• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PIHAK TERTANGGUNG DAN

C. Prinsip-Prinsip Dasar dan Syarat Sahnya Perjanjian Asuransi

Prinsip mendasar yang harus dimiliki adalah prinsip adanya itikad baik atau

utmost go faith atau uberrimai fides.19 Perjanjian asuransi merupakan perjanjian khusus yang diatur dalam KUHD. Sebagai perjanjian khusus, maka selain asas-asas hukum perjanjian pada umumnya, dalam perjanjian asuransi mengharuskan diterapkannya prinsip-prinsip perjanjian asuransi sebagai berikut:

1. Prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan (Insurable Interest) 2. Prinsip iktikad baik (Utmost Goodfaith)

3. Prinsip keseimbangan (Idemniteit Principle) 4. Prinsip Subrogasi (Subrogation Principle) 5. Prinsip Sebab Akibat (Causaliteit Principle) 6. Prinsip kontribusi (Contribution Principle) 7. Prinsip kausa proksimal (Cause Principle).20 1. Insurable Interest

Insurable Interest atau kepentingan yang dapat diasuransikan merupakan syarat mutlak untuk dapat diadakan kontrak asuransi. Ketiadaan Insurable Interest

menyebabkan kontrak asuransi ilegal, atau batal demi hukum. Insurable Interest

sebagaimana dinyatakan oleh Chris Parsons, David Green, and Mike Mead (1995)

merupakan “legal right to insure arising out of financial relationship, recognized at law, between the insured and the subject-matter of insurance”, Insurable

Interest merupakan hak hukum bagi seseorang untuk mengasransikan subject-matter of insurance (objek pertanggungan) karena adanya hubungan atau kepentingan keuangan yang diakui hukum antara tertanggung dengan subject-matter of insurance.21

19

Ketut Sendra, Klaim Asuransi Gampang, BMAI, Jakarta, 2009, hal. 53. 20

Tuti Rastuti, Op.Cit, hal. 47. 21

Kun Wahyu Wardana, Hukum Asuransi Proteksi Kecelakaan Transportasi, CV.

Lebih lanjut, seseorang dikatakan memiliki kepentingan atas obyek yang diasuransikan apabila ia menderita kerugian keuangan akibat kehilangan atau kerusakan atas obyek yang diasuransikan tersebut. Menurut M. Suparman Sastrawidjaja, diharuskan ada Insurable Interest dalam perjanjian asuransi dengan maksud untuk mencegah agar asuransi tidak menjadi permainan dan perjudian.22

Hal itu disebabkan, apabila seseorang yang tidak mempunyai kepentingan terhadap suatu obyek asuransi, dapat mengasuransikan obyek tersebut, maka akibatnya, tanpa menderita kerugian orang tersebut akan mendapat ganti kerugian apabila terjadi peristwa yang tidak dikehendaki menimpa obyek yang dimaksud.

Sri Rejeki Hartono, memberikan metode bagaimana mendeteksi apakah seseorang mempunyai Insurable Interest atau tidak, dengan menggunakan indikator sebagai berikut:

a. Seberapa jauh keterkaitan tertanggung terhadap benda/obyek perjanjian asuransi terhadap terjadinya peristiwa yang diperjanjikan.

b. Apakah peristiwa yang terjadi menyebabkan kerugian atau tidak terhadap tertanggung.23

Adapun penerapan Insurable Interest ini bisa berbeda-beda. Tergantung jenis asuransinya.

1. Life Insurance

Sejatinya setiap orang memiliki Insurable Interest yang tidak tergantung batas atas dirinya dan secara teori setiap orang dapat mengasuransikan dirinya untuk sejumlah nilai pertanggungan berapapun. Dalam praktek, kemampuan

22

Ibid 23

seseorang untuk membayar premi akan membatasi jumlah uang pertanggungan yang diinginkan. Disamping seseorang memilik Insurable Interest atas dirinya sendiri, seseorang yang hidup dalam ikatan perkawinan dapt pula memiliki

Insurable Interest atas pasangan hidupnya. Sang suami dapat mengasuransikan istrinya, demikian sebaliknya

2. Property Insurance

Insurable Interest untuk asuransi harta benda relatif lebih mudah diidentifikasi dengan menggunakan pendekatan kepemilikan,. Pemilik dari harta benda pasti akan mengalami kerugian apabila harta benda miliknya mengalami kerusakan atau musnah.

Dalam kaitan dengan Part or Joint Owners, kepemilikan atas sebagian harta benda dapat mengasuransikan harat benda tersebut secaa penuh. Ini tidak berarti bahwa pihak yang mengasuransikan akan memperoleh ganti rugi atas hilang atau rusaknya harta benda secara penuh pula. Ganti rugi yang diterima tetap disesuaikan dengan bagian atau kerugian yang diderita atas kepemilikan bersama tersebut. Sebagai contoh badan Trustee dapat mengasuransikan dalam jumlah penuh harta benda yang diamanahkan kepadanya.

Dalam hal terjadi Klaim, maka kelebihan atas sejumlah kepentingannya harus diserahkan kepada pihak lain yang juga memiliki kepentingan yang sama. 3. Mortgagees & Mortgagors

Mortgage sangat popular dalam transaksi pembelian rumah. Mortgage

tak bergerak untuk menjamin pembayaran suatu hutang dengan kentuan bahwa penyerahan itu akan dibatalkan pada waktu pembayaran.

Adapun para pihak yang terlibat dalam mortgage adalah Mortgage(pemberi pinjaman atau pemegang surat hipotek) dan mortgagor(pembeli atau orang yang berhutang dengan jaminan hipotek). Kedua belah pihak memiliki insurable insurance. Mortgagor sebagai pemilik rumah dan mortgagee sebagai kreditor.

Kepentingan mortgagee sebatas jumlah uang yang dipinjamkan. Biasanya pihak mortgagee memasukkan klausul dalam perjanjian asuransinya bahwa

mortga gee juga menjadi pemilik atas rumah dimaksud. 4. Executor & Trustee

Executor & Trustee sering memiliki hak atas asuransi harta benda yang berada dalam penguasaannya. Secara hukum mereka bertanggung jawab atas harta benda yang dititipkan, sehingga menimbulkan atau memberikan insurable insurance pada mereka terhadap harta benda yang dititpkan

5. Bailees

Seorang bailee adalah orang yang bertanggung jawab atas barang-barang milik orang lain yang dititipkan kepadanya baik karena atas dasar fee maupun tidak. Pemilik Rumah Gadai, pemilik Laundry, pemilik bengkel adalah contoh

bailee dan masing-masing bertanggung jawab atas barang yang diserahkan oleh pemiliknya(sebagai barang jaminan untuk rumah gadai, barang yang dicuci untuk

laundry, diperbaiki untuk bengkel), yang membuat mereka harus bertanggung jawab atas hilang atau rusaknya barang milik konsumen mereka.

6. Agents

Seorang prinsipal atau majikan memiliki Insurable Insurance atas agennya dan dapt mengasuransikan atas namanya.

7. Marine Insurance

Hukum Inggris memberi batasan autentik untuk kepentingan yang dapat diasuransikan dalam Pasal 5 marine Insurance Act 1906 di bidang asuransi laut. Pasal tersebut menyatakan bahwa tertanggung mempunyai kepentingan yang dapat diasuransikan jika ia dapat menikmati keselamatan barangnya atau dapat menderita kerugian jika barang tersebut musnah atau rusak.

2. Utmost Good Faith

Prinsip Utmost Good Faith yaitu kewajiban tertanggung menginformasikan segala sesuatu yang diketahuinya mengenai objek yang dipertanggungkan secara benar.24

Praktik asuransi sebagai suatu sarana pengendalian risiko telah berkembang selama bertahun-tahun, sehingga telah menjadi suatu ilmu pengetahuan yang semakin rumit dan butuh pengkajian lebih dalam. Ilmu asuransi telah dikembangkan melalui berbagai cara, sarana, dan teknis perasuransian yang mencakep bidang-bidang dokumentasi, penjaminan (underwriting), pemasaran, klaim, dan sebagainya.

Pengertian dari Utmost Good Faith atau Uberrima Fides diterjemahkan

sebagai “itikad baik yang terbaik”.25

Dalam kontrak asuransi , itikad baik saja belum cukup tapi dituntut yang terbaik dari itikad baik dari calon tertanggung atau

24

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika , Jakarta, 2008, hal.162.

25

tertanggung. Penalarannya sebagaimana disimpulkan oleh Scrutton L J dalam

perkara Rozannes V. Bowen bahwa “as the underwriter knows nothing and the man who comes to him to ask him to insure knows everything, it is the duty of the

assured…. To make a full disclosure to the underwriter without being asked of all

the material circumstances”.

Dikarenakan tertanggung yang dinilai lebih memahami tentang obyek yang akan dipertanggungkan, maka tertanggung harus mengungkapkan seluruh fakta material (material facts) yang berkaitan obyek pertanggungan tersebut secara akurat dan lengkap kepada underwriter.

Baik diminta atau tidak diminta, sepanjang fakta material tersebut dinilai dapat mempengaruhi keputusan underwriter untuk menerima atau menolak risiko yang akan dipertanggungkan, maka wajib hukumnya bagi calon tertanggung dinilai memenuhi underwriting standards, maka permohonan penutupannya akan diterima dengan premi standar, tapi jika calon tertanggung gagal atau tidak dapat memenuhi underwriting standards, maka underwriter akan menolak atau dapat menerima dengan mengenakan premi yang lebih mahal.

Jadi Good Faith-nya terletak pada itikad baik untuk selalu menjawab atau mengungkapkan secara jujur setiap pertanyaan yang disampaikan oleh

underwriter. Sedangkan “Utmost” adalah menekankan pada inisiatif dari tertanggung untuk menggunakan juga fakta pentng yang tidak dipertanyakan atau diminta oleh underwriter. Tatkala ia menyadari bahwa fakta tersebut akan memperbesar risiko dari obyek pertanggungan.

Menurut Gunarto, prinsip Utmost Good Faith menyangkut kewajiban yang harus dipenuhi para pihak sebelum kontrak ditutup dan bukan dalam rangka pelaksanaan kontrak yang sudah ditutup seperti itikad baik yang dimaksud Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.26

Untuk asuransi laut di Inggris hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 18

marine Insurance Act 1906, yang menyatakan bahwa principle of utmost good faith harus diindahkan atau dilaksanakan sebelum kontrak. Salah satu contohnya ialah ketika tertanggung meminta suransi barang muatan kapal yang semula diakui bernilai £2.800, padahal nilai sebelumnya ternyata hanya £970. Karena penilaian berlebihan tersebut berasal dari tertanggung, maka penanggung berhak membatalkan polis atau menolak membayar klaimnya. Tapi pendapat berbeda disampaikan oleh Chris Parsons, David Green, dan Mike Mead, bahwa durasi kewajiban untuk memberikan fakta-fakta penting bisa berbeda, tidak selalu sebelum kontrak asuransi dilakukan. Berikut perbedaan mengenai kewajiban untuk memberikan fakta-fakta penting tersebut berlaku, yaitu:

1. Common Law. Bermula saat negosiasi kontrak dilakukan dan berakhir pada saar kontrak disetujui oleh para pihak

2. Contractual Duty. Mensyaratkan tidak menyembunyikan fakta-fakta

penting selama kontrak masih berlaku dan memberikan hak kepada penanggung menolak untuk meng-underwrite perubahan yang terjadi. 3. Position at renewal. Keharusan untuk mengungkapkan fakta-fakta penting

tergantung jenis kontraknya:

a. Long-term business: untuk jenis asuransi (asuransi jiwa dan asuransi kesehatan), penanggung diwajibkan untuk menerima premi perpanjangan kontrak jika tertanggung menghendaki untuk memperpanjang kontraknya dan tidak ada kewajiban untuk mengungkapkan fakta-fakta material pada saat perpanjangan

26

b. Other business: untuk jenis asuransi lain, pada saat perpanjangan tetap dibutuhkan persetujuan dari penanggung dengan mengungkapkan kembali fakta-fakta penting.

4. Alternations to the contract. Pada saat terjadi peubahan pada kontrak asuransi antara lain mengenai peningkatan niai pertanggungan atau perubahan deskripsi dari obyek pertanggungan, berlaku kewajiban untuk mengungkapkan fakta-fakta penting. Ketentuan ini juga berlaku bagi long-term business dan other business.27

Pendapat senada juga dikemukakan AM Hasan Ali, yang mencoba mengambil intisari penerapan Utmost Good Faith bahwa kewajiban untuk memberikan fakta-fakta penting tersebut berlaku:

1. Sejak perjanjian mengenai perjanjian asuransi dibicarkan sampai kontrak asuransi selesai dibuat, yaitu pada saat para pihak menyetujui kontrak tersebut.

2. Pada saat perpanjangan kontrak tersebut

3. Pada saat terjadi perubahan pada kontrak asuransi dan mengenai hal-hal yang ada kaitannya dengan perubahan-perubahan itu.28

Dari berbagai pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa kata kunci dari penerapan Utmost Good Faih adalah kejujuran atau itikad baik yang harus selalu ada dari tertanggung untuk mengungkapakan fakta material yang dinilai akan berpengaruh terhadap keputusan seorang underwriter. Dan idealnya prinsip tersebut berlaku sebelum dan selama kontrak asuransi tersebut masih berlaku.

Sebenarnya prinsip ini bukanlah hal yang baru dikenal. Prinsip ini merupakan bahasa lain dari penerapan norma dan etika yang memang seharusnya menjadi bagian yang integral dari diri seorang manusia yang beradab.

27

Kun Wahyu Wardana, Op.Cit,hal. 36. 28

Selain itu, menurut Kepler A. Marpaung sangat sering terjadi kesalhpahaman atas penerapan prinsip ini dalam bisis asuransi. Utmost Good Faith seolah-olah hanya menjad kewajiban tertanggung, sedangkan penanggung tidak perlu atau seakan-akan tidak memiliki kewajiban untuk beritikad baik kepada tertanggung.

Banyak penanggung mengklaim bahwa tertanggung tidak melaksanakan itikad baik (breach of utmost good faith) sehingga klaim asurangsi yang diajukan ditolak perusahaan asuransi. Dalam banyak kasus, sering kali nit baik tertanggung untuk melakukan sesuatu berkaitan dengan klaim asuransi menjadi boomerang karena ternyata tindakan itu dianggap melanggar ketentuan kontrak.

Dalam setiap perjanjian asuransi unsur saling percaya antara penanggung dan tertanggung akan memberikan segala keteranggannya secara benar. Di lain pihak, tertanggung juga percaya bahwa kalau terjadi peristiwa penanggung akan membayar ganti rugi.

Disisi lain, si tertanggung sendiri kadang tidak mengetahui bahwa niat baik itu ternyata bakal merugikannya. Hal semacam ini inilah yang pada akhirnya menjadi gray area timbunya konflik dari tuntutan ganti rugi.

Sepintas penerapan Utmost Good Faith dinilai tidak berimbang. Seolah-olah kewajiban untuk beritikad baik hanya menjadi beban tertanggung. Tapi sejatinya tidak demikian. Karena dalam asuransi pun berlaku asas Reciprocal Duty (kewajiban timbale balik). Penanggung pun harus bersikap yang sama terhadap tertanggung. Penanggung tidak boleh menyembunyikan informasi yang mengiring tertanggung masuk kedalam kontrak yang berat sebelah.

Adalah menjadi kewajiban si penanggung untuk menjelaskan semua hal yang berkaitan dengan kontrak asuransi, termasuk sebelum dimulai kontrak. Apabila si penanggung tidak menjelaskan hak dan kewajiban si tertanggung, maka penanggung telah melanggar prinsip Utmost Good Faith. Karena itu, kelak terjadi klaim dan merugikan kepentingan tertanggung, maka penanggung dapat dituntut dan harus bertanggung jawab atas ganti rugi yang diderita tertanggung.

Adapun bentuk dari penerapan Reciprocal Duty bagi penanggung, antara lain:

1. Tidak menyembunyikan informasi dari tertanggung bahwa tertanggung berhak atas discount premi Asuransi kebakaran atas pemasangan

speinkle (alat pemadam kebakaran) pada bangunan;

2. Tidak menerima penutupan asuransi yang diketahui tidak terjamin atau tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang beraku;

3. Tidak memberikan pernyataan yang tidak benar selama melakukan negosiasi kontrak.

3. Idemniteit Principle

Penerapan Idemniteit Principle dalam asuransi sekaligus menjadi pembeda bahwa asuransi tidak identik dengan perjudian. Dalam perjudian, tidak dikenal ganti rugi bagi yang kalah. Kerugian akibat kekalahan yang diterima oleh penjudi adalah konsekuensi yang harus diterima.Sedangkan dalam asuransi, ganti rugi merupakan tujuan. Bahwa asuransi merupakan risk transfer mechanism.29 Mengalihkan atau membagi risiko yang kemungkinan diderita atau dihadapi oleh

29

tertanggung ataus suatu peristiwa yang tidak dikehendaki dan belum pasti terjadi. Harapannya, beban financial tertanggung menjadi lebih pasti. Fixed cost dalam bentuk premi.

Namun satu hal yang perlu digarisbawahi dalam prinsip Indemnity, tertanggung tidak diperkenankan unutk memperoleh keuntungan dari ganti rugi yang diberikan oleh penanggung. Besarnya ganti rugi yang diterima oleh tertanggung harus seimbang atau sama dengan kerugian yang dideritanya.

Untuk menciptakan keseimbangan antara kerugian dengan ganti rugi, maka harus diketahui terlebih dahulu berapa nilai atau harga dari obyek yang diasuransikan. Dengan dasar tersebut, maka Idemniteit Principle hanya berlaku bagi asuransi yang kepentingannya dapat dinilai dengan uang, yaitu asuransi umum (generalinsurance) yang berkaitan dengan kerugian material.

Adapun kepentingan didalam asuransi jumlah (manfaat) seperti dalam asuransi jiwa yang tidak dapat diukur secara financial kerugian yang diderita, prinsip indemnity tidak berlaku. Bentuk kontraknya agreement to pay a specified sum. Besar yang dibayarkan kepada tertanggung ditentukan oleh berapa nilai pertanggungan (manfaat) yang dikehendaki dan kesanggupan dari tertanggung dalam mebayar preminya. Semakin besar nilai pertanggungan yang dikehendaki, maka semakin besar pula premi yang harus dibayarkan.

Dalam penerapan Idemniteit Principle, terdapat beberapa metode pembayaran/pengganti kerugian, antara lain:

1. Tunai (cash). Ganti rugi dibayarkan dalam bentuk sejumlah uang sesuai dengan nilai kerugian yang diderita tertanggung. Misalnya santunan dalam Asuransi Kecelakaan Diri, atau biaya perbaikan yang dibayarkan kepada tertanggung atas kendaraannya yang rusak akibat kecelakaan;

2. Perbaikan (repair). Penanggung menunjuk bengkel tertentut untuk memperbaiki kerusakan kendaraan tertanggung. Jadi, tertanggung tidak perlu membayar biaya perbaikan kendaraan tersebut;

3. Membangun kembali (reinstate). Biasanya metode ini berlaku unutk kerugian terhadap property. Misalnya bangunan yang diasuransikan rusak atau terbakar. Maka penaggung bertanggung jawab untuk membangun kembali bangunan tersebut;

4. Mengganti (replace). Dalam hal mesin-mesin, atau kendaraan mengalami kerusakan total (total loss) yang tidak mungkin diperbaiki atau bias juga karena hilang dicuri, maka penaggung akan memberikan penggantian sesuai dengan spesifikasi mesin atau kendaraan tersebut.30

4. Subrogation Principle

Subrogasi merupakan pendukung konsep indemnity karena subrogasi mencegah tertanggung untuk mendaatkan recovery lebih dari kerugian yang dideritanya. Sehingga subrogasi disebut juga Corollary of indemnity.31

Subrogasi merupakan peralihan hak dari tertanggung kepada penanggung untut menuntut ganti rugi kepada pihak lain yang mengakibatkan timbulnya kerugian terhadap obyek pertanggungan dari tertanggung sesaat setelah penanggung membayar ganti rugi tersebut kepada tertanggung sesuai jaminan polis.32 Tapi satu hal yang perlu digarisbawahi, subrogasi ini hanya berlaku untuk

contract of indemnity.

Pemahaman tersebut senada dengan ketentuan dalam Pasal 284 KUHD yang mengatur subrogasi sebagai berikut:

“ seorang penanggung yang telah membayar kerugian suatu barang yang

diasuransikan, menggantikan kerugian dalam segala hak yang dipeolehnya terhadap orang-orang ketiga berhubung dengan penerbitan kerugian tersebut dan

30

Kun Wahyu Wardana, Op.Cit, hal. 40. 31

Kun Wahyu Wardana, Op.Cit, hal. 41. 32

tertanggung itu adalah bertanggung jawab untuk setiap perbuatan yang dapat merugikan hak penanggung terhadap orang-orang ketiga itu”

Namun penerapan pasla ini sepatutnya tidak mutlak dan kaku. Agar tertanggung tidak dirugikan. Sebab jika kerugian yang diderita tertanggung seluruhnya sudah dikompensasikan oleh penanggung, meamang tidak menjadi masalah. Akan tetapi, bagaimana jka kerugian yang diderita oleh tertanggung hanya diganti sebagian oleh penaggung. Apakah hak tertanggung untuk meminta

recovery atas selisih kurang tersebut kepada pihak yang menimbulkan kerugian, kemudian ikut tercabut juga dan kemudian menjadi keuntungan bagi penanggung karena bisa mendapatkan recovery melebihi dari nilai ganti rugi yang diberikan kepada tertanggung. Tentu penafsiran ini tidak sejalan dengan prinsip asuransi di satu sisi dan merugikan kepentingan tertanggung di sisi lain.

Oleh karena itu Diplock L J menandaskan dalam kasus Glen Line V. Attorney General (1930) bahwa “….the simple principle which I apply is that the

insurer cannot recover under rhe doctrine of subrogation…. Anything more than

he had paid”. Maknanya penerapan subrogasi pun tidak rigid. Apabila penggantian kerugian hanya sebagian saja diberikan oleh penaggung, maka tertanggung mensubrogasi haknya hanya untuk sejumlah kerugian yang telah di

recovery dari penanggung. Hak-hak selebihnya dari tertanggung terhadap pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya kerugian, masih tetap dipegang tertanggung.33

33

Sejatinya prinsip subrogasi ini timbul karena dalam hukum berlaku Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengharuskan pihak yang menyebabkan kerugian tersebut bertanggung jawab dengan mengganti kerugian tersebut kepada pihak yang dirugikan. Atau dalam bahasa lain, pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi kepada pihak yang menyebabkan kerugian.

Dengan demikian, apabila tertanggung mengalami kerugian akibat kelalaian atau kesalahan pihak ketiga, maka penanggung setelah memberikan ganti kerugian kepada tertanggung, maka penanggung menggantikan kedudukan tertanggung dalam mengajukan tuntutan kepada pihak ketiga tersebut.34

5. Causaliteit Principle

Causaliteit Principle/Proximate Principle merupakan salah satu prinsip penting dalam penyelesaian santunan. Dengan menggunakan prinsip ini, maka suatu peristiwa dapat ditentukan penyebabnya. Penggantian kerugian oleh Perusahaan Asuransi hanya akan dibayarkan apabila peristiwa yang dominan menimbulkan kerugian itu termasuk dalam jaminan Polis Asuransi yang bersangkutan.35

Adapun pengertian Proximate Cause sebagaimana dikutip dari pandangan

hakim dalam kasus Pawsey V. Scotttish Union and National (1908) adalah “the active, efficient cause that sets in motion a train of events which brings about a result, without intervention of any forcestarted and working activelyfrom a new and independent source”. Secara bebas diterjemahkan bahwa Proximate Cause

merupakan sebab utama yang aktif dan efisien yang menyebabkan timbulnya

34

Tuti Rastuti, Op.Cit, Hal. 52. 35

suatu kerugian dalam suatu rangkaian peristiwa yang terjadi secara berkesinambungan dan tidak terputus-putus oleh suatu peristiwa lainnya yang berasal dari luar, atau tidak terputus oleh suatu sebab yang baru.36

Untuk memudahkan memahaminya, cara kerja proximate cause ini sama

dengan ‘efek domino’ dalam permainan kartu domino yang ditegakkan dan

disusun memanjang seperti ular. Apabila kartu domino yang tertimpa kartu domino sebelumnya akan terjatuh dan menimpa kartu berikutnya. Demikian seterusna hingga seluruh kartu domino itu terjatuh sampai kartu domino terakhir.

Sepanjang tidak ada intervensi untuk menghentikan efek domino tersebut, dengan menahan atau mengambil kartu domino dari tengah, maka proximate cause dari terjatuhnya kartu domino terakhir adalah kartu domino yang paling awal dijatuhkan.

Namun dalam praktek, terkadang tidak semudah itu menentukan

proximate cause dari suatu peristiwa. Sebagai ilustrasi, kasus yang sering kali dijadikan rujukan dalam berbagai literatur asuransi adalah kasus Leyland Shipping Co. V. Norwiich Union Fire Insurance Society Ltd (1918).

Ketika itu sedang berkecamuk perang. Kapal milik Leyland Shipping Co

mengalami kerusakan parah dibagian tubuh lambung dsebabkan hantaman torpedo musuh. Akibatnya kapal tersebut terancam tenggelam. Nahkoda kapal yang meyadari bahaya tersebut, berupaya mengarahkan kapal ke pelabuhan terdeka untuk diperbaiki. Usahanya berhasi, tapi baru saja pekerjaan perbaikan dimulai, badai mulai berhembus dengan kuat dan mulai menerjang pelabuhan.

36

Syah Bandar menyadari kemungkinan kapal tersebut akan karam di pelabuhan semakin pasti. Karena badai terus menghantam pelabuhan yang menyebabkan air laut masuk ke dalam kapal melalui lubang yang menganga di

Dokumen terkait