Berdasarkan temuan jenis telur cacing di Pulau Tinjil, sebagaimana disajikan pada analisis Tabel 6, maka total prevalensi kecacingan saluran pencernakan pada monyet adalah sebesar 26,8%.
Tabel 6 Prevalensi kecacingan saluran pencernaan pada Macaca fascicularis berdasarkan lokasi kandang di Pulau Tinjil
No
Kandang n (ekor)
Rataan Prevalensi (%) Total Prevalensi
(%) Hymenolepis Ascaris Oxyurid Strongylid Trichuris
1 4 0 0 0 0 25 25 2 3 0 33.33 0 0 0 33.3 3 8 0 0 12.5 0 0 12.5 4 10 0 20 0 20 10 50 5 2 0 0 0 0 0 0 6 8 0 0 0 0 12.5 12.5 7 2 0 0 0 0 0 0 8 7 0 14.28 0 14.28 0 14.28 9 3 0 0 0 0 100 100 10 3 33.3 0 0 0 0 33.3 11 0 * * * * * * 12 3 0 0 0 0 0 0 13 3 0 0 0 0 0 0 Total 56 1.47 5.88 1.47 2.94 8.82 26.8 Keterangan: * (tidak dilakukan penghitungan TTGT)
a. Prevalensi berdasarkan core area
Berdasarkan analisis Tabel 6, maka angka prevalensi tertinggi sampai terendah berturut-turut terjadi pada kelompok monyet yang sering berada pada core area di sekitar kandang 9 (100%), kandang 4 (50%), kandang 2 (33,33%), kandang 10 (33,33%), dan kandang 8 (14,28%). Pada kelompok monyet yang sering berada pada core area di sekitar kandang 5, 7, 12, dan 13, berdasarkan penelitian ini tidak terdeteksi adanya kecacingan. Sedangkan pada kelompok monyet yang berada pada core area sekitar kandang 11 tidak bisa dilakukan perhitungan tingkat prevalensi karena tidak dilakukan pemeriksaan TTGT.
b. Prevalensi berdasarkan jenis cacing
Berdasarkan jenis telur cacing yang ditemukan sebagaimana disajikan pada Tabel 6, maka tingkat prevalensi dari yang tertinggi sampai yang terendah adalah
Trichuris (8,82%), Ascaris (5,88%), Strongylid (2,94%), Hymenolepis (1,47%), danOxyurid(1,47%). Laporan tentang prevalensi jenis cacing pada satwa primata lain juga pernah dilaporkan oleh Engel et al. (2004), Michaud (2003), Muehlenbein (2005) yaitu Trichuris (3,7%), Ascaris (8,3%), Strongylid (7,4%),
Hymenolepis (1,7%), danOxyurid(0,8%).
Berdasarkan analisis Tabel 6 dapat juga dipelajari tingkat prevalensi setiap jenis cacing pada kelompok monyet setiap kandang. Kelompok monyet yang sering berada di kandang 1, 6, dan 9 mengalami infeksi Trichuris sebesar 25%, 12,5%, dan 100%. Kelompok monyet yang sering berada di kandang 2, 3, dan 10 terinfeksi Ascaris (33,3%), Oxyurid (12,5%), Hymenolepis (33,3%). Kelompok monyet yang sering berada di kandang 4 terinfeksi Ascaris (20%), Strongylid (20%), dan Trichuris (10%). Kelompok monyet yang sering berada di kandang 8 terinfeksi oleh Ascaris (14,28%) dan Strongylid (14,28%).
c. Prevalensi infeksi tunggal dan campurancacing saluran pencernaan
Prevalensi infeksi kecacingan tunggal dan campuran dapat dilihat pada Tabel 7. Prevalensi infeksi kecacingan tunggal tertinggi adalah disebabkan oleh
Trichuris (8,82%), kemudian disusul oleh Ascaris (5,88%), dan Strongylid (2,49%). Prevalensi tunggal terkecil ditemukan pada jenis Hymenolepis dan Oxyurid yaitu sebesar 1,47%. Prevalensi infeksi campuran hanya terjadi pada infeksi Strongylid dan Trichuris sebesar 1,47%. Tidak seperti hewan domestik yang umumnya memiliki beberapa infeksi campuran, monyet yang ada di Pulau Tinjil hanya memiliki satu infeksi campuran cacing saluran pencernaan. Berdasarkan hasil tersebut (Tabel 6 dan 7) dapat dilihat bahwa walaupun home range kelompok monyet di Pulau Tinjil ada yang bertumpukan (Kyes 1994),
d. Transmisi kecacingan
Prevalensi infeksi cacing saluran pencernaan dipengaruhi oleh transmisi penyakit, sehingga berhubungan erat dengan siklus hidup dari masing-masing cacing tersebut. Rute infeksi dapat terjadi melalui mulut dan kulit. Metode dari transmisi dapat terjadi melalui pencernaan dan kontak langsung dengan agen infektif (Thrushfield 2007).
Infeksi Hymenolepis terjadi secara tidak langsung yaitu melalui inang antara arthropoda (larva pinjal tikus, larva pinjal mencit, kumbang tepung dewasa, lipas, Myriapoda, kumbang dan Lepidoptera). Tinja yang mengandung telur cacing termakan oleh arthropoda, kemudian telur akan menetas dan mengeluarkan oncospher yang akan berkembang menjadi larva sistiserkoid (infektif). Inang definitif akan terkena apabila memakan arthropoda yang terinfeksi tersebut (Ash dan Orihel 1990, Onggowaluyo 2001). Arthropoda bukanlah makanan bagi monyet ini, akan tetapi tingkah lakunya yaitu merawat diri memungkinkan sistiserkoid masuk ke dalam tubuhnya. Menurut Anggraeni (2003) dan Iskandar (1993), tingkah laku ini dilakukan saat monyet beristirahat yaitu dengan melakukan grooming menggunakan tangan ataupun mulut dalam bentuk mencari kotoran-kotoran, serpihan kulit kering, dan parasit eksternal, dari rambut satwa lain ataupun dari rambut sendiri
Tabel 7 Prevalensi infeksi tunggal dan campuran cacing saluran pencernaan Macaca fascicularis di Pulau Tinjil
No. Jenis n (sampel) Prevalensi (%)
1. Hymenolepis 1 1.47
2. Ascaris 4 5.88
3. Oxyurid 1 1.47
4. Strongylid 2 2.94
5. Trichuris 7 8.82
Gambar 11 Monyet sedang melakukan grooming
Stadium infektif Ascaris merupakan larva stadium kedua yang tidak menetas. Larva stadium kedua (infektif) apabila tertelan oleh inang akan menetas di dalam usus. Larva menembus dinding usus dan pergi menuju hati melalui sistem portal hepatik, kemudian akan berubah menjadi larva stadium tiga dalam 4-5 hari. Larva akan menuju jantung dan paru-paru melalui aliran darah, kemudian akan berkembang lebih lanjut pada paru-paru. Larva keluar dari kapiler alveolus menuju alveolus dan akan melewati duktus alveolus ke bronkiolus, bronkus, dan trakea. Puncak dari perpindahan ini terlihat sekitar 12 hari sesudah infeksi (Levine 1990, Soulsby 1982).
Infeksi Oxyurid biasanya terjadi melalui transmisi telur secara langsung ke mulut dari tangan. Makanan dan minuman yang tercemar dapat juga sebagai sumber penularan. Telur ini dapat berasal dari luar ataupun berasal dari tubuh sendiri yang tidak sengaja terbawa oleh tangan setelah menggaruk bagian perianal maupun perineal. Hal ini biasa terjadi akibat pruritus yang disebabkan saat cacing
Photo by Nicolle Perisho Photo by Nicolle Perisho
telur tidak dapat berkembang dengan baik. Pulau Tinjil memiliki tanah berpasir yang cukup banyak sehingga dapat menjadi tempat berkembang yang baik bagi telur Strongylid. Strongylid dapat menginfeksi inang apabila larva filariform menembus kulit inang dan menjadi larva migrant (Ancylostoma sp. dan Necator
sp.), namun ada pula cara lain bagi cacing ini untuk menginfeksi inangnya yaitu dengan cara telur infektif (Oesophagostomum sp.) dan larva infektif tertelan oleh inang (Ancylostoma sp. dan Necator sp.) (Ash dan Orihel 1990, Soulsby 1982).
Telur infektif Trichuris dapat bertahan di lingkungan yang sesuai selama beberapa tahun. Transmisi penyakit ini terjadi secara langsung yaitu dengan menelan telur infektif, kemudian larva akan menuju usus halus dan menjadi dewasa di usus besar (Soulsby 1982).
e. Peran manusia dalam transmisi kecacingan monyet di Pulau Tinjil
Untuk menjawab peran manusia sebagai faktor transmisi kecacingan di Pulau Tinjil, dapat dikaji dengan melihat besarnya prevalensi pada kandang yang berdekatan dengan aktivitas manusia. Berdasarkan gambar pada Lampiran 2 dapat dipelajari bahwa kandang 3, 4, 8, dan 10 merupakan kandang pakan yang relatif dekat dengan base camp manajemen penangkaran maupun berdekatan dengan pondok nelayan di Pulau Tinjil. Apabila dikaitkan dengan analisis Tabel 6 dapat dipelajari bahwa ternyata prevalensi kecacingan saluran pencernaan pada kandang-kandang tersebut tidak selalu lebih tinggi apabila dibandingkan dengan kandang-kandang lain yang jauh dari aktivitas manusia. Untuk sementara dapat disimpulkan bahwa faktor aktivitas manusia bukan merupakan faktor utama dalam transmisi kecacingan saluran pencernaan pada M. fascicularis di Pulau Tinjil.