0,3 1,0 0,0 0,00 0,0 Jawa Barat 0,03 0,05 0,2 0,4 0,07 0,23 24,0

*Filariasis dalam persen

Rerata prevalensi DBD berdasar D/G masih dibawah rerata nasional (0.47) namun berdasar Diagnosa nakes rerata provinsi Jabar sama dengan rerata nasional. Prevalensi DBD berdasarkan Diagnosa Gejala (D/G) maupun berdasarkan Diagnosa nakes (D), diatas rerata provinsi terjadi di delapan daerah. Dimana prevalensi tertinggi berdasarkan D/G terjadi di Kabupaten Cirebon, sementara berdasarkan D daerah ini juga masih diatas rerata provinsi. Prevalensi tertinggi berdasarkan D terdapat di Kota Cimahi (0,9%), bersadarkan D/G daerah ini juga cukup tinggi diatas rerata provinsi. Sebagai perbandingan jumlah Kab/Kota terjangkit DBD di Indonesia sejak tahun 1968 sampai dengan 2006 cenderung mengalami peningkatan. Puncak IR DBD terjadi pada tahun 1973, 1988, 1998 dan 2005.

Prevalensi filariasis di Jawa Barat berdasarkan D/G sedikit dibawah rerata nasional ( 0.07 %) namun berdasarkan Diagnosis nakes, provinsi Jabar ternyata menyamai prevalensi nasional (0.03%). Walaupun rentang prevalensi di provinsi Jabar hanya 0 – 0.20, tetapi kejadian filariasis tetap harus menjadi perhatian karena merupakan penyakit tular vektor dan bersifat kronis. Prevalensi filarisasis tertinggi terjadi di kabupaten Tasikmalaya baik prevalensi menurut D/G maupun menurut Diagnosis nakes.

Malaria merupakan salah satu penyakit prioritas yang sampai saat ini masih menjadi ancaman di Indonesia dengan angka kesakitan dan kematian tinggi serta sering menimbulkan KLB Prevalensi minum obat malaria sebesar 0 % terjadi di delapan wilayah.

68

Diantara wilayah tersebut Kabupaten Cianjur cukup beresiko karena mempunyai prevalensi malaria (0.21) hampir menyamai rerata provinsi. Kota Bogor prevalensi meminum obat hanya 50 %, sementara prevalensi malaria menurut Diagnosis dengan gejala (D/G) justru tertinggi terjadi di kota ini. Berdasarkan Diagnosa nakes (D) prevalensi tertinggi terdapat di Kota Cirebon, prevalensi minum obat (50%) juga masih dibawah target nasional. Secara keseluruhan prevalensi penyakit malaria berdasarkan D/G di provinsi Jabar masih dibawah rerata nasional (1.13%).

Tabel 3.49

Prevalensi Filariasis, Demam Berdarah Dengue, Malaria dan Pemakaian Obat Program Malaria menurut Karakteristik Responden di Provinsi Jawa Barat, Riskesdas 2007

Karakteristik Responden Filariasis DBD Malaria D DG D DG D DG O Kelompok Umur <1 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,00 0,0 1-4 0,02 0,04 0,26 0,28 0,02 0,13 27,27 5-14 0,01 0,01 0,32 0,43 0,08 0,17 13,21 15-24 0,04 0,05 0,0 0,46 0,10 0,18 3,33 25-34 0,02 0,04 0,23 0,50 0,06 0,24 38,46 35-44 0,05 0,06 0,17 0,40 0,05 0,31 31,48 45-54 0,06 0,08 0,17 0,46 0,05 0,36 33,33 55-64 0,09 0,11 0,11 0,0 0,11 0,27 24,14 65-74 0,0 0,07 0,07 0,33 0,07 0,29 15,38 >75 0,17 0,34 00 0,00 0,26 0,69 30,00 Jenis Kelamin Laki-Laki 0,21 0,37 0,04 0,05 0,09 0,26 27,21 Perempuan 0,23 0,44 0,03 0,05 0,05 0,22 21,99 Pendidikan Tidak Sekolah 0,02 0,07 0,14 0,43 0,02 0,22 26,67 Tidak Tamat SD 0,05 0,10 0,12 0,34 0,08 0,34 34,62 Tamat SD 0,06 0,07 0,12 0,37 0,08 0,28 21,62 Tamat SMP 0,02 0,04 0,26 0,44 0,06 0,19 15,38 Tamat SMA 0,01 0,01 0,32 0,43 0,10 0,27 32,26

Tamat SMA Plus 0,0 0,0 0,16 0,36 0,0 0,04 0,0

Pekerjaan

Tidak Kerja 0,10 0,14 0,17 0,39 0,10 0,22 26,9

Sekolah 0,01 0,01 0,26 0,39 0,07 0,17 5,9

Ibu Rumah Tangga 0,05 0,07 0,18 0,44 0,05 0,28 20,0

Pegawai 0,0 0,0 0,25 0,36 0,06 0,19 62,5 Wiraswasta 0,04 0,06 0,16 0,35 0,13 0,33 38,2 Petani/Nelayan/Buruh 0,03 0,06 0,11 0,38 0,07 0,37 28,4 Lainnya 0,0 0,0 0,26 0,34 0,09 0,09 100,0 Tempat Tinggal Kota 0,03 0,04 0,30 0,49 0,06 0,24 31,5 Desa 0,03 0,06 0,13 0,49 0,08 0,23 20,0

Pendapatan keluarga perkapita

Kuintil_1 0,01 0,01 0,13 0,32 0,05 0,19 23,53

Kuintil_2 0,04 0,07 0,26 0,46 0,09 0,26 29,51

Kuintil_3 0,03 0,06 0,18 0,44 0,08 0,22 27,08

Kuintil_4 0,07 0,07 0,26 0,40 0,05 0,35 28,75

69

Prevalensi Malaria berdasarkan D/G diatas rata-rata provinsi umumnya terjadi di kelompok usia produktif (> 35 th). Prevalensi tertinggi baik berdasarkan D maupun D/G menyebar di kelompok umur >75 th. Pada kelompok usia >75, prevalensi minum obat hanya 30%, sementara prevalensi minum obat tertingi tardapat pada kelompok umur 25 – 34 th. Pada kelompok ini prevalensi malaria hanya 0,06% berdasar D dan berdasarkan D/G prevalensinya cukup tinggi sama dengan rerata provinsi. Prevalensi DBD 69able69 merata di setiap usia kecuali pada usia < 1 th dan > 75 th. Prevalensi DBD berdasarkan D/G tertinggi pada kelompok umur 25-34 tahun, berdasarkan D prevalensi tertinggi pada kelompok umur 5-14. Prevalensi filariasis tertinggi berdasarkan DG dan D terdapat pada kelompok umur > 75 tahun. Hal ini mengindikasikan filariasis kronis yang telah terjadi, demikian halnya terlihat juga pada kelompok umur 55 – 64 angka prevalensinya cukup tinggi.

Prevalensi ditinjau dari jenis kelamin akan menggambarkan spesifik agen penyakit. Prevalensi malaria berdasarkan DG, D, dan O prosentasenya pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan. Sebaliknya prevalensi DBD berdasarkan DG, D, nilainya lebih tingi pada kelompok perempuan. Sedangkan pada prevalensi filariasis berdasarkan DG tidak terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Berdasarkan D prevalensi pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan.Tidak terdapat perbedaan berarti antara penederita laki-laki dan perempuan. Gambaran kasus malaria, DBD dan filariasis berdasarkan klasifikasi pendidikan tidak nampak perbedaan yang nyata antar kelompok. Namun yang perlu mendapat perhatian terdapat pada kelompok pendidikan tidak tamat SD. Prevalensi DBD dan filariasis berdasar D/G tertinggi terjadi di kelompok ini. Sedangkan berdasarkan D angka prevalensi diatas rerata provinsi.

Prevalensi malaria berdasar D/G tertinggi pada kelompok petani/nelayan/buruh. Sebaliknya berdasarkan Diagnosa oleh Nakes (D) tertinggi tersebar pada kelompok wiraswasta, kemungkinan terjadi karena tingkat keasadaran memeriksakan penyakit lebih besar pada kelompok ini, namun prevalensi minum obat masih dibawah 50%. Prevalensi minum obat malaria yang telah sesuai progam terjadi pada kelompok lainnya. Kelompok prevalensi DBD berdasarkan DG tertinggi adalah kelompok Ibu rumah tangga, kemungkinan terjadi karena ibu-ibu rumah tangga tidak beraktifitas diluar rumah pada saat pagi dan sore hari. Prevalensi filariasis berdasarkan DG dan G tidak menunjukan perbedaan antar kelompok. Rentang angka prevalensi berkisar antara 0 – 0.1, dimana pada kelompok tidak bekerja merupakan kelompok prevalensi tertinggi. Ditinjau dari segi wilayah, prevalensi malaria berdasarkan DG dan O prevalensi di perkotaan lebih tinggi dibandingkan di pedesaan. Sebaliknya, berdasarkan D prevalensi di pedesaan lebih tinggi dibandingkan di perkotaan. Prevalensi DBD berdasarkan DG tidak ada pebedaan antara perkotaan dan pedesaan. Berdasarkan D prevalensi DBD di perkotaan lebih tinggi dibandingkan di pedesaan. Keadan sebaliknya terjadi pada kasus filariasis. Prevalensi filariasis berdasarkan DG di pedesaan lebih tinggi dibandingkan di perkotaan. Sedangkan berdasarkan D angka prevalensinya sama, baik di perkotaan dan pedesaan.

Prevalensi malaria, DBD, dan filariasis berdasarkan kuintil (status ekonomi) menunjukkan terjadi masalah pada kuintil_2. Di kuintil ini prevalensi ketiga penyakit cukup tinggi. Walaupun prevalensi minum obat pada prevalensi kelompok ini tertinggi, tetapi masih jauh dibawah target 100 %. Sementara kasus DBD hampir merata terjadi di setiap kelompok kuintil. Demkian pula kasus filariasis. Hal ini menunjukkan pengaruh lingkungan, iklim tropis kemungkinan jauh lebih berperan terhadap kasus penyakit menular ini yang diebabkan oleh tular vektor. Pada kejadian malaria dan filariasis kelompok umur >75 sangat beresiko, kelompok ini perlu mendapat perhatian. Dimana usia manula berbagai penyakit tidak menular sering muncul, daya tahan tubuh rendah dan umumnya mengalami kesulitan dalam mengkosumsi makanan. Secara umum data menggambarkan penyakit yang disebarkan melaui tular vektor ini terjadi di masyarakat luas.

70

3.4.2. Prevalensi ISPA, Pneumonia, TB, dan Campak

Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan penyakit yang sering dijumpai dengan

manifestasi ringan sampai berat. ISPA yang mengenai jaringan paru-paru atau ISPA berat,

dapat menjadi pneumonia. Pneumonia merupakan penyakit infeksi penyebab kematian utama, terutama pada balita. Dalam Riskesdas ini dikumpulkan data ISPA ringan dan pneumonia. Kepada responden ditanyakan apakah dalam satu bulan terakhir pernah didiagnosis ISPA/pneumonia oleh tenaga kesehatan. Bagi responden yang menyatakan tidak pernah, ditanyakan apakah pernah menderita gejala ISPA dan pneumonia. Tuberkulosis paru merupakan salah satu penyakit menular kronis yang menjadi isu global. Di Indonesia penyakit ini termasuk salah satu prioritas nasional untuk program pengendalian penyakit karena berdampak luas terhadap kualitas hidup dan ekonomi, serta sering mengakibatkan kematian. Walaupun diagnosis pasti TB berdasarkan pemeriksaan sputum BTA positif, diagnosis klinis sangat menunjang untuk diagnosis dini terutama pada penderita TB anak. Kepada respoden ditanyakan apakah dalam 12 bulan terakhir pernah didiagnosis TB oleh tenaga kesehatan, dan bila tidak, ditanyakan apakah menderita gejala batuk lebih dari dua minggu atau batuk berdahak bercampur darah. Campak merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Di Indonesia masih terdapat kantong-kantong penyakit campak sehingga tidak jarang terjadi KLB. Kepada responden yang menyatakan tidak pernah didiagnosis campak oleh tenaga kesehatan, ditanyakan apakah pernah menderita gejala demam tinggi dengan mata merah dan penuh kotoran, serta ruam pada kulit terutama di leher dan dada.

Tabel 3.50

Prevalensi ISPA, Pneumonia, TB dan Campak menurut Kabupaten/Kota

Dokumen terkait