BAB IV : PENDIDIKAN ISLAM BERBASIS KARAKTER PERSPEKTIF
1. Pribumisasi Islam dan Universalisme Islam
Allah kepadanya di dunia, serta mampu menjalankan perintahNya dan menjauhi
laranganNya. Terdapat 4 pemikiran dari Abdurrahman Wahid yang berkesesuaian terkait
pendidikan islam berbasis karakter.
1. Pribumisasi Islam dan Universalisme Islam
Pola pemikiran Gus Dur, kiranya dapat ditelusuri sejak tahun 1970-an. Pada
periode awal ini ia banyak mencurahkan perhatiannya tentang dunia pesantren yang
memang digelutinya secara langsung. Ia telah menulis sejumlah artikel, dan bagian- bagian terpentingnya dipublikasikan dalam buku ―Bunga Rampai Pesantren (1978)‖.
Di samping ia memperkenalkan kepada orang luar perihal kekuatan yang ada di
pesantren, misalnya percaya diri dan gaya hidup sederhana. Gus Dur mengingatkan
kepada orang lain bahwa pesantren kini sedang di persimpangan jalan, bahkan dalam
ambang kemandegan. Hal itu diantaranya disebabkan karena imbas modernitas di satu
sisi dan di sisi lain karena kurang terakomodasinya tuntutan- tuntutan masyarakat yang
mengalami perubahan secara cepat. Maka tidak ada jalan lain menurutnya kecuali harus dilakukan ―dinamisasi‖, yaitu usaha untuk membangkitkan kualitas secara
progresif yang memungkinkan Islam tetap relevan dan dapat diterima. Yang dapat
dicatat di sini bahwa pada tahap awal ini Gus Dur telah menempatkan dirinya sebagai ―penyambung budaya‖, yaitu membawa sub- kultur (pesantren) ke perbincangan
multi-kultur (modernitas), seolah ia berharap orang-orang pesantren dapat mencari
jalan keluar sendiri dalam menangani tantangan modernitas.
Pada perkembangan selanjutnya, tepatnya ketika Gus Dur kembali ke Indonesia
setelah menjalankan studinya di luar negeri, bersama dengan para intelek lainnya, ia
tergabung dalam sekelompok kecil pemikir-pemikir perintis yang tengah bergulat
terlibat dalam pemikiran intensif dalam merumuskan pemahaman keIslaman yang
integral dan komprehensif. Ia mulai melakukan terobosan-terobosan pemikiran, yang
kemudian mengantarkannya sebagai pemikir kritis termasuk pada tradisi
keagamaannya sendiri. Pemikiran barunya terlihat nyata dalam perumusannya tentang
konsep Ahlussunnah Waljama‘ah (Aswaja) yang berbeda dengan mainstrem umum
pemahaman masyarakat.99
Karakter manusia Indonesia yang ―paling Indonesia‖, menurut Gus Dur, adalah
pencarian tidak berkesudahan terhadap sebuah perubahan sosial tanpa memutuskan
sama sekali dengan masa lalu. Pencarian karakter dalam pengembangan cara hidup
bangsa disalurkan melalui jalan baru tanpa menghancurkan jalan lama, semuanya
dalam proses yang berurutan. Gugusan terbesar nilai-nilai Indonesia tersebut nampak
dalam solidaritas sosial, menampilkan watak kosmopolitan yang diimbangi rasa
keagamaan yang kuat, pluralis dan toleran, serta kesediaan terbuka dengan perubahan
dalam masyarakat, tetapi tetap berpijak pada kekuatan dasar masyarakat tradisional
untuk mempertahankan keutuhan.100
Sebagaimana diketahui, doktrin ini merupakan landasan paling pokok dalam
pandangan keagamaan kaum tradisionalis. Begitu mendasarnya doktrin ini sampai-
sampai dapat disebut, wujud konkrit tentang apa yang disebut Islam di kalangan ini
adalah Aswaja itu sendiri, yang dipahami dalam dimensi ideologi sebagai benteng
pertahanan tradisionalisme atas serangan modernisme. Dalam pada itu, berkat
komunikasi intelektual dengan berbagai pihak ditambah improvisasinya sendiri, Gus
Dur mampu menampilkan doktrin Aswaja menjadi konsep akademis yang membawa
semangat kemanusiaan universal.
99
Akhmad Amir Aziz, Neo-Modernisme Islam di Indonesia, Gagasan Sentral Nurkholish Madjid dan
Abdurrahman Wahid, (Jakarta: Rinek Cipta, 1999), 31-32.
100
Doktrin Aswaja menurutnya merupakan serangkaian pandangan tentang berbagai
sendi kehidupan masyarakat baik berupa pandangan ideologis maupun orientasi
kehidupan, di samping seperangkat nilai-nilai yang melandasi kehidupan masyarakat
itu sendiri. Oleh karenanya bidang Aswaja mencakup beberapa segi, yaitu:
a. Pandangan tentang manusia dan tempatnya dalam kehidupan.
b. Pandangan tentang ilmu, pengetahuan, dan teknologi.
c. Pandangan tentang pengaturan kehidupan bermasyarakat.
d. Pandangan tentang hubungan individu dan masyarakat.
e. Pandangan tentang tradisi dan dinamisasinya melalui. pranata hukum, pendidikan,
politik, dan budaya.
f. Pandangan tentang cara- cara pengembangan masyarakat
g. Asas-asas internalisasi dan sosialisasi yang dapat dikembangkan dalam konteks
doktrin yang formal diterima saat ini.101
Dalam artikel berjudul ―Peranan Umat Islam dalam Berbagai Pendekatan‖102 Gus
Dur juga berargumen bahwa konvergensi nilai-nilai hukum Islam terdiri dari dua
model pendekatan, yaitu nilai inspiratif dan normatif. Model inspiratif, bahwa nilai-
nilai Islam menjadi titik tolak bagi pengembangan moral aturan. Sedangkan model
yang kedua, normatif yaitu dapat dilakukan dengan cara melihat Islam dalam bentuk
norma. Sehingga menurutnya kedua pendekatan ini sangat penting untuk
dikembangkan, dan keduanya harus ada dan saling mendukung.103 Hal inilah yang
mungkin digunakan Gus Dur sebagai landasan pendekatan antropologi-budaya pada
ide ‗pribumisasi Islam‘ miliknya.
101
Akhmad Amir Aziz, Neo-Modernisme Islam di Indonesia, Gagasan Sentral Nurkholish Madjid dan
Abdurrahman Wahid (Jakarta: Rinek Cipta, 1999), 33.
102
Mukhtar Ganda Atmaja dan M.Shodiq (peny.), Kontroversi Pemikiran Islam Di Indonesia (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1990), 195.
103
Ide pribumisasi Islam yang fenomenal dari Gus Dur berpandangan bahwa dalam
memahami wahyu harus dipertimbangkan aspek kontekstual ataupun adat istiadat
setempat, sepanjang hal tersebut tidak mengubah makna dan substansi agama dengan
berdasarkan pada ―al-„adatu muhakkamah‖ (adat kebiasaan bisa dijadikan hukum).104
Untuk mengatasi permasalahan sosial terkait moral bangsa tersebut diperlukan
pendekatan yang komprehensif melalui budaya dan agama dengan menempatkan
pendidikan sebagai ujung tombaknya. Pendekatan yang paling tepat dalam
pembentukan karakter adalah pendidikan karakter yang berbasis pada local wisdom
(kearifan lokal), yakni kearifan yang berlandaskan budaya (tradisi) lokal dan ajaran
agama Islam yang kontekstual. Dalam pandangan Gus Dur, pesantren menjadi
representasi pendidikan karakter yang berbasis pada kearifan lokal. Pesantren
mengajarkan para santri agar senantiasa menghormati tradisi yang telah berkembang di
masyarakat dengan landasan ajaran agama Islam.
Pendidikan pesantren yang menilai keberhasilan lulusannya dari penerapan ilmu
agama dalam masyarakat merupakan bentuk pendidikan karakter yang belum
ditemukan dalam pendidikan nasional. Oleh karena itu, pendidikan karakter berbasis
kearifan lokal, yang dalam pandangan Gus Dur diterapkan dalam sistem
kemasyarakatan dan direpresentasikan oleh pesantren, menjadi salah satu alternatif
yang tepat untuk mengatasi permasalahan dekadensi moral yang sedang menyerang
bangsa ini. Pendidikan karakter yang berbasiskan kearifan lokal sangat perlu untuk
dikembangkan di Indonesia dalam rangka membangun masyarakat Indonesia yang
berbudaya agar tidak tercerabut dari akar tradisinya.105
Pandangan Gus Dur tersebut merupakan buah pemikirannya tentang
universalisme Islam sebagaimana yang terdapat dalam artikel berjudul ―Universalisme
104
Muntaha Azhari dan Mun‘im Saleh (ed.), Indonesia Menatap Masa Depan (Jakarta: P3M, 1989), 83.
105
Luk Luk Nur Mufidah, ―Pemikiran Gus Dur tentang Pendidikan Karakter dan Kearifan Lokal‖, Jurnal
Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam‖, menurutnya universalisme Islam
menampakkan diri dalam berbagai manivestasi penting dan yang terbaik adalah dalam
ajaran-ajarannya yang meliputi berbagai bidang seperti hukum agama (fiqh),
ketauhidan (tauhid), etika (akhlaq) yang dalam masyarakat seringkali disempitkan
hingga menjadi kesusilaan belaka dan sikap hidup, menampakkan kepedulian yang
sangat besar kepada unsur-unsur utama dari kemanusiaan.106
Untuk menjalankan peran sebagai etika sosial tersebut, Gus Dur berusaha
memperkenalkan Islam sebagai sistem kemasyarakatan yang mengkaji proses timbal
balik antara tata kehidupan dan tingkah laku warga sebagai dua komponen yang
masing-masing berdiri sendiri dan sekaligus berhubungan dengan masyarakat lain.107
Proses tersebut dapat diamati dengan melihat pertumbuhan dalam tata kehidupan yang
berlangsung, yaitu perangkat berupa orientasi nilai pola kelembagaannya, motivasi
penyimpangan di dalamnya, mekanisme kontrol sosial, dan tata keyakinan yang
dimiliki untuk mencapai keadaan ideal di masa depan.
Proses yang cair, meninggalkan dunia khayali normatif dan mengembangkan
pendekatan multi dimensi sesungguhnya merupakan upaya dari dinamisasi pendidikan
Islam yang diarahkan pada arah yang lebih baik. Dengan demikian maka pendidikan
Islam tidak akan tercerabut dari konteks dan akar sejarah masyrakat, artinya
pendidikan Islam tidak hanya berfokus pada hal-hal yang bersifat normatif semata
namun harus pula mampu untuk memikirkan kondisi dan realitas kehidupan yang
berkembang di dunia ini.108
106
M. Mansur Amin dan Ismail S. Ahmad, Dialog Pemikiran Islam dan Realitas Empirik (Yogyakarta: LKPSM NU, 1993), 545.
107
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), 196.
108
Rohani Shidiq, Gus Dur Penggerak Dinamisasi Pendidikan Pesantren (Yogyakarta: Istana Publishing, 2015), 155.