• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aplikasi kesetaraan gender dalam pendidikan di sekolah-sekolah Menengah Kecamatan Kresek Balaraja Banten

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aplikasi kesetaraan gender dalam pendidikan di sekolah-sekolah Menengah Kecamatan Kresek Balaraja Banten"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

APLIKASI KESETARAAN GENDER DALAM PENDIDIKAN

PADA SEKOLAH-SEKOLAH MENENGAH KEC. KRESEK

BALARAJA BANTEN

Oleh:

LAELATUSSA’ADAH 102018224095

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN

JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi yang berjudul “APLIKASI KESETARAAN GENDER DALAM PENDIDIKAN PADA SEKOLAH-SEKOLAH KEC. KRESEK BALARAJA

BANTEN”, telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 16 Nopember 2006, skripsi ini telah diterima sebagaisalah satu syarat untuk memeperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) pada Jurusan Kependidikan Islam, Program Studi Manajemen Pendidikan.

Jakarta, 16Nopember

2006

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Prof. Dr. Rosyada,MA Prof. Dr. Aziz Fahrurrozi, MA

NIP. 150 231 356 NIP. 150 202 343

Anggota

Penguji I Penguji II

Dra. Hj. Fadhilah Suralaga, M. Si Dra. Yefnelti Z,M.P d

(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillah Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT atas segala rahmat dan taufiq-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad SAW.

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam pada Jurusan Kependidikan Islam-Manajemen Pendidikan dari Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung yang telah memberikan bantuan, bimbingan serta motivasi. Sehubungan dengan itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan dan menyelesaikan skripsi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Ibu Dra. Yefnelti, Ketua Jurusan Kependidikan Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah

dan Keguruan UIN Syraif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Drs. Syauki, MPd, Ketua Program Studi Manajemen Pendidikan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

(4)

5. Seluruh dosen fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang dengan ikhlas menaburkan ilmu-ilmunya kepada penulis semoga Allah SWT menerima segala amal baik mereka.

6. Pegawai Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melengkapi referensi dalam penyelesaian skripsi.

7. Pegawai Perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan keguruan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melengkapi referensi dalam penyelesaian skripsi ini.

8. Seluruh Kepala Sekolah Menengah Kec. Kresek Balaraja yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian dan menggali informasi yang ada disekolah.

9. Bagian Tata Usaha serta dewan guru dan siswa-siswi Sekolah Menengah Kec.Kresek Balaraja yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan informasi kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

10.Sembah sujud padamu ayahanda tercinta H. Khalwani (Alm) dan ibunda tersayang Hj. Badi’ah, atas segala kasih sayang dan kesabaran dalam mendidik ananda. Thank’s bangat wat kakak-kakakku tersayang yang ga’ bisa ell sebutin satu persatu (C0z banyak buanget), n’ keponakan-keponakanku yang lucu2 (sayang Bilah ucapin makasih banyak ya). Keluarga besar paman H. Unsil Habib Mansyur yang ada di Saudi Arabia (makasih banyak ya paman atas segala bantuannya). Nenek-nenekku tersayang (makasih atas do’anya). Pokoknya ell sayang banget…..

(5)

tegar dalam menghadapi hidup ni n’ da bantuin el wat nyelesain skripsi ini, makasih ya).

12.Semua pihak yang tidak bisa disebutkan dalam ucapan terima kasih ini, yang telah memberi bantuan moril maupun materil kepada penulis hingga terselesaikannya penulisan skripsi ini.

Tidak ada yang dapat penulis berikan kepada semua pihak yang telah membantu, kecuali mendo’akannya. Semoga budi baik dari semua pihak mendapatkan imbalan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Amiiiiiin……

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan pihak-pihak yang memerlukannya.

Jakarta, November 2006

(6)

, DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING... i

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA SIDANG... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 10

C. Pembatasan Masalah ... 10

D. Perumusan Masalah... 11

E. Manfaat Penelitian... 11

F. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II KAJIAN TEORI A. Pengertian Gender dan Kesetaraan Gender ... 14

B. Aplikasi Kesetaraan Gender dalam Pendidikan ... 17

(7)

2. Landasan Hukum Gender ... 22

3. Prinsip Kesetaraan Gender ... 23

4. Fungsi dan Relasi Keberadaan Gender... 29

C. Pendidikan ... 35

1. Pengertian Pendidikan ... 35

2. Tujuan Pendidikan... 37

D. Gender Mainstreaming ... 39

1. Pengertian Gender Mainstreaming ... 39

2. Faktor-faktor Pendukung Gender Mainstreaming... 41

3. Kebijakan Pendidikan Berkesetaraan Gender ... 46

E. Kerangka Berfikir ... 48

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tujuan Penelitian... 53

B. Disaen Penelitian ... 53

C. Waktu Penelitian ... 54

D. Populasi dan Sampel... 54

E. Jenis Penelitian ... 55

F. Tehnik Pengumpulan Data ... 56

G. Variabel Penelitian ... 58

H. Kisi-kisi Instrumen ... 59

I. Tehnik Pengolahan Data... 60

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Obyek Penelitian... 63

B. Pembelajaran Berspektif Gender... 65

(8)

2. Proses Pengelolaan Manajemen Kesiswaan Berspektif Gender ... 79 C. Analisis Kesetaraan Gender dalam Pendidikan dan Profil

Manajemen di Sekolah Menengah Kec. Kresek Balaraja ... 91 1. Kesetaraan Gender Dalam Pendidikan... 91 2. Profil Manajemen Pendidikan... 93

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan... 100 B. Saran... 101

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(9)

DAFTAR TABEL

3.1 Variabel penelitian dan indikator manajemen pendidikan... 59

3.2 Kisi-kisi instrumen ... 59

4.1 Proses pembelajaran pendidikan di sekolah bertujuan mengembangkan berbagai aspek pada peserta didik baik laki-laki maupun perempuan... 65

4.2 Dalam kegiatan belajar mengajar lebih berpartisipasi ... 66

4.3 Lebih lengkap dan rapih buku catatan pelajaran... 66

4.4 Lebih lengkap buku referensi/pelajaran ... 67

4.5 Bertugas memasang jadwal piket... 68

4.6 Lebih sering ditugaskan ke depan ... 68

4.7 Lebih sering bertanya... 69

4.8 Lebih tepat waktu dalam mengumpulkan tugas... 70

4.9 Lebih berpartisipasi dalam kegiatan kelompok/diskusi ... 70

4.10 Menjadi ketua kelas ... 71

4.11 Menjadi sekretaris ... 72

4.12 Menjadi bendahara ... 72

4.13 Menjadi konsumsi ... 73

4.14 Menjadi humas ... 73

4.15 Menjadi pemimpin upacara... 74

4.16 Menjadi peserta upacara... 75

4.17 Bila terlambat dibei sangsi lebih berat ... 75

4.18 Perlakuan harus berbeda ... 76

4.19 Tugas piket siswa perempuan menyapu lantai... 76

4.20 Tugas piket siswa laki-laki membuang sampah... 77

4.21 Tugas piket laki-laki membersihkan papan tulis... 77

4.22 Siswa diberikan kesempatan yang sama dalam proses belajar ... 78

4.23 Siswa lebih rapih dalam penyampaian laporan... 78

(10)

4.25 Proses pengelolaan manajemen pendidikan mengembangkan

keahlian-keahlian ... 80

4.26 Berkonsultasi sebelum memilih jurusan ... 80

4.27 Jurusan/Program studi IPS ... 81

4.28 Jurusan/Program studi IPA ... 81

4.29 Jurusan/Program studi bahasa ... 82

4.30 Jurusan/Program studi keahlian komputer ... 82

4.31 Jurusan/Program studi tata boga ... 83

4.32 Jurusan/Program studi tata busana ... 83

4.33 Juruisan/Program studi akuntansi ... 84

4.34 Jurusan/Program studi sekretaris ... 84

4.35 Jurusan/Program studi mesin ... 85

4.36 Jurusan/Program studi matematika ... 86

4.37 Jurusan/Program studi farmasi... 86

4.38 Jurusan/Program studi kesenian... 87

4.39 Jurusan/Program studi teknik industri... 87

4.40 Jurusan/Program studi pariwisata ... 88

4.41 Jurusan/Program studi perhotelan ... 88

4.42 Jurusan/Program studi kesejahteraan keluarga ... 89

4.43 Jurusan/Program studi bisnis ... 89

4.44 Jurusan/Program studi penjualan ... 90

4.45 Jumlah kepala sekolah dan guru menurut jenis kelamin... 94

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mendorong kemajuan di semua bidang kehidupan, termasuk kemajuan dalam bidang teknologi informasi. Hal ini, telah membuka kesempatan bagi umat manusia untuk mengakses semua informasi global, yang mengakibatkan terjadinya gejala dunia tanpa batas (bordless world). Peristiwa yang tejadi disuatu belahan dunia, dapat dengan mudah dan cepat diketahui oleh masyarakat di bagian dunia lainnya. Demikian juga dengan masalah kesetaraan gender.

Pendidikan mempunyai peranan yang sangat menentukan bagi perkembangan dan perwujudan diri individu, terutama bagi pembangunan bangsa dan negara. Kemajuan suatu kebudayaan bergantung kepada cara kebudayaan manusia tersebut untuk mengenali, menghargai, dan memanfaatkan sumber daya manusia, dan hal ini berkaitan erat dengan kualitas pendidikan yang diberikan kepada anggota masyarakat, yaitu kepada peserta didik.

(12)

Manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan dua tujuan. Pertama, sebagai hamba-Nya yang selalu taat menjalankan semua perintah dan menjauhi larangan-Nya. Kedua, sebagai khalifah dimuka bumi yang mampu memimpin mulai dari dirinya sendiri, orang lain, hingga bangsa ataupun dunia. Dalam kapasitas sebagai hamba dan khalifah tidak ada diskriminasi bagi laki-laki dan perempuan, mereka sama-sama mempunyai potensi.

Pendidikan merupakan kata kunci yang menjadi elemen penting dalam kehidupan masyarakat. Azyumardi Azra mendefinisikan pendidikan sebagai “suatu proses belajar dan penyesuaian setiap individu secara terus menerus terhadap nilai-nilai budaya dan cita-cita masyarakat.”1 Qasim Amin, seorang pembaharu Mesir meletakkan pendidikan sebagai “isu utama gerakannya”,2 karena menurutnya pendidikan merupakan salah satu pintu untuk melakukan perubahan.

Telah banyak tokoh pendidikan di Indonesia seperti Mahmud Yunus, Zainuddin Labai El Yunusi, H. A. R. Tilaar, Mastuhu, Arif Rahman dan Azyumardi Azra, yang berbicara mengenai pendidikan perempuan di Indonesia. Sedangkan tokoh pendidikan yang berbicara dan memperjuangkan pendidikan perempuan antara lain Rahman El Yunusiah, R. A. Kartini, dan Dewi Sartika, selain itu ada yang memperjuangkan melalui organisasi masyarakat Islam, seperti Nyai Ahmad Dahlan, dan Nyai Sholihah Wahid Hasyim.

1

Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), Cet ke-1. h, 4

2

(13)

Begitu banyak penelitian, seminar, tentang pendidikan perempuan di Indonesia, diduga bahwa “budaya dan interpretasi agama sepertinya menjadi salah satu halangan terbesar bagi progresivitas perempuan.”3

Hal ini sangatlah beralasan, apabila melihat suatu kenyataan, dan mengingat sejarah pada zaman dahulu bahwasannya masyarakat kita yang patriarkis telah melakukan domestikasi perempuan pada posisi yang tidak menguntungkan. Berabad-abad perempuan diposisiskan pada sebuah citra baku yaitu masak (memasak), macak (bersoleh), dan manak (melahirkan), dalam hal ini biasa didengar dengan singkatan 3M.

Perempuan merupakan kata yang identik dengan kelembutan, cinta, dan kasih sayang. Perempuan sebagai sosok yang sangat istimewa, karena keistimewaan perempuan itulah maka perbincangan tentang perempuan tidak akan pernah habis untuk dibahas. Perempuan kata sebagian orang adalah keajaiban kedelapan setelah tujuh keajaiban dunia. Sejak keberadaannya, pembahasan soal perempuan telah menghabiskan berjuta-juta lembar kertas kerja dan jurnal, dari tulisan yang paling ringan semacam novel, sampai kajian yang serius dimeja seminar. Itulah gambaran tentang perempuan.

Zaman berubah, musim berganti. Abad keduapuluh datang dicirikan dengan bangkitnya semangat pengkajian terhadap eksistensi perempuan. Tuntutan-tuntutan berubah sebagai akibat dikenalnya istilah yang belakang hari terus berkembang, yaitu

3

(14)

emansipasi perempuan. Gerakan perempuan awalnya bertolak pada kesetaraan pendapatan dalam dunia kerja antara laki-laki dan perempuan. Selanjutnya, gerakan emansipasi yang mengusung isu gender ini tidak liput merambat dalam bidang politik.

Banyak diketahui bahwa perempuan kurang terimplementasikan dalam parlemen dalam hampir semua negara di dunia. Terlepas dari progresivitas pendidikan mereka, sebagaimana yang dikatakan oleh Miki Caul, “perempuan dalam parlemen rata-rata hanya mencapai 12% dari keseluruahan anggota parlemen.”4 Prosentase perempuan di DPR/MPR, demikian pula prosentase perempuan di daerah juga tidak kalah sedikit. Ini bisa mengacu pada terfokusnya isu feminisme di daerah kota terutama wilayah ibu kota negara, yang bisa menjadi bahaya tersendiri dari diberlakukannya disentralisasi. Tanpa bermaksud mengatakan bahwa disentralisasi cenderung memiliki efek negatif, isu gender dalam disentralisasi perlu lebih ditekankan dan dijadikan agenda tersendiri.

Gender sebagai pembagian fungsi sosial bukanlah persoalan selama menimbulkan keadilan sosial. Pada masa masyarakat pra-primitif, umpamanya, pada saat itu para antropolog mensinyalir telah terciptanya keadilan sosial dan kesetaraan gender. Menurut riset para antropolog pada babak masyarakat pra-primitif yang dikenal sebagai masyarakat liar (savage society), sekitar satu juta tahun yang lalu, sistem masyarakat saat itu menganut pola keibuan (material system). Perempuan

4

(15)

lebih dominan dalam pembentukan suku dan ikatan keluarga. Menurut para antropolog, “pada babak ini terjadinya keadilan sosial dan kesetaraan gender.”5

Perempuan dan laki-laki berasal dari unsur yang sama yaitu tanah, yang berarti perempuan dan laki-laki itu setara tidak ada kelebihan yang satu dengan yang lain. Dari segi asal kejadian, namun bagaimanapun juga antara keduanya itu tetap ada perbedaan yang mendesak. Baik dari segi fisik maupun mental, tetapi perbedaan itu hanya sekedar untuk membedakan kelompok masing-masing, tidak menunjukan satu lebih mulia dari yang lain atau satu yang berkuasa atas yang lainnya.

“Rasional dan logis merupakan ciri maskulin, realistis dan pragmatis merupakan ciri feminim.”6 Dalam suatu pengambilan keputusan membutuhkan adanya suatu pendekatan diantaranya teori dan kajian empirik untuk memberi adanya suatu pertimbangan objektif, inovatif, dan intuitif yang disertai adanya suatu keterlibatan emosional.

Masyarakat Kec. Kresek Balaraja, Peranan laki-laki dalam lapangan pekerjaan serta kegiatannya adalah diluar rumah. Sementara peranan perempua dalam lapangan pekerjaan dan kegiatannya adalah di dalam rumah. Dengan demikian, masing-masing mempunyai peranan dan tugas sendiri sesuai dengan pembawaan dan naluri yang telah digariskan Allah ta’ala. “Bila laki-laki bertugas untuk memproduksi materi dan

5

Evelyn Reed, Women’s Evolutions From Matrialchal Clenro Patrialchal Family

6

(16)

pengelolaannya maka perempuan memproduksi generasi manusia itu sendiri dan mendidiknya.”7

Di sini tampak betapa pentingnya peranan dan pengaruh perempuan terhadap generasi mendatang. Rasulullah SAW telah memberikan kabar gembira bahwa orang yang mendidik dua orang anak gadis dengan pendidikan Islam ia akan mendapatkan surga, anak gadis sekarang adalah ibu rumah tangga di masa mendatang. Perempuan yang dapat mengendalikan buaian dengan tangan kanannya, ia akan dapat mengendalikan dunia dengan tangan kirinya, ketika ia melahirkan para pemimpin, ahli pikir, reformasi akidah umat dan pahlawan kebenaran yang dibanggakan umat.

“Sektor yang paling strategis untuk memperjuangkan kesetaraan gender adalah sektor pendidikan.”8 Alasan yang paling sederhana adalah pada dunia modern seperti sekarang ini, yang membedakan antara laki-laki dan perempuan yang paling menonjol adalah perbedaan kemampuan intelektualnya. Di mana konsep “mencari nafkah” telah berubah makna dan dapat disederhanakan menjadi “mencari uang”, dan segala keperluan sandang, pangan, dan perumahan dapat ditukar dengan uang.

Dalam kehidupan sekarang ini, soal mencari atau mendapatkan uang, boleh jadi kaum perempuan lebih efektif. Apabila tingkat pendidikan antara laki-laki dan perempuan sudah setara, maka tidak ada lagi alasan untuk membedakan laki-laki dan perempuan.

7

Muhammad Al-khalaf, Pengaruh Wanita terhadap generasi kini dan esok, (Jakarta: CV. Firdaus, 1992), Cet ke-1, h. 1

8

(17)

Kedudukan perempuan tidak dibatasi dalam mengatualisasikan dirinya hanya pada sektor “dapur, sumur, dan kasur”’ saja, tetapi ia juga dapat membantu suaminya mencari nafkah dan mengurus rumah tangganya terutama pendidikan anak-anaknya, dan juga dituntut untuk dapat ikut ambil bagian dalam perkembangan masyarakat dan pembangunan negaranya. Seperti dalam pandangan gender bahwa perempuan dalam mengaktualisasikan dirinya tidak dibatasi dan dibedakan dengan laki-laki.

Laki-laki dan perempuan diciptakan dari unsur yang sama, karena yang membedakan posisi dan kedudukan perempuan dari kaum laki-laki adalah bentuk budaya atau lingkungan masyarakat tertentu. Seperti yang diungkapkan dalam buku Siti Musda Mulya yang berjudul Keadilan dan Kesetaraan Gender Perspektif Islam, bahwa gender adalah seperangkat sikap, peran,tanggung jawab, tugas, hak, dan perilaku yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan. Akibat bentukan budaya atau lingkungan masyarakat tempat manusia itu tumbuh dan dibesarkan, jadi gender adalah suatu konsep yang mengacu pada peranan-peranan dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial yang dapat diubah sesuai perubahan zaman dengan perbuatan gender, maka melahirkan peran sosial.

(18)

anggapan sebagai jenis kelamin kedua (the second sex). “Pandangan menganak-tirikan terhadap kodrat perempuan seringkali dihubungkan dengan norma Agama.”9

Dalam pranata sosial yang berkembang, pemahaman tentang kodrat bahwasannya laki-laki diatas perempuan. Secara khusus perempuan lebih banyak bersifat pelarangan-pelarangan atau pembedaan peran sosial-budaya perempuan. “Perbedaan peran budaya ini biasanya diistilahkan dengan beban gender (gender assegment).”10

Apabila kesetaraan dalam bidang pendidikan telah tercapai, kemudian di dalam keluarga masih terjadi hubungan patriarhi, maka tidak perlu dipersoalkan. Hubungan patriarhi yang membagi dan membedakan tugas perempuan dan laki-laki di dalam kehidupan keluarga, tidaklah perlu dipermasalahkan apabila kondisi tersebut merupakan pilihan keluarga dan tidak merugikan perempuan.

Hal yang perlu diwaspadai adalah efek negatif dari hubungan patriarhi yang telah mengubah konsep “perlindungan” menjadi “penguasaan laki-laki” terhadap perempuan. Efek negatif inilah yang perlu dipermasalahkan dan dicegah, diantaranya melalui kesetaraan pendidikan dan perlindungan hukum bagi perempuan.

9

Nasaruddin Umar, Kodrat Perempuan Dalam Islam, (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender, 1999), Cet ke-1, h. 2

10

(19)

Hal yang sering dipermasalahkan oleh kaum perempuan adalah apabila penguasaan laki-laki terhadap perempuan kemudian berubah menjadi sebuah penindasan, penyelewengan dari konsep hubungan patriarhi seperti ini yang sangat merugikan kaum perempuan.

Sudah berabad-abad masalah perempuan diupayakan untuk diselesaikan. Tetapi, tampaknya perjalanan untuk mewujudkan solusi itu masih jauh. Upaya peningkatan pengetahuan perempuan melalui pendidikan khusus perempuan sudah dilakukan oleh berbagai pihak. Namun, upaya itu belum mencapai hasil dan tahap ideal. Dalam proses pembelajaran masih saja perempuan dan laki-laki dibedakan, baik dalam materi pembelajaran, tehnik penyampaian, sistem pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran, serta tentang proses manajemen pendidikan dalam sekolah. Hal ini yang pernah ada pada sekolah Kec. Kresek Balaraja.

Berdasarkan pemikiran latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mengetahui proses pendidikan pada sekolah menengah di daerah Kec. Kresek Balaraja yang berkesetaraan gender. Penulis akan melakukan penelitian dan menulisnya dalam sebuah skripsi yang berjudul “APLIKASI KESETARAAN GENDER DALAM PENDIDIKAN DI SEKOLAH-SEKOLAH MENENGAH

(20)

B. Identifikasi Masalah

1. Profil gender pada pendidikan menengah di Kec. Kresek Balaraja dilihat dari komponen pengawasan, kepala sekolah, guru, pegawai administrasi, dan siswa berdasarkan kesetaraan gender!

2. Profil manajemen pendidikan di berbagai lembaga pendidikan Kec. Kresek Balaraja berkesetaraan gender!

3. Penyelenggaraan manajemen pendidikan pada jenjang pendidikan menengah berkesetaraan gender!

4. Proses kesetaraan gender pada sekolah menengah di Kec. Kresek Balaraja! 5. Penerapan kesetaraan gender dalam proses penyelenggaraan manajemen

pendidikan di sekolah menengah Kec. Kresek Balaraja!

6. Penerapan kesetaraan gender dalam proses pembelajaran di sekolah menengah Kec. Kresek Balaraja!

C. Pembatasan Masalah

(21)

penyelenggaraan menejemen pendidikan pada jenjang pendidikan menengah dilihat dari kesetaraan gender.

Proses pembelajaran yang dimaksudkan dilihat dari materi pembelajaran, tehnik penyampaian pembelajaran, sistem pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran. Sedangkan penyelenggaraan menejemen pendidikan jenjang pendidikan menengah mencakup manajemen dilingkungan sekolah dan profil pendidikan berkesetaraan gender pada 12 sekolah menengah di Kec. Kresek Balaraja.

D. Perumusan Masalah

Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pelaksanaan kesetaraan gender dalam pendidikan di sekolah-sekolah menengah Kec. Kresek Balaraja dilihat dari; materi pembelajaran, tehnik penyampaian dan proses pembelajaran, sistem pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran?

2. Bagaimana manajemen pendidikan di sekolah, dan profil pendidikan berdasarkan gender pada sekolah-sekolah menengah di Kec. Kresek Balaraja?

E. Manfaat Penelitian

(22)

manajemen pendidikan yang berkesetaraan gender, serta sebagai bahan dalam penenlitian yang akan datang, karena menurut penulis dalam penelitian kesetaraan gender itu sangatlah penting bagi kehidupan sekarang dan yang akan datang.

G. Sistematika Penulisan

Bab I, Pendahuluan yang menguraikan tentang Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah, Perumusan Masalah, Manfaat Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

Bab II, Kajian Teori yang menguraikan tentang Pengertian Gender dan Kesetaraan Gender, Aplikasi Kesetaraan Gender Dalam Pendidikan, Landasan Teori Studi Gender, Landasan Hukum Gender, Prinsip Kesetaraan Gender meliputi; Prinsip Kesetaraan Gender dalam Ajaran Isla, dan Prinsip Kesetaraan Gender dalam Ajaran Kristiani. dan Fungsi dan Relasi Keberadaan Gender. Pendidikan meliputi; Pengertian Pendidikan, dan Tujuan Pendidikan. Kebijakan Pendidikan dalam Kesetaraan Gender. Gender Mainstreaming meliputi; Pengertian Gender Maistreaming, dan Faktor-faktor Pendukung Gender Mainstreaming. Kerangka Berpikir

(23)

Bab IV, Hasil Penelitian yang meliputi; Gambaran Umum Obyek Penelitian, Pembelajaran Pendidikan Berspektif Gender yang meliputi; Proses Pembelajaran, dan Proses Pengelolaan Manajemen Kesiswaan Berspektif Gender, Analisis Kesetaraan Gender dalam Pendidikan dan Profil Manajemen di Sekolah-sekolah Menengah Kec. Kresek Balaraja yang meliputi; Kesetaraan Gender dalam Pendidikan, dan Profil Manajemen.

(24)

BAB II KAJIAN TEORI

A. Pengertian Gender dan kesetaraan gender

Pembicaraan tentang gender saat ini begitu mengemuka dengan tajam, walaupun pengertian gender sering diartikan secara keliru. Kekeliruan lainnya, tampak pula dalam menafsirkan esensi gender itu sendiri. Sebagian kalangan ada yang menganggapnya sebagai kodrat Tuhan (divine creation) atau sesuatu yang memang ditetapkan dari “sana” sementara sebagian lainnya, menganggap gender sebagai konstruksi masyarakat (social construction).

Gender pada manusia mulanya adalah suatu klasifikasi gramatical untuk benda-benda menurut jenis kelaminnya terutama dalam bahasa-bahasa Eropa. Kemudian Ivan Illich menggunakannya untuk membedakan segala sesuatu di dalam masyarakat verticuler seperti bahasa tingkah laku, pikiran, makanan, ruang, dan waktu, harta milik, tabu, alat-alat produksi dan lain sebagainya.

Kata gender dalam bahasa Indonesia meminjam dari bahasa Inggris. Dalam bahasa Inggris, jika dilihat dalam kamus tidak secara jelas membedakan antara kata gender dan seks, keduanya berarti “jenis kelamin.”11 Dalam Webster New World Dictionary, gender diartikan sebagai “perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi tingkah laku.”12 Untuk memahami gender harus dibedakan kata gender dengan jenis kelamin (seks). Pengertian jenis kelamin

11

John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1992), Cet. ke-XX, h. 265

12

(25)

merupakan: “pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelmain tertentu.”13

Gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural.”14 Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan, sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya, ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional, perkasa. Perubahan ciri dan sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu kewaktu dan dari tempat ketempat lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain, itulah yang dikenal dengan konsep gender. Atau bisa dikenal dengan konsep gender adalah konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat.

Karena gender ditentukan secara sosial, maka: “ideologi dan wawasan suatu bangsa turut serta membangun gagasan tentang identitas.”15

Pemakaian gender dalam wacana feminisme dicetuskan pertama kali oleh Anne Oakley. Perbedaan antara seks (jenis kelamin) dan gender adalah “seks

13

Lynda Birke, Women, Feminism and Biology, (England: The Harvest Press, 1986), h. 90

14

Mansour Fakih, Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), Cet. ke-1, h. 9

15

(26)

berkaitan erat dengan ciri-ciri biologis dan fisik tertentu, termasuk kromosom dan genitalia (external maupun internal).”16

Pengertian gender diatas selaras dengan yang dikemukakan oleh Aida Vitayela, bahwa gender adalah “suatu konsep yang menunjuk pada suatu sisitem peranan dan hubungannya antara perempuan dan laki-laki yang tidak ditentukan oleh perbedaan biologis akan tetapi oleh lingkungan sosial, politik, dan ekonomi.”17 Hilary M. Lips dalam bukunya yang populer Sex and Gender: an Introduction memaknai gender sebagai “harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan” (Cultural expectations for women and man).18 Pendapat seperti ini senada dengan pendapat kaum feminis, seperti Lindsey yang menganggap “keseluruhan pranata mengenai penentuan fungsi sosial berdasarkan jenis kelamin adalah termasuk anak cabang kajian gender” (What a given society defisus as masculine or feminine is a componen of gender).19

Pada mulanya orang tidak terlalu tertarik untuk membedakan seks dan gender, karena persepsi yang berkembang di dalam masyarakat menganggap perbedaan gender (gender defferences) sebagai akibat dari perbedaan jenis kelamin (seks defferences). Pembagian peran dan kerja secara seksual dipandang sesuatu yang wajar

16

Anne Oakley, Sex, Gender, and Society, (New York: Harper and Row, 1972), h.87

17

Aida Vitayela S. Hubels, feminism dan pemberdayaan perempuan, dalam Dadang S. Anshory et al., (Peny)., membincangkan feminisme Refleksi Muslimah atas Peran Sosial Kaum Wanita, (Bandung:Pustaka Hidayah, 1997), h.24

18

Hilary M. Lips, Sex and Gender: an Introduction, (California, London, Toronto: Mangfield Publishing Company, 1993), h.4.

19

(27)

akan tetapi belakangan disadari bahwa: “tidak mesti perbedaan seks menyebabkan ketidakadilan gender (gender inqualities).”20

Dari berbagai definisi gender di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa: gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mendefinisikan perbedaan laki-laki dan perempuan, yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural dengan mengaitkannya pada ciri biologis masing-masing jenis kelamin, sehingga nantinya berdampak pada posisi dan peran laki-laki dan perempuan dalam kehidupannya.

Adapun kesetaraan gender adalah peluang dan kesempatan dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi antara laki-laki dan perempuan. Sehingga apabila kata gender dipadukan dengan kata kesetaraan itu berarti adanya suatu keinginan agar

perbedaan gender tidaklah menjadi penyebab adanya perbedaan perlakuan yang menguntungkan di satu pihak tetapi mungkin pihak lainnya. Kesetaraan gender adalah suatu kondisi dimana penempatan hak dan kewajiban berdasarkan gender sesuai dengan tugas dan kewajibannya masing-masing, tidak kemudian berarti adanya kesamaan dalam segala hal, karena masing-masing jenis kelamin

mempunyai fungsinya sendiri terutama dalam masalah yang berhubungan dengan biologis.

B. Aplikasi kesetaraan gender dalam pendidikan

Aplikasi adalah penerapan atau penggunaan sesuatu ke dalam sesuatu, untuk mencapai tujuan yang direncanakan agar mencapai tujuan tersebut sesuai dengan yang diharapkan. Dalam arti, aplikasi dalam gender merupakan penerapan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam segala aspek kehidupan..

Pendidikan dalam kesetaraan gender merupakan perpaduan antara pendidikan dan gender. Pendidikan sebagaimana yang telah disimpulkan oleh penulis bahwa usaha sadar yang di lakukan oleh orang dewasa untuk membantu dan membimbing pertumbuhan dan perkembangan anak didik secara teratur dan sistematis kearah kedewasaan melalui bimbingan pengajaran, latihan-latihan, dan di curahkan dalam rangka mengembangkan kepribadian dan kemampuan peserta didik ketingkat kedewasaan, dan hal ini di lakukan baik di dalam maupun di luar sekolah yang berlangsung seumur hidup, demi mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.

20

(28)

Sedangkan gender penulis simpulkan suatu konsep yang digunakan untuk mendefinisikan perbedaan laki-laki dan perempuan, yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural dengan mengaitkannya pada ciri biologis masing-masing jenis kelamin, sehingga nantinya berdampak pada posisi dan peran laki-laki dan perempuan dalam kehidupannya.

Dari definisi aplikasi kesetaraan gender dalam pendidikan yang telah diuraikan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa aplikasi kesetaraan gender dalam pendidikan merupakan penerapan atau penggunaan peluang dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan dalam mendapatkan bimbingan baik itu pertumbuhan dan

perkembangan anak didik secara teratur dan sistematis kearah kedewasaan melalui bimbingan pengajaran, latihan-latihan, dan dicurahkan dalam rangka

mengembangkan kepribadian dan kemampuan peserta didik ketingkat

kedewasaan, dan hal ini dilakukan baik di dalam maupun diluar sekolah yang berlangsung seumur hidup, demi mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.

Hal ini sejalan dengan pendidikan nasional yang tercantum dalam UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Pasal 4 Ayat (1) yang menyebutkan bahwa: “pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan mnejunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.” 21

1. Landasan Teoritis Studi Gender

Dalam studi gender di kenal beberapa teori dasar yang sangat mempengaruhi proses studi ini. Teori-teori tersebut adalah :

a. Teori feminisme liberal

Dalam pemikiran kelompok ini adalah: “semua manusia laki-laki dan perempuan di ciptakan seimbang dan serasi, dan mestinya tidak terjadi penindasan antara satu dengan lainnya.”22 Feminisme liberal memberikan teoritis akan kesaman wanita dalam potensi rasionalitasnya. Namun berhubung wanita di tempatkan pada potensi tergantung pada suami dan kiprahnya dalam sektor domestik, maka yang lebih dominan timbul pada diri wanita adalah aspek emosiaonal ketimbang

21

Umaedi, M. Ed, Manajemen Mutu Berbasis Sekolah/Madrasah (MMBS/M), (Jakarta: CEQM, 2004), Cet. ke-1. h. 345

22

(29)

rasional. “Apabila tidak bergantung pada suami dan tidak berkiprah di sektor domestik, maka wanita akan menjadi makhluk rasional seperti kaum pria.”23 Kelompok ini pada intinya mendasarkan asumsinya pada penghargaan terhadap penghargaan, bahwa: “setiap manusia mempunyai hak asasi manusia yaitu untuk hidup, mendapatkan kebebasan, dan hak untuk mencari kebahagiaan.”24

Karenanya kelompok ini membenarkan perempuan bekerja bersama laki-laki. Mereka menghindari agar perempuan diintegrasikan secara total di dalam semua peran termasuk bekerja di luar rumah. “Dengan demikian tidak ada lagi kelompok jenis kelamin yang lebih dominan.”25

b. Feminisme Marxis – Sosialis

Kelompok aliran ini berupaya menghilangkan struktur kelas dalam masyrakat berdasarkan jenis kelamin dengan melontarkan isu bahwa, ketimpangan peran antara kedua jenis kelamin ini sesungguhnya lebih disebabkan oleh faktor budaya alam. “Teori kebudayaan (nature) sebenarnya merupakan bantahan terhadap teori kodrat alam (nurture).”26 Aliran ini menolak anggapan tradisional dan para teolog tentang “status perempuan lebih rendah dari pada laki-laki, karena faktor biologis dan latar belakang sejarah.”27

Para penganut teori ini beranggapan, ketimpangan gender dalam masyarakat adalah akibat penerapan sistem kapitalis yang mendukung terjadinya tenaga kerja tanpa upah gaji perempuan di dalam lingkungan rumah tangga. Struktur ekonomi akan kelas di dalam masyarakat memberikan pengaruh efektif terhadap status perempuan. Karena itu, untuk mengangkat harkat martabat perempuan supaya seimbang dengan laki-laki, diperlukan penunjangan kembali secara mendasar, terutama dengan “menghapuskan dikotomi pekerjaan sektor domestik dan sektor publik.”28

c. Teori Sosio-Biologis

23

Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda, (Bandung: Mizan, 1999), h. 119

24

Ibid., h. 118

25

Nasarudin Umar, op. cit., h. 65

26

Ahmad Muthali’in, Bias Gender dalam Pendidikan, (Surakarta: Muhamadiyah University Press, 2001), Cet. ke-1, h. 25

27

Ibid.

28

(30)

Teori ini mencoba menggabungkan antara nature dan nurture laki-laki dan perempuan. Teori ini beranggapan, faktor biologi dan faktor sosial-budaya menyebabkan laki-laki lebih unggul daripada perempuan. Fungsi reproduksi perempuan yang lebih rumit dianggap sebagai faktor penghambat untuk

mengakses ke dunia publik, berbeda dengan laki-laki yang tidak mengalami faktor tersebut.

Perbedaan fisik laki-laki dan perempuan sangat jelas terlihat; rata-rata pria mempunyai fisik dan otot yang lebih besar dari pada perempuan, perempuan mempunyai struktur tulang pelik yang lebih besar, yang memang sesuai untuk menyokong kehamilan-kehamilan semua ini dapat menghambat perempuan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan otot-otot besar. Perbedaan hormon juga mempengaruhi tingkat agresifitas, dimana laki-laki lebih agresif dibandingkan perempuan, sedangkan perubahan hormon pada perempuan serasa siklus menstruasi, menyusui, dan kehamilan adalah sifat khusus feminim.

Perbedaan fisik ini memberikan “implikasi yang signifikan pada kehidupan publik perempuan, sehingga perempuan lebih sedikit perannya dibandingkan laki-laki.”29

Secara sosial pun laki-laki dominan secara politik dalam semua masyarakat. Hal ini dikarenakan faktor biologis bawaan mereka, sehingga hal ini memberikan pada masing-masing jenis kelamin dan pengaruh jenis kelamin dalam

perkembangan prilaku manusia. Semuanya memperkuat kesimpulan bahwa biologi manusia adalah suatu komponen penting dalam prilaku yang berbeda antara jenis-jenis kelamin. “Teori sosio-biologis ini juga tetap berkeinginan melanggengkan sistem patriarhi.”30

2. Landasan Hukum Gender

Masalah kesetaraan gender sudah menjadi kebutuhan atau tuntutan bagi umat manusia di seluruh dunia, sehingga telah menjadi ketetapan Majelis Umum PBB, yang dapat menjadi rujukan semua pihak, agar kesetaraan gender dilaksanakan di semua negara. Beberapa rujukan yang dapat dijadikan landasan hukum kesetaraan gender:

a. Konvensi Wanita Tahun 1981

Konvensi wanita tahun 1981, yang disetujui oleh Majelis Umum PBB; Pasal 1, 2, 3, 4, dan 5.

b. Inpres No. 5 Tahun 1995

Apa yang dinyatakan Presiden tersebut “pada hakekatnya wanita sebagai insan pembangunan mempunyai peran sejajar dengan pria” kemudian dikokohkan

29

Ibid., h. 69-70

30

(31)

dalam Inpres No. 5 Tahun 1995. dengan demikian, maka semakin kokoh lagi upaya untuk meningkatkan peran perempuan. Hal ini dimaksudkan agar mereka mempunyai kedudukan dan peran yang setara dengan laki-laki, sekaligus bias gender yang dikenakan padanya, khususnya dalam kehidupan publik dapat dieliminasi.

c. Propenas Tahun 2000

Propenas yang responsip gender juga terlihat dalam UU No. 25 Tahun 2000 tentang : “Program Pembangunan Nasional dijelaskan bahwa program peningkatan kualitas hidup perempuan memiliki sasaran yaitu meningkatnya kualitas dan peranan perempuan diberbagai bidang.”31

d. Undang-undang Dasar 1945

UUD 1945, BAB X tentang warga negara, Pasal 27 ayat (1). “Sejak tahun 1945 prinsip kesetaraan pria dan wanita di depan hukum telah diakui. Dalam ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 tidak membedakan jenis kelamin di muka hukum.”32

3. Prinsip Kesetaraan Gender

Kesetraan gender adalah seperti sebuah frase (istilah) “suci” yang sering diucapkan oleh para aktivis sosial, kaum feminis, politikus, bahkan oleh para pejabat negara. Istilah kesetaraan gender dalam tataran praksis, hampir selalu diartikan sebagai kondisi “kestidaksetaraa” yang dialami oleh para wanita. Maka, istilah kesetaraan gender serimh terkait dengan istilah-istilah diskriminasi terhadap perempuan, subordinasi, penindasan, perlakuan tidak adil, dan semacamnya. Istilah-istilah tersebut memang dapat membangkitkan emosi, kekesalan, dan memicu rasa simpati yang besar kepada kaum perempuan. Oleh karena itu agenda feminis mainstream (struktural, fungsional, konflik, dan sosialis) semenjak awal abad ini hingga sekarang adalah “bagaimana mewujudkan kesetaraan gender secara kuantitatif, yaitu pria dan wanita harus sama-sama (fifty-fifty) berperan baik di luar maupun di dalam.”33

Istilah kesetaraan gender dalam pemahaman masyarakat umum seringkali memunculkan rasa ambivalensi. Apakah pria dan wanita memang betul-betul harus sama sehingga segalanya harus setara? Bagaimana dengan perbedaan biologis antara pria dan wanita yang sering membawa kondisi ketidaksetaraan?

31

Ace Suryadi, Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan, (Bandung: PT GENESINDO, 2004), Cet. ke-I, h. 85

32

Endang Sumiarni, Jender dan Feminisme, (Yogyakarta: Wonderful Publishing Company, 2004), Cet ke-I, h. 33

33

(32)

Di satu sisi ada yang sangat mengharapkan adanya kesetraan, dikarenakan mereka menganggap bahwa konsep gender merupakan kontruksi sosial. Sehingga

perbedaan jenis kelamin tidak perlu mengakibatkan perbedaan peran dan perilaku gender dalam tataran sosial. Di sisi lain ada yang menganggap perbedaan jenis akan selalu berdampak terhadap konstruksi konsep gender dalam kehidupan sosial. Dua kelompok tersebut di atas pada dasarnya mempunyai satu prinsip yang sama, yaitu menghilangkan diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan. Akan tetapi keduanya juga berbeda dalam memahami keadilan. Apakah suatu keadilan harus harus membagikan sesuatu dengan sama rata atau suatu keadilan itu harus membagikan sesuatu menurut proporsi dan kapasitas masing-masing dan tidak harus sama rata?

Dengan melihat konsep kesetaraan gender di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kesetaraan gender tidak hanya memberikan keuntungan kepada suatu pihak saja. Yaitu pihak perempuan, namun juga memberikan keuntungan bagi pihak laki-laki.

a. Prinsip Kesetaraan Gender dalam Ajaran Islam

Di awal sejarah munculnya ajaran agama Islam, kaum perempuan telah

memperoleh kemerdekaan dan mereka juga memperoleh suasana hati dan batin yang cerah. Hal ini dikarenakan di dalam Islam, hubungan antara laki-laki dan perempuan didasarkan ppada kesetaraan manusiawi. Dengan demikian tampak adanya persamaan dan keadilan pada keduanya, yaitu sebagai makhluk yang memilki kedudukan yang sama di hadapan Allah sebagai sang pencipta.

Di dalam ajaran Islam, kesetaraan dan keadilan gender dapat dilihat pada bagaimana ajaran Islam memberikan posisi laki-laki dan perempuan sebagai berikut:

1. “Hamba Tuhan 2. Khalifah di bumi

3. Penerima perjanjian primordial

4. Sebagai Adam dan Hawa dalam drama komsis.”34

Adapun penjelasan dari posisi laki-laki dan perempuan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Sebagai hamba Tuhan

34

(33)

Di dalam Al-qur’an, laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba yang hanya menyembah kepada Tuhan, hal ini ditegaskan pada ayat-ayat Al-qur’an sebagai berikut:

a. Hamba yang paling ideal adalah muttaqun (Q. S. al-Hujurat, 49:13). Muttaqun artinya sebagai orang-orang yang bertaqwa, untuk mencapai derajat muttaqun ini tidak dikenal adanya perbedaan jenis kelamin, suku, bangsa, atau kelompok etnis tertentu.

b. Laki-laki dan perempuan dalam kapasitasnya sebagai hamba, akan memperoleh penghargaan dari Tuhan sesuai dengan pengabdiannya (Q. S. al-Nahl, 16:97).

2. Sebagai khalifah di bumi

Laki-laki dan perempuan sama-sama memilki tugas sebagai khalifah di bumi yang mempertanggungjawabkan kekhalifahannya di bumi sebagaimana mereka sama-sama harus bertanggung jawab sebagai khalifah di bumi dapat dilihat pada surat al-A’raf 7:155.

3. Sebagai penerima perjanjian primordial

Laki-laki dan perempuan menerima perjanjian primordial dan sama-sama

mengemban amanah. Seperti diketahui, menjelang seorang anak manusia lahir dari rahimnya. Ibunya, ia terlebih dahulu harus harus menerima perjanjian dengan Tuhannya. Dalam Islam tanggung jawab individual dan kemandirian berlangsung sejak didni, yaitu semenjak dalam kandungan, sejak awala sejarah manusia dalam Islam tidak dikenal adanya diskriminasi jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan sama-sama menyatakan ikrar ketuhanan yang sama.

4. Sebagai Adam dan Hawa dalam drama komsis

Adam dan Hawa terlihat secara aktif dalam drama komsis yaitu, keduanya diciptakan di surga dan memanfaatkan fasilitas surga. Semua ayat yang menceritakan tentang drama komsis, yaitu cerita tentang keadaan Adam dan pasangannya di surga sampai keluar ke bumi, selalu menekankan kedua belah pihak secara aktif dengan menggunakan kata ganti untuk dua orang.

(34)

yang kodrat (divine creation), melainkan merupakan sesuatu yang dihasilkan dari sebuah kontruksi budaya sosial. Dan intinya adalah natara laki-laki dan perempuan adalah sama, baik secara spiritual, peran, prilaku, intelektual, dan emosional.

b. Prinsip Kesetaraan dalam Ajaran Kristiani

Di dalam ajaran Kristiani, khususnya dalam ajaran agama Katolik, tidak

memandang adanya perbedaan status antara laki-laki dan perempuan. Keduanya dipandang sebagai sama-sama makhluk Tuhan yang memilki kedudukan, peran, dan derajat yang sama di hadapan Allah Bapa. Menurut Marry Ann Glendon, seperti yang dikutip oleh Bainar dan Alchi Halik, Gereja Katolik memandang bahwa: “ajaran Yesus Kristus sebenarnya memperkuat status dan kedudukan perempuan dalam dalam kehidupan bermasyarakat.”35

Bentuk pengakuan atas kesetaraan kedudukan perempuan ini tampak dari pemberlakuan ide monogami dalam hukum gereja yang menyatakan bahwa seorang pria tidak boleh beristeri lebih dari satu orang ketetapan hukum ini

merupakan penerapan ayat Injil Matius 19: 6 yang berbunyi “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Oleh karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”36

Dengan demikian tampak bahwa landasan hukum gereja mengisyaratkan tidak adanya perceraian antara sepasang suami isteri yang telah menikah secara hukum Katolik. Tidak adanya perceraian tersebut merupakan salah satu upaya Gereja dalam menyetarakan hak dan kedudukan perempuan dan laki-laki.

Di era tahun 1990-an, Paus Yohanes Paulus II menerjemahkan masalah kedudukan perempuan ini ke dalam bahasa yang lebih spesifik. Hal ini terungkap di dalam suratnya yang ditujukan kepada para delegasi sebagai pembukaan Konfrensi Wanita sebagai berikut:

“Kebutuhan yang paling mendesak untuk mewujudkan kesetaraan antara pria dan wanita di segala bidang adalah adanya upaya yang sama untuk pekerjaan yang sama, adanya perlindungan bagi ibu-ibu bekerja, berkeadilan dalam karier dan kepangkatan, adanya hak dan kewajiban suami isteri yang sama berkenaan dengan tanggung jawab dalam keluarga dan pengetahuan atas segala semua yang berkaitan dengan hak dan kewajiban sebagai warga negara dalam sebuah negara demokrasi.”37

Dengan demikian, tampak bahwa Gereja Katolik pada hingga saat ini terus memperjuangkan kesetaraan dan keadilan bagi laki-laki maupun perempuan. Namun meskipun dalam ajaran Katolik juga menerapkan adanya kesetaraan dan keadilan gender, tetapi pada pelaksanaannya tetap saja adanya usaha dari para

35

Bainar dan Alchi Halik, Jagat Wanita: Dalam Pandangan Para Tokoh Dunia, (Jakarta: PT. Pustaka CIDESINDO, 1999), h. 163

36

Alkitab: Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1997).

37

(35)

tokoh didalamya untuk tetap menempatkan perempuan sebagaiwarga kelas dua. Itulah sebabnya tidak pernah ditemukan dalam sejarah adanya perempuan yang menjadi pemimpin ibadat keagamaan.

4. Fungsi dan Relasi Keberadaan Gender

Ada hal yang harus diluruskan dalam fungsi dan relasi keberadaan perempuan dan laki-laki. Terutama opini yang seakan mengendap dan mengkristal dalam alam bawah sadar publik, bahwa eksistensi kaum pria lebih utama dibanding kaum perempuan. Opini ini dengan sendirinya membidani dan membesarkan struktur ketidakadilan dalam berbagai bentuk. Laki-laki menganggap perempuan sebagai pelengkap dan memiliki kekuasaan absolut atas perempuan. Relasi seperti ini secara ontologi merupakan modus utama kekerasan terhadap perempuan (violence agains women). Sehingga mengiring praktek ketidakadilan dalam berbagai bentuk; dominasi, marginalisasi, dan eksploitasi yang semakin meraksasa.

Praktek ketidakadilan ini, merupakan suatu bentuk rekayasa sistem yang

androsentris. Dalam sistem ini, fungsi dan relasi keberadaan perempuan dan laki-laki mengalami pengkavlingan dalam hal peran sosial. Pada gilirannya

pengkavlingan budaya tersebut, sayangnya menciptakan ruang yang pincang dan bercorak hirarkis. Laki-laki ditempatkan di sektor publik dan perempuan di sektor domestik yang mobilitasnya senantiasa berputar di sekitar sumur, dapur, dan kasur. Sebuah fenomena klasik “-meminjam istilah sukidi- untuk semakin melanggengkan rasionalitas sistem patriarkhi di masyarakat.”38 Laki-laki yang ditempatkan di sektor domestik dengan sendirinya memiliki kemandirian ekonmi. Sedang perempuan yang berada di sektor domestik menjadi tergantung laki-laki, sehingga kondisi perempuan amat rawan akan tindak ketidakadilan. Hal ini terus berlangsung dan meraksa secara sistemik. Ringkasnya sistem ini beroperasi dari sudut logika dan kepentingan laki-laki. “Mulai dari institusi yang terkecil bernama keluarga sampai terbesar bernama negara.”39 Budaya patriarkhi ini, melata secara sistemik bahkan sampai menerobos ke ruang agama.

Keluarga dan agama, sejatinya, merupkan teritori teraman atau suatu anugrah terindah yang Tuhan berikan untuk manusia. Ironisnya, hal tersebut sering dilibatkan atau dijadikan “tunggangan” untuk memekarkan dan melestarikan sistem patriarkhi di masyarakat. Pada level keluarga, patriarkhi yang berarti “kekuasaan yang laki”, digunakan untuk menyebut “suatu jenis keluarga yang dikepalai oleh laki-laki.”40 Tak jarang pula institusi ini menjadi sarang praktek kekerasan atas wanita. Praktek kekerasan tersebut, ibarat gayung bersambut, karena dibentangi oleh dalil agama. Agama secara langsung atau tidak, dilibatkan untuk mensyahkan dan menjaga kesinambungan relasi pincang antara pria dan

38

Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2001), Cet. ke-1, h. 101

39

Ibid.

40

(36)

wanita. Manurut relasi pincang ini, barangkali berakar dari narasi “drama ketuhanan” di seputar proses penciptaan dan keberadaan pria dan wanita narasi “drama ketuhanan” ini, dapat kita temui diantaranya dalam Kitab Kejadian pasal 18, sebagai berikut:

“Tuhan Allah berfirman, tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.”41

Dalam Al-qur’an pun, khususnya mengenai relasi keberadaan laki-laki dan perempuan dapat kita jumpai dalam Q. S. al-Nisa: 34, yaitu:

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin atas kaum perempuan. Oleh karena itu Allah telah melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lainnya. Dan karena mereka laki-laki telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka. Sebab itu wanita yang shaleh adalah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri saat (suami) tidak hadir oleh karena Allah telah memelihara mereka. Wanita-wanita yang kamu khawatiri nusyuz-nya (pelanggaran atas kewajiban suami istri) nasihatilah mereka dan pisahkan diri dari tempat tidur mereka. Dan pukullah mereka kemudian jika mereka mentaati-Mu, maka janganlah mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesengguhnya Allah Maha Tinggi Lagi Maha Besar.”42

Redaksi-redaksi tersebut ketika ditafsirkan, setidaknya, akan menciptakan ruang paradoks tersendiri. Satu ruang penafsiran yang tidak seharusnya berkonotasi negatif, dan satu ruang lainnya yang seharusnya penuh muatan positif. Dalam panggung penafsiran untuk konteks Islam, ungkapan laki-laki adalah qawwamun melahirkan rentetan paradoks dikalangan para penafsir. Ungkapan tersebut diantaranya dimaknakan, bahwa laki-laki adalah penanggung-jawab, pemimpin, dan penjaga kaum perempuan. Dari berbagai pemaknaan itu terkesan, ada sebahagian para muffasir (fuqoha) yang berusaha memberikan status yang lebih unggul pada kaum laki-laki. Meskipun secara normatif bisa dikatakan al-Qur’an memihak pada kesetaraan status atas kedua jenis kelamin. Namun secara “kontekstual al-Qur’an mengakui kelebihan kaum laki-laki dibidang tertentu.”43 Pada level inilah, para musafir berusaha memukul rata superioritas laki-laki. Dalam konteks ini Ali Asghar, mengatakan, bahwa pemahaman ayat tersebut di atas harus dilihat setting historis saat ayat tersebut di turunkan. Pada saat itu, ruang gerak perempuan dibatasi hanya di sekitar wilayah rumah, dan laki-laki yang mencari nafkah untuk menghidupi keluarga. Al-qur’an memperhitungkan kondisi tersebut dan menempatkan posisi laki-laki menjadi superior terhadap perempuan. Namun, perlu dicatat bahwa al-Qur’an tidak menganggap bahwa suatu struktur sosial bersifat normatif. Sebuah struktur sosial pasti dan memang akan selalu

41

Al-kitab edisi Indonesia

42

Mengikuti pengalihan bahasa Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahannya, 1982

43

(37)

berubah. Bila dalam suatu “struktur sosial perempuanlah yang menjadi pencari nafkah dan memainkan peran yang dominan dalam keluarganya, pastilah posisi perempuan akan menjadi superior.”44

Dengan demikian, posisi superior yang ditegaskan al-Qur’an itu bersifat relatif. Secara implisit al-Qur’an menyatakan, bahwa perempuanpun sangat mungkin memiliki kelebihan atas laki-laki, yaitu dengan ungkapan “Allah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian (lain).” Penegasan qawwamun atas perempuan karena pihak laki-laki memberi nafkah kepada perempuan (bima anfaqu min amwalihim). Di sini meninjukan superioritas itu tidaklah bersifat bawaan dari sananya. Namun, lebih dikarenakan adanya faktor kemandirian ekonomi. Oleh karena itu, menurut Didin Syafruddin superioritas tersebut bersifat kasbi. Artinya, ditentukan oleh kemampuan dalam bidang ekonomis. Karena “bersifat kasbi, maka perempuan memperoleh peluang sama dengan laki-laki dalam memperoleh superioritas baik dalam keluarga maupun dalam

masyarakat.”45

Begitu pula dalam menafsirkan pasal 18 dalam Kitab Kejadian tersebut di atas. Idealnya, menafsirkan pasal tersebut tidak seharusnya berkonotasi negatif, yaitu untuk memecahkan kesunyian Adam lalu dibuatlah ciptaan kedua, yaitu

perempuan (I lawa) sebagai kawan baginya. Di sisi lain penafsiran pasal tersebut, seharusnya penuh muatan positif, bahwa laki-laki tidak bisa hidup dan

berkembangbiak tanpa kehadiran perempuan. Apalagi redaksi tersebut, secara detail menjelaskan keberadaan wanita sebagai penolong atas pria. Sehingga simplisit posisi superior itu ada di tangan wanita, atau minimal memiliki relasi yang setara. Masalahnya karakter dasar penafsiran itu bersifat socially

conditioned, dibentuk sesuai dengan kondisi sosial yang berkembang saat itu. Sehingga yang mengemuka adalah corak penafsiran yang maskulin, karena struktur sosial saat itu amat androsentris. Sehingga superioritas wanita itu dieliminasi menjadi inferior, sebaliknya posisi ciptaan awal itu bukan berarti superior. Relasi superior-inferior tersebut, merupkan produk budaya saat itu. Menurut Rebecca Chop relasi superior-inferior terhadap wanita, merupakan sebuah “bentuk pengkerangkengan budaya yang diciptakan untuk perempuan.”46 Dimana proses pengkrangkengan tersebut, telah “memingit” wanita dalam sektor domestik, terikat dengan kegiatan reproduksi, memelihara anak dan menjaga rumah. Sehingga pertumbuhan fisik wanita menjadi lebih kecil dibanding pria.

44

Ali Ashgar Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), Cet. ke-1, h. 237

45

Didin Syafrudin, Argumen Supremasi atas Perempuan Penafsiran Klasik Q. S. al-Nisa: 34, Ulumul Qur’an, No. 5 dan 6, Vol. V, 1994, h. 7-8

46

(38)

Dalam tradisi Yahudi posisi perempuan juga terlihat marjinal. Apalagi jika ditarik dalam konteks perceraian, maka terlihat adanya suatu pola relasi superior-inferior yang cukup kental. Dalam lima kitab pertama Perjanjian Lama disebutkan, suami dapat menjatuhkan cerai apabila menemukan “sesuatu yang buruk,

menjengkelkan, dan keji” tentang isterinya. Namun sebaliknya istri tidak dapat menceraikan suami sekalipun suaminya bermoral bejat, kejam, keji atau

katakanlah tidak bertanggung-jawab. Mishnah menyatakan istri dapat “disisihkan dengan persetujuan atau tanpa persetujuannya” (Yebamuth 14:1). Sehingga tak diperlukan lagi proses pengadilan untuk menceraikannya. Para rabi pun sebagian besar mempunyai sikap yang sama dalam hal ini. Hillel, umpanya, mengatakan bahwa suami berhak menceraikan istrinya karena suatu sebab “sekalipun si istri Cuma merusak hidangan untuk suaminya” (Getting 9:10). Menurut sebagian rabi lain, boleh saja mencerai apabila istri mencaci, mengomel, atau menghadik begitu keras di dalam rumah sehingga tetangga dapat mendengar suaranya, atau jika istri pergi dari rumah dengan rambut kusut (Khetuboth 7:6). Dalam kondisi seperti inilah Yesus tampil sebagai figur revolusioner untuk mengubah tradisi yang timpang tersebut.

Menurut William E. Phipp, situasi gender yang timpang itu, menggugah emphati Yesus. Bagi Yesus, bahwa berpegangan hanya kepada hukum Musa, Hillel atau rabi-rabi lainnya tidak akan cukup, karena hukum perceraian itu sudah melenceng dari sudut prinsip penciptaan. Bagaimana sebuah konsep penciptaan mengarah pada sebuah bentuk mitra yang sejajar. Seperti halnya kisah di taman Eden yang secara gamblang menjelaskan, bahwa “persahabatan adalah alasan perkawinan.”47 Lebih dari itu “perkawinan adalah sebuah peristiwa yang merayakan persahabatan yang monogamis.”48 Sebagaimana yang tertera dalam Kitab Markus 10:8, dimana “keduanya lalu menjadi satu daging.”

B. Pendidikan

1. Pengertian Pendidikan

Berbicara tentang pendidikan sebenarnya bukanlah masalah baru, karena

pendidikan itu sudah ada sejak manusia ada dimuka bumi. Hanya saja perwujudan pendidikan itu sendiri berbeda-beda dari zaman ke zaman seiring dengan

perubahan tempat dan waktu.

Secara etimologi pendidikan berarti “pemeliharaan.”49 Dan sejalan dengan yang dikemukakan oleh Drs. Agus Basri, pendidikan adalah “pelihara, ajar.”50 Istilah

47

Kejadian 2:18

48

William E. Phipp, Muhammad dan Isa: Telaah atas Sosok dan Risalahnya, Terjemahan, Ilyas Hassan, (Bandung: Mizan, 1998), Cet. ke-1, h. 181-182

49

W. J. S. Poerwadarmita, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), Cet. ke-7, h. 250

50

(39)

pendidikan berasal dari kata “didik” dengan memberinya awalan “pe” dan

akhirnya “kan” yang mengandung arti “perbuatan.” Istilah pendidikan terjemahan dari bahasa Yunani, yaitu “paedagogi” yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dengan “education” yang berarti “pembagunan atau bimbingan.”51 Dalam bahasa Arab kata pendidikan adalah terjemahan dari kata “tarbiyah” yang berarti “mendidik.”52 Secara terminologi pendidikan dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai nilai-nilai agama di dalam masyarakat dan kebudayaan. Sedangkan istilah lain adalah mendidik, yang mempunyai arti “menanamkan tabiat,”53 yang baik agar anak mempunyai sifat yang baik dan kepribadian yang utama.

Banyak para pakar pendidikan mengemukakan tentang pengertian pendidikan, di dalam buku “ilmu pendidikan” M. Alisuf Sabri ada beberapa ahli mengartikan pendidikan sebagai berikut :

1. Langeveld, mendidik adalah mempengaruhi anak dalam usaha membimbing nya supaya menjadi dewasa. Usaha membimbing adalah usaha yang di sadari dan dilaksanakan dengan sengaja antara orang dewasa dengan anak didik dan diarahkan kepada tujuan pendidikan.

2. Hoogveld, mendidik adalah membantu anak supaya ia cakap dalam menyelenggarakan hidupnya atas tanggung jawab sendiri.

3. SA, Branata dkk, pendidikan ialah usaha yang sengaja di adakan baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk membantu anak dalam perkembangannya mencapai kedewasaan.

4. Ki Hajar Dewantara, mendidik adalah menuntut segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.

51

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), Cet. ke-I, h. 1

52

Zakiah Daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), Cet. ke-3

53

(40)

Menurut M. Arifin bahwa pendidikan “segala orang dewasa secara sadar untuk membimbing dan mengembangkan kepribadian serta kemampuan dasar anak didik baik dalam pendidikan formal maupun non formal.”54

Dari berbagai pengertian tentang pendidikan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang di maksud pendidikan adalah usaha sadar yang di lakukan oleh orang dewasa untuk membantu dan membimbing pertumbuhan dan perkembangan anak didik secara teratur dan sistematis kearah kedewasaan melalui bimbingan pengajaran, latihan-latihan, dan di curahkan dalam rangka mengembangkan kepribadian dan kemampuan peserta didik ketingkat kedewasaan, dan hal ini di lakukan baik di dalam maupun di luar sekolah yang berlangsung seumur hidup demi mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.

2. Tujuan Pendidikan

Dalam setiap usaha atau kegiatan tertentu ada tujuan atau target sasaran yang ingin dicapai. Tujuan ini merupakan hal yang sangat penting agar setiap kegiatan yang dilakukan tidak sia-sia. Karena tujuan merupakan batas akhir yang dicita-citakan seseoranag dan dijadikan pusat perhatiannya untuk dicapai melalui usaha. Dalam tujuan juga terkandung cita-cita, kehendak, dan kesengajaan serta berkonsekuensi dan upaya untuk mencapainya, demikian pula kegiatan/usaha pendidikan sengaja dilakukan untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan.

Karena pentingnya tujuan pendidikan yang merupakan masalah sentral dalam proses pendidikan, hal itu disebabkan oleh fungsi-fungsi yang dipikulnya. Ahmad D. Marimba menyebutkan empat (4) fungsi tujuan pendidikan tersebut adalah:

a. Tujuan berfungsi mengakhiri usaha

Sesuatu usaha yang tidak mempunyai tujuan tidaklah mempunyai arti apa-apa. Selain itu, usaha mengalami permulaan dan mengalami pula akhirnya. Ada usaha yang terhenti karena sesuatu kegagalan sebelum mencapai tujuan, tetapi usaha tersebut belum dapat dikatakan berakhir. Pada umumnya, usaha berakhir kalau tujuan akhir tercapai.

b. Tujuan berfungsi mengarahkan usaha

Tampak adanya antisipasi (pandangan ke depan) kepada tujuan, penyelewengan akan terjadi dan kegiatan yang dilakukan tidak akan berjalan secara efesien.

c. Tujuan berfungsi sebagai titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan lain, tujuan-tujuan baru maupun tujuan-tujuan lanjutan dari tujuan pertama.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dari satu segi tujuan membatasi ruang gerak usaha. Namun, dari segi lain tujuan tersebut dapat mempengaruhi dinamika dari usaha itu.

d. Fungsi dari tujuan ialah memberi nilai (sifat), pada usaha itu. Ada usaha-usaha yang tujuannya lebih luhur, lebuh mulia, lebih luas dari usaha-usaha lainnya. Hal ini menunjukkan

54

(41)

bahwa “dalam rumusan setiap tujuan selalui disertai dengan nilai-nilai yang hendak diusahakan perwujudannya.”55

Prof. Hasan Langgulung 1986 dalam bukunya “Manusia dan Pendidikan” mengatakan, bahwa tujuan pendidikan adalah memelihara kehidupan manusia. Sedangkan tujuan khusus selalu berubah dan tergantung pada lembaga dimana pendidikan itu diajarkan. Tujuan khusus ini sering dirumuskan dalam bentuk tujuan kurikulum, tujuan institusional dan tujuan nasional.

1. Kebijakan Pendidikan Berkesetaraan Gender

Dalam dunia pendidikan perlu adanya suatu kesetaraan dalam mendapatkan pendidikan, baik itu bagi laki-laki maupun perempuan. Setidaknya negara mampu untuk menyetarakan pendidikan, sehingga semua warga negara bisa merasakan pendidikan tersebut. Hal-hal yang perlu ada dalam undang-undang pendidikan adalah:

a). Memastikan bahwa kesempatan yang sama diberikan kepada anak perempuan dan perempuan dewasa dalam semua level pendidikan, sehingga antara laki-laki dan perempuan dapat setara dalam mendapatkan pendidikan.

b). Memastikan bahwa pendidikan dasar diwajibkan untuk anak usia sekolah, berbagai upaya perlu dilakukan dengan:

(i). “Menghapuskan semua biaya pendidikan dasar untuk anak-anak perempuan dari keluarga berpenghasilan rendah.

(ii). Memberikan beasiswa kepada anak-anak perempuan.”56

d). Menghapus semua undang-undang diskriminatif yang akan mengakibatkan anak perempuan untuk tidak dapat berpartisipasi atau meneruskan pendidikan,

misalnya hak murid untuk melanjutkan pendidikannya walaupun hamil dan memberikan izin cuti melahirkan, memberikan dukungan bagi perempuan untuk terus melanjutkan sekolah.

e). “Memastikan bahwa dalam hubungan antara pendidikan dan permintaan tenaga pekerjaan diperhatikan keseimbangan gender sehingga baik dalam pendidikan maupun dalam tenaga kerja tidak terjadi gap (jurang) gender.”57

g). Memperkuat hubungan antara sektor pendidikan dan pelatihan-pelatihan pada lapangan pekerjaan.

55

Abuddin Nata, MA, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet. ke-1, h. 45-46

56

Disadur dan Dimodifikasi dari buku: Gender and Development, (United Nations, 1990)

57

(42)

Sistem Administrasi pada lembaga pendidikan sangat menentukan dalam proses pengelolaan manajemen, baik itu masalah pelayanan maupun keuangan. Perlu adanya Reformasi pada tingkat administrasi sehingga akan terciptanya kesetaraan gender pada dunia pendidikan:

a). Meningkatkan jumlah sekolah perempuan.

b). Memberikan training gender pada semua tenaga administrasi baik kepada laki-laki maupun perempuan.

c). Memastikan perempuan terlibat dalam merancang, sistem pendidikan dan aspek manajemennya.

Sistem Kurikulum sangatlah penting bagi proses belajar mengajar, sehingga perencanaan pengajaran akan berjalan sesuai dengan tujuan. Kurikulum merupakan bagian yang penting untuk menjamin kesetaraan gender dalam pendidikan, maka perlu adanya sistem kurikulum yang berkesetaraan gender, yaitu:

a). Pendidikan kewarganegaraan, demokrasi dan Hak Asasi Manusia d). Pendidikan yang mementingkan nilai-nilai toleransi dan keberagaman e). Mendukung perempuan mempelajari ilmu pengetahuan dan matematika

Perlu adanya peningkatan kualitas guru sehingga dalam proses pembelajaran siswa-siswi dapat dengan mudah memahami dan mengerti dalam menerima ilmu pengetahuan. Dan juga dapat lebih menguasi dalam mata pelajaran. Adapun yang harus dilakukan adalah penungkatan kualitas guru seperti:

a). Jumlah tenaga pendidikan di tingkat nasional maupun daerah ditambah b). Training untuk para guru diperkuat.

c). Meningkatkan guru-guru perempuan dalam semua tingkat pendidikan sehingga kesetaraan dalam pendidikan dapat tercapai.

Perlu dipastikan bahwa terdapat pendidikan alternatif yang disediakan oleh pemerintah untuk anak-anak yang tidak dapat bersekolah secara reguler. Bila pendidikan non-formel ini disediakan maka perlu juga dipikirkan penyediaan tempat bekerja atau paling tidak diberikan informasi-informasi lowongan pekerjaan.

(43)

D. Gender Mainstreaming

1. Pengertian Gender Mainstreaming

Peran dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan di berbagai aspek kehidupan, kecuali yang bersifat kodrati, sebenarnya tidak ada yang baku atau spesifik hanya dapat dilakukan oleh kaum laki-laki saja atau perempuan saja. Tetapi pada hakekatnya dapat dilakukan oleh siapa saja sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimilki serta didukung dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kuatnya budaya patriarhi seringkali membakukan peran-peran sosial. Ekonomi dan politik yang cenderung memarjinalkan atau bahkan diskriminatif terhadap salah satu jenis kelamin. Kondisi semacam ini, ternyata telah melemahkan upaya menggali dan mengembnagkan diri untuk menjadi kekuatan dalam menghadapi persoalan pembangunan yang sedang kita

laksanakan. Pandangan yang menganggap kaum perempuan adalah “sub-ordinat kaum laki-laki, telah menimbulkan dampak negatif mulai dari lemahnya partisipasi dalam pengambilan keputusan, rendahnya semangat berwirausaha, sampai dengan kurang berdayanya menghadapi berbagai tindak kekerasan yang dialami

perempuan.”58

Dengan demikian, meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui “kebijakan nasional yang diemban oleh lembaga yang mampu memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender serta meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan dengan tetap mempertahankan nilai persatuan dan kesatuan serta nilai historis perjuangan kaum perempuan serta kesejahteraan keluarga dan masyarakat sangatlah penting.”59

Kerangka pemahaman terhadap kesadaran gender dikenal oleh Moser dan Levy dengan “kerangka kebutuhan gender praktis dan kebutuhan gender strategis. Kebutuhan gender praktis berkaitan dengan fungsi yang diterima dalam pola pembagian kerja (division of labor).”60 Untuk perempuan kebutuhan gender praktis yaitu mengisi fungsi produksi, reproduksi, dan tanggung jawab serta peran mengatur masyarakat. Di mana manusia untuk rumah tangga dan mengumpulkan bahan bakar termasuk tanggung jawab perempuan, ketika lebih efesien

menggunakan kompor, kebutuhan gender praktis lebih meningkat.

58

Syafiq Hasyim, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan Tentang Isu-isu Keperempuan dalam Islam, (Bandung: Mizan, 2001)

59

Siti Musda Mulya, et. all, Keadilan dan Kesetaraan Gender Perspektif Islam, (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender, 2003), Cet. ke-2, h. xi

60

(44)

Kebutuhan gender praktis berkaitan dengan peranan gender yang ada, sementara kebutuhan gender strategis berkaitan dengan peningkatan peranan gender yang adil untuk perempuan. Kebutuhan gender strategis dimulai dengan asumsi bahwa “perempuan tersub-ordinasi oleh laki-laki sebagai konsekuensi diskriminasi institusi dan sosial terhadap perempuan.”61

Dalam praktek, pendekatan yang menekankan kebutuhan gender praktis mungkin akan mengenalkan dan memberi pertimbangan akan adanya kebutuhan gender strategis. Tetapi pada sisi lain, memuaskan kebutuhan gender praktis menguatkan adanya pembagian kerja dalam rumah tangga, yang mensub-ordinasi perempuan, membuat air lebih mudah diperboleh, bagi perempuan tidak merubah posisi hubungannaya dengan laki-laki. Pendekatan yang menekankan kebutuhan gender strategis sering digunakan oleh aktifis perempuan untuk melawan keberadaan struktur dan sosial yang memperlakukan perempuan secara tidak adil.

Gender mainstreaming diberbagai instansi pemerintah, mengharapkan proses identifikasi dan analisis isu gender serta mengenali faktor-faktor penyebab terjadinya kesenjangan gender pada setiap rumusan kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan. Rumusan itu kemudian ditindaklanjuti sesuai dengan kebutuhan laki-laki dan perempuan secara adil dan setara.

Dengan demikian, yang dimaksud dengan gender mainstreaming adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan evaluasi atas kebijakan, dan program pembangunan nasional yang mempunyai tujuan kesetaraan peran, dan terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan evaluasi atas kebijakan, dan program pembangunan nasional yang berspektif gender dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

2. Faktor-faktor Pendukung Gender Mainstreaming

Pada mulanya kondisi gender mainstreaming di negara Indonesia tidak terlepas dari usaha-usaha peran aktif perempuan. Sebelum perempuan belum pernah atau bahkan tidak pernah menjadi prioritas dalam pembangunan. Pada kenyataannya perempuan banyak mengalami masalah dalam kehidupannya; baik itu berkaitan dengan dirinya, keluarganya (anak, suami, orang tua, mertua, keluarga batih), lingkungan sosial maupun dunia sekitarnya sepanjang kehidupannya dengan tujuan terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berspektif gender dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

61

Gambar

Tabel 3.1 Variabel Penelitian dan Indikator
Tabel 4.1 Proses pembelajaran bertujuan mengembangkan
Tabel 4.2 Dalam kegiatan belajar mengajar lebih berpartisipasi
Tabel 4.4  Buku referensi/pelajaran
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan persepsi personil sekolah terhadap pentingnya Laboratorium IPS dalam kategori baik untuk guru (59,26%) dan sangat baik untuk siswa

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan : (1) pemahaman yang dimiliki oleh informan sebagai pendidik dan siswa tentang konsep gender dan konsep pendidikan adil gender

Angket atau kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden baik laporan pribadinya maupun hal-hal yang

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan : (1) pemahaman yang dimiliki oleh informan sebagai pendidik dan siswa tentang konsep gender dan konsep pendidikan adil gender

konselor sekolah, maka menjadi tanggung jawab LPTK-LPTK yang membuka jurusan bimbingan dan konseling untuk menigkatkan kualitas layanan pendidikan serta kualitas mutu

Penggunaan angket dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kedisiplinan guru dengan minat belajar dan hasil belajar siswa pada mata pelajaran PAI. Angket

Berdasarkan dari jawaban responden melalui angket penelitian yang dilakukan oleh siswa kelas XI IPS SMA Nurul Falah Pekanbaru, adapun alasan mereka mengatakan ada karena untuk

Hasil Survei Penggunaan Metode Bermain Peran Hasil survei butir 5 responden menjawab Setuju dengan mengajak anak bermain drama untuk mengenalkan nama dan fungsi anggota tubuh, dengan