• Tidak ada hasil yang ditemukan

Infeksi Cacing Saluran Pencernaan pada Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Pulau Tinjil

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Infeksi Cacing Saluran Pencernaan pada Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Pulau Tinjil"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

INFEKSI CACING SALURAN PENCERNAAN

PADA MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis)

DI PULAU TINJIL

DESSY CHRISNAWATY

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

DESSY CHRISNAWATY. 2008. Infeksi Cacing Saluran Pencernaan pada Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Pulau Tinjil. Di bawah bimbingan ELOK BUDI RETNANI dan R. P. AGUS LELANA.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi cacing saluran pencernaan pada monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di tempat penangkaran alami monyet ekor panjang Pulau Tinjil. Sebanyak 91sampel tinjamonyet yang diambil di sekitar 13 kandang pakan yang tersebar di Pulau Tinjil, diperiksa berdasarkan pul. Sampel yang diperiksa secara individu adalah sebanyak 56 sampel dari total sampel yang ada. Sampel yang diperoleh diperiksa terhadap jenis serta jumlah telur cacing dengan menggunakan metode modifikasi McMaster, flotasi dan sedimentasi. Dari 56 sampel yang diperiksa sebanyak 15 sampel (26,8%) positif kecacingan dengan infeksi tunggal maupun campuran. Hasil pemeriksaan kualitatif pada total sampel tinja ditemukan enam jenis telur cacing yaitu

Hymenolepis (1,47%), Ascaris (5,88%), Oxyurid (1,47%), Strongylid (2,94%), dan Trichuris (8,82%). Satu genus yang lain yaitu Schistosoma tidak dapat dihitung prevalensinya karena bukan merupakan sampel individu tetapi merupakan kumpulan (pul) dari beberapa sampel. Rataan derajat infeksi sebesar 73 TTGT dengan kisaran derajat infeksi 12-242 TTGT.

(3)

ABSTRACT

DESSY CHRISNAWATY. 2008. Long Tailed Macaque’s (Macaca fascicularis) Gastrointestinal Helminth Infection in Tinjil Island. Supervised by ELOK BUDI RETNANI and R. P. AGUS LELANA.

The goal of this research is to study the prevalence of gastrointestinal helminths infection of Macaca fascicularis in natural habitat breeding facility, Tinjil Island. Ninety one fecal samples that were collected from thirteen feeding stations in Tinjil Island, examined in group based on its fecal pool. Fifty six out of ninety one fecal samples were examined individually. Samples were examined using a modified McMaster, flotation, and sedimentation techniques in order to count EPG and identify the egg types. Out of 56 fecal sample, 15 samples (26,8%) was infected with six types of helminth, including Schistosoma (have no prevalence because is only examined by fecal pool), Hymenolepis (1,47%), Ascaris (5,88%), Oxyurid (1,47%), Strongylid (2,94%), and Trichuris (8,82%). The average number of EPG was 73, ranging from 12 to 242 EPG.

(4)

INFEKSI CACING SALURAN PENCERNAAN

PADA MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis)

DI PULAU TINJIL

DESSY CHRISNAWATY

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

(5)

Lembar Pengesahan

Judul Skripsi : Infeksi Cacing Saluran Pencernaan pada Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Pulau Tinjil

Nama : Dessy Chrisnawaty

NRP : B04104077

Disetujui

drh. Elok Budi Retnani, MS drh. R. P. Agus Lelana, SpMP. MSi Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui

Dr. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan FKH-IPB

(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 15 Desember 1986 sebagai anak kedua dari dua bersaudara pasangan Murtomo dan Merry Chrismiati.

Penulis menempuh pendidikan di SD Dharma Karya UT, Pondok Cabe pada tahun 1992-1998. Pada tahun 1998 melanjutkan pendidikannya di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri (SLTPN) 1 Pamulang, Tangerang. Pendidikan selanjutnya ditempuh di Sekolah Menengah Umum Negeri (SMUN) 74 Jakarta Selatan pada tahun 2001-2004. Kemudian tahun 2004, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Fakultas Kedokteran Hewan.

Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi pengurus Himpunan Profesi Satwaliar (2005-2006), pengurus Komunikasi Seni dan Teater Ilmiah (STERIL) (2005-2006), Ketua Divisi Infokom Himpro Satwaliar (2006-2007). Penulis juga aktif menjadi panitia kegiatan dalam maupun luar kampus.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan, penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi dengan judul: “Infeksi Cacing Saluran Pencernaan pada Monyet Ekor Panjang (Macaca

(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia, lindungan, bimbingan, kasih sayang serta limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan kegiatan penelitian dan penulisan skripsi ini. penelitian dan dosen pembimbing akademik atas segala nasehat dan bimbingannya selama penulisan skripsi maupun selama penulis menjadi mahasiswa.

5. Segenap Staf Laboratorium Helmintologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat FKH IPB yang telah banyak such a lovely sister, who always gives me a big support especially during this research.

8. Mariyam, yang telah memberikan kasih sayangnya semenjak penulis kecil.

(8)

10. Cory, Rendy, dan Randi atas semangat serta hiburannya. 11. Tante Ati, Mbak Sarah, dan Sapta atas segala bantuannya.

12. VA (Klacipta Damelka, Dewi Ayu Agustiyanti, Charunnisa, Dwi Taniar Graninggar, Tri Wijayanti, Lina Puspitasari), untuk bantuan dan dorongan semangatnya sehingga penulis dapat berusaha menyelesaikan tugas akhir ini dengan sebaik-baiknya.

13. Teman-teman penghuni kos Citra Asri Leuwikopo atas semua bantuannya.

14. Teman-teman Himpro SATLI atas segala saran dan bantuannya.

15. Teman-teman Asteroidea 41 yang sudah mau berbagi suka dan duka bersama.

16. Pihak-pihak yang tidak mungkin untuk disebutkan satu persatu yang turut membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Meskipun dalam penyusunannya sudah diusahakan sebaik mungkin, akan tetapi keterbatasan dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan berbagai kendala yang ada menyebabkan tulisan ini masih mengandung kekurangan. Penulis berharap semoga peneliti lain dapat mengetahui, memahami dan memperbaiki kekurangan tersebut.

Semoga tulisan hasil penelitian ini bermanfaat bagi yang memerlukannya.

Bogor, Oktober 2008

(9)

DAFTAR ISI

(10)

3.4.1 Metode McMaster ... 22

3.4.2 Metode Flotasi ... 22

3.4.3 Metode Sedimentasi dan Filtrasi ... 23

3.4.4 Identifikasi Telur Cacing Kuantitatif ... 24

3.5 Analisis Data ... 24

IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

4.1 Jenis-Jenis Cacing yang Ditemukan ... 25

4.2 Prevalensi ... 32

a. Prevalensi berdasarkan core area ... 32

b. Prevalensi berdasarkan jenis cacing ... 32

c. Prevalensi infeksi tunggal dan campuran cacing saluran pencernaan ... 33

d. Transmisi kecacingan ... 34

e. Peran manusia dalam transmisi kecacingan monyet di Pulau Tinjil ... 36

4.3 Derajat Infeksi ... 36

a. Derajat infeksi berdasarkan core area ... 36

b. Gambaran patogenesis kecacingan ... 39

V KESIMPULAN DAN SARAN ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 43

(11)

INFEKSI CACING SALURAN PENCERNAAN

PADA MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis)

DI PULAU TINJIL

DESSY CHRISNAWATY

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

ABSTRAK

DESSY CHRISNAWATY. 2008. Infeksi Cacing Saluran Pencernaan pada Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Pulau Tinjil. Di bawah bimbingan ELOK BUDI RETNANI dan R. P. AGUS LELANA.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi cacing saluran pencernaan pada monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di tempat penangkaran alami monyet ekor panjang Pulau Tinjil. Sebanyak 91sampel tinjamonyet yang diambil di sekitar 13 kandang pakan yang tersebar di Pulau Tinjil, diperiksa berdasarkan pul. Sampel yang diperiksa secara individu adalah sebanyak 56 sampel dari total sampel yang ada. Sampel yang diperoleh diperiksa terhadap jenis serta jumlah telur cacing dengan menggunakan metode modifikasi McMaster, flotasi dan sedimentasi. Dari 56 sampel yang diperiksa sebanyak 15 sampel (26,8%) positif kecacingan dengan infeksi tunggal maupun campuran. Hasil pemeriksaan kualitatif pada total sampel tinja ditemukan enam jenis telur cacing yaitu

Hymenolepis (1,47%), Ascaris (5,88%), Oxyurid (1,47%), Strongylid (2,94%), dan Trichuris (8,82%). Satu genus yang lain yaitu Schistosoma tidak dapat dihitung prevalensinya karena bukan merupakan sampel individu tetapi merupakan kumpulan (pul) dari beberapa sampel. Rataan derajat infeksi sebesar 73 TTGT dengan kisaran derajat infeksi 12-242 TTGT.

(13)

ABSTRACT

DESSY CHRISNAWATY. 2008. Long Tailed Macaque’s (Macaca fascicularis) Gastrointestinal Helminth Infection in Tinjil Island. Supervised by ELOK BUDI RETNANI and R. P. AGUS LELANA.

The goal of this research is to study the prevalence of gastrointestinal helminths infection of Macaca fascicularis in natural habitat breeding facility, Tinjil Island. Ninety one fecal samples that were collected from thirteen feeding stations in Tinjil Island, examined in group based on its fecal pool. Fifty six out of ninety one fecal samples were examined individually. Samples were examined using a modified McMaster, flotation, and sedimentation techniques in order to count EPG and identify the egg types. Out of 56 fecal sample, 15 samples (26,8%) was infected with six types of helminth, including Schistosoma (have no prevalence because is only examined by fecal pool), Hymenolepis (1,47%), Ascaris (5,88%), Oxyurid (1,47%), Strongylid (2,94%), and Trichuris (8,82%). The average number of EPG was 73, ranging from 12 to 242 EPG.

(14)

INFEKSI CACING SALURAN PENCERNAAN

PADA MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis)

DI PULAU TINJIL

DESSY CHRISNAWATY

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

(15)

Lembar Pengesahan

Judul Skripsi : Infeksi Cacing Saluran Pencernaan pada Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Pulau Tinjil

Nama : Dessy Chrisnawaty

NRP : B04104077

Disetujui

drh. Elok Budi Retnani, MS drh. R. P. Agus Lelana, SpMP. MSi Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui

Dr. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan FKH-IPB

(16)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 15 Desember 1986 sebagai anak kedua dari dua bersaudara pasangan Murtomo dan Merry Chrismiati.

Penulis menempuh pendidikan di SD Dharma Karya UT, Pondok Cabe pada tahun 1992-1998. Pada tahun 1998 melanjutkan pendidikannya di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri (SLTPN) 1 Pamulang, Tangerang. Pendidikan selanjutnya ditempuh di Sekolah Menengah Umum Negeri (SMUN) 74 Jakarta Selatan pada tahun 2001-2004. Kemudian tahun 2004, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Fakultas Kedokteran Hewan.

Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi pengurus Himpunan Profesi Satwaliar (2005-2006), pengurus Komunikasi Seni dan Teater Ilmiah (STERIL) (2005-2006), Ketua Divisi Infokom Himpro Satwaliar (2006-2007). Penulis juga aktif menjadi panitia kegiatan dalam maupun luar kampus.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan, penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi dengan judul: “Infeksi Cacing Saluran Pencernaan pada Monyet Ekor Panjang (Macaca

(17)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia, lindungan, bimbingan, kasih sayang serta limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan kegiatan penelitian dan penulisan skripsi ini. penelitian dan dosen pembimbing akademik atas segala nasehat dan bimbingannya selama penulisan skripsi maupun selama penulis menjadi mahasiswa.

5. Segenap Staf Laboratorium Helmintologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat FKH IPB yang telah banyak such a lovely sister, who always gives me a big support especially during this research.

8. Mariyam, yang telah memberikan kasih sayangnya semenjak penulis kecil.

(18)

10. Cory, Rendy, dan Randi atas semangat serta hiburannya. 11. Tante Ati, Mbak Sarah, dan Sapta atas segala bantuannya.

12. VA (Klacipta Damelka, Dewi Ayu Agustiyanti, Charunnisa, Dwi Taniar Graninggar, Tri Wijayanti, Lina Puspitasari), untuk bantuan dan dorongan semangatnya sehingga penulis dapat berusaha menyelesaikan tugas akhir ini dengan sebaik-baiknya.

13. Teman-teman penghuni kos Citra Asri Leuwikopo atas semua bantuannya.

14. Teman-teman Himpro SATLI atas segala saran dan bantuannya.

15. Teman-teman Asteroidea 41 yang sudah mau berbagi suka dan duka bersama.

16. Pihak-pihak yang tidak mungkin untuk disebutkan satu persatu yang turut membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Meskipun dalam penyusunannya sudah diusahakan sebaik mungkin, akan tetapi keterbatasan dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan berbagai kendala yang ada menyebabkan tulisan ini masih mengandung kekurangan. Penulis berharap semoga peneliti lain dapat mengetahui, memahami dan memperbaiki kekurangan tersebut.

Semoga tulisan hasil penelitian ini bermanfaat bagi yang memerlukannya.

Bogor, Oktober 2008

(19)

DAFTAR ISI

(20)

3.4.1 Metode McMaster ... 22

3.4.2 Metode Flotasi ... 22

3.4.3 Metode Sedimentasi dan Filtrasi ... 23

3.4.4 Identifikasi Telur Cacing Kuantitatif ... 24

3.5 Analisis Data ... 24

IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

4.1 Jenis-Jenis Cacing yang Ditemukan ... 25

4.2 Prevalensi ... 32

a. Prevalensi berdasarkan core area ... 32

b. Prevalensi berdasarkan jenis cacing ... 32

c. Prevalensi infeksi tunggal dan campuran cacing saluran pencernaan ... 33

d. Transmisi kecacingan ... 34

e. Peran manusia dalam transmisi kecacingan monyet di Pulau Tinjil ... 36

4.3 Derajat Infeksi ... 36

a. Derajat infeksi berdasarkan core area ... 36

b. Gambaran patogenesis kecacingan ... 39

V KESIMPULAN DAN SARAN ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 43

(21)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Jenis sumber pakan Macaca fascicularis yang terdapat di Pulau Tinjil ... 7 2 Jenis cacing saluran pencernaan pada satwa primata ... 9 3 Prevalensi parasit saluran pencernaan pada satwa primata ... 19 4 Jenis telur cacing yang ditemukan pada Macaca fascicularis di Pulau

Tinjil ... 25 5 Hasil pemeriksaan metode flotasi dan sedimentasi berdasarkan lokasi

kandang di Pulau Tinjil ... 26 6 Prevalensi setiap jenis telur cacing pada setiap kandang Macaca

fascicularis di Pulau Tinjil ... 32 7 Prevalensi infeksi tunggal dan campuran cacing saluran pencernaan

Macaca fascicularis di Pulau Tinjil ... 34

8 Derajat infeksi (TTGT) kecacingan saluran pencernaan pada Macaca

(22)

DAFTAR GAMBAR

(23)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Peta vegetasi di Pulau Tinjil ... 49 2 Peta transect line dan kandang Pulau Tinjil ... 50 3 Tabel pembagian pul sampel tinja Macaca fascicularis di Pulau

(24)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Pulau Tinjil digunakan sebagai habitat alami untuk perkembangbiakan

(natural habitat breeding facility/NHBF) monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang bebas simian retrovirus (SRV). Pembentukan

NHBF ini didorong oleh pertemuan WHO pada tahun 1981 yang memutuskan bahwa dalam pengembangan program penelitian biomedis internasional harus didukung dengan tersedianya suatu koloni monyet ekor panjang di negara habitatnya. Penangkaran ini juga diikuti dengan program konservasi populasi lain dari spesies yang sama. Pulau Tinjil dikelola oleh Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) Institut Pertanian Bogor (IPB) sejak tahun 1990 (Kyes et al. 1998).

Fasilitas di penangkaran tersebut meliputi base camp, rumah pekerja,

transect line (Lampiran 1), kandang pakan monyet, kandang penampungan monyet serta tempat penampungan air minum. Selain pegawai PSSP, beberapa kelompok nelayan juga ikut menetap di pantai Pulau Tinjil (Hernowo et al.

1989). Semua pegawai dan nelayan diharuskan bebas infeksi TBC sebelum memasuki pulau karena dapat menularkan penyakit kepada populasi monyet yang ada (zoonosis). Populasi monyet memperoleh tambahan pakan setiap harinya.

(25)

menjadi lemah dan menyebabkan mudah terinfeksi oleh agen penyakit lain (Levine 1990, Subekti 1993). Monyet yang digunakan untuk hewan model harus bebas dari infeksi kecacingan sehingga akurasi hasil penelitian yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan. Sehubungan dengan hal itu perlu dilakukan studi mengenai endoparasit saluran pencernaan pada monyet di Pulau Tinjil.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis cacing saluran pencernaan, prevalensi serta derajat infeksi secara total, menurut jenisnya maupun pada setiap kandang.

1.3 Manfaat

(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kondisi Umum Pulau Tinjil 2.1.1 Letak dan Luas

Pulau Tinjil memiliki luas 600 Ha dan terletak 16 km di sebelah selatan Muara Binuangeun, Kabupaten Pandeglang, Jawa Barat. Pulau ini secara geografis berada pada 6°50’20” LS dan 105°40’20” BT. Pulau ini secara administratif terletak di Desa Cikiruh Wetan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Propinsi Banten, Jawa Barat (Hermiati et al. 2004).

2.1.2 Kondisi Fisik

Pulau Tinjil umumnya bertopografi datar dengan ketinggian 0-5 mdpl. Jenis tanah yang ada di pulau ini terdiri dari Lithic Quartzipsamment, Lithic Ustipsamment, Haplustuit, Lithic Ustropept, dan Pluvaquentic Tropohemist. Jenis tanah ini memiliki karakteristik antara lain: kelas tekstur tanah kasar sampai sedang; struktur lepas, remah dan penjal; reaksi kemasaman tanah yang bersifat netral sampai alkalin; kedalaman lapisan tanah umumnya dangkal dan kandungan unsur natrium serta kalsium yang tinggi (Hermiati et al. 2004).

2.1.3 Flora

(27)

rendah, zona waru laut, zona sulatri, zona butun dan ketapang, zona pandan, dan zona bambu (Lampiran 2).

Menurut Asril et al. (1991), suhu rata-rata luar tajuk sebesar 27°C dengan kisaran sebesar 24,3-33 °C sedangkan suhu rata-rata dalam tajuk sebesar 26,8°C dengan kisaran sebesar 24,2-24,8°C. Kelembaban udara rata-rata di Pulau Tinjil 79% dengan kisaran 65-88%.

2.1.4 Fauna

Beberapa fauna asli yang ada di Pulau Tinjil adalah dari jenis burung, reptilia, mamalia dan arthropoda. Komposisi jenis burung di Pulau Tinjil terdapat sekitar 22 jenis diantaranya kuntul karang (Egretasacra), elang perut putih (Haliacetus leucogaster), mas (Caleonas nicobarica), raja udang kalung putih (Haleyon chloris) dan murung madu kuning (Nectarina jugularis). Beberapa jenis reptilia di Pulau Tinjil antara lain: biawak (Varanus salvator), kadal, ular sanca (Phyton sp.), ular tanah, dan ular hijau. Jenis satwa mamalia yang dapat di jumpai adalah tikus (Rattus sp.) dan kelelawar. Hewan dari filum Arthropoda yang terdapat di pulau ini antara lain: umang-umang (Pangurus sp.), kepiting tanah besar (Cardisoma

sp.), dan beberapa jenis serangga (Hermiati et al. 2004).

2.2Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) di Pulau Tinjil

Bibit induk (breeders) M. fascicularis untuk Pulau Tinjil berasal dari Sumatera Selatan, Palembang serta Jawa Barat. Sejumlah 520 ekor M. fascicularis

dewasa (58 jantan dan 462 betina) dilepaskan di Pulau Tinjil yang pada awalnya tidak dihuni oleh spesies ini, pada bulan Februari 1988 dan Desember 1994 (Kyes

et al. 1998). Semua monyet yang akan dilepaskan melalui proses karantina dan

viral screening (agar bebas SRV) termasuk juga physical examination, pemeriksaan umur (melalui erupsi pada gigi), tuberculin test serta pemeriksaan parasit intestinal (Pamungkas 1994).

(28)

1000-2000 ekor pada tahun 2008 (Iskandar E 2008, komunikasi pribadi). Penangkapan keturunannya dilakukan secara periodik yang selanjutnya digunakan untuk penelitian biomedik (Cawthon Lang 2006, Kyes et al. 1998).

2.3 Macaca fascicularis

2.3.1 Klasifikasi dan Penyebaran

Klasifikasi monyet ekor panjang menurut Dolhinow et al. (1999) :

Ordo : Primates

Subordo : Anthropoidea

Infraordo : Catarrhini

Superfamili : Cercopithecoidea Famili : Cercopithecidae Subfamili : Cercopithecinae

Genus : Macaca

Spesies : M. fascicularis (Raffles 1821)

(29)

Spesies ini dapat hidup di berbagai tempat sampai dengan ketinggian 2000 m di atas permukaan laut. Habitat mereka meliputi hutan primer, sekunder, pantai, mangrove, rawa serta daerah di sekitar aliran sungai. Spesies ini tidak takut dengan air dan merupakan perenang yang handal. M. fascicularis dapat hidup berdampingan dengan manusia dan sering menjarah hasil panen para petani (Nowak 1999, Rowe 1996).

2.3.2 Morfologi

Ciri-ciri umum M. fascicularis dewasa adalah yang jantan memiliki panjang tubuh antara 49,20-55,80 cm sedangkan yang betina antara 47,90-49,50 cm. Ukuran jantannya (3,15-5,30 kg) lebih besar daripada betinanya (2,80-3,62 kg). Ekornya lebih panjang daripada tubuhnya, sekitar 40-65 cm, karena itulah satwa ini juga sering disebut monyet ekor panjang (Fitriani 1992).

Rambut M. fascicularis dewasa baik jantan maupun betina berwarna coklat keabuan yang merata di seluruh tubuhnya dari kepala hingga ekor, kecuali pada bagian perut dan ekstremitas bagian dalam memiliki warna yang lebih terang. Rambut di atas kepala tumbuh ke arah belakang dan kadang berbentuk jambul. Kulit yang berada dibawah mata tidak berbulu (berbentuk segitiga), kemudian pada bagian pipi terdapat rambut yang mengarah ke depan. Rambut pipi pada individu jantan lebih lebat dibanding betina (Krisnawan 2000).

2.3.3 Pakan

(30)

biasanya disimpan terlebih dahulu di dalam kantung pipinya (cheek pouch) untuk dimakan kemudian. Buah atau biji yang dibawa sering jauh akibat dari gerakan yang dilakukan saat berpindah dari satu pohon ke pohon lain (Bennett 1995, Romauli 1993).

Pakan yang tersedia di Pulau Tinjil sangat beragam (Tabel 1). Ficus ampelas

merupakan vegetasi yang tersedia dan paling disukai (palatabilitasnya tinggi) apabila dibandingkan dengan jenis pakan lain (Romauli 1993).

Tabel 1 Jenis sumber pakan Macaca fascicularis yang terdapat di Pulau Tinjil

Asal Pakan

Jenis Pakan

Alam Buah Ki-ampelas (Ficus ampelas) Merbau (Intsia amboinensis)

(31)

adanya perlakuan penambahan pakan sehingga kematian akibat persaingan dalam mendapatkan pakan dapat berkurang (Fadilah 2003, Nowak 1999).

2.3.5 Tingkah Laku

Tingkah laku pada satwa primata biasanya dilihat sebagai model untuk tingkah laku manusia yang lebih sederhana. Hal ini ditunjang dengan masa hidup yang lebih singkat pada satwa primata dibandingkan dengan manusia, sehingga lebih mudah dilakukan penelitian (Nelson dan Jurmain 1988). Komunikasi antara satwa primata dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu bersuara, ekspresi/mimik muka dan isyarat tubuh. Satwa primata yang subordinate akan menunjukkan bagian belakang tubuh kepada satwa yang dominan, sedangkan tingkah laku menggoyangkan cabang atau pohon menandakan sikap agresif (Smith dan Mangkoewidjojo 1987).

(32)

Monyet jantan dewasa yang melakukan self grooming (merawat diri sendiri) dan allogroming (merawat diri individu lain) apabila mendapatkan ektoparasit maka akan diambil lalu dibuang ataupun dimakan. Pengambilan ektoparasit dapat dilakukan dengan tangan ataupun dengan mulut (Anggraeni 2003, Goosen 1987).

2.4Cacing Saluran Pencernaan pada Satwa Primata

Cacing yang dapat menginfeksi satwa primata adalah dari jenis trematoda, nematoda dan cestoda.

Tabel 2 Jenis cacing saluran pencernaan satwa primata

No. Jenis Cacing Parasit S Spesies Satwa Primata Sumber Trematoda

Rhesus monkey, Colobines 2, 5, 6, 11, 12

5. Hookworm Cercopithecus aethiops sabaeus,

Macaca nigra, Macaca tonkeana 3, 10

6. Trichostrongylus Rhesus monkey 11

7. Trypanoxyuris Allouatta pigra 14

8. Mammomonogamus Mandrillus sphinx, Orangutan 10, 12

9. Oesophagostomum Baboon, Colobines 1, 2

10. O. aculeatum Macaca 13

11. O. bifurcatum Macaca 13

12. O. stephanostomum Macaca, Gorilla, Simpanse 13 13. Enterobius sp. Baboon, Orangutan 1, 2, 9

Cestoda

(33)

pencernaan pada satwa liar, khususnya satwa primata di free ranging area dapat dengan mudah terjadi akibat feses yang tersebar dimana-mana. Feses dapat berasal dari spesies yang sama ataupun dari manusia. Hal ini dapat dengan mudah terjadi karena adanya habitat yang sama ataupun adanya invasi oleh manusia ke habitat satwa primata. Inang yang rentan terhadap infeksi cacing saluran pencernaan dapat dibedakan berdasarkan umur, jenis kelamin dan status sosial (dominan, subordinate) di dalam kelompok. Status fisiologis dapat pula mendukung terjadinya infeksi, misalnya betina dalam masa laktasi, gestasi dan bersiklus (Morgan et al. 1960, Cowlishaw et al. 2000, Phillippi 1992, Stuart dan Strier 1995).

2.4.1 Schistosoma japonicum

Distribusi geografis

Cacing ini ditemukan di Asia Timur, Asia Tenggara seperti RRC, Jepang, Filipina, Muangthai, Taiwan, Malaysia, dan Indonesia. Penyebarannya di Indonesia adalah di Sulawesi Tengah yaitu di sekitar Danau Lindu dan Lembah Napu (Kusumamihardja 1995, Onggowaluyo 2001).

Morfologi

Cacing jantan panjangnya 9,5-20 mm dan diameternya 0,55-0,967 mm. Cacing betina panjangnya 12-26 mm dan diameternya 0,3 mm. Cacing ini memiliki batil hisap yang terletak dekat ujung anterior dan sangat berdekatan satu sama lain. Cacing dewasa kulit tubuhnya halus, pada bagian batil hisap dan

(34)

Telur berbentuk bulat, berwarna kuning atau kuning kecoklatan, terdapat duri kecil di bagian lateral atau bentukan seperti kait. Duri atau kait ini tidak selalu terlihat saat pemeriksaan. Hal ini dapat terjadi karena tertutup oleh kotoran tinja serta saat pemeriksaan duri atau kait ini berada di sisi yang berbeda (Anonim 2008, Ash dan Orihel 1990, Onggowaluyo 2001).

Daur Hidup

Cacing dewasa terdapat pada cabang mesenterika superior usus halus manusia, sapi, kerbau, domba, anjing, tikus, dan lain-lain. Telur yang dikeluarkan cacing betina di dalam usus menembus jaringan submukosa dan mukosa kemudian masuk ke dalam lumen usus dan keluar bersama tinja. Telur yang berenang di dalam air tawar menetas dan membebaskan mirasidium yang berenang aktif. Mirasidium mencari inang antara (Onchomellania hupensis) yang sesuai dan menembus jaringan lunak pada siput tersebut. Mirasidium tersebut selanjutnya berkembang menjadi sporokista I dan sporokista II, kemudian menjadi larva yang ekornya bercabang (serkaria). Mirasidium tunggal dapat memproduksi beberapa ribu serkaria. Serkaria ini meninggalkan siput, dan berenang di air. Infeksi pada inang definitif dapat terjadi melalui penetrasi serkaria secara aktif pada kulit, yang kemudian akan menuju jaringan kapiler dan selanjutnya berturut-turut masuk ke dalam sirkulasi vena, jantung kanan, paru-paru, jantung kiri, dan ke sirkulasi sistemik (viseral) hingga menjadi dewasa. Infeksi pada inang dapat bertahan dalam jangka waktu lama, yaitu mencapai 27 tahun (Kusumamihardja 1995, Levine 1990, Onggowaluyo 2001).

2.4.2 Hymenolepis diminuta

(35)

berlobus dua dan sebuah porus genitalis pada satu sisi (unilateral) yang terletak di tepi lateral proglotid. Proglotid matang (gravid) mengandung uterus berbentuk kantong, melintang dan penuh berisi telur (Ash dan Orihel 1990, Onggowaluyo 2001).

Telurnya berbentuk bulat atau oval dan umumnya berwarna kuning. Telur ini juga memiliki dinding luar yang tebal, dinding dalam yang transparan dan pada kedua kutubnya menebal (tidak mengeluarkan filamen). Dinding dalamnya mengelilingi oncospher yang mempunyai enam kait. Ruangan antar membran umumnya terlihat halus atau sedikit bergranul (Anonim 2008, Ash dan Orihel 1990, Onggowaluyo 2001).

Daur Hidup

Telur yang terdapat dalam tinja tercerna di dalam inang antara yang berupa arthropoda. Inang antara utama adalah larva pinjal tikus dan mencit, serta kumbang tepung dewasa. Contoh inang antara lainnya adalah lipas, Myriapoda, kumbang dan Lepidoptera. Oncospher berkembang di dalam tubuh inang antara menjadi tahap larva yaitu sistiserkoid yang selanjutnya dapat menginfeksi inang definitif. Infeksi langsung terjadi akibat dari telur tanpa adanya peran inang perantara, seperti yang terjadi pada H. nana tidak mungkin terjadi. Waktu yang dibutuhkan dari tahap larva sampai menjadi cacing dewasa adalah tiga minggu (Ash dan Orihel 1990).

2.4.3 Ascaris lumbricoides

Distribusi geografis

Cacing ini tersebar di seluruh dunia (kosmopolit). Penyebarannya terutama di daerah tropis yang tingkat kelembabannya tinggi (Kusumamihardja 2002). Morfologi

(36)

kopulasi. Tubuh cacing A. lumbricoides ini berwarna putih sampai kuning kecoklatan dan diselubungi oleh lapisan kutikula yang bergaris halus (Ash dan Orihel 1990, Onggowaluyo 2001).

Telurnya memiliki empat bentuk, yaitu tipe dibuahi (fertilized), tidak dibuahi (unfertilized), matang, dan dekortikasi. Telur yang dibuahi berbentuk bulat atau ovoid, berwarna coklat atau kuning kecoklatan, memiliki dinding tebal yang terdiri dari dua lapis. Lapisan luarnya terdiri dari jaringan albuminoid, sedangkan lapisan dalamnya terlihat jernih. Lapisan luarnya memiliki tonjolan (mammilated layer/prominent projection) yang jelas. Telur yang tidak dibuahi berbentuk lonjong (terkadang ada yang berbentuk triangular atau bentuk seperti ginjal) dan biasanya lebih panjang daripada tipe yang dibuahi serta memiliki dinding luar yang lebih tipis. Isi telur berupa massa sel telur. Telur matang yang berisi larva atau embrio akan menjadi infektif setelah berada ditanah kurang lebih selama tiga minggu. Telur dekortikasi adalah telur yang tidak mengalami pembuahan tetapi lapisan luarnya (albumin) sudah hilang (Anonim 2008, Onggowaluyo 2001, Soulsby 1982).

Daur Hidup

(37)

2.4.4 Enterobius vermicularis tunggal yang ramping mencapai panjang 75-80 µm. Panjang cacing betina 8-13 mm dan lebar 0,3-0,5 mm dengan ekor yang runcing dengan panjang sekitar 2 mm (Ash dan Orihel 1990, Levine 1990).

Telurnya berbentuk lonjong, asimetris, dan salah satu sisi dindingnya mendatar sedangkan sisi lainnya berbentuk konvek. Dinding telurnya jernih dan tipis. Telur cacing jenis ini sebagian besar telah berembrio saat dikeluarkan

(Anonim 2008, Ash dan Orihel 1990, Levine 1990). Daur Hidup

Cacing jantan umurnya lebih pendek daripada cacing betina karena cacing jantan akan mati setelah membuahi cacing betina. Proses kopulasi cacing jantan dan betina terjadi di daerah sekum. Cacing betina akan bergerak ke anus pada waktu malam dan bertelur di bagian perianal dan perineum. Waktu yang diperlukan dari telur yang berembrio sampai menjadi bentuk infektif adalah sekitar 4-6 jam atau sekitar 2 hari pada 24-25°C. Transmisi infeksi dari telur biasanya dapat terjadi secara langsung ke mulut oleh tangan. Parasit ini berkembang di saluran intestinal bagian bawah dan memiliki periode prepaten 36-53 hari. Cacing dewasa parasit ini biasanya dapat hidup selama beberapa bulan (Ash dan Orihel 1990, Levine 1990).

2.4.5 Strongylid (hookworm)

(38)

a. Ancylostoma duodenale (old world hookworm) dan Necator americanus (new

world hookworm)

Bagian anterior cacing dewasa memiliki kapsula bukal. Telur pada kedua spesies ini memiliki selubung yang tipis, tidak berwarna serta berbentuk oval atau elips (Levine 1990).

a1. Ancylostoma duodenale (old world hookworm)

Distribusi geografis

Cacing ini tersebar secara kosmopolitan, diantaranya ditemukan di Eropa bagian selatan, bagian utara Afrika, Cina, India, dan Jepang. Penyebarannya juga terjadi secara sporadis di beberapa daerah lain (Ash dan Orihel 1990, Onggowaluyo 2001, Soulsby 1982).

Morfologi

Cacing jantan dewasa memiliki panjang 8-11 mm dan lebar 0,4-0,5 mm, terdapat bursa dengan dua spikula yang tidak menyatu pada bagian distal. Cacing betinanya berukuran (10-13x0,5-0,7) mm. Kapsula bukal berisi dua pasang gigi ventral yang berkembang baik dan sepasang gigi dorsal dikedalamannya (Ash dan Orihel 1990, Levine 1990).

Larvanya memiliki beberapa tahap perkembangan. Larva tahap pertama (rhabditoid) yang menetas dari telur, berukuran (250-350x17) µm. Larva ini mempunyai buccal canal yang panjang dan genital primordium yang berukuran kecil. Ukuran panjang larva infektif (tahap ketiga/filariform) adalah 625-675 µm. Larva ini memiliki ujung ekor yang membengkok dan rasio panjang esofagus dibandingkan dengan panjang usus adalah 1:4 (Ash dan Orihel 1990).

(39)

pemotong ventral semiluner pada tepinya, dua lancet segitiga, dan dua lanset subdorsal (lateral) di dalamnya. Telur ini saat dikeluarkan bersama feses biasanya baru mengalami pembelahan awal (Ash dan Orihel 1990, Levine 1990).

Larvanya memiliki beberapa tahap perkembangan. Larva tahap pertama (rhabditoid) yang menetas dari telur, berukuran (250-350x17) µm. Larva ini mempunyai buccal canal yang panjang dan genital primordium yang berukuran kecil dan sulit untuk terlihat. Ukuran panjang larva infektif (tahap ketiga/filariform) adalah 580-620 µm. Larva ini memiliki ujung ekor yang membengkok dan rasio panjang esofagus dibandingkan dengan panjang usus adalah 1:4 (Ash dan Orihel 1990).

Daur Hidup Ancylostoma duodenale (old world hookworm) dan Necator

americanus (new world hookworm)

Telurnya akan dikeluarkan bersama feses dan berkembang di tanah yang kemudian akan berkembang menjadi embrio dan menetas selama kurang lebih sekitar 24 jam. Larva akan mencapai tahap infektif setelah 1 minggu dan dapat menginfeksi tubuh inang melalui mulut atau melalui penetrasi langsung ke kulit. Larva, saat melewati paru-paru tidak akan mengalami perkembangan. Larva akan menjadi dewasa di usus halus. Masa prepatennya adalah 5-6 minggu.

(40)

Daur Hidup

Larva infektif (stadium tiga) yang tertelan akan berkembang menjadi larva stadium empat di usus halus, kemudian masuk ke dalam mukosa usus besar sehingga mengakibatkan timbul nodul kecil (Levine 1990).

2.4.6 Trichuris trichiura Distribusi geografis

Cacing ini tersebar luas di seluruh dunia namun biasanya banyak ditemukan di daerah beriklim tropis yang lembab dan panas (Ash dan Orihel 1990).

Morfologi

Cacing dewasa betina panjangnya 35-50 mm, sedangkan cacing dewasa jantan panjangnya 30-45 mm. Parasit ini sering disebut cacing cambuk karena bagian anterior panjang dan ramping sedangkan bagian posterior lebih tebal. Cacing dewasa betina memiliki bagian posterior yang lurus, sedangkan cacing jantannya memiliki bagian posterior yang menggulung (Ash dan Orihel 1990, Soulsby 1982). Telur cacing ini berwarna kuning sampai coklat. Bentuknya seperti tempayan dan kedua ujungnya dilengkapi dengan polar plug dari bahan mukus yang jernih (Anonim 2008, Ash dan Orihel 1990, Onggowaluyo 2001). Daur Hidup

(41)

2.5 Prevalensi Cacing Parasit Saluran Pencernaan pada Satwa Primata Prevalensi (P) merupakan jumlah dari penyakit yang terjadi pada populasi yang diketahui, pada waktu tertentu. Prevalensi dapat diartikan sebagai jumlah hewan yang terinfeksi (%) namun dapat pula diartikan sebagai jumlah dari hewan yang sakit dibandingkan dengan jumlah populasi beresiko. P = jumlah yang sakit x 100%

jumlah populasi

Penghitungan prevalensi ini dapat berguna untuk mengetahui ada atau tidaknya suatu penyakit di dalam suatu populasi (Thrushfield 2005).

Prevalensi erat kaitannya dengan transmisi penyakit. Transmisi dapat terjadi dengan baik dengan adanya tiga faktor yaitu agen penyakit, lingkungan yang mendukung serta inang yang rentan. Transmisi penyakit dapat terjadi secara horizontal maupun vertikal. Transmisi horizontal terjadi antara individu yang satu ke individu lain, dibagi dua yaitu secara langsung (kontak fisik) dan tidak langsung (vektor). Transmisi vertikal terjadi dari satu generasi ke generasi yang lain ke embrio atau fetus saat sedang mengalami perkembangan di uterus (mamalia) atau di dalam telur (avian, reptil, amfibi, ikan dan arthropoda) (Thrushfield 2005).

(42)

Tabel 3 Prevalensi parasit saluran pencernaan pada satwa primata

No. Jenis cacing

Prevalensi (%)

M. nigra1 M.tonkeana1 Mandrillus sphinx 5

Cercopithecus

aethiops sabaeus3 M. mulatta (1) 4

M. mulatta (2)2

1 Ascaris 5.5 5.7

2 Trichuris sp. 3.7 <1 52.8 17.3 12

3 Strongyloides sp. 62.4 11.7 57

4 Hookworm 5.5 7.4 34

5 Trichostrongylus 3.8

6 Mammomonogamus <1

7 Oesophagostomum 30.2

(43)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu

Pengumpulan sampel penelitian di Stasiun Lapangan Pulau Tinjil, Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) LPPM-IPB dilaksanakan pada tanggal 30 Januari sampai dengan 15 Februari 2008. Pemeriksaan sampel dilakukan pada bulan Februari-Mei 2008 di Laboratorium Helmintologi, Bagian Parasitologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat (IPHK), Fakultas Kedokteran Hewan (FKH), Institut Pertanian Bogor (IPB).

3.2 Rancangan Penelitian

(44)

Pengumpulan sampel dilakukan secara acak pada lantai kandang pakan atau lantai hutan sekitar kandang pakan di 13 core area yang (Lampiran 2) yang tersebar di Pulau Tinjil. Core area adalah daerah yang paling sering disinggahi monyet. Kandang-kandang di Pulau Tinjil tersebut dikontrol oleh petugas lapang melalui jalan setapak (transect line).

Sampel yang diambil adalah sampel segar atau yang berumur kurang dari dua hari untuk menghindari telur cacing yang menetas dan berubah menjadi larva. Sampel tinja yang diambil dimasukkan ke dalam kantung plastik bening dan ditambahkan dengan alkohol 70% (Ancrenaz et al. 2003), kemudian disimpan dalam cooler box yang berisi jelly pack beku. Perlu menjadi catatan bahwa sampel tinja yang diambil tersebut tidak memiliki data status umur maupun jenis kelamin (sex) dari individu M. fascicularis. Data yang disertakan pada saat pengambilan sampel adalah data mengenai waktu pengambilan, lokasi core area serta konsistensi tinja.

Peubah yang diukur dari sampel tersebut adalah jenis cacing, prevalensi, dan derajat infeksi. Jenis cacing ditentukan berdasarkan teknik identifikasi, sedangkan prevalensi dan derajat infeksi ditentukan dengan menghitung TTGT yang diperoleh berdasarkan metode McMaster, flotasi, dan sedimentasi. Untuk dapat melaksanakan metode tersebut, berat setiap sampel harus diperiksa dan harus memenuhi berat minimal 1,5 gram. Dari 91 sampel, ternyata yang memenuhi syarat adalah 56 sampel dan dapat dihasilkan 56 data individu monyet.

(45)

terdiri dari kandang 1 dan 13. Pul 6 terdiri dari kandang 5 dan 7. Setiap pul diperiksa dengan metode flotasi dan sedimentasi. Keterangan lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 3.

Selain pengamatan terhadap zonasi, dalam penelitian ini juga diperhatikan letak kandang terhadap aktivitas manusia di Pulau Tinjil. Aktivitas tersebut umumnya dikelompokkan menjadi dua, yaitu aktivitas manajemen penangkaran monyet dan aktivitas nelayan, yang secara umum terkonsentrasi di empat tempat yaitu base camp, Pondok Japiah, Pondok Gede, dan Pondok Rancak (Lampiran 2).

3.3 Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan untuk mengawetkan sampel tinja di lapangan yaitu alkohol 70%, es balok, dan jelly pack beku. Alat yang digunakan di lapangan yaitu kantung plastik ukuran ½ kg, spidol permanen, label nama, cooler box, tisu gulung, pipet, dan kamera digital.

Bahan yang digunakan di laboratorium adalah tinja Macaca fascicularis, air, larutan gula garam jenuh, larutan garam 1,2%, dan KOH 10%. Sedangkan alat yang digunakan di laboratorium antara lain: timbangan digital, gelas plastik, saringan sendok, vortex, sentrifugator, pompa vacuum (penyedot), penyemprot, filter bertingkat (400 µm, 100 µm, dan 40 µm), mikroskop cahaya, mikroskop

video micrometer, syringe, pipet, label nama, cawan petri bergaris, tisu gulung, gelas obyek, cover glass, kamera digital, gelas sedimentasi (gelas Baermann), dan lemari es (refrigerator).

3.4 Metode Penelitian di Laboratorium 3.4.1 Metode McMaster

(46)

dengan rumus :

n x Vt TTGT =

Vk x Bf

Keterangan :

n : jumlah telur cacing dalam kamar hitung Vk : volume kamar hitung (0,3)

Vt : volume sampel total Bf : berat tinja (1) (Whitlock 1948)

3.4.2 Metode Flotasi

(47)

sama diulang sehingga diperoleh supernatan yang jernih. Sedimen yang tersisa ditambah larutan garam 1,2% kemudian disaring dengan menggunakan saringan bertingkat berukuran 45, 100, dan 400 µ. Proses penyaringan juga dibantu menggunakan penyemprot yang berisi garam 1,2%. Sedimen yang tersaring pada ukuran 45 µ dibilas dengan larutan garam 1,2% dan dimasukkan ke dalam cawan petri, kemudian diperiksa di bawah mikroskop cahaya (Willingham et al. 1998).

3.4.4 Identifikasi Jenis Telur Cacing

Identifikasi jenis telur cacing dapat dilakukan dengan menentukan tipe telur pada preparat pemeriksaan berdasarkan metode McMaster, flotasi, dan sedimentasi. Penentuan tipe telur dapat dilihat dari morfologi khas yang terdapat pada masing-masing jenis telur; contohnya ciri dari kerabangnya misalnya tipis, tebal, ada lapisan albumin (Ascaris), memiliki polar plug (Trichuris, Capillaria), operculum (Fasciola sp.), oncosphere (Hymenolepis, Taenia), terdapat larva (Strongyloides, Oxyurid), dan berduri (Schistosoma sp.). Kemudian telur yang didapat diukur panjang dan lebarnya menggunakan video mikrometer dan akan dibandingkan secara morfologi terhadap telur cacing parasitik yang sudah diketahui.

3.5 Analisis Data

Jenis-jenis cacing yang ditemukan (menurut total, perkandang dan per pul), prevalensi (menurut total, perkandang, jenis pada setiap kandang) serta derajat infeksi kecacingan (menurut total, perkandang, jenis pada setiap kandang) dianalisis secara statistik deskriptif.

(48)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Jenis-Jenis Telur Cacing yang Ditemukan

Berdasarkan identifikasi terhadap tipe telur cacing, dari 91 sampel tinja ditemukan enam jenis telur cacing, yaitu Trematoda (Schistosoma), Cestoda (Hymenolepis), dan Nematoda (Ascaris, Oxyurid, Strongylid, dan Trichuris). Jenis telur cacing tersebut secara lengkap disajikan pada Tabel 4, untuk jenis telur cacing yang diidentifikasi berdasarkan metode McMaster, flotasi dan sedimentasi, dan Tabel 5 untuk jenis telur cacing yang diidentifikasi berdasarkan metode flotasi dan sedimentasi.

Tabel 4 Jenis telur cacing yang ditemukan pada Macaca fascicularis di Pulau Tinjil beserta pustaka acuannya

No Jenis Telur

Cacing Rataan

Pustaka Acuan

Rataan Sumber

1 Hymenolepis (71.6-83.25)x(55.05-59.5) (70-86)x(60-80) Anonim 2008, Ash dan Orihel

4 Oxyurid (71.5)x(35.05) (50-60)x(20-32) Anonim 2008

5 Strongylid (53-75.3)x(35.7-50) (60-80)x(27-55) Anonim 2008, Levine 1990, Soulby 1982 6 Trichuris (41.9-57.6)x(22.1-26.5) (46-65)x(20-29) Anonim 2008 7 Schistosoma

sp.

(49)

Oxyurid, Strongylid, dan Trichuris yang menginfeksi pencernaan satwa primata pernah dilaporkan oleh Appleton dan Henzi (1993), Chapman et al. (2005), Engel et al. (2004), Joslin (2003), Melfi dan Poyser (2007), Michaud et al. (2003), Muehlenbein (2005), Mul et al. (2007), Mutani et al. (2003), Phillippi dan Clarke (1992), Setchell et al. (2007), Vitazkova dan Wade (2007).

Penularan parasit cacing yang menular pada monyet ekor panjang di Pulau Tinjil masih dimungkinkan, karena monyet ekor panjang hidup 97% secara arboreal dan 3% secara terestrial (Wheatley 1980), sehingga monyet tersebut dapat terkena kecacingan.

Tabel 5 Hasil pemeriksaan metode flotasi dan sedimentasi tinja Macaca fascicularis berdasarkan lokasi kandang di Pulau Tinjil Keterangan = A (hutan hujan tropis dataran rendah)

B (waru laut)

Jenis telur Hymenolepis yang ditemukan pada sampel tinja secara visualitatif disajikan pada Gambar 3. Telur tersebut berbentuk bulat atau oval, pada umumnya berwarna kuning, memiliki oncosphere berkait enam yang dikelilingi oleh suatu membran yang bagian dalamnya terlihat transparan dan terpisah dari membran luar seperti yang digambaran oleh Ash dan Orihel (1990).

(50)

telur tersebut lebih mirip dengan jenis telur H. diminuta daripada jenis telur H. Nana. Hal ini dikarenakan secara mikroskopik tidak ditemukan adanya filamen pada kedua kutub membran sebelah dalam (Brown 1979).

Berdasarkan sumber sampel tinja, jenis telur cacing ini kemungkinan besar berasal dari kelompok monyet yang sering berada di core area sekitar kandang 10 yang letaknya berdekatan dengan Pondok Rancak dan berada di zona hutan hujan tropika dataran rendah (Lampiran 1).

Gambar 3 Telur Hymenolepis

b. Ascaris

Telur Ascaris yang ditemukan pada sampel tinja ada dua jenis yaitu telur

(51)

Genus ini juga di simetris dengan salah satu dindingnya rata. D rwarna. Telur biasanya berisi larva atau embrio

elur Oxyurid Gambar 7 Telur S

(52)

Oxyurid) ditemukan pada Allouatta pigra. Selain Trypanoxyuris, genus lain yang pernah dilaporkan adalah Enterobius sp. Spesies ini ditemukan pada

Baboon dan Orangutan (Appleton dan Henzi 1993, Chapman et al. 2005, Mul et al. 2007).

d. Strongylid

Jenis telur yang ditemukan pada sampel tinja secara visualitatif disajikan pada Gambar 7. Telurnya berbentuk oval atau elips, tidak berwarna tetapi didalamnya terlihat sel yang berwarna keabuan. Sel tersebut dapat berjumlah 4, 8, 16 atau lebih, terkadang ada pula embrio yang terlihat. Telur Strongylid akan berkembang baik pada kondisi tanah yang sedikit berpasir, tanah yang lembab sedangkan pada kondisi tanah liat dan berkerikil, telur tidak dapat berkembang dengan baik (Anonim 2008, Soulsby 1982).

Sebagaimana disajikan pada Tabel 4, ukuran telur Strongylid dari sampel tersebut adalah sebesar 53-75,3 x 35,7-50 µm (Tabel 4). Berdasarkan analisis Tabel 6 dan 8, telur ini terdapat di kelompok monyet yang sering berada di core area sekitar kandang 4 dan 8 yaitu di zona hutan hujan tropika dataran rendah (Lampiran 1). Berdasarkan ukuran telur cacing yang ditemukan diduga telur cacing tersebut terdiri dari beberapa genus (Ancylostoma sp., Necator sp.,

Oesophagostomum sp.). Appleton dan Henzi (1993) serta Chapman et al. (2005) melaporkan adanya Oesophagostomum pada Baboon, Colobines. Strongylid yang lain juga ditemukan pada Cercopithecus aethiops sabaeus, Macaca nigra, Macaca tonkeana (Engel et al. 2004, Mutani et al. 2003).

(53)

(kelompok monyet

et yang sering berada di core area sekitar kand ika dataran rendah (kelompok monyet yang s kandang 4, 6, dan 9). Menurut Soulsby (1 itemukan pada manusia dan simian primates.

n pada Rhesus monkey (Phillippi dan Clarke 1 ada Mandrillus sphinx dan Colobus guereza tid dan Poyser 2007, Setchell et al. 2007).

Trichuris Gambar 9 Telur Tri

telur cacing yang lain yaitu Schistosoma

nggunakan metode sedimentasi karena telur b l 5).

pengamatan mikroskopik pada prepara t terlihat adanya satu jenis telur cacing dari k

(54)

Gambar 10 Telur Schistosoma sp.

Berdasarkan ciri-ciri morfologi yang disampaikan oleh Ash dan Orihel (1990) dan Onggowaluyo (2001), diduga jenis telur ini merupakan spesies

Schistosoma japonicum. Menurut Soulsby (1982), cacing ini dapat menginfeksi manusia maupun satwa liar selain ruminansia, kuda, babi, rodensia dan karnivora. Menurut Appleton dan Henzi (2003) genus ini pernah ditemukan pada Baboon yang tinggal di Afrika Selatan. Walaupun spesies satwa primata ini berbeda dengan monyet ekor panjang, namun keduanya masih merupakan satu subfamili yaitu Cercopithecinae.

Berdasarkan sumber sampel tinja sebagaimana disajikan pada Tabel 5, jenis telur ini besar kemungkinan berasal dari monyet yang sering berada pada core area yang terletak pada daerah zona butun dan ketapang (pul 4) yaitu kandang 3 dan pada daerah zona sulatri (pul 5) yaitu pada kandang 1 dan 3.

Bila identifikasi ini benar, maka Pulau Tinjil merupakan daerah baru bagi penyebaran cacing Schistosoma sp, mengingat daerah penyebaran cacing

(55)

4.2 Prevalensi

Berdasarkan temuan jenis telur cacing di Pulau Tinjil, sebagaimana disajikan pada analisis Tabel 6, maka total prevalensi kecacingan saluran pencernakan pada monyet adalah sebesar 26,8%.

Tabel 6 Prevalensi kecacingan saluran pencernaan pada Macaca fascicularis berdasarkan lokasi kandang di Pulau Tinjil Hymenolepis Ascaris Oxyurid Strongylid Trichuris

1 4 0 0 0 0 25 25

Berdasarkan analisis Tabel 6, maka angka prevalensi tertinggi sampai terendah berturut-turut terjadi pada kelompok monyet yang sering berada pada core area di sekitar kandang 9 (100%), kandang 4 (50%), kandang 2 (33,33%), kandang 10 (33,33%), dan kandang 8 (14,28%). Pada kelompok monyet yang sering berada pada core area di sekitar kandang 5, 7, 12, dan 13, berdasarkan penelitian ini tidak terdeteksi adanya kecacingan. Sedangkan pada kelompok monyet yang berada pada core area sekitar kandang 11 tidak bisa dilakukan perhitungan tingkat prevalensi karena tidak dilakukan pemeriksaan TTGT.

b. Prevalensi berdasarkan jenis cacing

(56)

Trichuris (8,82%), Ascaris (5,88%), Strongylid (2,94%), Hymenolepis (1,47%), danOxyurid(1,47%). Laporan tentang prevalensi jenis cacing pada satwa primata lain juga pernah dilaporkan oleh Engel et al. (2004), Michaud (2003), Muehlenbein (2005) yaitu Trichuris (3,7%), Ascaris (8,3%), Strongylid (7,4%),

Hymenolepis (1,7%), danOxyurid(0,8%).

Berdasarkan analisis Tabel 6 dapat juga dipelajari tingkat prevalensi setiap jenis cacing pada kelompok monyet setiap kandang. Kelompok monyet yang sering berada di kandang 1, 6, dan 9 mengalami infeksi Trichuris sebesar 25%, 12,5%, dan 100%. Kelompok monyet yang sering berada di kandang 2, 3, dan 10 terinfeksi Ascaris (33,3%), Oxyurid (12,5%), Hymenolepis (33,3%). Kelompok monyet yang sering berada di kandang 4 terinfeksi Ascaris (20%), Strongylid (20%), dan Trichuris (10%). Kelompok monyet yang sering berada di kandang 8 terinfeksi oleh Ascaris (14,28%) dan Strongylid (14,28%).

c. Prevalensi infeksi tunggal dan campurancacing saluran pencernaan

Prevalensi infeksi kecacingan tunggal dan campuran dapat dilihat pada Tabel 7. Prevalensi infeksi kecacingan tunggal tertinggi adalah disebabkan oleh

(57)

d. Transmisi kecacingan

Prevalensi infeksi cacing saluran pencernaan dipengaruhi oleh transmisi penyakit, sehingga berhubungan erat dengan siklus hidup dari masing-masing cacing tersebut. Rute infeksi dapat terjadi melalui mulut dan kulit. Metode dari transmisi dapat terjadi melalui pencernaan dan kontak langsung dengan agen infektif (Thrushfield 2007).

Infeksi Hymenolepis terjadi secara tidak langsung yaitu melalui inang antara arthropoda (larva pinjal tikus, larva pinjal mencit, kumbang tepung dewasa, lipas, Myriapoda, kumbang dan Lepidoptera). Tinja yang mengandung telur cacing termakan oleh arthropoda, kemudian telur akan menetas dan mengeluarkan oncospher yang akan berkembang menjadi larva sistiserkoid (infektif). Inang definitif akan terkena apabila memakan arthropoda yang terinfeksi tersebut (Ash dan Orihel 1990, Onggowaluyo 2001). Arthropoda bukanlah makanan bagi monyet ini, akan tetapi tingkah lakunya yaitu merawat diri memungkinkan sistiserkoid masuk ke dalam tubuhnya. Menurut Anggraeni (2003) dan Iskandar (1993), tingkah laku ini dilakukan saat monyet beristirahat yaitu dengan melakukan grooming menggunakan tangan ataupun mulut dalam bentuk mencari kotoran-kotoran, serpihan kulit kering, dan parasit eksternal, dari rambut satwa lain ataupun dari rambut sendiri

(58)

Gambar 11 Monyet sedang melakukan grooming

Stadium infektif Ascaris merupakan larva stadium kedua yang tidak menetas. Larva stadium kedua (infektif) apabila tertelan oleh inang akan menetas di dalam usus. Larva menembus dinding usus dan pergi menuju hati melalui sistem portal hepatik, kemudian akan berubah menjadi larva stadium tiga dalam 4-5 hari. Larva akan menuju jantung dan paru-paru melalui aliran darah, kemudian akan berkembang lebih lanjut pada paru-paru. Larva keluar dari kapiler alveolus menuju alveolus dan akan melewati duktus alveolus ke bronkiolus, bronkus, dan trakea. Puncak dari perpindahan ini terlihat sekitar 12 hari sesudah infeksi (Levine 1990, Soulsby 1982).

Infeksi Oxyurid biasanya terjadi melalui transmisi telur secara langsung ke mulut dari tangan. Makanan dan minuman yang tercemar dapat juga sebagai sumber penularan. Telur ini dapat berasal dari luar ataupun berasal dari tubuh sendiri yang tidak sengaja terbawa oleh tangan setelah menggaruk bagian perianal maupun perineal. Hal ini biasa terjadi akibat pruritus yang disebabkan saat cacing

(59)

telur tidak dapat berkembang dengan baik. Pulau Tinjil memiliki tanah berpasir yang cukup banyak sehingga dapat menjadi tempat berkembang yang baik bagi telur Strongylid. Strongylid dapat menginfeksi inang apabila larva filariform menembus kulit inang dan menjadi larva migrant (Ancylostoma sp. dan Necator

sp.), namun ada pula cara lain bagi cacing ini untuk menginfeksi inangnya yaitu dengan cara telur infektif (Oesophagostomum sp.) dan larva infektif tertelan oleh inang (Ancylostoma sp. dan Necator sp.) (Ash dan Orihel 1990, Soulsby 1982).

Telur infektif Trichuris dapat bertahan di lingkungan yang sesuai selama beberapa tahun. Transmisi penyakit ini terjadi secara langsung yaitu dengan menelan telur infektif, kemudian larva akan menuju usus halus dan menjadi dewasa di usus besar (Soulsby 1982).

e. Peran manusia dalam transmisi kecacingan monyet di Pulau Tinjil

Untuk menjawab peran manusia sebagai faktor transmisi kecacingan di Pulau Tinjil, dapat dikaji dengan melihat besarnya prevalensi pada kandang yang berdekatan dengan aktivitas manusia. Berdasarkan gambar pada Lampiran 2 dapat dipelajari bahwa kandang 3, 4, 8, dan 10 merupakan kandang pakan yang relatif dekat dengan base camp manajemen penangkaran maupun berdekatan dengan pondok nelayan di Pulau Tinjil. Apabila dikaitkan dengan analisis Tabel 6 dapat dipelajari bahwa ternyata prevalensi kecacingan saluran pencernaan pada kandang-kandang tersebut tidak selalu lebih tinggi apabila dibandingkan dengan kandang-kandang lain yang jauh dari aktivitas manusia. Untuk sementara dapat disimpulkan bahwa faktor aktivitas manusia bukan merupakan faktor utama dalam transmisi kecacingan saluran pencernaan pada M. fascicularis di Pulau Tinjil.

4.3 Derajat Infeksi

a. Derajat infeksi berdasarkan core area

(60)

diperiksa dalam keadaan sakit. Populasi primata dapat terinfeksi parasit tanpa efek yang merugikan. Cacing parasit dan telur cacing tidak selalu diekskresikan di tinja, sehingga hasil pemeriksaan yang negatif tidak selalu mengindikasikan bahwa tidak ada infeksi cacing saluran pencernaan karena ada kemungkinan individu sampel belum memasuki tahap mengeluarkan telur cacing saluran pencernaan saat pengambilan sampel dilakukan.

Menurut Kusumamihardja (1995), untuk mengetahui derajat infeksi perlu dilakukan pemeriksaan telur tiap gram tinja (TTGT). Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi nilai TTGT diantaranya adalah (1) Kepadatan atau konsistensi tinja hewan yang bervariasi, tinja kering, lembek, kadang-kadang encer. (2) Banyaknya tinja yang dikeluarkan setiap hari oleh hewan seringkali berbeda. (3) Produksi telur harian tiap jenis cacing berbeda. (4) Produksi telur dari satu jenis cacingpun berbeda antara berbagai waktu, misalnya antara siang dan malam. (5) Distribusi telur dalam tinja tidak selalu merata. (6) Produksi telur cacing tua dan muda berbeda, sehingga perbedaan komposisi keduanya juga berpengaruh.

(61)

Berdasarkan Tabel 8 dapat dipelajari adanya kelompok monyet yang sering berada pada kandang tertentu diinfeksi oleh lebih dari satu jenis parasit cacing. Misalnya, pada kelompok monyet yang sering berada pada kandang 4 mengalami infeksi dari jenis Ascaris, Strongylid, dan Trichuris dengan rataan derajat infeksi sebesar 19 TTGT, 19 TTGT, dan 39 TTGT. Pada kelompok monyet yang sering berada pada kandang 8 mengalami infeksi dari jenis Ascaris dan Strongylid dengan rataan derajat infeksi sebesar sebesar 14 TTGT dan 28 TTGT. Pada kelompok monyet yang sering berada pada kandang 10 mengalami infeksi dari jenis Hymenolepis dengan rataan derajat infeksi 193 TTGT.

Tabel 8 Derajat infeksi (TTGT) kecacingan saluran pencernaan pada Macaca fascicularis berdasarkan lokasi kandang di Pulau Tinjil Hymenolepis Ascaris Oxyurid Strongylid Trichuris

1 4 0 0 0 0 242

(62)

b. Gambaran patogenesis kecacingan

Tinggi atau rendahnya TTGT akan berpengaruh kepada derajat infeksi kecacingan. Derajat infeksi kecacingan berhubungan erat dengan mekanisme kejadian penyakit atau patogenesis.

Hymenolepis akan menjadi dewasa di rongga usus halus. Cacing ini tidak menimbulkan gejala dan kelainan, namun apabila ada kelainan ringan maka akan terjadi gangguan gastrointestinal dan diare ringan (Onggowaluyo 2001).

Patogenesis infeksi Ascaris lumbricoides berhubungan erat dengan migrasi larva. Kerusakan jaringan dan haemoragi dapat terlihat di hati, terutama di vena intralobular, tetapi lesio yang banyak terjadi adalah di paru-paru. Larva yang bermigrasi dapat menyebabkan haemoragi pada alveolus dan bronkiolus, kemudian diikuti dengan deskuamasi epitel alveolar, infiltrasi eosinofil dan sel lain, yang menyebabkan terjadinya pneumonitis (Soulsby 1982).

Gejala utama kecacingan akibat Enterobius sp. (enterobiasis) adalah timbulnya iritasi di sekitar perianal karena migrasi cacing betina meletakkan telurnya. Cacing betina ini juga kadang-kadang bermigrasi ke vagina dan menuju ke tuba falopii dan sering menimbulkan peradangan saluran telur sehingga terjadi pruritus vagina. Penderita menggaruk-garuk daerah sekitar anus dan vagina sehingga sering terjadi luka. Infeksi yang terjadi pada satwa primata biasanya tidak serius tapi akibat pruritus dapat menimbulkan tingkah laku yang agresif (Onggowaluyo 2001, Soulsby 1982).

(63)
(64)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap 91 sampel tinja M. fascicularis di Pulau Tinjil yang dilakukan pada bulan Januari-Mei 2008 dapat disimpulkan: 1. Jenis-jenis telur cacing saluran pencernaan yang ditemukan adalah

Schistosoma, Hymenolepis, Ascaris, Oxyurid, Strongylid, dan Trichuris. 2. Total prevalensi kecacingan saluran pencernaan adalah sebesar 26,8%.

Prevalensi kecacingan pada kelompok monyet yang sering berada di core area

sekitar kandang 8, 2, 10, 4, dan 9 berturut-turut sebesar 100%, 50%, 33,33%, 33,33%, dan 14,28%. Prevalensi sebesar 0% terdapat pada kelompok monyet yang sering berada di core area sekitar kandang 5, 7, 12, dan 13.

3. Total rataan derajat infeksi kecacingan adalah sebesar 73 TTGT, dengan masing-masing kandang yaitu kandang 1 (242 TTGT); kandang 10 (193 TTGT); kandang 2 (161 TTGT); kandang 9 (97 TTGT); kandang 4 (87 TTGT); kandang 6 (60 TTGT); kandang 8 (41 TTGT); kandang 3 (12 TTGT); kandang 5, 7, 12, dan 13 (0 TTGT) .

4. Prevalensi infeksi tunggal disebabkan oleh Trichuris sebesar 8,82%, Ascaris

sebesar 5,88%, Strongylid sebesar 2,94%, Hymenolepis sebesar 1,47%, dan Oxyurid sebesar 1,47%. Prevalensi infeksi campuran Strongyliddan Trichuris

sebesar 1,47 %.

Saran

(65)
(66)
(67)
(68)

Lampiran 2

Peta transect line dan kandang Pulau Tinjil saat penelitian berlangsung

U

P

.

J

a

p

ia

h

P

.G

e

d

e

a

n

c

a

(69)

Lampiran 3

Tabel pembagian pul sampel tinja Macaca fascicularis di Pulau Tinjil

Vegetasi

Keterangan: A (vegetasi hutan hujan tropis dataran rendah) B (vegetasi waru laut)

C (vegetasi sulatri)

(70)

Gambar

Gambar 1 M. fascicularis jantan                      Gambar 2
Tabel 1 Jenis sumber pakan Macaca fascicularis
Tabel 2 Jenis cacing saluran pencernaan satwa primata
Tabel 3 Prevalensi parasit saluran pencernaan pada satwa primata
+7

Referensi

Dokumen terkait

Anak Usia Dini adalah anak dimana hampir sebagian besar waktunya digunakan untuk bermain dengan bermain itulah Anak UsiaDini tumbuh dan mengembangkan seluruh aspek yang

Bappeda Kota Salatiga merupakan bagian dari sistem perencanaan pembangunan nasional dimana Bappeda adalah unsur perencana penyelenggaraan pemerintahan yang

Antara lain, saya sering mengatakan, birokrasi yang masih bermasalah di banyak tempat, korupsi sendiri, masih terjadi juga konflik komunal, kekerasan-kekerasan horizontal, anarki

Perlu dilakukan lebih lanjut penelitian mengenai variasi berat MMT agar dilakukan penambahan lebih dari 30% berat MMT agar diketahui efek lanjut yang berpengaruh

Kegiatan Pengabdian pada Masyarakat di kecamatan karangasem bertujuan untuk (1) upaya memberikan pemahaman kepada pelatih pencak silat dan guru-guru Penjasorkes Sekolah

Sebelum mengisi KRS online, mahasiswa diwajibkan menghadap dosen PA untuk mendapatkan petunjuk dan bimbingan dalam menentukan beban sks yang akan diambil serta

Sebelum mengisi KRS online, mahasiswa diwajibkan menghadap dosen PA untuk mendapatkan petunjuk dan bimbingan dalam menentukan beban sks yang akan diambil serta

Terna merupakan ide pusat dalam suatu cerita, atau merupakan pokok pikiran yang utama atau yang terpenting. Pokok pikiran utama dalam naskah Ma'rifatul Bayan ini,