• Tidak ada hasil yang ditemukan

HALAL DAN HARAM DALAM ISLAM

3.1. Prinsip Halal-Haram Yusuf Qordhowi

Dasar pertama, dalam islam, ialah asal dari segala sesuatu yang di ciptakan Alloh adalah halal dan mubah. Tidak ada satupun yang haram, kecuali karena ada nas yang sah dan tegas dari syar’i (yang berwenang membuat hukum itu sendiri, yaitu Alloh dan Rasul) yang mengharamkannya. Jika tidak ada nas yang sah – misalnya karena ada sebagian hadits lemah – atau tidak ada nas yang tegas (shahih) yang menunjukkan haram, maka hal tersebut tetap sebagaimana asalnya, yaitu mubah kecuali ada nas yang mengharamkannya.

Para ulama islam menetapkan bahwa segala sesuatu asalnya mubah.

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” [Al Baqarah : 29]

Firman Alloh lainnya : [Al-Jaytsiyah: 13] dan [Luqman: 20]

Sabda Rasulullah, “Rasulullah s.aw pernah ditanya tentang samin, keju dan keledai hutan, maka jawab beliau: apa yang disebut halal ialah sesuatu yang Alloh halalkan dalam kitabNya; dan apa yang disebut haram ialah sesuatu yang Alloh sebut haram dalam kitabNya, sedang apa yang Dia diamkan, maka itu salah satu yang Alloh maafkan buat kamu.” (HR. Tirmizi dan Ibnu Majah).

Yusuf Qardhawi dalam kitabnya “Halal dan Haram dalam Islam”, menjelaskan bahwa kaidah segala sesuatu adalah halal tidak terbatas hanya dalam masalah benda,

tetapi juga dalam hal perbuatan dan pekerjaan yang tidak lepas dari urusan ibadah, yang disebut adat atau mu’amalat. Yusuf Qardhawi juga menjelaskan, bahwa yang dimaksud ibadah adalah:

a. Hanya Alloh lah yang disembah

b. Untuk menyembah Alloh, hanya dapat dilakukan menurut apa yang di syariatkan. Imam Ahmad dan beberapa ahli fikih lainnya berpendapat: pokok dalam urusan ibadah adalah tauqif 9bersumber pada ketetapan Alloh dan Rasul). Oleh karena itu, ibadah tersebut tidak boleh dikerjakan, kecuali telah disyariatkan oleh Alloh. Firman Alloh, “Apakah mereka itu mempunyai sekutu dalam mengadakan agama untuk mereka, sesuatu yang tidak diizinkan oleh Alloh?” [As-Syura: 21]

Kesimpulannya:

Jual-beli, hibah, sewa menyewa, dll adat yang selalu dibutuhkan manusia untuk mengatur kehidupan mereka seperti makan, minum dan pakaian. Agama memnawakan beberapa etika yang baik sekali, yaitu mana yang tidak layak, dimakruhkan; sedang yang jelas membawa mashalal, disunnatkan.

Atas dasar itulah, manusia boleh melakukan jual-beli, dan sewa-menyewa sesuka hantinya, selama itu tidak diharamkan oleh syara’. Begitu juga mereka bisa makan dan minu sesuakanya, selama itu tidak diharamakan oleh syara’, sekalipun sebagiannya ada yang oleh syara’ kadang-kadang disunnatkan dan ada kalanya dimakruhkan. Sesuatu yang oleh syara’ tidak diberinya pembatasan, mereka dapat menetapkan menurut kemutlakan hukum asal.

Dasar kedua, bahwa islam telah memberikasuatu batas dan wewenang untuk menentukan halal dan haram, yaitu dengan melepaskan hak tersebut dari tangan manusia, hak tersebut semata-mata di tangan Alloh. Firman Alloh, “Dan jangan kamu

berani mengatakant erhadap apa yang dikatakan oleh lidah-lidah kamu dengan dusta; bahwa ini halal dan haram, supaya kamu berbuat dusta atas (nama) Alloh tidak akan dapat bahagia.” [An-Nahl: 116]. Firman Alloh lainnya [Al-an’am: 119].

Mengharamkan sesuatu yang halal dapat dipersamakan dengan syirik, hal ini didasarkan pada hadits Qudsi, Firman Alloh “Aku ciptakan hamba-hambaku ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka, syaitan ini kemudia membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya.” (Riwayat Muslim).

Dasar hukum lainnya [Firman Alloh dalam Surat Al-maidah: 87-88.]

Alloh SWT menentukan halal dan haram dengan alasan yang ma’qul (rasional) demi kemaslahatan manusia itu sendiri. Alloh menghalalkan yang bail, dan Alloh menghramkan yang jelek. Adapun Alloh pernah mengharamkan hal-hal yang baik kepada orang yahudi. Tetapi itu merupakan hukuman kepada mereka atas kedurkahakaan yang mereka perbuat dan pelanggarannya terhadap larangan Alloh.

Hal ini dijelaskan dalam Surat Al-An’am: 146. Dan setelah Alloh SWT mengutus Nabi Muhammad, dihapusnya beban haram yang pernah diberikan Alloh sebagai hukuman sementara yang bermotif mendidik itu, di mana beban tersebut cukup berat dan menegangkan leher masyarakat. di dalam islam caranya Alloh menutupi kesalahan, bukan dengan mengharamkan barang-barang baik yang lain, tetapi ada beberapa hal yang di antaranya ialah:

a. Taubat dengan ikhlas (taubatan nasuhah) b. Dengan mengerjakan amalan-amalan baik.

c. Dengan bersedekah

d. Dengan ditimpa beberapa musibah dan percobaan.

Dalam islam, mengharamkan sesuatu yang halal itu dapat membawa satu keburukan dan bahaya. Sedang seluruh bentuk bahaya adalah hukumnya haram. Sebaliknya yang bermanfaat hukumnya halal. Kalau suatu persoalan bahayanya lebih besar daripada manfaatnya, maka hal tersebut hukumnya haram. Sebaliknya, kalau manfaatnya lebih besat, maka hukumnya menjadi halal.

Ketika Alloh mengharamkan sesuatu pasti dibalik itu ia telah memberikan gantinya berupa sesuatu yang baik. Contoh: Alloh mengharamkan zina dan liwath, tetapi Alloh memberikan gantinya berupa perkawinan yang halal. Tetapi sesuatu yang halal tidak memerlukan sesuatu yang haram.

Salah satu prinsip yang telah diakui oleh islam, ialah apabila islam telah mengharamkan sesuatu, maka wasilah dan cara apapun yang dapat membawa kepada perbuatan haram, hukumnya adalah haram. Jadi semua yang dapat membantu kepada perbuatan haram, hukumnya haram juga, dan semua orang yang membantu kepada orang yang berbuat haram, maka dia akan terlibat dalam dosanya juga.

Islam juga mengaharamkan semua siasat (kabajikan) untuk berbuat haram dengan cara-cara yang tidak begitu jelas dan siasat syaitan (yakni yang tidak nampak). Sabda Rasululloh saw: “Jangan kamu berbuat seperti perbuatan Yahudi, dan jangan kamu menganggap halal terhadap larangan-larangan Alloh walaupun dengan siasat yang paling kecil.”

Islam tidak membenarkan prinsip al-ghayah tubarrirul wasilah (untuk mencapai tujuan, dengan cara apapun dibenarkan), atau suatu prinsip yang mengatakan: al- wushulu ilal haq bil khaudhi fil katsiri minal bathil ( untuk dapat memperoleh sesuatu

yang baik, boleh dilakukan dengan bergelimang dalam kebathilan). Bahkan dalam islam sabaliknya, setiap tujuan baik, harus dicapai dengan cara oleh tujuan niat yang baik. Artinya masalah haram tetap dinilai haram, betatapun baik dan mulianya niat dan tujuan itu.

Bagaimanapun baiknya rencana, selama dia itu tidak dibenarkan oleh islam, maka selamanya yang haram itu ridak boleh dipakai untuk mencapai tujuan yang terpuji. Sebab islam menginginkan tujuan yang suci, harus ditempuh dengan cara yang suci.

Persoalan yang tidak begitu jelas antara halal dan haramnya bagi manusia (dikenal dengan syubhat), disebabkan oleh tasyabbuh (tidak jelasnya) dalil dan mungkin tidak jelasnya jalan untuk menerapkan nas (dalil) yang ada terhadap suatu peristiwa. Untuk mengatasi hal tersebut islam memberikan suatu garis yang disebut wara’ (suatu sikap berhati-hati karena takut berbuat haram). Dimana dengan sifat itu seorang muslim diharuskan untuk menjauhkan diri dari masalah syubhat, sehingga dengan demikian dia tidak akan terseret untuk berbuat kepada yang haram. Cara ini,

pendidikan untuk memandang lebih jauh serta penyelidikan terhadap hidup manusia itu sendiri. Dasar pokok daripada prinsip ini ialah sabda nabi yang mengatakan:

Alloh adalah Tuhan seluruh manusia, syariatNya berlaku untuk semua orang. Setiap yang dihalalkan alloh dengan ketetapan undang-undangnya, berarti halal untuk segenap ummat manusia. Dan apa saja yang diharamkan, haram juga untuk seluruh manusia. Hal ini berlaku sampai hari kiamat.

Islam sangat menghargai kepentingan manusia yang tiada terelakkan lagi itu, dan mengahargai kelemahan-kelemahan yang ada pada masusia. Oleh, karena itu seorang muslim dalam keadaan yang sangat memaksa, diperkenankan melakukan yang haram karena dorongan keadaan dan sekedar menjaga diri dari kebinasaan. Para ahli fikih menetapkan suatu prinsip yang berharga sekali, yaitu

a. Kedaan terpaksa membolehkan yang terlarang.” Dan yang dimaksud dengan dalam keadaan terpaksa, yaitu dengan kata-kata ghaira baghin wala’aadin (tidak sengaja dan tidak melewati batas).

b. Adh-dharuratutaqaddaru biqadriha (dharurat itu dikira-kira menurut ukurannya). Allah berfirman, “Allah berkendak memberikan kemudahan bagi kamu dan ia tidak menghendaki kesukaran kepadamu.” [Al-Baqarah: 185]

Sumber: Qordhowi, Yusuf. Halal dan haram.

Dokumen terkait