• Tidak ada hasil yang ditemukan

Study Community of Islamic Economics (SCIEmics) Department Science Academic UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2013/1434 H BAB I PENDAHULUAN - MODUL FIQIH MUAMALAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Study Community of Islamic Economics (SCIEmics) Department Science Academic UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2013/1434 H BAB I PENDAHULUAN - MODUL FIQIH MUAMALAH"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

MODUL

FIQIH MUAMALAH

Oleh :

Penanggungjawab : Mutia Faridah

Tim Penyusun : Arin Dwijaya Mutia

Farida

Indri Oktavia Naila Amalah

Faris Azka Tia Meida

Editor : Kumita Ary F

Study Community of Islamic Economics

(SCIEmics)

Department Science Academic

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Hukum Islam

Di dalam kepustakaan hukum Islam berbahasa inggris, Syari’at Islam

diterjemahkan dengan Islamic Law, sedang Fikih Islam diterjemahkan dengan Islamic Jurispudence. Di dalam bahasa Indonesia, untuk syari’at Islam, sering, dipergunakan istilah hukum syari’at atau hukum syara’ untuk fikih Islam dipergunakan istilsh hukum fikih atau kadang-kadang Hukum Islam.

Dalam praktek seringkali, kedua istilah itu dirangkum dalam kata hukum Islam,

tanpa menjelaskan apa yang dimaksud. Ini dapat dipahami karena hubungan ke duanya

memang sangat erat, dapat dibedakan, tetapi tidak mungkin dicerai pisahkan. Syari’at

adalah landasan fikih adalah pemahaman tentang syari’at.

Pengkaburan istilah antara hukum islam, hukum syar’i / syari’ah, atau bahkan syari’ah Islam, pada hakikatnya tidak ada masalah. Namun pengkaburan esensi dan

posisi antara hukum Islam yang identik dengan fiqh, karena merupakan hasil ijtihad

tadi, dengan syari’ah yang identik dengan wahyu, yang berarti diluar jangkauan

manusia, adalah masalah besar yang harus diluruskan dan diletakkan pada posisi yang

seharusnya.

1.2. Syariah

1.2.1. Pengertian Syari’ah

Kata syari’ah berasal dari bahasa Arab, yaitu اعرش – عرشي – عرش. Sedangkan kata

at-tashri’ yang merupakan masdar dari َعّر َششش, yang diadopsi dari syari’ah ini secara

(3)

1. برشششلل دششصقي ىذششلا يراششجلا ءاششملا دروم yang artinya aliran air yang digunakan untuk

minum. Dikatakan demikian karena sumber/aliran air merupakan sumber

kehidupan dan kesehatan bagi tubuh.

2. ةميقتششسملا ةششقيرطلا (jalan yang lurus) seperti firman Allah SWT, yang Artinya:

Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari

urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa

nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.

Syari’ah itu dikatakan sebagai jalan yang lurus karena ia merupakan petunjuk bagi umat

manusia kepada kebaikan, baik kebaikan jiwa maupun akal mereka.

Kata syari'ah (Ar: ash-shari'ah) secara etimologis berarti sumber atau aliran air

yang digunakan untuk minum dalam perkembangannya, digunakan orang Arab untuk

mengacu kepada jalan (agama) yang lurus (at-tariqah al-mustaqimah), karena kedua

makna tersebut mempunyai keterkaitan makna.

Jika sumber atau aliran air merupakan kebutuhan pokok manusia untuk

memelihara keselamatan jiwa dan tubuh mereka, maka at-tariqah al-mustaqimah

merupakan kebutuhan pokok yang akan menyelamatkan dan membawa kebaikan bagi

umat manusia. Dari akar kata ini, syari'ah diartikan sebagai agama yang lurus yang

diturunkan Allah SWT bagi umat manusia.

Secara terminologis, ada beberapa pendapat para ulama tentang definisi atau

pengertian syari'ah, yaitu:

a. Manna' al-Qattan (ahli fiqh dari Mesir) mendefinisikan syari'ah sebagai segala

ketentuan Allah SWT bagi hamba-Nya yang meliputi masalah akidah, ibadah,

akhlak dan tata kehidupan umat manusia untuk mencapai kebahagiaan mereka di

(4)

b. Imam asy-Syatibi menyatakan bahwa syariat sama dengan agama.

c. Fathi ad-Duraini memeberikan definisi syari'ah sebagai berikut: syari'ah adalah

segala yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW berupa

wahyu, baik yang terdapat dalam Al-Qur'an maupun dalam sunnah Nabi SAW

yang diyakini kesahihannya. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa syari'ah adalah

an-nus}u>s al-muqaddasah (teks-teks suci) yang dikandung oleh Al-Qur'an dan

sunnah Nabi SAW.

d. Menurut sebagian besar para fuqaha' merupakan hukum-hukum yang telah

disyari'atkan Allah SWT kepada hamba-hambanya melalui lisan nabi-nabi-Nya.

Jika kita melihat beberapa definisi yang telah disebutkan, ternyata ada yang

mendefinisikan makna syari'ah secara ijmal (global, seperti definisi yang diberikan oleh

as-Syathibi, Manna' al-Qaththan dan para fuqaha. Sedangkan definisi yang diberikan

Fathi ad-Duraini merupakan pengertian syari'ah secara khusus, yaitu syari'ah Islamiyah

(syari'at Islam).

Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa syari'ah itu sebenarnya adalah agama.

Sebab agama itu tentunya memiliki ajaran-ajarannya, yang dalam konteks ini

merupakan agama yang berasal dari Allah SWT, yang berisi ketentuan-ketentuan-Nya

kepada hamba-hambanya yang wahyukan kepada para Rasul.

Jika kita ingin mendefinisikan pengertian syari'ah Islamiyah, kita dapat

mengambil definisi yang diberikan oleh Fathi ad-Duraini, seperti yang disebutkan pada

poin b. Definisi syari'ah Islamiyah juga disebutkan oleh Muhammad Mustafa Shalabi :

syari'ah Islamiyah atau Islam adalah majmu'ah al-ahkam (kumpulan hukum-hukum)

yang diturunkan Allah SWT dengan perantaran wahyu yang diberikan kepada Nabi

(5)

Jika kita memperhatikan lebih lanjut definisi-definisi dari syari'ah, maka kita akan

mengetahui bahwa syari'ah itu terdiri terdiri dari dua unsur (berasal dari dua sumber),

yaitu al-Qur'an yang merupakan kitab suci kita umat Islam, dan as-Sunnah (al-Hadis)

yang merupakan perkataan, tingkah laku dan ketetapan Nabi kita Muhammad SAW.

Dengan demikian syari'ah itu bersifat sabat (tepat sepanjang zaman), tidak berubah

meski ditelan waktu dan zaman, di manapun dan kapan pun. Dengan sifat tsabat

tersebut syari'at Allah SWT akan tetap berlaku sepanjang masa dan tidak seorang pun

yang mampu untuk menggantikannya.

Syari'ah datang untuk membina, membangun, mengatur kehidupan manusia, serta

menuntun manusia ke jalan yang benar (jalan Allah) agar ia selamat, baik di dunia

maupun di akherat.

1.2.2. Karakteristik Syari’ah

a. Rabbaniyah, karena sumber pokoknya wahyu dari Allah ( QS An-Najm (53) :

3 , QS Al-Haqqah (69) : 44 – 47 ). Karena itu orientasinya ‘ibadah kepada

Allah ( QS Adz-Dzariyat (51) : 56 ) berikut efek pengamalannya.

b. Al-Insaniyah. Seluruh ajarannya sesuai dengan kemanusiaan, karena itu agama

Islam disebut sebagai Agama Fithrah ( QS QS Ar-Rum (30) : 30 ). Rasul dari

kalangan manusia ( QS An-Nahl (16) : 43 ). Menjunjungtinggi kemanusiaan

( QS Al-Isra (17) : 70 ). Mengajarkan kesetaraan ( QS Al-Hujurat (49) : 13 ).

c. Syumuliyah ( komprehensif ), kaffah ( QS Al-Baqarah (2) : 208 ) dan shaalih

(6)

d. Wasathiyah ( QS Al-Baqarah (2) : 143, QS An-Nisa (4) : 171 ) Waqi’iyah,

karena itu ditata untuk mudah dan praktis ( QS Al-Hajj (21) : 78, QS An-Nisa

(4) : 28 ).

e. Agama Islam memberi jalan yang luas dan wajar kepada akal fikiran manusia,

sehingga taklid dilarang dalam Islam ( QS Al-Isra (17) :36 ).

f.Agama Islam mewajibkan keadilan, dan setiap orang hanya bertanggungjawab

terhadap apa yang ia lakukan ( QS An-Nahl (16) : 90 , QS An-Najm (53) :

38-41 ).

g. Seluruh ajaran Islam bertumpu kepada rahmat dan maslahat ( QS Al-Anbiya

(21) : 107 ).

h. Al-Akhlaqul-karimah merupakan missi agama Islam ( Hadits : Innamaa

Bu’itstu Liutammima Makaarimal-Akhlaaq )

1.3. Kaidah Fiqih

1.3.1. Pengertian Kaidah Fiqih

Dalam studi ilmu kaidah fiqh, kita kita mendapat dua term yang perlu dijelaskan,

yaitu kaidah dan fiqh. Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan.

Ahmad warson menembahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi),

al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau

cara). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 26 :

”Allah akan menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya”. (Q.S. An-Nahl : 26)

(7)

”Hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagiannya”.

Sedangkan arti fiqh secara etimologi lebih dekat dengan ilmu, sebagaimana yang

banyak dipahami, yaitu :

Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama” (Q.S. At-Taubat : 122) Dan juga Sabda Nabi SAW, yaitu :

Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya diberikan kepadanya kepahaman dalam agama.

Sedangkan menurut istilah, Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum

syara’ yang bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan dari dalil-dalil yang tafsili (terperinci). Jadi, dari semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul fiqhiyah adalah :

”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu”.

Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa setiap kaidah fiqhiyah telah mengatur

beberapa masalah fiqh dari berbagai bab.

1.3.2. Kaidah-kaidah Fiqh yang Asasi

1. Meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan

2. Al-Qawaid al-Khamsah (lima kaidah asasi)

Kelima kaidah asasi tersebut sebagai berikut :

a. “segala perkara tergantung kepada niatnya”

(8)

c. “kesulitan mendatangkan kemudahan” d. “kemudhoratan harus dihilangkan”

e. “adat kebiasaan dapat dijadikan (pertimbangan) hukum”

1.4. Perbedaan Fiqih Ibadah dan Fiqih Muamalah

1.4.1. Pengertian Ibadah dan Mu’amalah

Ibadah secara bahasa(etimologi)berarti merendahkan diri serta tunduk. Dari semua pengertian para fuqaha dapat ditarik pengertian umum dari ibadah sebagaimana rumusan

berikut :

“Ibadah mencakup segala perbuatan yang disukai dan diridhai oleh Allah SWT, baik berupa perkataan maupun perbuatan, baik terang-terangan maupun tersembunyi dalam rangka mengagungkan Allah SWT dan mengharapkan pahalaNya”

Secara Etiomologi:Muamalahdari kata (لمعلا) yang merupakan istilah yang

digunakan untuk mengungkapkan semua perbuatan yang dikehendaki mukallaf.

muamalah mengikuti pola (ةَلَعاَفُم) yang bermakna bergaul (لُماَعّتلا). Secara Terminologi:

Muamalah adalah istilah yang digunakan untuk permasalahan selain ibadah.

Pandangan kita terhadap agama seringkali terjebak dalam pemahaman sempit.

Agama sering kita pahami sekadar sebuah keyakinan (iman) terhadap Tuhan Yang Maha

Esa dan sebentuk ritual (ibadah) terhadap-Nya. Dengan kata lain, agama semata-mata

dipahami sebagai hubungan pribadi antara hamba dengan Tuhannya.

Perlu kita pahami dan yakini, bahwa Islam sesungguhnya merupakan tuntunan

hidup yang lengkap bagi manusia. Islam memberikan tuntunan yang meliputi

(9)

hubungan antara manusia dengan manusia lainnya, yang antara lainnya berkaitan dengan

masalah ekonomi, sosial, politik, dan budaya.

1.4.2. Macam – macam Ibadah dan Mu’amalah

Ibadahini antara lain meliputi shalat, zakat, puasa, dan haji. Sedangkan masalahmu’amalah(hubungan kita dengan sesama manusia dan lingkungan), berlandaskan pada prinsip “boleh” (jaiz) selama tidak ada larangan yang tegas dari

Allah dan Rasul-Nya.

Pembagian Muamalah

Menurut Ibn Abidin, fiqh muamalah terbagi menjadi lima bagian, yaitu:

a. Mu'awadlah Matiyah (Hukum Kebendaan),

b. Munakahat (Hukum Perkawinan),

c. Muhasanat (Hukum Acara),

d. Amanat dan ‘Aryah (pinjaman),

e. Tirkah (Harta Peninggalan).

Macam-macam muamalah, antara lain:

1. Jual Beli

2. Salam

3. Serikat / Perseroan

4. Qirad

5. Musaqah (Paroan Kebun)

6. Muzara’ah Dan Mukhabarah (Paroan Sawah Atau Ladang)

7. Mempersewakan

(10)

9. Utang Piutang

10. Jaminan / Rungguhan

11. Hiwalah

12. Daman

13. Hajru

14. Balig

15. Wali Yatim

16. Sulhu / PerdamaianIkrar / Pengakuan

17. Berwakil‘Ariyah / Pinjam – Meminjam

18. Hibah, Sedekah, Dan Hadiah

19. Wadi’ah / Petaruh

20. Luqatah / Barang Temuan

21. Ihya-Ul Mawat (Membuka Tanah Baru)

22. Syuf’ah

1.4.3. Fatwa DSN MUI Tentang Fiqih

Kaidah fiqh yang Paling Sering digunakan Dewan Syari’ah Nasional (DSN)

Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Mengeluarkan Fatwa

1. Pada dasarnya semua bentuk muamalah (perkara yang sifatnya keduniawian)

boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkan.

2. Menghindarkan mafsadat (kerusakan atau bahaya) harus didahulukan atas

mendatangkan kemaslahatan.”

3. Segala Bahaya (beban berat atau kerugian) harus dihilangkan.

(11)

5. Di mana terdapat kemaslahatan, disana terdapat hokum Allah.

6. Setiap utang piutang yang mendatangkan manfaat (kelebihan bagi yang

berpiutang, muqridh) adalah riba

7. Kesulitan itu dapat menarik kemudahan

8. Keperluan itu dapat menduduki posisi darurat

9. Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan sama dengan sesuatu yang

berlaku berdasarkan syara’ (selama tidak bertentangan dengan syariat)

(12)

BAB II

USHUL FIQH

2.1. Pengertian Ushul Fiqih

Ilmu Ushul Fiqh adalah suatu ilmu yang menguraikan tentang metode yang

dipakai oleh para imam mujtahid dalam menggali dan menetapkan hukum syar’i dari

nash. Dan berdasar nash pula mereka mengambil ‘illat yang menjadi landasan hukum

serta mencari maslahat yang menjadi tujuan hukum syar’i, sebagaimana dijelaskan dan

disyariatkan oleh al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Dalam hal ini, menjelaskan bagi seorang

faqih bagaimana cara mengambil hukum dari dalil-dalil syar’a.

Ushul Fiqh adalah takrib idhafi (kalimat majemuk) yang telah menjadi nama bagi suatu disiplin ilmu tertentu. Ditinjau dari segi ethymologi, ushul fiqh terdiri dari mudhaf

dan mudhaf ilaih. Menurut aslinya kalimat tersebut bukan merupakan nama bagi suatu disiplin ilmu tertentu, tetapi masing-masing dari mudhaf dan mudhaf ilaih mempuyai pengetian sendiri-sendiri. Untuk itu, sebelum memberikan definisi ushul fiqh, terlebih

dahulu kita harus mengetahui pengertian lafazh “ushul” (yang menjadi mudhaf) dan lafazh “fiqh” (yang menjadi mudhaf ilaih).

Fiqh secara ethymologi berarti pemahaman yang mendalam tentang tujuan suatu

ucapan dan perbuatan. Seperti firman Allah yang berbunyi:

Artinya: “Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak

memahami pembicaraan sedikit pun” (QS. An-Nisa: 78)

(13)

Artinya: “Barang siapa dikehendaki Allah sebagai orang baik, pasti Allah akan

memahamkannya dalam persoalan agama”.

Demikian pula firman Allah didalam surat al-A’raf yang berbunyi:

Artinya: “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari

jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk

memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak

dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai

telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu

sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang

yang lalai”. (QS. al-A’raf: 179)

Sedangkan pengertian fiqh menurut terminologi para fuqaha’ (ahli fiqih) adalah

tidak jauh dari pengertian fiqih menurut ethymologi. Hanya saja pengertian fiqh

menurut terminologi lenih khusus dari pada menurut ethymologi. Fiqh menurut

terminologi adalah “Pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan

manusia, yang diambil dari dalil-dalil yang terinci (mendetail)”.

Dari definisi tersebut, dapat diketahui bahwa pembahasan ilmu Fiqh itu ada 2

(14)

1. Pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia yang

praktis. Oleh karena itu, hukum-hukum mengenai I’tiqad (keyakinan) seperti

ke-Esa-an Allah, terutama para rasul, serta penyampaian risalah Allah oleh para

rasul, keyakinan tentang hari kiamat dan hal-hal yang terjadi pada saat itu,

kesemuannya tidak termasuk di dalam pengertian fiqh menurut istilah.

2. Pengetahuan tentang dalil-dalil yang terinci (mendetail) pada setiap

permasalahan. Seperti bila dikatakan, membeli secara berpesan, itu harus

menyerahkan uangnya terlebih dahulu pada waktu akad, maka ia disertai

dalilnya dari Al-Qur’an. Jika dikatakan, bahwa setiap penambahan dari harta

pokok itu disebut riba, maka hal itu disertai dalilnya dari Al-Qur’an yang

berbunyi:

Artinya: “Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok

hartamu. Kamu tidak menganiaya dan tida (pula) dianiaya” (QS. al-Baqarah:

279)

Dari sini dapat diketahui, bahwa pembahasan ilmu Fiqih adalah hukum yang

terinci pada setiap perbuatan manusia, baik halal, haram, makruh atau wajib beserta

dalilnya masing-masing.

Adapun pengertian ‘ashl’ (jamaknya : ‘ushul’) menurut ethymologi adalah dasar

(fundamen) yang di atasnya dibangun sesuatu. Pengertian ini sama dengan pengertian

ushul secara terminologi, karena ushul fiqh menurut terminologi adalah “dasar yang

dijadikan pijakan oleh ilmu Fiqh”.

Oleh karena itu Syeikh Kamaluddin ibn Himam di dalam Tahrir memberikan

definisi ushul fiqih : “ushul fiqh adalah pengertian tentang kaidah-kaidah yang dijadikan

(15)

adalah kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang cara (methode) pengambilan

(penggalian) hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalil

syar’i. Sebagai contoh, ushul fiqh menetapkan, bahwa perintah (amar) itu menunjukan

hukum wajib, dan larangan (nahi) menunjukan hukum haram.

Jika seorang ahli fiqh akan menetapkan hukumnya shalat, apakah wajib atau tidak,

maka ia mengemukakan firman Allah di dalam surat ar-Rum 31, al-Mujadalah 13 dan

al-Muzammil 20 yang berbunyi:

Artinya: “Dirikanah shalat”

Bila ia akan mengemukakan hukumnya ibadah haji, maka ia mengemukakan

sabda Rasulullah SAW, yang berbunyi:

Artinya: “Sesungguhnya Allah SWT, telah mewajibkan ibadah haji atas kamu

sekalian, maka tunaikanlah ibadah haji tersebut”.

Demikian juga bila ingin mengetahui hukumnya meminum khamar (minuman

yang memabukkan), maka ia akan mengemukakan firman Allah yang berbunyi:

“Sesungguhnya (meninum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib

dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah

perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan

Perintah untuk menjauhi berarti larangan untuk mendekatinya. Dan tidak ada

bentuk larangan yang lebih kongkrit dari bentuk larangan tersebut.

Dari contoh-contoh tersebut, jelaslah perbedaan antara fiqh dan ushul fiqh, bahwa

ushul fiqh merupakan methode (cara) yang harus ditempuh oleh ahli fiqh (faqih) di

dalam menetapkan hukum-hukum syara’ berdasarkan dalil-dalil syar’i, serta

mengklasifikasikan dalil-dalil tersebut berdasarkan kualitasnya. Dalil dari al-Qur’an

(16)

al-Qur’an dan Hadis. Sedangkan fiqh adalah hasil hukum-hukum syar’i berdasarkan

methode-methode tersebut.

2.2. Metode Istinbath

2.2.1. Pengertian Istinbat

Secara etimologi istinbath berarti penemuan, penggalian, pengeluaran (dari asal).

Sedangkan hukum mempunyai arti hukum, peraturan dan kekuasaan. Dari pengertian

tersebut dapat dipahami bahwa istinbath hukum Al-Qur'an adalah menemukan dan

mengambil hukum dari Al-Qur'an.

Sedangkan menurut istilah berarti mengeluarkan makna-makna dari nash-nash

yang terkandung didalamnya dengan cara mengerahkan kemampuan atau potensi

naluriyah. Dari nash tersebut terbagi menjadi dua macam, yaitu yang berbentuk bahasa

(lughawiyah) yang biasa disebut lafdhiyah dan adakalanya tidak berbentuk bahasa, yang

biasa disebut maknawiyah. Dalam pembahasan berikutnya akan kami

jelaskan tentang pembagian masing-masing.

2.2.2. Istinbath Lafdzi

Yaitu mengistinbathkan hukum atau mengambil suatu hukum ditinjau dari segi

lafadznya. Para ulama’ Ushul memakai kaidah bahasa berdasarkan makna tujuan

ungkapan-ungkapan yang telah ditetapkan oleh para ahli bahasa Arab, sesudah diadakan

penelitian-penelitian yang bersumber dari kesusasteraan Arab.

Ada tiga cara untuk mengetahui makna yang tepat dari suatu lafadz atau uslub-nya:

1. Berdasarkan pengertian banyak orang yang telah mutawatir, telah terkenal serta

(17)

Imam Syafi’i menyebutnya dengan Ilmu al-’Ammah. Yaitu sesuatu yang sudah

menjadi maklum (umum)

2. Berdasarkan pengertian orang-orang tertentu dan tidak diketahui oleh kelompok

lain. Hal ini dapat kita jumpai dalam istilah-istilah ilmiah. yang menurut Imam

Syafi’i disebut ilmu al-khasshah

3. Berdasarkan hasil pamikiran akal nalar terhadap suatu lafadz.

Namun demikian tidaklah semua orang dapat menetapkan pengertian kata-kata itu

berdasarkan hasil pemikiran akal setiap orang, tetapi haruslah oleh yang ahlinya

dalam bahasa itu, dan mengerti tentang perkembangan pemakainnya di kalangan

masyarakat.

2.2.3. Macam-macam Istinbath Lafdzi:

1. Khash

Dalam mendefinisikan kata khash para Ulama’ Ushul berbeda pendapat. Namun, pada

hakikatnya definisi tersebut memiliki pengertian yang sama. Hukum Lafadz Khash.

Suatu lafadz dalam nash hukum syara’ yang menunjukan suatu lafadz tertentu adalah

qath’i bukan dhanny, selama tidak ada dalil-dalil lain yang mengubah maknanya. Oleh

karena itu, apabila lafadz khash dikemukakan dalam bentuk mutlak, tanpa batasan

apapun maka lafadz itu memberi faedah ketetapan hukum secara mutlak, selama tidak

ada dalil yang membatasinya. Dan bila lafadz itu dikemukakan dalam bentuk perintah,

maka ia memberikan faedah berupa hukum wajib bagi yang diperintahkan (ma’mur

bih), selama tidak ada dalil yang memalingkan pada makna yang lain. Demikian juga

(18)

berupa hukum haram terhadap hal yang dilarang itu, selama tidak ada qarinah atau

indikasi yang memalingkan dari hal itu.

2. ’Amm

Lafadz ’Amm adalah suatu lafadz yang menunjukan suatu makna yang mencakup

seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu (global). Tidak ada perbedaan

dalam pengertian ’amm tersebut apakah dinyatakan dengan lafadz plural (jamak) atau

singular (tunggal). Para Ulama’ Ushul memberikan definisi ’amm salah satunya adalah

menurut ulama’ Syafi’iyah, yang berpendapat bahwa ’amm adalah : ”satu lafadz yang

dari satu segi menunjukan dua makna atau lebih.” Hukum berhujjah dengan ’Amm:

Jumhur Ulama’ Ushul berpendapat bahwa dalalah menunjukan seluruh satuannya secar

dzanniyah, karena apa yang terkandung didalam lafadz ’amm itu kebanyakan yang

dikehendaki adalah beberapa atau sebagian dari satuan-satuannya saja. Karena itu

dikalangan ulama’ terkenal adanya kaidah :

”tidak ada satupun dari yang umum melainkan ia di takhsiskan (dibatasi).” Jadi, tidak

diperkenankan langsung berhujjah dengan dalil ’amm dalam menetapkan hukum.

Karena itu para mujtahid diwajibkan meneliti lebih dahulu apakah ada pen-takhsis-nya

atau tidak.

3. Amr (perintah)

Definisi amr menurut Jumhur Ulama’ adalah suatu permintaan dari atasan kepada

bawahan untuk mengerjakan suatu pekerjaan. Bentuk Amr dan hakikatnya. Menurut

Jumhur Ulama’, amr secara hakikat menunjukan wajib dan tidak bisa berpaling pada

arti lain. Kecuali bila ada qarinah. Pendapat ini dipegang oleh al-hamidi, As-Syafi’i,

para Fuqaha, kaum mutakallimin, seperti Al-Husein Al-Basari dan Al-Juba’i. Golongan

(19)

Mu’tazilah menyatakan bahwa hakikat amr adalah nadb (Sunnah).

Golongan ketiga berpendapat bahwa amr itu musytarak antara wajib dan nadb, pendapat

ini dipengaruhi oleh Abu Mansur Maturidi. Pendapat keempat, Qadi Abu Bakr,

Al-Gazali, dan lain-lain, menyatakan bahwa amr itu maknanya bergantung pada dalil yang

menunujukan maksudnya.

 Perintah sesudah larangan. Ada perbedaan pendapat ulama’ tentang dalalah amr

sesudah nahi. Ada yang mengatakan bahwa amr itu tetap wajib dikerjakan

walaupun sebelumnya ada larangan untuk berbuat. Namun demikian yang

masyhur dikalangan ulama’ Ushul ialah amr sesudah nahi adalah ibahah

(Kebolehan)

 Perintah dan waktu mengerjakannya

Lafadz amr baik dalam Al-qur’an maupun al-Hadis pada hakikatnya adalah

untuk mengerjakan apa yang disuruh. Suruhan itu tidak harus segera

dilaksanakan dalam waktu yang cepat ataupun ditangguhkan. Semuanya itu

dapat dipahami dengan adanya qarinah-qarinah (argumen) lain.

4. Nahi (larangan)

Definisi nahi adalah kebalikan dari amr yaitu lafadz yang menunjukan tuntutan untuk

meninggalkan sesuatu dari atasan kepada bawahan. Makna Sighat Nahi :

a. Menurut Jumhur Ulama, pada dasarnya adalah menunjukan kepada tahrim,

seperti firman Allah SWT yang artinya : ”janganlah kamu mendekati zina”.

(al-Isra’: 32) Dari pernyataan diatas dapat disimpulakan bahwa, pada dasarnya

larangan itu untuk mengharamkan (sesuatu perbuatan yang dilarang)

b. Pendapat kedua, menyatakan bahwa pada dasarnya nahyi itu menunjukan pada

(20)

kepada karahah (perbuatan yang dibenci). Alasan mereka larangan itu karena

buruknya perbuatan yang dilarang dan tidak mesti harus haram. Diantara yang

haram dan yang makruh, yang paling diyakini adalah yang makruh bukan yang

haram, apalagi pada dasarnya segala perbuatan itu adalah boleh dikerjakan.

5. Muthlaq dan Muqayyad

Muthlaq adalah suatu lafadz yang menunjukan hakikat sesuatu tanpa pembatasan yang

dapat mempersempit keluasan artinya. Sedangkan Muqayyad adalah suatu lafadz yang

menunjukan hakikat sesuatu yang dibatasi dengan suatu pembatasan yang

mempersempit keluasan artinnya. Bentuk-bentuk Mutlaq dan Muqayyad :

 Suatu lafadz dipakai dengan mutlaq pada suatu nash, sedangkan pada nash lain

digunakan dengan Muqayyad, keadaan ithlaq dan taqyid-nya bergantung pada

sebab hukum.

 Lafadz mutlaq dan muqayyad berlaku sama pada hukum dan sebabnya.

 Lafadz mutlaq dan muqayyad yang berlaku pada nash itu berbeda, baik dalam

hukumnya ataupun sebab hukumnya

 Mutlaq dan muqayyad berbeda dalam hukumnya, sedangkan sebab hukumnya

sama. Mutlaq dan muqyyad sama dalam hukumnya, tetapi berbeda dalam

sebabnya. Hukum lafadz mutlaq dan muqayyad: Lafadz mutlaq dan muqayad,

masing-masing menunjukan kepada makna yang qath’i dalalah-nya. Karena itu

apabila lafadz tersebut mutlaq maka harus diamalkan sesuai dengan

muthlaq-nya. Dan apabila lafadz itu muqayyad, maka harus diamalkan sesuai dengan

muqayyad-nya. Yang demikian itu berlaku selama belum ada dalil yang

(21)

2.2.4. Istinbath Maknawi

a. Makna Dhahir

Penjelasan tentang dhahir atau (dhahirud dalalah) adalah termasuk pembicaraan

tentang lafadh ditinjau dari segi terang atau tidaknya arti yang terkandung di dalamnya.

Menurut para ulama ushul fiqh, dhahirud dalalah atau juga disebut dengan

wadlihud dalalah ialah lafadh yang menunjukkan kepada ketegasan arti yang

dimaksudkan secara jelas dalam lafadh itu sendiri, tidak tergantung kepada sesuatu hal

di luar lafadh tersebut. Dengan kata lain, dhahirud dalalah adalah lafadh yang terang arti

yang ditunjuki, sehingga untuk sampai kepada arti tersebut tidak perlu adanya sesuatu

bantuan di luar lafadh itu.

Dilihat dari tingkat terangnya lafadh itu dalam menunjukkan kepada arti yang

dimaksudkan, maka dhahirud dalalah adalah dibagi menjadi empat macam, sedangkan

urutan tingkat empat macam tersebut dari yang terang kemudian yang lebih terang dan

seterusnya meningkat kepada yang lebih terang lagi, adalah sebagai berikut : dhahir,

nash, mufassar kemudian muhkam.

1) Dhahir

Dhahir ialah suatu lafadh yang jelas dalalahnya menunjukkan kepada suatu arti asal

tanpa memerlukan factor lain diluar lafadh itu dan mungkin dapat ditakwilkan

dalam arti yang lain, dan mungkin juga dimasukkan.

Hukum dhahir adalah wajib diamalkan menurut arti yang ada pada lafadh itu kecuali

ada dalil lain yang men-ta’wil-kannya. Jika dhahir berupa lafadh mutlak harus

diamalkan menurut mutlaknya sampai ada dalil yang men-taqyid-kan (membatasi)

kemutlakan tersebut, dan jika dhahir itu berupa lafadh ’amm, maka harus diamalkan

(22)

(mengkhususkan) berlakunya keumuman tersebut atau diamalkan menurut arti yang

ada pada lafadh itu sampai ada dalil yang me-mansukh-kannya.

2) Nash

Nash ialah suatu lafadh yang tidak mungkin mengandung pengertian lain, selain

yang ditunjukkan oleh lafadh itu sendiri yang dapat ditakwilkan. Sebagaimana

hukum dhahir, nash juga harus diamalkan menurut arti yang ada pada nash tesebut

sampai ada dalil yang men-takwil-kan, yaitu kalau lafadh itu berupa lafadh mutlak

harus diamalkan atas kemutlakannya sampai ada dalil yang men-taqyid-kannya. Dan

kalau nash itu berupa lafadh ’amm harus diamalkan atas keumumannya sampai ada

dalil yang mengkhususkan atau diamalkan menurut arti yang ada pada lafadz

tersebut sampai ada dalil yang me-mansukh-kan.

3) Mufasshar

Mufasshar ialah suatu lafadh yang terang petunjuknya kepada arti yang dimaksud

dengan disusunnya lafadh itu yang tidak mungkin di-takwil-kan kepada yang lain,

akan tetapi dapat menerima nasakh (penghapusan) pada masa Rasulullah saw.

Mufasshar dibedakan menjadi dua macam, yaitu mufassar lidzatihi dan mufassar

bighoirihi.

a) Mufasshar lidzatihi yaitu lafadh yang tidak membutuhkan penjelasan dari yang

lain untuk terangnya petunjuk kepada arti yang dimaksudkan

b) Mufasshar bighoirih, yaitu lafadh yang membutuhkan penjelasan dari yang lain

untuk terangnya petunjuk kepada arti yang dimaksudkan.

4) Muhkam

Muhkam ialah lafadh yang terang petunjuknya kepada arti yang dimaksudkan

(23)

dimansukhkan pada masa Rasulullah saw. Tidak di-mansukh-kannya muhkam,

karena hukum-hukum yang tersebut merupakan hukum-hukum yang pokok dalam

agama, seperti ibadah hanyalah kepada Allah swt dll.

b. Makna Khafi

Pembicaraan tentang khafi atau lengkapnya disebut dengan khafiyud dalalah juga

merupakan bagian dari pembiraan tentang lafadh ditinjau dari segi terang atau tidaknya

petunjuknya kepada arti yang dimaksudkan. Khafiyud oleh para ulama ushul fiqh

diartikan dengan : lafadh yang tertutup (tidak terang) aartinya, oleh karena itu keadaan

lafadh itu sendiri atau karena hal-hal lain. Para ulama membagi khafiyud dalalah

menjadi empat macam, yaitu : Khafi, musykil, mujmal dan mutasyabih.

1. Khafi

Khafi ialah suatu lafadh yng terang maknanya secara lahiriah tetapi pemakaiannya

kepada sebagian lafadhnya tidaklah mudah memerlukan pemikiran yang mendalam.

Sebab timbulnya khafi, ialah karena adanya sebagian satuan yang terkandung

dalam lafadh itu yang mempunyai nama tersendiri atau mempunyai nama tersendiri

atau mempunyai sifat-sifat tertentu yang membedakan dengan satuan yang lain.

2. Musykil

Musykil ialah lafadh yang terang petunjuknya kepada arti yang dimaksudkan, untuk

menjelaskan maksudnya harus dibantu. Arti tidak mungkin diketahui kecuali

dengan adanya dalil-dalil lain yang menjelaskan maksudnya. Sebab terjadinya

musykil yaitu, karena lafadh tersebut mempunyai lebih dari satu arti yang berbeda,

baik arti hakiki maupun arti majazi, dan lafadz itu sendiri tidak menentukan salah

(24)

pemahaman lain, maka tidak akan dapat dipahami arti yang dimaksudkan, kecuali

dengan adanya dalil-dalil lain yang menjelaskannya.

3. Mujmal

Mujmal ialah lafadh yang terang arti yang dimaksudkan oleh karena keadaan lafadh

itu sendiri, dan tidak mungkin dapat diketahui arti yang dimaksudkan itu kecuali

dengan adanya penjelasan dari syara’.

4. Mutasyabih

Mutasyabih ialah lafadh yang tidak terang arti yang dimaksudkan karena pada

lafadh itu sendiri dan tidak dapat qarinah yang menjelaskannya.

2.3. SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM

2.3.1. AL-QUR’AN

Al-Qur’an adalah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Ayat

yang pertama kali turun adalah :

Artinya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia

telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha

Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan

kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. al-Alaq : 1-5)

Ayat-ayat yang permulaan turun ini menunjukkan bahwa al-Qur’an mengajak

manusia untuk mengetahui ilmu pengetahuan. Tema pembahasannya pun ilmu

pengetahuan, dan apa yang dibawanya dasar ilmu pengetahuan. Dia mengajarkan

manusia apa yang tidak diketahuinya. Sedangkan ayat yang terakhir turun adalah:

(25)

Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Dengan sempurnanya turunnya al-Qur’an itu, maka menjadi lengkaplah syari’at

Islam. Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur selama 23 tahun, yaitu masa dimana

kerisalahan Muhammad berlangsung. Sebagian diantaranya turun di Makkah dalam

masa tegaknya kerisalahan itu, dan sebagian yang lain turun di kota Madinah.

Ayat-ayat al-Qur’an yang turun di Makkah, kebanyakan atau bahkan seluruhnya

menerangkan tentang akidah Islamiyah yaitu al-Wahdaniyah (Ke-Esaan Tuhan), keimanan terhadap para malaikat, para nabi dan hari akhir.

Ayat-ayat al-Qur’an yang turun di Madinah, mengandung hukum-hukum fiqh,

aturan keluarga, dan aturan tentang hubungan antara orang-orang muslim dengan

non-muslim yang menyangkut perjanjian dan perdamaian. Adapun ayat-ayat yang berkenaan

dengan hukum itu turun setelah hijrah, karena pada saat itu Daulah Islamiyah telah

terbentuk lengkap dengan aparat pemerintahannya, sehingga mampu untuk mengfusikan

hukum-hukum itu.

Artinya : Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Qur'an itu tidak diturunkan

kepadanya sekali turun saja?" demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan

Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar).

Dengan pembicaraan ini menjadi jelaslah pernyataan dan jawaban tersebut.

(26)

didalamnya terkandung dua aspek. Bahwa turunnya al-Qur’an secara berangsur’angsur

itu untuk menguatkan hati. Dan juga untuk mentartilkan al-Qur’an.

Al-Qur’an adalah syari’at Islam yang bersifat menyeluruh. Ia merupakan sumber

dan rujukan yang pertama bagi syari’at, karena di dalamnya terdapat kaidah-kaidah

yang bersifat global beserta rinciannya.

Jika al-Qur’an merupakan syari’at Islam yang bersifat menyeluruh, maka

mayoritas penjelasannya adalah bersifat global, dan sedikit sekali yang terinci.

Seseorang yang meneliti hukum-hukum dalam al-Qur’an, niscaya akan menemukan

penjelasannya dalam tiga macam, yaitu: (1) Penjelasan al-Qur’an bersifat sempurna.

Dalam hal ini Sunnah berfungsi untuk menetapkan makna yang dikandungnya. (2) Nash

Al-Qur’an bersifat mujmal (global), sedang Sunnah berfungsi untuk menjelaskannya. (3) Nash al-Qur’an hanya menjelaskan pokok-pokok hukum, baik dengan isyarat,

maupun dengan ungkapan langsung. Kemudian Sunnah merinci hukum tersebut dengan

sempurna.

2.3.2. SUNNAH

Sunnah Nabi ialah: ucapan, perbuatan serta ketetapan-ketetapan Nabi SAW.

Dengan demikian Sunnah dilihat dari segi materi dan esensinya terbagi menjadi tiga:

1. Sunnah qauliyah (ucapan) 2. Sunnah fi’liyah (perbuatan) 3. Sunnah taqririyah (ketetapan

Sunnah berfungsi sebagai penopang dan penyempurna al-Qur’an dalam

menjelaskan hukum-hukum syara’. Karena itu, Imam Syafi’i dalam menerangkan

al-Qur’an dan Sunnah tidak menguraikan secara terpisah. Keduanya merupakan satu

(27)

pokok (ashl) yang satu, yakni nash. Keduanya saling menopang secara sempurna dalam menjelaskan syari’ah.

Meski demikian, Sunnah juga merupakan sumber pokok (ashl) dalam istinbath

hukum yang berdiri sendiri. Ada beberapa alasan yang kuat yang mendukung

pemakaian Sunnah sebagai hujjah, yang dapat diringkas sebagai berikut.

Pertama, adanya nash-nash al-Qur’an yang memerintahkan agar patuh dan tunduk

kepada Nabi. Firman Allah SWT:

Artinya: Barangsiapa yang menta’ati Rasul itu, sesungguhnya ia telah manta’ati Allah. (Q.S an-Nisa : 80)

1) PENGAMBILAN HUKUM DARI AL-QUR’AN DAN SUNNAH

Setiap Istinbath (pengambilan hukum) dalam Syari’at Islam harus berpijak atas al-Qur’an al-Karim dan Sunnah Nabi. Ini berarti dalil-dalil Syara’ ada dua macam, yaitu:

nash dan ghairun nash (bukan nash). Dalil-dalil yang tidak termasuk dalam kategori

nash seperti qiyas dan istihsan, pada hakekatnya digali, bersumber dan berpedoman pada nash.

(28)

kesimpulan hukum bukan kepada nash langsung seperti menggunakan qiyas, istihsan, mashalih mursalah, dzara’i dan lain sebagainya.

2) IJMA’

Ijma’ adalah salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentatif

setingkat di dawah dalil-dalil nash (al-Qur’an dan Hadits). Ia merupakan dalil pertama

setelah al-Qur’an dan Hadits, yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali

hukum-hukum syara’.

Ijma’ ialah : kesepakatan para mujtahid dalam suatu masa setelah wafatnya

Rasulullah SAW, terhadap hukum syara’ yang bersifat praktis (‘amali). Para ulama telah bersepakat, bahwa ijma’ dapat dijadikan argumentasi (hujjah) untuk menetapkan hukum syara’, tetapi mereka berbeda pendapat dalam menentukan siapakah ulama

mujtahidin yang berhak menetapkan ijma’.

Dalil yang menjadi dasar ijma’ adalah sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:

Artinya: “Apa yang dipandang oleh kaum muslimin baik, maka menurut pandangan Allah juga baik”.

Juga sabda Rasulullah SAW yang berbunyi ; Artinya: “Umatku tidak akan bersepakat atas perbuatan yang sesat”.

3) FATWA SAHABAT

Sahabat adalah orang-orang yang bertemu Rasulullah SAW, yang langsung

menerima risalahnya, dan mendengar langsung penjelasan syari’at dari beliau sendiri.

Oleh karena itu Jumhur Fuqaha telah menetapkan bahwa pendapat mereka dapat

(29)

Artinya:

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara

orang-orang muhajirin dan Ansar dan orang-orang-orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah

rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi

mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di

dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar”. (QS. at-Taubah : 100)

Dalam ayat ini Allah SWT memuji orang-orang yang mengikuti para sahabat.

Sebagai konsekuensi logis dari pujian Allah SWT tersebut, berarti kita diperintahkan

untuk mengikuti petunjuk-petunjuk mereka, dan karena itu fatwa-fatwa mereka dapat

dijadikan hujjah.

Sabda Rasulullah SAW yang berbunyi;

Artinya: “Saya adalah kepercayaan (orang yang dipercaya) sahabatku, sedang sahabatku adalah kepercayaan para umatku”.

Kepercayaan umat kepada para sahabat berarti menjadikan fatwa-fatwa sahabat

sebagai bahan rujukan karena kepercayaan para sahabat kepada Nabi berarti kembalinya

mereka kepada petunjuk Nabi Muhammad SAW.

4) QIYAS

Pengertian qiyas menurut ulama ushul ialah menerangkan hukum sesuatu yang

tidak ada nashnya dalam al-Qur’an dan Hadis dengan cara membandingkannya dengan

sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi

lain: Qiyas ialah menyamakan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya

persamaan illat hukum.

Dengan cara qiyas itu berarti para mujtahid telah mengembalikan ketentuan hukum

(30)

bersifat implisit-analogik terkandung dalam nash tersebut. Mengenai qiyas ini, Imam

Syafi’i mengatakan: “Setiap peristiwa pasti ada kepastian hukum dan ummat Islam

wajib melaksanakannya. Akan tetapi jika tidak ada ketentuan hukumnya yang pasti,

maka harus dicari pendekatan yang sah, yaitu dengan ijtihad. Dan ijtihad itu adalah

Qiyas”.

Jadi hukum Islam itu ada kalanya dapat diketahui melalui bunyi nash, yakni

hukum-hukum yang secara tegas tersurat dalam al-Qur’an dan Hadits, ada kalanya harus

digali melalui kejelian memahami makna dan kandungan nash. Yang demikian itu dapat

diperoleh melalui pendekatan qiyas.

5) ISTIHSAN

Istihsan adalah sumber hukum yang banyak dipakai dalam terminologi dan

istinbath hukum oleh dua Imam Madzhab, yaitu Imam Malik dan Imam Abu Hanifah. Bahkan Imam Malik menilai, pemakaian istihsan merambah 90% dari seluruh ilmu (fiqh), sementara itu, murid-murid Abu Hanifah, seperti diceritakan Imam Muhammad

bin Hasan, tidak sejalan dengan gurunya. Istihsan dipandang tidak jelas kriterianya.

Imam Abu al-Hasan al-Karkhi mengemukakan definisi, bahwa istihsan ialah: “penetapan hukum dari seorang mujtahid terhadap suatu masalah yang menyimpang

dari ketetapan hukum yang diterapkan pada masalah-masalah yang serupa, karena ada

alasan yang lebih kuat yang menghendaki dilakukan penyimpangan itu”. Definisi

tersebut bisa mencakup seluruh macam istihsan serta dapat menyentuh pada asas dan inti pengertiannya. Asas dimaksud ialah adanya diktum hukum yang menyimpang dari

kaedah yang berlaku, karena ada fakor lain yang mendorong agar keluar dari

keterkaitannya dengan kaedah itu, yang dipandang justru akan lebih dekat pada tujuan

(31)

Sehingga dengan demikian, berpegang pada istihsan dalam pemecahan kasus itu lebih kuat dari pada menggunakan dalil qiyas.

Mengenai definisi istihsan menurut Madzhab Maliki, para ulama masih berbeda pendapat. Ibnul Araby membuat definisi yang hampir mendekati definisi golongan

Hanafi. Ia mengatakan : “istihsan ialah memilih meninggalkan dalil, dan mengambil

rukhshah dengan hukum sebaliknya, karena dalil itu berlawanan dengan dalil lain pada sebagian kasus tertentu”. Ia membagi istihsan kepada empat macam, yaitu:

1. meninggalkan dalil karena ‘urf 2. meninggalkan dalil karena ijma’

3. meninggalkan dalil karena maslahat, dan

4. meninggalkan dalil karena untuk meringankan dan menghindarkan masyaqat. 6) ‘URF

Ini merupakan satu sumber hukum yang diambil oleh Madzhab Hanafy dan

Maliky, yang berada di luar lingkup nash. ‘Urf (tradisi) adalah bentuk-bentuk

mu’amalah (hubungan kepentingan) yang telah menjadi adat kebiasaan dan telah berlangsung ajeg (konstan) di tengah masyarakat. Dan ini tergolong salah satu sumber

hukum (ashl) dari ushul fiqh yang diambil dari intisari sabda Nabi Muhammad SAW:

Artinya: “Apa yang dipandang baik kaum muslimin, maka menurut Allah pun digolongan sebagai perkara yang baik”.

Hadits ini, baik dari segi ibarat maupun tujuannya, menunjukan bahwa setiap

perkara yang telah mentradisi di kalangan kaum muslimin dan dipandang sebagai

perkara yang baik, maka perkara tersebut juga dipandang baik di hadapan Allah.

(32)

(tradisi) yang telah dipandang baik oleh masyarakat akan menimbulkan kesulitan dan

kesempitan. Allah SWT berfirman:

Artinya: “Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suat kesempitan”

Oleh karena itu, ulama Madzhab Hanafy dan Maliky mengatakan bahwa hukum

yang ditetapkan berdasarkan urf yang shahih (benar), bukan yang fasid (rusak/cacat), sama dengan yang ditetapkan berdasarkan dalil syari’iy. Secara lebih singkat, pensyarah kitab ”Al-Asyabah wa an-Nazhair” mengatakan :

Artinya: “Diktum hukum yang ditetapkan berdasarkan ‘urf sama dengan diktum hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil syari’iy.

Imam as-Sarkhasi dalam kitab “al-Mabsudh” berkata:

Artinya: “Apa yang ditetapkan berdasarkan ‘urf statusnya seperti yang ditetapkan berdasarkan nash.”

Barangkali yang dimaksud dengan ucapan itu ialah bahwa apa yang ditetapkan

berdasarkan ‘urf sama dengan yang ditetapkan berdasarkan dalil syari’iy yang sederajat dengan nash sekiranya tidak terdapat nash.

7) MASHALIH MURSALAH

Berdasarkan istqra’ (penelitian empiris) dan nash-nash al-Qur’an maupun Hadits diketahui bahwa hukum-hukum syari’at Islam mencakup di antaranya pertimbangan

kemaslahatan manusia.

Allah berfirman:

(33)

Maslahat ini dapat ditangkap jelas oleh orang yang mempunyai kemauan berfikir

(intelektual), meskipun bagi sebagian orangyang masih dirasa samar atau mereka

berbeda pendapat mengenai hakekat maslahat tersebut. Perbedaan persepsi tentang

maslahat itu sebenarnya bermula dari perbedaan kemampuan intelektual orang-perorang

sehingga tidak diketemukan hakekat maslahat yang esensial yang terdapat dalam hukum

Islam, atau terpengaruh oleh keadaan yang bersifat temporal, atau diambil berdasarkan

pandangan yang bersifat lokalistik atau personal.

Maslahat yang mu’tabarah (dapat diterima) ialah maslahat-maslahat yang bersifat hakiki, yitu meliputi lima jaminan dasar:

1. Keselamatan keyakinan agama,

2. Keselamatan jiwa,

3. Keselamatan akal,

4. Keselamatan keluarga dan keturunan,

5. Keselamatan harta benda.

Kelima jaminan dasar itu merupakan tiang penyangga kehidupan dunia agar umat

manusia dapat hidup aman dan sejahtera.

Maslahat Mursalah atau Istihlah ialah maslahat-maslahat yang bersesuaian dengan tujuan-tujuan syari’at Islam, dan tidak ditopang oleh sumber dalil yang khusus, baik

bersifat melegitimasi atau membatalkan maslahat tersebut. Jika maslahat didukung oleh

sumber dalil yang khusus, maka termasuk kedalam qiyas dalam arti umum. Dan jika

terdapat ashl khas (sumber dalil yang khusus) yang bersifat membatalkan, maka maslahat tersebut menjadi batal. Mengambil maslahat dalam pengetian yang terakhir ini

(34)

Dzari’ah merupakan salah satu sumber pokok (ashl) yang secara eksplisit dituturkan dalam kitab-kitab dari madzhab Maliki dan Hanbali. Adapun kitab-kitab

madzhab yang lain tidak menuturkannya dengan judul itu. Tetapi secara implisit bab ini

dibahas dalam fiqh Madzhab Hanafy dan Syafi’i, meski terdapat perbedaan pada

bagian-bagian tertentu dan ada pula kesamaan pada bagian-bagian yang lain.

Dari segi etimologi, dzari’ah berarti wasilah (perantaraan). Sedang dari’ah

menurut isitilah ahli hukum Islam, ialah sesuatu yang menjadikan perantara ke arah

perbuatan yang diharamkan atau dihalalkan. Dalam hal ini, ketentuan hukum yang

dikenakan pada dzari’ah selalu mengikuti ketentuan hukum yang terdapat pada perbuatan yang menjadi sasarannya. Jelasnya: perbuatan yang membawa ke arah mubah

adalah mubah; perbuatan yang membawa ke arah haram adalah haram; dan perbuatan

yang menjadi perantara atas terlaksananya perbuatan wajib adalah wajib.

9) ISTISHHAB

Ditinjau dari segi bahasa istishhab berarti: persahabatan dan kelanggengan persahabatan. Sedang menurut istilah terdapat dua definisi yang keduanya memenuhi

kriteria sebagai definisi yang jami (comprehansive, mencakup seluruh afradnya). Imam as-Syaukany di dalam kitabnya Irsyad al-Fulul mengemukakan definisi bahwa

istishhab adalah “dalil yang memandang tetapnya suatu perkara selama tidak ada sesuatu yang mengubahnya”. Dalam pengertian bahwa ketetapan di masa lampau,

berdasarkan hukum asal, tetap terus berlaku untuk masa sekarang dan masa mendatang.

Berbeda dari sumber-sumber hukum yang lain, istishhab didasarkan pada “persengkataan kuat”, bahwa keajegan atau kontinuiatas status quo mengharuskan

adanya kontinuitas hukum. Oleh sebab itu sumber hukum ini tidak bisa dipandang

(35)

10) SYARI’AT UMAT TERDAHULU

Sesungguhnya syari’at –syari’at (agama) samawi secara prinsipil adalah satu.

Allah SWT berfirman:

“Dia telah mensyariatkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama) -Nya orang yang kembali (kepada-Nya)”. (QS. asy-Syura : 13)

Apabila yang menurunkan syari’at-syari’at at samawi adalah satu, yakni Allah SWT, maka berarti esensinya juga satu. Nash di atas jelas menerangkan hal itu,

diperkuat dengan ijma’ ulama. Hanya saja memang Allah SWT mengharamkan

sebagian kaum tertentu. Pengharaman ini dimaksudkan untuk mereka dari tenggelam

dalam kehidupan yang diliputi nafsu syahwat, sebagaimana firman Allah SWT dalam

kaitannya dengan kaum Yahudi, sebagai berikut:

(36)

disebabkan kedurhakaan mereka; dan sesungguhnya Kami adalah Maha Benar”. (QS. AL-An’am : 146)

11) PERTENTANGAN ANTAR DALIL

Semua dalil yang sudah dijelaskan dimuka merupakan jalan untuk mengetahui

hukum syar’i (Allah SWT). Jalan yang pertama (primer) adalah nash dan semua dalil selain nash harus mengacu kepadanya, atau setidaknya digali dari nash dengan memakai

kaidah-kaidah umum yang diakui sebagai jalan ntuk mengetahui tujuan syar’i (maqasid as-Syar’i), maka seharusnya tidak terjadi pertentangan (kontradiksi) selama dalam dasar dan pemahaman dalil-dalil tersebut serta cara menggali hukumnya dilakukan secara

benar sebab syar’i yang menetapkan dalil adalah satu yakni Allah SWT.

Dalam kenyataannya kontradiksi dalil yang terjadi tidak terlepas dari tiga

kemungkinan yaitu : pertentangan dari segi lahiriyahnya semata, kesulitan

mengkompromokian dua dalil yang nampak bertentangan , atau kesalahan anggpan

terhadap satu dalil yang sebetulnya bukan dalil. Apabila salah satu dari dua dalil yang

nampak bertentangan, atau kesalahan anggapan terhadap satu dalil yang sebetulnya

bukan dalil. apabila salah satu dari dua dalil yang bertentangan merupakan hadits ahad

dimana didalam sanad nya terdapat seorang perawi yang tidak dikenal adil, sementara

hadist yang satunya lagi merupakan hadits shahih yang disandarkan kepada nabi Saw ,

maka salah satu dari dua dalil yang bertentangan itu bersifat wahmy (salah anggapan ) ,

tidak hakiki, sehingga laik untuk digugurkan, sebab tidak kuat sandarannya kepada nabi

SAW. Pertentangan itu kadang kala di sebabkan oleh kesalahan anggapan, bahwa dua

nash menunjukan dua hukum yang bertentangan. Padahal pada hakekatnya tidak

terdapat pertentangan dua nash itu , akan tetapi masing- masing nash mempunyai arah

(37)

pemahaman) seorang mujtahid, tidak terletak pada nash maupun madlul nya (hukum

yang terkandung dalam nash).

2.4. Periode Fiqih dan Sejarah

Ilmu ushul fiqh tumbuh bersama-sama dengan ilmu Fiqh, meskipun ilmu Fiqh

dibukukan lebih dahulu dari pada ilmu Ushul Fiqh. Karena dengan tumbuhnya ilmu

Fiqh, tentu ada methode yang dipakai untuk menggali ilmu tersebut. Dan methode itu

tidak lain adalah ilmu Ushul Fiqh.

Jika penggalian hukum fiqh setelah wafatnya Rasulullah SAW adalah pada masa

sahabat, maka para fuqaha’ pada masa itu seperti Ibnu Mas’ud, Ali bin Abi Thalib dan

Umar ibn Khattab tidak mungkin menetapkan hukum tanpa adanya dasar dan batasan.

Bila seseorang mendengar bahwa Ali bin Abi Thalib menetapkan sanksi (pidana) bagi

orang yang meminum minuman keras, dan orang yang menuduh orang lain berbuat zina

tanpa ada bukti, tentu beliau melalui prosedur penetepan hukum yang legal, atau

menetapkan hukum berdasarkan preventif. Begitu juga ketika Ibnu Mas’ud memberikan

fatwa, bahwa ‘iddahnya perempuan yang ditinggal mati oleh suami, sementara ia

sedang hamil, adalah sampai melahirkan, berdasarkan firman Allah:

Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah

sampai mereka melahirkan kandungannya”. (QS. at-Thalaq : 4)

Dia memberikan fatwa demikian karena menurut asumsinya bahwa surat

at-Thalaq tersebut turun setelah surat Al-Baqarah.

Cara ini mengisyaratkan pada suatu kaidah ushul fiqih bahwa ayat yang turun

kemudian (akhir) itu menasakh (menghapus) ayat yang turun lebih dahulu atau

mentakhisnya. Dengan demikian jelaslah bahwa cara-cara penetapan hukum tersebut

(38)

sahabat semuanya berdasarkan methodologi, meskipun mereka tidak selalu menjelaskan

hal tersebut.

Pada masa tabi’in, penggalian hukum syar’a semakin meluas, lantaran banyak

permasalahan yang terjadi pada saat itu, dan bayaknya para ulama’ tabi’in yang

memberikan fatwa, seperti Sa’id ibn Musayyab dan kawan-kawan di Madinah,

‘Alqamah dan Ibrahim an-Nakha’i di Iraq. Sebagai dasar di dalam memberikan fatwa,

mereka mempunyai Al-Qur’an, Hadits dan fatwa-fatwa sahabat. Bila tidak dapat

keterangan dari nash, maka sebagian mereka ada yang menempuh penetapan hukum

dengan mempertimbangkan kemashlahatan dan ada pula yang menempuh jalan qiyas.

Jalan yang ditempuh oleh Ibrahim an-Nakha’i dan fuqaha’ Iraq di dalam menetapkan

hukum-hukum cabang adalah dengan menetapkan ‘illat (titik persamaan) yang

dipergunakan untuk mengqiyaskan setiap permasalahan yang bermacam-macam.

Pada periode tabi’in ini, kita menjumpai methode penetapan hukum syara’ yang

lebih banyak dibanding periode sebelumnya (masa sahabat), karna setiap

madzhab/aliran fiqh mempunyai methode penetapan hukum yang berbeda dengan

madzhab fiqh yang lain.

Setelah periode tabi’in, tepatnya pada masa imam-imam mujtahid, methode

penetapan hukum syara’ bertambah banyak corak dan ragamnya. Dengan semakin

banyaknya methode penetapan hukum, maka semakin banyak pula kaidah-kaidah

istinbath dan petunjuk-petunjuknya, sebagaimana dapat kita lihat dengan jelas dari

ucapan para Imam mujtahid.

Imam Abu Hanifah misalnya membatasi dasar-dasar ijtihadnya dengan

menggunakan al-Qur’an, Hadits, dan fatwa-fatwa sahabat yang telah disepakati. Sedang

(39)

tidak keluar (menyimpang) dari fatwa-fatwa tersebut. Dia sama sekali tidak mau

mengambil pendapat para tabi’in, karena dia berpendapat bahwa mereka sama

(sederajat) dengan dirinya. Dalam berijtihad, dia menyamakan antara qiyas dan istishan.

Seorang muridnya Muhammad ibn Hasan as-Syaibani mengatakan, “Para pengikut Abu

Hanifah berbantah-bantahan dengan beliau dalam masalah qiyas. Jika beliau

mengatakan ‘berishtisanlah’, maka tidak ada seorangpun yang melanjutkan perdebatan

tersebut.”

Imam Maliki mempunyai methode ijtihad yang jelas dengan berlandaskan pada

amal (tradisi) penduduk Madinah. Hal itu di jelaskan di dalam kitab-kitabnya,

risalah-risalahnya, syarat periwayatan hadits serta kritiknya terhadap hadits seperti yang

dilakukan oleh Imam Shairafi al-Mahir. Begitu juga penolakannya terhadap sebagian

atsar yang dinisbatkan kepada Rasulullah lantaran bertentangan dengan nash al-Qur’an atau ketetapan yang telah masyhur dalam kaidah agama, seperti penolakannya terhadap

hadits yang berbunyi : yang artinya: “Apabila ada anjing menjilat pada bejana kamu

sekalian, maka basuhlah (sucikanlah) tujuh kali”.

Atau penolakannya terhadap hadits tentang khiyar majlis dan hadits tentang

pemberian shadaqah dari orang yang wafat.

Demikian pula Abu Yusuf juga mempunyai cara tersendiri dalam berijtihad,

seperti yang dijelaskan di dalam kitab al-Kharaj dan dalam penolakannya terhadap cara

yang ditempuh oleh Imam al-Auaza’i.

2.4.1. Imam Syafi’i Penyusun Ilmu Ushul Fiqih

Akhirnya sampailah peran Imam Syafi’i, seorang ilmuwan bangsa Quraisy, yang

(40)

dia menyusun methode-methode penggalian hukum syara’, sumber-sumber fiqh serta

petunjuk-petunjuk ilmu Ushul Fiqh.

Imam Syafi’i telah memperoleh peninggalan hukum-hukum fiqh yang

diwariskan ileh sahabat, tabi’in dan para imam yang telah mendahuluinya. Juga

rekaman hasil diskusi antara aliran fiqh yang bermacam-macamm sehingga beliau

memperoleh gambaran yang kongkrit antara fiqh ahli Madinah dan fiqh ahli Iraq.

Dengan modal tersebut serta pengetahuannya tentang fiqh Madinah yang dia

pelajari dari Imam Malik, fiqh Iraq yang dia pelajari ketika berdomisili di sana serta

dengan kecerdasannya yang luar biasa, maka sia menyusun kaedah-kaedah yang

menjelaskan tentang ijtihad yang benar dan ijtihad yang salah. Kaedah-kaedah itulah

yang akhirnya disebut ushul fiqh.

Bukanlah merupakan suatu hal yang aneh bila pembahasan dan pembukuan

masalah-masalah fiqh lebih dahulu dari pada pembukuan ilmu Ushul Fiqh. Karena

ushul fiqh sebagai dasar dan pegangan dalam menggali hukum serta untuk mengetahui

istinbath yang benar dan istinbath yang salah, maka ushul fiqh merupakan kaedah,

sedangkan materinya adalah fiqh. Setiap kaedah timbulnya selalu lebih akhir dari pada

materi. Ilmu Nahwu (Gramatika bahasa Arab) timbulnya lebih akhir dari pada bahasa

yang fusha, para penyair telah mengalunkan sya’irnya dengan susunan tertentu sebelum Imam Khail ibn Ahmad al-Farahidy menyusun kaedah ‘arudh. Begitu juga manusia telah berdiskusi dan berfikir sebelum Aristoteles membukukan ilmu manthiq (logica).

Imam Syafi’i adalah orang yang paling berhak disebut sebagai orang yang

pertama kali membukukan ilmu Ushul Fiqh. Dia mempunyai pengetahuan yang

mendalam tentang bahasa Arab, sehingga termasuk barisan tokoh-tokoh bahasa ahli

(41)

samping itu, dia juga menguasai setiap permasalahan fiqh pada masa itu dan sangat

‘alim tentang perbedaan pendapat para ulama sejak periode sahabat sampai saat itu. Dia juga sangat berminat untuk mengetahui sebab-sebab perselisihan dan perbedaan

persepsi para ulama yang berselisih.

Dengan modal tersebut, di samping modal-modal yang lain, maka lengkaplah

sarana yang diperlukan Imam Syafi’i menggali masalah-masalah fiqh yang adaa

beberapa kaedah yang menjadi dasar pertimbangan pendapat ulama’ terdahulu dan

dijadikan dasar pijakan ulama berikutnya dalam menggali hukum-hukum syara’. Dari

dasar tersebut terlihat bahwa mereka saling berdekatan, bukan saling berjauhan.

Dengan ilmu bahasa Imam Syafi’i mampu menggali kaidah-kaidah untuk

mengaluarkan hukum-hukum fiqh dari nash al-Qur’an dan Hadis. Dengan belajar di

Makkah di mana dia mewarisi ilmunya Abdullah ibn Abbas yang dikenal sebagai

penafsir al-Qur’an (Turjuman al-Qur’an) dia mengetahui nasikh (yang menghapus) dan

mansukh(yang dihapus). Dengan pengetahuan yang mendalam tentang Hadis dan belajarnya denga ulama’ ahli hadits serta perbandingannya dengan al-Qur’an, dia

mampu mengetahui kedudukan Hadits terhadap al-Qur’an, terutama ketika terjadi

pertentangan antara beberapa zhahir hadits dengan zhahir al-Qur’an.

Penguasaan Imam Syafi’i terhadap fiqh ahli ra’yi serta pendapat-pendapat para

sahabat dijadikan landasan dalam menetapkan kaedah-kaedah qiyas dan juga sebagai

dasar untuk menetapkan kaedah-kaedah dalam menggali hukum. Dalam hal ini bukan

berarti dialah yang menciptakan seluruh kaedah tersebut, tetapi hanyalah menganalisa

secara dalam methode penetapan hukum yang telah dipakai oleh ulama’ fiqh yang

(42)

Jadi dia bukanlah yang menciptakan methode penggalian hukum syara’ (ushul

fiqh) methode-methode tersebut dalam suatu disiplin ilmu yang hubungan

bagian-bagiannya tersusun secara sistematis. Sebagaimana Aristoteles yang membukukan ilmu

Logica, dia tidaklah menciptakan dasar-dasar berfikir, akan tetapi hanya menyusun dan

membukukan cara berfikir tersebut.

Pendapat yang menetapkan Imam Syafi’i sebagai pemula dalam membukukan

ilmu Ushul Fiqh ini adalah pendapat Jumhur (mayoritas) fuqaha’, dan tidak ada satu

orangpun yang mengingkarinya.

2.4.2. Ilmu Ushul Fiqih Sesudah Masa Imam Syafi’i

Sesudah masa Imam Syafi’i, ilmu Ushul Fiqh semakin berkembang dan meluas

dengan aliran yang bermacam-macam. Hal itu, karena sistematika yang dipergunakan

oleh Imam Syafi’i dalam menyusun ilmu Ushul Fiqh dala kitab ar-Risalah, kitab

Jima’ul ilmi dan kitab Ibthahul Istihsan menekankan, bahwa ushul fiqh merupakan suatu kaidah yang baku untuk mengetahui pendapat-pendapat yang benar dan yang

salah, juga sebagai prinsip-prinsip global yang harus diketahui dan dijadikan pedoman

dalam usaha penggalian hukum-hukum syara’ pada setiap masa. Imam Syafi’i telah

mempergunakan methode ushul fiqh ini untuk mendiskusikan pendapat-pendapat

fuqaha yang berkembang luas pada saat itu. Seperti pendapat Imam Maliki, didiskusikan dalam kitabnya Ikhtilafu Malik, begitu juga terhadap kitab Imam al-Auza’i yang ditulis oleh Imam Abu Yusuf. Dengan demikian semua pendapat-pendapat fiqh

mengikuti kaidah-kaidah ushul fiqh ini.

Imam Syafi’i sendiri dalam menggali hukum-hukum syara’ telah menggunakan

methode ushul fiqh ini secara konsisten dan tidak menyimpang sedikitpun. Dengan

(43)

hanya sekedar untuk mempertahankan madzhabnya, karena sebelum memproklamirkan

madzhabnya di Iraq dan Mesir dia telah menyusun kaidah-kaidah ushul fiqh ini dan

telah mempraktekkannya. Oleh karena itu, ushul fiqh menurut Imam Syafi’i bukan

hanya merupakan kerangka teoritis saja, akan tetapi sekaligus merupakan ilmu terapan.

Meskipun semua ahli fiqh telah mempelajari dan meneliti ushul fiqh yang

disusun oleh Imam Syafi’i, tetapi setelah periode Imam Syafi’i, mereka berbeda

pandangan, sebagai berikut. Diantara mereka ada yang memberikan penjelasan (syarah) terhadap ushl fiqh Imam Syafi’i dengan merinci kaidah-kaidah yang masih global.

Sebagian yang lain ada yang mengambil sebagian besar kaidah-kaidah ushul

fiqh yang telah ditetapkan Imam Syafi’i, dan tidk menyetujui bagian yang lain, sambil

menambah kaidah-kaidah yang lain. Yang termasuk kelompok ini ialah ulama

Hanafiyah yang menggunakan ushul fiqh Imam Syafi’i dengan menambah kaidah lain,

yaitu istihsan dan ‘urf. Begitu pula ulama Malikiyyah yang menerima ushul fiqh Imam Syafi’i dengan menambah ijma’ (kesepakatan) pendduk Madinah yang diambil dari

Imam Malik, di mana hal ini tentang oleh Imam Syafi’i. Mereka juga menambah

istihsan, mashalih mursalah dan adz-dzarai yang dibatalkan oleh Imam Syafi’i.

Demikianlah para fuqaha itu menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh yang cocok

bagi mereka, meninggalkan yang tidak cocok dan menambah kaidah-kaidah yang

mereka perlukan yang tidak ada dalam ushul fiqh Imam Syafi’i. Barang kali yang

methode ushul fiqh yang paling dekat dengan methode ushul fiqh Imam Syafi’i adalah

methode ushul fiqh madzhab Hanafi. Sedang dilihat dari segi jumlah nara sumber dan

materi fiqh, madzhab Hanbali lebih dekat kepada madzhab Maliki.

Sebenarnya para fuqaha’ dari keempat madzhab itu tidak ada yang menentang

(44)

dan Qiyas. Semuanya ini disepakati. Sedangkan yang diperselisihkan antara Imam

Syafi’i dengan ulama madzhab lain menyangkut sumber-sumber yang lain.

Setelah madzhab-madzhab fiqh menjadi baku, kajian para fuqaha terhadap ushul

fiqh terbagi menjadi dua aliran yaitu:

1. Aliran Teoritis, yang terlepas dari permasalahan yang terdapat dalam berbagai

madzhab. Aliran teoritis ini hanya menetapkan kaidah-kaidah tanpa bertujuan untuk

menguatkan atau membatalkan praktek-praktek berbagai madzhab.

2. Aliran Praktis, yang bertujuan untuk memberikan legitimasi terhadap hasil-hasil

ijtihad terhadap masalah-masalah furu’. Artinya, setiap ulama madzhab berijtihad untuk memberikan legitimasi terhadap masalah-masalah fiqh yang telah ditetapkan

oleh ulama madzhab yang mendahuluinya, dengan menyebutkan kaidah-kaidah

yang menguatkan madzhabnya. Seperti ulama Hanafi menyebutkan, bahwa lafadz

yang ‘am itu menunjukan hukum qath’i (pasti). Dengan demikian mereka menunjukan secara berulang-ulang lemahnya hadits ahad yang menyalahi dilalah qat’iyyah (penunjukan yang pasti), karena hadits ahad itu sifatnya zhanni. Para fuqaha’ yang memulai menggunakan methode ini adalah madzhab Hanafi,

meskipun pada setiap madzhab ada ulama lain yang juga memakainya.

Aliran pertama disebut dengan al-Ushulus Syafi’iyyah (Ushul fiqh menurut Syafi’i), karena Imam Syafi’i adalah orang yang pertama kali menjelaskan aliran

tersebut dalam kajiannya secara teoritis murni. Aliran ini juga disebt aliran

Mutakallimin, karena kebanyakan ulama-ulama ahli Kalam membahas masalah-masalah

ushul fiqh menggunakan methode teoritis ini.

(45)

Sebagaimana telah dikatakan di atas, bahwa aliran yang disebut dengan Ushulus Syafi’iyyah atau Ushulul Mutakallimin mengacu kepada aliran teoritis murni, karena perhatian para pembahas aliran tersebut diarahkan untuk merealisasikan kaidah-kaidah,

dan memurnikannya daris pengaruh (ikatan) suatu madzhab. Mereka semata-mata ingin

menciptakan kaidah-kaidah yang baku, baik dapat dipergunakan oleh madzhab mereka

atau tidak.

Diantara ulama dalam aliran ini ada yang menyalahi Imam Syafi’i dalam

pokok-pokok ushul fiqh, meskipun ia mengikuti cabang-cabangnya. Sebagai contoh, Imam

Syafi’i tidak menjadikan ijma’ sukuti (kesepakatan para ulama secara diam-diam)

sebagai hujjah. Akan tetapi Imam al-Amidi, pengikut madzhab Syafi’i, menjadikannya sebagai hujjah, sebagaimana dijelaskan dalam kitabnya al-Ihkam fi Ushulil Ahkam Juz I hal. 265.

Sebagian besar ulama ahli kalam (mutakallimin) termasuk dalam aliran teoritis

Imam Syafi’i tersebut. Karena aliran ini ada kesamaannya dengan kajian mereka untuk

mengetahui hal-hal yang bersifat esensial secara rasional. Kajian mereka dalam aliran

ini sama dengan kajian mereka dalam ilmu kalam secara mendalam tanpa taqlid. Oleh

karena itu, aliran ini juga disebut aliran mutakallimin.

Telah banyak kitab-kitab ushul fiqh yang disusun menurut aliran teoritis ini,

antara lain yang termasyur dengan ulama terdahulu ada tiga kitab, yaitu:

1. Al-Mu’tamad oleh Abu Hasan Muhammad ibn Ali al-Basri, seorang ulama aliran Mu’tazilah yang wafat pada tahun 413 H.

2. Al-Burhan, oleh Imam Haraiman, seorang ulama madzhab Syafi’i yang wafat pada tahun 487 H.

Referensi

Dokumen terkait

Keadaaan di bawah ini yang menyebabkan besar gaya normal yang bekerja pada benda tidak sama dengan berat benda tersebut adalah .... (1) Benda diam di

Melakukan analisis dan merancang sistem yang akan digunakan untuk analisis pengaruh nilai Keyword Effectiveness Index (KEI) dan Keyword Opportunity Index (KOI) dalam

Di lain pihak, pada kekuasaan yang berasal dari suatu proses komunikasi politik murni, keadaan demikian tidak akan terjadi karena telah mendapat legimitasi

Tabel 4.2 Profil Berpikir Kritis Siswa Pada Pembelajaran Matematika Dengan Model Kooperatif Tipe TSTS Dengan Pendekatan Open Ended

Regresi Linear merupakan Metode Regresi dimana persamaan yang dihasilkan berupa persamaan linear. Berdasarkan pada persamaan yang dihasilkan, dapat dihitung prediksi

Kendala teknis, ekonomis dan sosial/kelembagaan yang teridendifikasi: (1) SDM petani dan aparat (KCD/BPP/PPL) yang masih kurang dalam teknik budidaya komoditas hortikultura,

Tetapi ternyata nilai koefisien jalur hasil perhitungan sebesar 0,421 lebih besar dari 0,05, maka koefisien jalur tersebut sangat signifikan dan dapat dikatakan bahwa

Wiratanuningrat adalah membuka rawa-rawa menjadi areal pesawahan, yang dikenal dengan istilah ngabukbak Lakbok (Membuka lahan di daerah Lakbok, saat ini menjadi