Prinsip ini direkam di dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Mengingat konstitusi itu adalah suatu kontrak, maka equality before the law adalah bagian dari konstitusi juga dapat disebut sebagai suatu kontrak.
2.3. Prinsip Persamaan di Depan Hukum (Equality Before The Law) Sebagai Suatu Kontrak
Prinsip ini telah terurai dalam sub bab 2.2 di atas. Karena konstitusi yang juga adalah suatu kontrak yang merekam prinsip ini, maka secara otomatis Indonesia telah menjadi suatu negara yang berdasarkan atas hukum. Hakikat dapat dipahami dengan melihat pengertian dari sesuatu. Secara spesifik, negara hukum dimengerti, manakala Hukum (the law) dilihat sebagai panglima
tertinggi/supreme80
dalam negara yang menggeser kedudukan penggunaan kesewenang-wenangan.
Dalam hakikat yang dipahami dari pengertian negara hukum seperti demikian itu, maksud tujuan dari adanya berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku, adalah untuk memungkinkan atau membantu orang, terutama rakyat, menyadari bahwa mereka telah memiliki suatu dasar yang pasti, dan tanpa perasaan takut dan/atau segan berhak (entitle) menuntut atau menagih piutang atau hak-hak (rights) mereka, dari para penyelenggara negara yang telah diberikan kepercayaan oleh Hukum untuk mengurus negara, bagi kepentingan si tuan, yaitu rakyat.
Apakah hal di atas berarti bahwa dalam suatu hubungan hukum antara rakyat sebagai tuan (gusti) dengan penyelenggara negara sebagai hamba atau pelayan atau servant (public servant), maka bukanlah adil bila hubungan hukum itu bersifat hubungan
80
Jeferson Kameo, Menegakkan Negara Hukum yang Berkedaulatan Rakyat, Makalah untuk Diskusi Perkumpulan Praxis, YLSKAR, SPPQT, Perkumpulan Perdikan, Yayasan Tifa dalam Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat (FBBPR) dan Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, 29 November 2011, hlm. 1. Restatement, dalam Pasal 1 ayat (3) TAP MPR yang mengatur Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 45), Bab 1, Bentuk dan Kedaulatan, distipulasi bahwa: “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Agar dapat memperoleh gambaran (ideas) yang lain tentang kepanglimaan atau kedigdayaan Hukum, Jeferson Kameo menganjurkan kepada kita untuk membandingkan tulisan Ronald Dworkin, dalam Dworkin, R. (1986), Law’s Empire, Fontana.
antara rakyat atau atasan yang lebih tinggi status dan kedudukannya jika dibandingkan dengan penyelenggara negara atau bawahan yang jauh lebih rendah statusnya?
Mengacu pada dasar yang dianggap pasti itu, nilai yang juga penting ditambahkan di sini adalah, bahwa mereka (rakyat) atau para pihak yang merupakan gabungan dari subyek-subyek hukum itu dapat dengan mudah memastikan bagaimana nantinya pemerintah yang telah mereka pilih, karena sebelumnya mereka telah didikte oleh hukum untuk memilih pemimpin tersebut, akan mengelola kekuasaan yang ada di dalam tangannya dalam keadaan-keadaan tertentu, dalam keadaan susah maupun dalam keadaan duka, hanya untuk kepentingan dan semata-mata sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Dengan perkataan lain, apabila rakyat meyakini bahwa sebenarnya sudah ada di dalam diri mereka suatu dasar yang pasti, yang tercermin dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku itu, maka pada gilirannya rakyat dapat merencanakan apa yang akan mereka lakukan sesuai dengan kepentingan yang menurut rakyat tersebut merupakan kepentingan mereka yang paling baik.
Ada yang berpendapat, bahwa secara prinsipiil, tanpa aturan-aturan, baik itu yang sudah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku, maupun yang diterapkan oleh hakim dalam berbagai putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap, yang di dalamnya mengandung kaedah-kaedah terhadap suatu aktivitas tertentu, maka pemerintah yang bersangkutan tidak memiliki kekuasaan sama sekali untuk intervensi ke dalam kemerdekaan setiap orang yang ada di dalam negara yang mau mendeklarasikan dirinya sebagai suatu negara hukum tersebut.81
Dalam pengertian yang menunjuk hakikat negara hukum, sebagaimana telah dikemukakan di atas itu, maka tuntutan yang harus (niscaya) atau mau tidak mau wajib ada, adalah bahwa semua penyelenggara negara, termasuk di dalamnya kepala negara (the head of state) harus ditundukkan kepada hukum yang berlaku (take it or simply leave it). Inilah yang telah menyebabkan seorang ahli Hukum Tata Negara Inggris (England) yang sangat terkemuka, 81
Prinsip seperti ini pernah dinyatakan dalam suatu keputusan pengadilan, yang mengadili perkara antara Entick v Carrington (1765) 19 St Tr 1030 at 1066 per lord Camden CJ. Perlu dikemukakan di sini, bahwa semua keputusan pengadilan dan beberapa literatur klasik yang dicantumkan dalam makalah tersebut (makalah Jeferson Kameo), adalah putusan-putusan pengadilan dan kepustakaan temuan dalam penelitian individual Jefferson Kameo ketika diundang tanpa syarat (unconditional) keFaculty of Law and Financial Studies University of Glasgow, Scotland.
bernama Dicey82 bertekuk lutut dan mengakui kebenaran hukum di negara tetangganya Skotlandia, yang memaksa setiap orang untuk patuh kepada prinsip yang didikte oleh Hukum, bahwa setiap warga
negara harus dimampukan untuk dapat meminta
pertanggungjawaban setiap pejabat pemerintah atas setiap perbuatannya di pengadilan (the ordinary courts of law).
Bukankah uraian tersebut di atas secara terang-benderang telah memperlihatkan latar belakang atau kausa (a case), bahwa negara hukum yang ditulis secara eksplisit dalam dokumen perjanjian atau konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia itu pada prinsipnya, karena dikte hukum (the dictate of the law) harus selalu dimengerti sebagai kaedah yang lebih berpihak kepada kedaulatan rakyat? Jawabannya sudah barang tentu ya.
Benar, sebagaimana telah dipaparkan di atas, bahwa kaedah negara hukum itu mengandung suatu spirit yang lebih berpihak kepada kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, untuk apalagi hal itu;
82
Dicey adalah seorang penulis Inggris yang sudah mati, namun sangat terkenal dalam bidang Hukum Tata Negara. Dikatakan bahwa karyanya banyak sekali dirujuk tanpa catatan oleh penulis-penulis Indonesia yang terkenal. Tetapi, Dicey telah menulis sejak tahun 1885. Karyanya kemudian dicetak ulang untuk kesepuluhkalinya pada tahun 1959. Lihat, Dicey A. V. (1885, 1959),Introduction to the Study of the Constitution(1885, 10thed, 1959), hlm, 187-188. Dikutip dari Jeferson Kameo,Menegakkan Negara Hukum yang Berkedaulatan Rakyat,supra foot noteno. 137.
nilai yang lebih berpihak kepada kedaulatan rakyat yang ditegakkan
atau kita sekalian pertanyakan “kedigdayaannya”?
a. Berlaku Sebagai Subjek Hukum pada Umumnya
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, di dalamnya ditempatkan asas equality before the law termasuk dalam Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa:“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”83 Ini merupakan pengakuan dan jaminan hak kesamaan semua warga negara dalam hukum dan pemerintahan.
Teori dan konsep equality before the lawseperti yang dianut oleh Pasal 27 ayat (1) Amandemen Undang-undang Dasar 1945 tersebut menjadi dasar perlindungan bagi warga negara agar diperlakukan sama di hadapan hukum dan pemerintahan. Hal ini dimaksud, bahwa semua orang diperlakukan sama di depan hukum. Tidak ada perbedaan antara orang asing atau warga Negara.
Equality before the law dalam arti sederhananya, semua orang sama di depan hukum. Persamaan di hadapan hukum atau equality before the law adalah satu asas terpenting dalam hukum
83
Yasir Arafat, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 dan perubahannya, Permata Press, tanpa tahun, hlm. 26.
modern. Asas ini menjadi salah satu sendi doktrinRule of Lawyang juga menyebar pada negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Kalau dapat disebutkan, asas equality before the law ini merupakan salah satu manifestasi dari Negara Hukum (rechtstaat), sehingga harus adanya perlakuan sama bagi setiap orang di depan hukum (gelijkheid van ieder voor de wet).84
Dengan demikian, elemen yang melekat mengandung makna perlindungan sama di depan hukum (equal justice under the law), dan mendapatkan keadilan yang sama di depan hukum.
Perundang-undangan Indonesia mengadopsi asas ini sejak masa kolonial lewat Burgerlijke Wetboek (KUHPerdata) dan Wetboek van Koophandel voor Indonesie (KUHDagang) pada 30 April 1847 melalui Stb. 1847 No. 23. Tapi pada masa kolonial itu, asas ini tidak sepenuhnya diterapkan, karena politik pluralisme hukum yang memberi ruang berbeda bagi hukum Islam dan hukum adat di samping hukum kolonial.
Asas persamaan di hadapan hukum merupakan asas dimana terdapatnya suatu kesetaraan dalam hukum pada setiap individu tanpa ada suatu pengecualian. Asas persamaan di hadapan hukum itu
84
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2007, hlm. 20.
bisa dijadikan sebagai standar untuk mengafirmasi kelompok-kelompok marjinal atau kelompok-kelompok minoritas. Namun, di sisi lain, karena ketimpangan sumberdaya (kekuasaan, modal, dan informasi) asas tersebut sering didominasi oleh penguasa dan pemodal sebagai tameng untuk melindungi aset dan kekuasaannya.
Asas equality before the lawbergerak dalam payung hukum yang berlaku umum (general) dan tunggal. Ketunggalan hukum itu menjadi satu wajah utuh diantara dimensi sosial lain, misalnya terhadap ekonomi dan sosial. Persamaan “hanya” di hadapan hukum
seakan memberikan sinyal di dalamnya, bahwa secara sosial dan ekonomi orang boleh tidak mendapatkan persamaan. Perbedaan
perlakuan “persamaan” antara di dalam wilayah hukum, wilayah
sosial, dan wilayah ekonomi itulah yang menjadikan asas equality before the lawtergerus di tengah dinamika sosial dan ekonomi.
b. Berlaku pada Subjek Hukum Manusia
Equality before the law adalah pilar utama dari bangunan Negara Hukum (state law) yang mengutamakan hukum di atas segalanya (supreme of law). Pengakuan kedudukan tiap individu di
muka hukum ditempatkan dalam kedudukan yang sama tanpa memandang status sosial (social stratum).85
Keberlakuan prinsip equality before the law dalam praktek penegakan negara hukum yang berdasarkan supremasi hukum (kedaulatan hukum),ternyata mengalami “penghalusan”, kalau tidak
mau dikatakan “exception” (pengecualian) demi mempertahankan kewibawaan hukum itu sendiri. Pengecualian mana berlaku bagi orang-orang/kelompok orang-orang tertentu, yaitu mereka yang oleh karena melaksanakan suatu perbuatan yang ditugaskan oleh Undang-Undang tidak dapat dihukum atau dipidana. Terhadap orang-orang ini tidak berlaku kekebalan hukum, karena apabila mereka terbukti melakukan tindak pidana dengan menggunakan kekuasaan dan kewenangannya, maka hukuman terhadap mereka lebih berat daripada hukuman yang seharusnya diterima oleh orang biasa. Jadi terhadap orang-orang ini, jika melakukan suatu perbuatan guna melaksanakan ketentuan Undang-Undang, tidak dapat dihukum (bukan kebal hukum), sebaliknya apabila yang bersangkutan melakukan suatu perbuatan yang melanggar hukum dengan
85
Yelina Rachma P.,Tinjauan tentang Pengaturan Asas Penyampingan Perkara Demi Kepentingan Umum (Asas Opportunitas) dalam KUHAP dan Relevansinya dengan Asas Persamaan Kedudukan di Muka Hukum (Equality Before The Law), Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2010, hlm. 45-48.
menggunakan kekuasaan dan/atau kewenangannya (abuse de droit), maka hukumannya diperberat.86
Ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa:
“Segala warga negara bersamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Ayat ini mengisyaratkan asas hukum yang sangat fundamental, yaitu asas persamaan kedudukan dalam hukum (asas persamaan kedudukan di muka hukum), atau dikenal dengan istilah “equality before the law”. Demikian pula setelah perubahan (amandemen) ke-2 UUD 1945, hal tersebut dipertegas di dalam Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 28 ayat (1) dan (2). Isyarat senada ditemukan pula baik di dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) 1949 maupun di dalam UUDS 1950 melalui ketentuan Pasal 7, yang dapat dibaca bahwa: a. Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi terhadap Undang-Undang. b. Segala orang berharap menuntut perlakuan dan lindungan yang sama oleh Undang-Undang.
Di dalam dokumen internasional, yaitu Universal Declaration of Human Rights (UDHR) 1948, tentang Asas Persamaan di Muka Hukum atau Equality Before The Law dapat 86Ibid.
dibaca melalui Pasal 6 yang menyatakan:“Everyone has the right to recognition everywhere as a person before the law.” Dan Pasal 7 yang menegaskan antara lain:“All are equal before the law and are entitled without any discrimination to equal protecion of the law.”
Demikian pula keberadaan asas persamaan di muka hukum, dipertegas lebih lanjut di dalamInternational Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) 1966. Pasal 16 ICCPR 1966 menyatakan bahwa: “Everyone has the right to recogniton everywhere as a person before the law.” Pasal 17 ayat (2) menegaskan bahwa:
“Everyone has the right to the protection of the law against such interference or attacks.” Demikian pula dalam Pasal 26 antara lain menyatakan:“All person are equal before the law.”87
c. Berlaku pada Subjek Hukum Badan Hukum
Umum diketahui, bahwa selain orang, badan hukum juga masuk dalam kategori subyek hukum. Secara prinsip, hak dan kewajiban badan hukum ini sama dengan hak dan kewajiban orang-perorangan dalam melakukan perbuatan hukum.88
87
Mien Rukmini. 2007. Perlindungan HAM melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Bandung: Alumni, hlm. 64-65.
88
Jimly Asshiddiqie mengemukakan, bahwa dalam rangka merumuskan kembali ide-ide pokok konsepsi Negara Hukum, dan pula penerapannya dalam situasi Indonesia dewasa ini, menurut pendapatnya, dapat merumuskan kembali adanya tiga belas prinsip pokok Negara Hukum (Rechtsstaat) yang berlaku di zaman sekarang. Ketigabelas prinsip pokok tersebut merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya suatu negara modern, sehingga dapat disebut sebagai Negara Hukum (The Rule of Law, ataupun Rechtsstaat) dalam arti yang sebenarnya, salah satunya yaitu:89
Dalam rangka membatasi kekuasaan, di zaman sekarang berkembang pula adanya pengaturan kelembagaan pemerintahan
yang bersifat ‘independent’, seperti bank sentral, organisasi tentara, dan organisasi kepolisian. Selain itu, ada pula lembaga-lembaga baru, seperti Komisi Hak Asasi Manusia, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Ombudsman Nasional (KON), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan lain sebagainya. Lembaga, badan, atau organisasi-organisasi ini sebelumnya dianggap sepenuhnya berada
89
Dapat dibaca dalam makalah Jimly Asshiddiqie, yang berjudulGagasan Negara Hukum Indonesia, beliau adalah mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Ketua Asosiasi Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Indonesia.
dalam kekuasaan eksekutif, tetapi sekarang berkembang menjadi independen, sehingga tidak lagi sepenuhnya merupakan hak mutlak seorang kepala eksekutif untuk menentukan pengangkatan ataupun pemberhentian pimpinannya. Independensi lembaga atau organ-organ tersebut dianggap penting untuk menjamin demokrasi, karena fungsinya dapat disalahgunakan oleh pemerintah untuk melanggengkan kekuasaan. Misalnya, fungsi tentara yang memegang senjata dapat dipakai untuk menumpang aspirasi prodemokrasi, bank sentral dapat dimanfaatkan untuk mengontrol sumber-sumber kekuangan yang dapat dipakai untuk tujuan mempertahankan kekuasaan, dan begitu pula lembaga atau organisasi lainnya dapat digunakan untuk kepentingan kekuasaan. Karena itu, independensi lembaga-lembaga tersebut dianggap sangat penting untuk menjamin prinsip negara hukum dan demokrasi.
Badan hukum juga mempunyai hak yang sama dengan subyek hukum orang-perseorangan. Lembaga, badan, atau organisasi-organisasi ini yang sebelumnya dianggap sepenuhnya berada dalam kekuasaan eksekutif, tetapi sekarang berkembang menjadi independen, menjadi bukti bahwa lembaga sebagai badan
hukum ini dapat melakukan perbuatan hukum tanpa intervensi dari manapun.
d. Berlaku pada Subjek Hukum Orang Asing 1. Manusia
Terdapat suatu contoh kasus, yaitu dalam putusan Nomor 137/PUU-XII/2014 tentang Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon Warga Negara Asing dalam Pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terhadap UUD 1945.
Para Pemohon 1 dalam tersebut adalah para advokat dan sebagai perseorangan warga Indonesia yang merasa terhambat dalam memenuhi hak para pemberi kuasa dengan adanya ketentuan Pasal 55 ayat (1) UU MK. Adapun Pemohon 2 adalah perseorangan warga negara Nigeria.
Norma yang dijadikan sebagai dasar pengujian, yaitu: Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (1), ayat (2), dan ayat (5).
Alasan permohonannya yaitu: 1). Pemohon 2 telah diperlakukan secara tidak adil dalam proses peradilannya sebagai seseorang yang telah dinyatakan bersalah melanggar
Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, sementara dalam barang bukti sendiri, baik yang ditetapkan dalam tingkat pengadilan negeri maupun tingkat kasasi tidak ada satu pun di dalamnya dinyatakan barang bukti berupa narkotika;
2). Persamaan di hadapan hukum yang diartikan secara dinamis dipercayai akan memberikan jaminan adanya akses untuk memperoleh keadilan (access to justice) bagi semua orang tanpa memperdulikan latar belakangnya. Dengan demikian, Pemohon 2 meskipun mempunyai status warga negara asing, namun hak untuk memperoleh keadilan adalah wajib diberikan kepadanya. Karena, hak tersebut adalah milik setiap orang, bukan hanya warga negara tertentu saja;
3). Perolehan pembelaan dari seorang advokat atau pembela umum adalah hak asasi manusia yang sangat mendasar bagi setiap orang, dan oleh karena itu merupakan salah satu syarat untuk memperoleh keadilan bagi semua orang (justice for all). Sehingga dengan demikian, para Pemohon 1, telah dipermalukan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, karena semua upaya yang dilakukan para Pemohon 1 dalam kepentingan pembelaan perkara yang dialami
Pemohon 2 dianggap tidak bernilai, dianggap sia-sia, dan penurunan nilai-nilai yang seharusnya dijunjung tinggi dalam semangat keadilan dan persamaan di hadapan hukum;
4). Pasal 51 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi hanya menyatakan
“Warga Negara Indonesia”, bukan “setiap orang”, maka jelas pasal dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi tersebut tidak sejalan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
5). Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi secara jelas dan nyata telah bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, karena seharusnya setiap orang berhak atas persamaan dan keadilan. Artinya, kedudukan atas persamaan dan keadilan adalah hak setiap orang, bukan hanya golongan, kelompok, atau bahkan warga negara tertentu saja, namun persamaan dan merupakan hak dasar setiap orang yang telah terikat sejak lahir di dunia;
6). Pemohon 2 sesungguhnya telah diperlakukan sama, dengan telah dinyatakan dirinya bersalah atas perbuatannya melanggar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika, dan sedang menjalani hukuman untuk perbuatannya itu. Namun dalam hal untuk mendapatkan keadilan, upaya hukum terhadap Pemohon 2 tidak sama. Adanya Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi justru membatasi dan membedakan upaya hukum Pemohon 2;
7). Selama menyangkut persoalan persamaan dan keadilan yang merupakan bagian dari hak asasi manusia, tanpa kecuali, setiap negara dan perangkat atau lembaga yang ada di dalam negara memiliki tanggung jawab untuk memenuhi hak asasi manusia pribadi-pribadi yang ada di dalam jurisdiksinya, termasuk orang asing sekalipun;
8). Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 mengandung makna bahwa hak asasi manusia dimiliki oleh siapa saja, sepanjang ia dapat disebut sebagai manusia. Para Pemohon 1 telah diperlakukan tidak sama dengan sebagaimana para advokat yang membela kliennya yang berstatus warga negara Indonesia. Para Pemohon 1, telah dibatasi ruang pembelaannya, dimana seharusnya upaya pembelaan yang dilakukan para Pemohon 1 didukung dengan peraturan perundang-undangan;
9). Pemohon 2 yang telah dihukum berdasarkan undang-undang pemidanaan yang berlaku di Indonesia, seharusnya juga diakui sebagai pribadi di hadapan hukum di Indonesia, karena Indonesia sebagai Negara Hukum, yang dalam konstitusinya maupun Undang-Undang Hak Asasi Manusianya tidak membeda-bedakan hak asasi manusia. Dengan adanya Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Pemohon 2 telah dirugikan hak konstitusionalnya sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hal tersebut bertentangan dengan 28I ayat (1) UUD 1945 dan ketentuan tentang Hak Asasi Manusia di Indonesia;
10). Para Pemohon 1 maupun Pemohon 2, telah mendapatkan perlakuan diskriminatif dengan tidak memperoleh ketentuan mengenai upaya hukum yang sama berdasarkan peraturan perundang-undangan, dimana perlakuan diskriminatif itu sendiri muncul pada forum Mahkamah Konstitusi pada Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang secara jelas dan nyata pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, dan juga bertentangan dengan ketentuan hak asasi manusia di Indonesia;
11). Seharusnya Pemohon 2 memperoleh hak asasi manusia yang sama dimanapun ia berada, demikian pula juga jika berada di Indonesia yang notabene sebagai negara hukum yang secara pasti melindungi setiap hak asasi manusia. Akan tetapi penjaminan hak asasi manusia di Indonesia telah terbentur, terhalangi, dan terbatasi oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Maka sudah patut dan wajar bahwa Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi adalah bertentangan dengan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945, dan ketentuan mengenai hak asasi manusia yang berlaku di Indonesia.
MK menerima dan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya dan menyatakan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi telah bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (1), ayat (2), dan ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat; dan serta memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.