• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyakit Rabies

2.4. Program Pembebasan Rabies

2.4.2. Prinsip Dasar Sektor Peternakan

Rabies adalah penyakit daftar B pada Office International des Epizooties (OIE) yang penting dari aspek sosio-ekonomi dan kesehatan masyarakat. (Dinas Peternakan

Prop.Sumut, 2006). Pembebasan rabies dapat dicapai dengan menjalankan gabungan atau kombinasi strategi di bawah ini :

1. Karantina dan pengawasan lalu lintas terhadap hewan penular penyakit.

2. Pemusnahan hewan tertular dan hewan yang kontak untuk mencegah sumber virus rabies yang paling berbahaya.

3. Vaksinasi semua hewan yang dipelihara di daerah tertular untuk melindungi hewan terhadap infeksi dan mengurangi kontak terhadap manusia.

4. Penelusuran dan surveilans untuk menentukan sumber penularan dan arah pembebasan dari penyakit

5. Kampanye peningkatan kesadaran masyarakat (public awareness) untuk

memfasilitasi kerjasama masyarakat terutama dari pemilik hewan dan komunitas yang terkait.

2.4.2.1. Metode Pencegahan Penyebaran dan Eliminasi Agen Penyebab

Secara alamiah metode awal untuk mencegah penyebaran rabies dan eliminasi agen penyebab, adalah dengan cara sedapat mungkin menghindari gigitan, baik dari anjing peliharaan apalagi gigitan anjing liar atau yang diliarkan. Pendekatan ini terutama harus diterapkan pada anak-anak dan remaja yang berpotensi mendapat serangan gigitan. Mengurangi atau meniadakan tempat-tempat pembuangan sampah yang berpotensi untuk berkumpul dan bertemunya anjing, sekaligus akan mengurangi atau meniadakan kesempatan kontak antar anjing.

Di lapangan sasaran pemberantasan ditujukan terhadap anjing atau hewan penular rabies (HPR) yang tidak diketahui status vaksinasinya, baik anjing peliharaan

maupun anjing liar. Berdasarkan laporan penelitian tentang Analisa Epidemiologi Data Surveillance Rabies di Indonesia oleh Padri dkk (1986), diketahui adanya korelasi antara jumlah penduduk, jenis kelamin dan golongan umur, orang yang mendapat vaksin anti rabies, total gigitan, populasi anjing, jumlah anjing menggigit, jumlah spesimen diperiksa, jumlah spesimen yang positif dan jumlah hewan yang divaksinasi dengan prevalensi rabies.

Di daerah-daerah/pulau-pulau yang bebas rabies kemungkinan hewan terjangkit rabies bisa saja terjadi, karena masuknya anjing atau hewan penular rabies (HPR) dari daerah tertular. Untuk melindungi daerah yang bebas rabies, tindakan pengawasan lalu lintas anjing dan hewan penular rabies yang masuk dari luar secara ketat harus dilakukan dengan konsisten.

2.4.2.2. Tindakan Karantina dan Pengawasan Lalu-Lintas

Luas daerah rawan bergantung kepada faktor-faktor seperti jumlah dan spesies hewan tertular dan hewan kontak, lokasi geografis, lalu lintas anjing dan HPR lainnya yang diketahui maupun yang tidak terawasi. Arus lalu lintas yang tidak terawasi adalah aspek kritis bagi pengendalian rabies di daerah. Dalam skala praktis di lapangan, daerah (desa, kecamatan, kabupaten) yang bersinggungan/ berbatasan dengan daerah tertular/wabah dianggap sebagai daerah rawan.

2.4.2.3. Tindakan terhadap Hewan Tertular

Setiap anjing dan HPR yang menggigit harus dianggap sebagai hewan tertular atau tersangka rabies. Tindakan observasi selama 10-14 hari harus diterapkan. Apabila hasil observasi negatif, pemusnahan paska observasi dapat dilaksanakan

berdasarkan kondisi-kondisi tertentu seperti atas permintaan pemilik atau kondisi anjing sudah tidak layak untuk dipelihara lebih lanjut.

Semua anjing dan HPR lain yang berada di wilayah administratif daerah yang terjadi wabah dinyatakan sebagai hewan tertular rabies sah dijadikan sasaran eliminasi. Hewan yang masuk dari luar ke dalam daerah wabah, terutama yang masuk secara ilegal dapat pula menjadi target pemusnahan. Pemusnahan dilakukan terutama terhadap anjing, kucing dan kera yang mempunyai potensi sangat besar dalam menularkan dan menyebarkan rabies.

2.4.2.4. Tindakan terhadap Hewan Kontak

Hewan-hewan yang kontak dengan penderita rabies bisa saja menimbulkan masalah yang lebih besar daripada hewan tertular. Tanda-tanda klinis dari hewan tertular dapat terlihat setelah beberapa jam, beberapa hari, satu minggu atau paling lama dua minggu (Dinas Peternakan Prop.Sumut, 2006).

Keunikan rabies adalah masa inkubasi penyakit ini cukup lama, dari beberapa minggu sampai beberapa bulan. Sehingga, seseorang bisa saja membawa anjing yang diperkirakan sehat sementara sudah terdapat virus rabies dalam tubuhnya dari daerah tertular. Dengan pola inilah rabies menyebar dari satu propinsi ke propinsi lain (Soedarsono, 2003).

Tindakan karantina untuk memudahkan observasi, baik untuk hewan-hewan yang kontak dengan penderita rabies maupun anjing atau HPR lain yang menggigit, merupakan prosedur yang harus ditempuh sampai diperoleh kepastian bahwa hewan tersebut bebas rabies. Pada dasarnya hewan-hewan yang kontak dengan penderita

rabies maupun anjing yang menggigit sama sekali tidak boleh dibunuh sebelum hasil observasi dikeluarkan.

2.4.2.5. Pengendalian Lalu-lintas di Daerah Tertular

Begitu kejadian kasus rabies dipastikan maka suatu langkah yang cepat harus dilakukan untuk menetapkan daerah tertular (DT) dan daerah rawan (DR) yang mengelilingi DT, dengan merujuk dan mempedomani secara ketat ketentuanketentuan yang berlaku secara nasional.

Keberadaan DT berlaku hanya sampai dinyatakan bahwa anjing liar di daerah tertular sudah dimusnahkan, daerah tersebut kemudian didesinfeksi dan HPR peliharaan lainnya di DT divaksinasi. Tidak ada lalu lintas HPR dan hewan yang tidak di vaksinasi masuk maupun keluar DT. Setelah kasus rabies dapat dihilangkan dari DT dan hewan-hewan peka lainnya telah divaksinasi, maka DT bisa diturunkan menjadi DR dan hewan yang ada di DT tersebut tetap berada di bawah pengawasan dan kontrol yang ketat petugas Dinas Peternakan.

2.4.2.6. Tindakan terhadap Anjing yang Menggigit

Anjing yang menggigit di daerah wabah dianggap telah tertular sehingga harus ditangkap dan dibunuh. Khususnya kalau anjing itu anjing liar atau diliarkan. Kepala atau otak langsung dikirim ke laboratorium untuk peneguhan diagnosa. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi jiwa manusia dan sekaligus mengurangi korban. Apabila anjing tersebut berpemilik perlu dilihat catatan atau informasi mengenai vaksinasinya. Tindakan terhadap hewan berpemilik yang telah divaksin apabila

menggigit/mencakar dan terhadap hewan berpemilik yang kontak dengan hewan tertular rabies adalah:

- Isolasi dan observasi selama 14 hari

- Jika dalam masa observasi tetap hidup dibebaskan tetapi jika hewan tidak berpemilik maka dimusnahkan.

- Jika dalam masa observasi anjing mati, otaknya harus dikirim ke laboratorium untuk peneguhan diagnosa rabies.

Tindakan terhadap hewan berpemilik yang tidak divaksin apabila menggigit/mencakar adalah :

- Isolasi dan observasi selama 14 hari.

- Jika dalam masa observasi anjing/kucing tetap hidup dibebaskan.

- Jika dalam masa observasi anjing/kucing mati maka otaknya harus dikirim ke laboratorium untuk meneguhkan diagnosa rabies.

Tindakan terhadap hewan yang tidak berpemilik apabila menggigit/mencakar adalah anjing dibunuh dan spesimen otak dikirim ke laboratorium untuk meneguhkan diagnosa rabies. (Dinas Peternakan.Prop.Sumut, 2006).

Bertitik tolak dari langkah operasional pelaksanaan pembebasan rabies menurut Departemen Peternakan R.I (2006), salah satu kegiatan yang dilakukan adalah penertiban dan pengawasan pemeliharaan anjing dengan menetapkan beberapa ketentuan, yaitu :

1. Setiap anjing berpemilik harus divaksinasi.

3. Anjing dipelihara di halaman dan tidak boleh dibiarkan lepas berkeliaran. 4. Bila rumah tidak berpagar rapat, anjing harus diikat dengan rantai yang

panjangnya tidak lebih dari 2 m.

5. Anjing yang sudah divaksinasi diberi tanda.

6. Apabila hendak dibawa keluar halaman, anjing harus diikat dengan rantai/tali dan moncongnya di berangus.

7. Pemilik anjing wajib mendaftarkan anjingnya pada ketua RT dan wajib melakukan vaksinasi rabies terhadap anjingnya secara teratur setiap tahun