• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

B. Aplikasi kesetaraan gender dalam pendidikan

3. Prinsip Kesetaraan Gender

Kesetraan gender adalah seperti sebuah frase (istilah) “suci” yang sering diucapkan oleh para aktivis sosial, kaum feminis, politikus, bahkan oleh para pejabat negara. Istilah kesetaraan gender dalam tataran praksis, hampir selalu diartikan sebagai kondisi “kestidaksetaraa” yang dialami oleh para wanita. Maka, istilah kesetaraan gender serimh terkait dengan istilah-istilah diskriminasi terhadap perempuan, subordinasi, penindasan, perlakuan tidak adil, dan semacamnya. Istilah-istilah tersebut memang dapat membangkitkan emosi, kekesalan, dan memicu rasa simpati yang besar kepada kaum perempuan. Oleh karena itu agenda feminis mainstream (struktural, fungsional, konflik, dan sosialis) semenjak awal abad ini hingga sekarang adalah “bagaimana mewujudkan kesetaraan gender secara kuantitatif, yaitu pria dan wanita harus sama-sama (fifty-fifty) berperan baik di luar maupun di dalam.”33

Istilah kesetaraan gender dalam pemahaman masyarakat umum seringkali memunculkan rasa ambivalensi. Apakah pria dan wanita memang betul-betul harus sama sehingga segalanya harus setara? Bagaimana dengan perbedaan biologis antara pria dan wanita yang sering membawa kondisi ketidaksetaraan?

31

Ace Suryadi, Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan, (Bandung: PT GENESINDO, 2004), Cet. ke-I, h. 85

32

Endang Sumiarni, Jender dan Feminisme, (Yogyakarta: Wonderful Publishing Company, 2004), Cet ke-I, h. 33

33

Di satu sisi ada yang sangat mengharapkan adanya kesetraan, dikarenakan mereka menganggap bahwa konsep gender merupakan kontruksi sosial. Sehingga

perbedaan jenis kelamin tidak perlu mengakibatkan perbedaan peran dan perilaku gender dalam tataran sosial. Di sisi lain ada yang menganggap perbedaan jenis akan selalu berdampak terhadap konstruksi konsep gender dalam kehidupan sosial. Dua kelompok tersebut di atas pada dasarnya mempunyai satu prinsip yang sama, yaitu menghilangkan diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan. Akan tetapi keduanya juga berbeda dalam memahami keadilan. Apakah suatu keadilan harus harus membagikan sesuatu dengan sama rata atau suatu keadilan itu harus membagikan sesuatu menurut proporsi dan kapasitas masing-masing dan tidak harus sama rata?

Dengan melihat konsep kesetaraan gender di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kesetaraan gender tidak hanya memberikan keuntungan kepada suatu pihak saja. Yaitu pihak perempuan, namun juga memberikan keuntungan bagi pihak laki-laki.

a. Prinsip Kesetaraan Gender dalam Ajaran Islam

Di awal sejarah munculnya ajaran agama Islam, kaum perempuan telah

memperoleh kemerdekaan dan mereka juga memperoleh suasana hati dan batin yang cerah. Hal ini dikarenakan di dalam Islam, hubungan antara laki-laki dan perempuan didasarkan ppada kesetaraan manusiawi. Dengan demikian tampak adanya persamaan dan keadilan pada keduanya, yaitu sebagai makhluk yang memilki kedudukan yang sama di hadapan Allah sebagai sang pencipta.

Di dalam ajaran Islam, kesetaraan dan keadilan gender dapat dilihat pada bagaimana ajaran Islam memberikan posisi laki-laki dan perempuan sebagai berikut:

1. “Hamba Tuhan 2. Khalifah di bumi

3. Penerima perjanjian primordial

4. Sebagai Adam dan Hawa dalam drama komsis.”34

Adapun penjelasan dari posisi laki-laki dan perempuan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Sebagai hamba Tuhan

34

Zubha Zaitunnah, Rekonstruksi Pemahaman Gender dalam Islam, (Jakarta: el-KAHFI, 2002), h. 49

Di dalam Al-qur’an, laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba yang hanya menyembah kepada Tuhan, hal ini ditegaskan pada ayat-ayat Al-qur’an sebagai berikut:

a. Hamba yang paling ideal adalah muttaqun (Q. S. al-Hujurat, 49:13). Muttaqun artinya sebagai orang-orang yang bertaqwa, untuk mencapai derajat muttaqun ini tidak dikenal adanya perbedaan jenis kelamin, suku, bangsa, atau kelompok etnis tertentu.

b. Laki-laki dan perempuan dalam kapasitasnya sebagai hamba, akan memperoleh penghargaan dari Tuhan sesuai dengan pengabdiannya (Q. S. al-Nahl, 16:97).

2. Sebagai khalifah di bumi

Laki-laki dan perempuan sama-sama memilki tugas sebagai khalifah di bumi yang mempertanggungjawabkan kekhalifahannya di bumi sebagaimana mereka sama-sama harus bertanggung jawab sebagai khalifah di bumi dapat dilihat pada surat al-A’raf 7:155.

3. Sebagai penerima perjanjian primordial

Laki-laki dan perempuan menerima perjanjian primordial dan sama-sama

mengemban amanah. Seperti diketahui, menjelang seorang anak manusia lahir dari rahimnya. Ibunya, ia terlebih dahulu harus harus menerima perjanjian dengan Tuhannya. Dalam Islam tanggung jawab individual dan kemandirian berlangsung sejak didni, yaitu semenjak dalam kandungan, sejak awala sejarah manusia dalam Islam tidak dikenal adanya diskriminasi jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan sama-sama menyatakan ikrar ketuhanan yang sama.

4. Sebagai Adam dan Hawa dalam drama komsis

Adam dan Hawa terlihat secara aktif dalam drama komsis yaitu, keduanya diciptakan di surga dan memanfaatkan fasilitas surga. Semua ayat yang menceritakan tentang drama komsis, yaitu cerita tentang keadaan Adam dan pasangannya di surga sampai keluar ke bumi, selalu menekankan kedua belah pihak secara aktif dengan menggunakan kata ganti untuk dua orang.

Dari beberapa penjelasan di atas mengenai prinsip-prinsip kesetaraan, dapat ditemukan bahwa perbedaan yang terjadi antara pria dan wanita itu bukanlah suatu

yang kodrat (divine creation), melainkan merupakan sesuatu yang dihasilkan dari sebuah kontruksi budaya sosial. Dan intinya adalah natara laki-laki dan perempuan adalah sama, baik secara spiritual, peran, prilaku, intelektual, dan emosional.

b. Prinsip Kesetaraan dalam Ajaran Kristiani

Di dalam ajaran Kristiani, khususnya dalam ajaran agama Katolik, tidak

memandang adanya perbedaan status antara laki-laki dan perempuan. Keduanya dipandang sebagai sama-sama makhluk Tuhan yang memilki kedudukan, peran, dan derajat yang sama di hadapan Allah Bapa. Menurut Marry Ann Glendon, seperti yang dikutip oleh Bainar dan Alchi Halik, Gereja Katolik memandang bahwa: “ajaran Yesus Kristus sebenarnya memperkuat status dan kedudukan perempuan dalam dalam kehidupan bermasyarakat.”35

Bentuk pengakuan atas kesetaraan kedudukan perempuan ini tampak dari pemberlakuan ide monogami dalam hukum gereja yang menyatakan bahwa seorang pria tidak boleh beristeri lebih dari satu orang ketetapan hukum ini

merupakan penerapan ayat Injil Matius 19: 6 yang berbunyi “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Oleh karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”36

Dengan demikian tampak bahwa landasan hukum gereja mengisyaratkan tidak adanya perceraian antara sepasang suami isteri yang telah menikah secara hukum Katolik. Tidak adanya perceraian tersebut merupakan salah satu upaya Gereja dalam menyetarakan hak dan kedudukan perempuan dan laki-laki.

Di era tahun 1990-an, Paus Yohanes Paulus II menerjemahkan masalah kedudukan perempuan ini ke dalam bahasa yang lebih spesifik. Hal ini terungkap di dalam suratnya yang ditujukan kepada para delegasi sebagai pembukaan Konfrensi Wanita sebagai berikut:

“Kebutuhan yang paling mendesak untuk mewujudkan kesetaraan antara pria dan wanita di segala bidang adalah adanya upaya yang sama untuk pekerjaan yang sama, adanya perlindungan bagi ibu-ibu bekerja, berkeadilan dalam karier dan kepangkatan, adanya hak dan kewajiban suami isteri yang sama berkenaan dengan tanggung jawab dalam keluarga dan pengetahuan atas segala semua yang berkaitan dengan hak dan kewajiban sebagai warga negara dalam sebuah negara demokrasi.”37

Dengan demikian, tampak bahwa Gereja Katolik pada hingga saat ini terus memperjuangkan kesetaraan dan keadilan bagi laki-laki maupun perempuan. Namun meskipun dalam ajaran Katolik juga menerapkan adanya kesetaraan dan keadilan gender, tetapi pada pelaksanaannya tetap saja adanya usaha dari para

35

Bainar dan Alchi Halik, Jagat Wanita: Dalam Pandangan Para Tokoh Dunia, (Jakarta: PT. Pustaka CIDESINDO, 1999), h. 163

36

Alkitab: Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1997).

37

tokoh didalamya untuk tetap menempatkan perempuan sebagaiwarga kelas dua. Itulah sebabnya tidak pernah ditemukan dalam sejarah adanya perempuan yang menjadi pemimpin ibadat keagamaan.

Dokumen terkait