BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Good Corporate Governance
2.1.2.2 Prinsip-prinsip Good Corporate Governance
Menurut Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia, GCG memiliki 5 (lima) prinsip yaitu transparansi (transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency), dan keadilan (fairness) (Solihin, 2009).
1. Transparansi (transparency)
Transparansi adalah adanya pengungkapan yang akurat dan tepat pada waktunya serta transparansi atas hal penting bagi kinerja perusahaan, kepemilikan, serta pemegang kepentingan. Untuk menjaga objektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil
inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya.
Hak-hak para pemegang saham, yang harus diberi informasi dengan benar dan tepat pada waktunya mengenai perusahaan, dapat ikut berperan serta dalam pengambilan keputusan mengenai perubahan-perubahan yang mendasar atas perusahaan, dan turut memperoleh bagian dari keuntungan perusahaan.
Pengungkapan yang akurat dan tepat pada waktunya serta transparansi mengenai semua hal yang penting bagi kinerja perusahaan, kepemilikan, serta para pemegang saham (stakeholders).
2. Akuntabilitas (accountability)
Perusahaan harus mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.
Akuntabilitas (Accountability) dimaksudkan sebagai prinsip yang mengatur peran dan tanggungjawab jawab manajemen agar dalam mengelola perusahaan dapat mempertanggungjawabkan pekerjaannya serta mendukung usaha untuk menjamin penyeimbangan kepentingan manajemen dan pemegang saham sebagaimana yang diawasi oleh dewan komisaris. Dewan Komisaris dalam hal ini memberikan pengawasan terhadap manajemen mengenai kinerja dan pencapaian target return bagi pemegang saham. Inti dari akuntabilitas adalah kejelasan fungsi,
pelaksanaan, serta pertanggungjawaban manajemen perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif dan ekonomis.
3. Pertanggungjawaban (responsibility)
Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai GCG, termasuk di dalamnya pemeliharaan lingkungan hidup, hak-hak konsumen, ketenagakerjaan dan sebagainya. Perusahaan merupakan bagian dari sebuah budaya sosial dan masyarakat sehingga sebuah perusahaan tidak tegak secara terisolasi dari berbagai kepentingan sosial-budaya dan politik kelompok - kelompok lain (stakeholder). Sebuah perusahaan tidak hanya harus bertanggung jawab terhadap mereka yang berhubungan langsung dengan perusahan, tetapi mereka juga tidak berhubugan secara langsung dengannya.
4. Independensi (independency)
Untuk melancarkan pelaksanaan GCG, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. Menurut Iman dan Amin (2002:8), kemandirian adalah sebagai keadaan dimana perusahaan bebas dari pengaruh ataupun tekanan pihak lain yang tidak sesuai dengan mekanisme korporasi.
Prinsip ini mengharuskan perusahaan menggunakan tenaga ahli dalam setiap divisi atau bagian dalam perusahaannya sehingga pengelolaan perusahaan dapat dipercaya. Prinsip ini juga mengharuskan perusahaan memiliki kebijakan intern dalam perusahaan yang sesuai dengan peraturan dan hukum yang berlaku. Prinsip
kemandirian harus dilaksanakan dengan baik agar perusahaan tidak mudah terpengaruh oleh pihak-pihak dari dalam ataupun dari luar perusahaan tidak sesuai dengan peraturan dan hukum yang berlaku dalam mekanisme korporasi.
5. Keadilan (fairness)
Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memerhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan. Keadilan (fairness) dimaksudkan untuk menjamin hak - hak pemegang saham, termasuk pemegang saham minoritas dan para pemegang saham asing serta menjamin terlaksananya komitmen dengan para investor. Hak - hak pemegang saham yang harus dilindungi menurut prinsip GCG menurut OECD yang terdiri dari hak - hak dasar pemegang saham dan hak untuk berpartisipasi.
Dari prinsip - prinsip GCG di atas maka dapat disimpulkan bahwa perusahaan yang menerapkan GCG di dalam pengelolaannya akan selalu mengutamakan kepentingan pemegang saham, memberikan informasi yang terbuka kepada semua pihak baik internal maupun eksternal seta mematuhi hukum-hukum yang berlaku di negara tersebut. Prinsip - prinsip GCG ini juga mensyaratkan adanya perlakuan yang sama atas saham - saham yang berada dalam satu tingkatan, melarang prakrik – praktik insider trading dan self dealing, dan mengharuskan anggota dewan komisaris untuk melakukan keterbukaan jika menemukan transaksi - transaksi yang yang mengandung benturan kepentingan (conflict of interest).
Prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik (GCG) ini perlu dibangun dan dikembangkan secara bertahap. Perusahaan harus membangun sistem dan pedoman tata kelola perusahaan yang akan dikembangkannya. Demikian juga dengan para karyawan, mereka perlu memahami dan diberikan bekal pengetahuan tentang prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik yang akan dijalankan perusahaan (IICG, 2010).
Penelitian ini menilai GCG melalui kelima prinsip diatas, yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, dan keadilan. Variabel ini diukur dengan menggunakan instrumen yang telah dikembangkan oleh Indonesian Institute of Corporate Governance (IICG) berupa Corporate Governance Perception Index (CGPI) yang diterbitkan di majalah SWA.
Penilaian ini dilakukan melalui riset IICG dengan cara survei dan responden dari survei ini adalah investor, analis keuangan, dan manajer investasi perusahaan.
Penilaian CGPI meliputi transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, dan keadilan. Nilai CPGI dihitung dengan menjumlahkan nilai akhir dari setiap tahapan. Rating level CPGI terdiri dari (Retno dan Denies, 2012):
1. Sangat terpercaya (85.00%-100%) 2. Terpercaya (70.00-84.99%)
3. Cukup Terpercaya (55.00-69.99%)
2.1.2.3 Mekanisme Corporate Governance
Mekanisme corporate governance merupakan suatu aturan main, prosedur dan hubungan yang jelas antara pihak yang mengambil keputusan dengan pihak yang melakukan control, pengawasan terhadap keputusan tersebut. Mekanisme
corporate governance diarahkan untuk menjamin dan mengawasi berjalannya sistem governance dalam sebuah organisasi (Arifin, 2005).
Mekanisme corporate governance dibagi menjadi dua kelompok. Pertama berupa internal mechanisms (mekanisme internal), seperti komposisi dewan direksi/komisaris, kepemilikan manajerial, dan kompensasi eksekutif. Kedua, external mechanisms (mekanisme eksternal), seperti pengendalian oleh pasar dan level debt financing (Barnhart & Rosenstein, 1998).
Secara umum, ada dua struktur kepengurusan perusahaan, yaitu one-tier-system (unitary board one-tier-system) dan two-tier-one-tier-system. Pada one-tier-one-tier-system, para pimpinan dan direksi perusahaan bertemu hanya dalam satu dewan. Sedangkan pada two-tier-system, yang terdiri dari dewan pengawas perusahaan (di Indonesia dikenal sebagai dewan komisaris) serta direksi yang mempunyai tugas, fungsi, dan wewenang pengelolaan perusahaan terpisah dari dewan pengawas perusahaan.
Perbedaan kedua sistem tersebut mempengaruhi cara kerja direksi dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Struktur kepengurusan perusahaan di Indonesia menganut two-tier-system (Apriyanti dan Juliarto, 2006). Menurut Surya dan Yustiavananda (2006), adanya organ-organ perusahaan (dewan komisaris dan direksi) merupakan bukti pengaplikasian prinsip good corporate governance dalam tataran yang minimal.
Menurut Iskander & Chamlou (2000), mekanisme pengawasan dalam corporate governance juga dibagi menjadi dua kelompok, yaitu internal dan eksternal mechanism. Internal mechanism adalah cara untuk mengendalikan perusahaan dengan menggunakan struktur dan proses internal seperti Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS), komposisi dewan komisaris, komposisi dewan direksi dan pertemuan dengan board of directors sedangkan external mechanism adalah cara mempengaruhi perusahaan selain dengan menggunakan mekanisme internal perusahaan seperti pengendalian oleh perusahaan dan pengendalian oleh pasar.
Mekanisme corporate governance yang dijelaskan dalam penelitian ini adalah kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, dewan komisaris, dewan komisaris independen, dan dewan direksi. Kepemilikan manajerial digunakan dikarenakan banyak penelitian terdahulu yang menggunakan kepemilikan manjaerial sebagai mekanisme corporate governance, diantaranya penelitian Herawaty (2008), Darwis (2009), dan Kawatu (2009). Beberapa mekanisme yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah keagenan adalah dengan meningkatkan kepemilikan manajerial (Jensen & Meckling, 1976).
Kepemilikan institusional oleh beberapa peneliti dipercaya dapat mempengaruhi jalannya perusahaan yang pada akhirnya berpengaruh pada kinerja perusahaan dalam mencapai tujuan perusahaan yaitu maksimalisasi nilai perusahaan. Menurut Jensen dan Meckling (1976), kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional adalah dua mekanisme corporate governance utama yang membantu mengendalikan masalah keagenan. Dalam suatu perusahaan, dewan memegang peranan yang signifikan dalam penentuan strategi perusahaan.
Kekuasaan tertinggi dalam hal operasional di perusahaan terletak pada dewan direksi.
Dewan komisaris dan dewan direksi memiliki kekuasaan dan kekuatan tertinggi di dalam semua aspek organisasi, bisnis, dan sumber daya perusahaan (Djajendra, 2010). Keberadaan komisaris independen sangat diperlukan sebagai salah satu elemen corporate governance yang membantu meningkatkan akuntabilitas dewan komisaris.
Komisaris independen membantu merencanakan strategi jangka panjang dan secara berkala melakukan review atas implementasi strategi tersebut. Sehingga diharapkan dapat memberikan benefit yang tinggi bagi perusahaan (Apriyanti dan Juliarto, 2006).
1. Kepemilikan Manajerial
Teori Keagenan (agency theory) memunculkan argumentasi terhadap adanya konflik antara pemilik yaitu pemegang saham dengan para manajer.
Konflik tersebut muncul sebagai akibat perbedaan kepentingan di antara kedua belah pihak. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa kepemilikan saham yang besar dari segi nilai ekonomisnya memiliki insentif untuk memonitor. Secara teoritis ketika kepemilikan manajemen rendah, maka insentif terhadap kemungkinan terjadinya perilaku opportunistik manajer akan meningkat.
Pengertian kepemilikan manajerial menurut Wahidahwati (2002) merupakan pemegang saham dari pihak manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan perusahaan (Direktur dan Komisaris). Kepemilikan manajerial diukur dari jumlah prosentase saham yang dimiliki manajemen.”
Menurut Siallagan dan Mas’ud (2006), kepemilikan manajemen terhadap saham perusahaan dipandang dapat menyelaraskan potensi perbedaan kepentingan
antara pemegang saham luar dengan manajemen. Sehingga permasalahan keagenan diasumsikan akan hilang apabila seorang manajer adalah juga sekaligus sebagai seorang pemilik.
2. Kepemilikan Institusional
Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa kepemilikan institusional memiliki peranan yang sangat penting dalam meminimalisasi konflik keagenan yang terjadi antara manajer dan pemegang saham. Keberadaan investor institusional dianggap mampu menjadi mekanisme monitoring yang efektif dalam setiap keputusan yang diambil oleh manajer. Hal ini disebabkan investor institusional terlibat dalam pengambilan yang strategis sehingga tidak mudah percaya terhadap tindakan manipulasi laba.
Kepemilikan institusional umumnya bertindak sebagai pihak yang memonitor perusahaan. Perusahaan dengan kepemilikan institusional yang besar (lebih dari 5
% ) mengindikasikan kemampuannya untuk memonitor manajemen. Semakin besar kepemilikan institusional maka semakin efisien pemanfaatan aktiva perusahaan. Proporsi kepemilikan institisional bertindak sebagai pencegahan terhadap pemborosan yang dilakukan manajemen (Fauzi, 2004). Kepemilikan institusional akan mendorong pemilik untuk melakukan peminjaman kepada manajemen, sehingga manajemen terdorong untuk meningkatkan kinerjanya, selanjutnya nilai perusahaan akan meningkat (Sujoko dan Soebiantoro, 2007).
Penelitian Smith (1996) menunjukkan bahwa aktivitas monitoring institusi mampu mengubah struktur pengelolaan perusahaan dan mampu meningkatkan kemakmuran pemegang saham. Hal ini didukung oleh Cruthley yang menemukan
bahwa monitoring yang dilakukan institusi mampu mensubstutisi biaya keagenan lain sehingga biaya keagenan menurun dan nilai perusahaan meningkat.
3. Dewan Komisaris
Dewan komisaris sebagai puncak dari sistem pengelolaan internal perusahaan, memiliki peranan terhadap aktivitas pengawasan. Fungsi monitoring yang dilakukan oleh dewan komisaris dipengaruhi oleh jumlah atau ukuran dewan komisaris (Regar, 2000). Dewan komisaris dapat melakukan tugasnya sendiri maupun dengan mendelegasikan kewenangannya pada komite yang bertanggung jawab pada dewan komisaris. Dewan komisaris harus memantau efektifitas praktek pengelolaan korporasi yang baik (good corporate governance) yang diterapkan perseroan bilamana perlu melakukan penyesuaian (Antonia, 2008).
Peran dewan komisaris dalam suatu perusahaan lebih ditekankan pada fungsi monitoring dari implementasi kebijakan direksi. Peran komisaris ini diharapkan akan meminimalisir permasalahan agensi yang timbul antara dewan direksi dengan pemegang saham. Dewan komisaris seharusnya dapat mengawasi kinerja dewan direksi sehingga kinerja yang dihasilkan sesuai dengan kepentingan pemegang saham (Wardhani, 2006).
4. Komisaris Independen
Daniri (2005) mengatakan bahwa komposisi komisaris dalam sistem two-tier board, dianjurkan agar didominasi para komisaris independen, sehingga dapat lebih efektif dalam menjalankan fungsinya untuk melindungi kepentingan pemegang saham. Struktur kepemimpinan dewan yang independen pada sistem two-tier board sangat efektif untuk mengurangi agency problem karena adanya
pemisahan dalam hal kebijakan bidang manajemen dengan kebijakan bidang pengawasan.
Efektivitas dewan komisaris dalam menyeimbangkan kekuatan CEO sangat dipengaruhi oleh tingkat independensi dari dewan komisaris tersebut. Dengan adanya komisaris independen, diharapkan para eksekutif akan bertindak untuk kepentingan pemilik (Boediono, 2005). Komisaris independen yang berasal dari luar perusahaan diharapkan akan direaksi positif oleh pasar (investor), karena kepentingan investor akan lebih dilindungi (Darwis, 2009).
5. Dewan Direksi
Menurut Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia tahun 2006, direksi sebagai organ perusahaan bertugas dan bertanggung jawab dalam mengelola perusahaan. Fungsi pengelolaan perusahaan oleh direksi mencakup lima tugas utama, yaitu sebagai berikut (Solihin, 2009):
a. kepengurusan, mencakup tugas penyusunan visi dan misi perusahaan; serta penyusunan program jangka pendek dan jangka panjang,
b. manajemen risiko, mencakup tugas penyusunan dan pelaksanaan sistem manajemen risiko perusahaan yang mencakup seluruh aspek kegiatan perusahaan,
c. pengendalian internal, mencakup penyusunan dan pelaksanaan system pengendalian internal perusahaan dalam rangka menjaga kekayaan dan keinerja perusahaan serta memenuhi peraturan perundang-undangan,
d. komunikasi, mencakup tugas yang memastikan kelancaran komunikasi antara perusahaan dengan pemangku kepentingan dengan memberdayakan fungsi sekretaris perusahaan,
e. tanggung jawab sosial, mencakup perencanaan tertulis yang jelas dan terfokus dalam melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.
Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perseroan, anggota direksi diangkat dan diberhentikan oleh RUPS, sedangkan keputusan yang diambil dalam RUPS didasarkan atas perbandingan jumlah suara para pemegang saham. Hak suara dalam RUPS tidak didasarkan atas satu orang satu suara, tetapi didasarkan atas risalah saham yang dimilikinya (Agoes dan Ardana, 2009).
2.1.2.4 Manfaat Good Corporate Governance
Surya dan Yustiavandana (2007) mengatakan bahwa tujuan dan manfaat dari penerapan GCG adalah:
1. memudahkan akses terhadap investasi domestik maupun asing, 2. mendapatkan biaya modal (cost of capital) yang lebih murah,
3. memberikan keputusan yang lebih baik dalam meningkatkan kinerja ekonomi perusahaan,
4. meningkatkan keyakinan dan kepercayaan dari para pemangku kepentingan terhadap perusahaan,
5. melindungi direksi dan komisaris dari tuntutan hukum.
Dalam Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia yang dikeluarkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) dinyatakan bahwa good corporate governance (GCG) diperlukan untuk mendorong
terciptanya pasar yang efisien, transparan, dan konsisten dengan peraturan perundang-undangan (Solihin, 2009).
2.1.3 Struktur Modal
Pada tahun 1958 Modigliani dan Miller beranggapan bahwa nilai perusahaan adalah independen dan tidak terpengaruh oleh struktur modal, dengan asumsi pasar modal adalah sempurna dalam arti bebas, kompetitif dan efisien, tidak ada pengaruh pajak dan pengaruh kebangkrutan. Pada tahun 1963 setelah pajak menjadi pertimbangan dalam model mereka, maka pengaruh pajak dan kebangkrutan menambah komplikasi dalam memutuskan bentuk struktur modal yang optimal.
Teori struktur modal menjelaskan apakah ada pengaruh perubahan struktur modal terhadap nilai perusahaan, apabila keputusan investasi dan kebijakan deviden dipegang konstan. Jika perusahaan mengganti sebagai modal sendiri dengan hutang (atau sebaliknya) apakah harga saham akan berubah, apabila perusahaan tidak merubah keputusan - keputusan keuangan lainnya. Jika perubahan struktur modal tidak merubah nilai perusahaan, berarti bahwa tidak ada struktur modal yang terbaik. Semua struktur modal adalah baik. Tetapi jika dengan merubah struktur modal ternyata nilai perusahaan berubah, maka akan diperoleh struktur modal yang terbaik. Struktur modal yang dapat memaksimumkan nilai perusahaan, atau harga saham, adalah struktur modal yang terbaik (Husnan, 1994).
Menurut Riyanto (2013) struktur modal adalah pembelanjaan permanen dimana mencerminkan perimbangan atau perbandingan antara utang jangka
panjang dengan modal sendiri. Pemenuhan kebutuhan dana perusahaan dari sumber modal sendiri berasal dari modal saham, laba ditahan, dan cadangan. Jika dalam pendanaan perusahaan yang berasal dari modal sendiri masih memiliki kekurangan (defisit) maka perlu dipertimbangkan pendanaan perusahaan yang berasal dari luar, yaitu dari utang (debt financing).
Menurut Fahmi (2012) struktur modal merupakan gambaran dari bentuk proporsi financial yaitu antara modal yang dimiliki yang bersumber dari utang jangka panjang (long term liabilities) dan modal sendiri (shareholders equity) yang menjadi sumber pembiayaan suatu perusahaan. Dan ini dipertegas oleh Jones bahwa struktur modal suatu perusahaan terdiri dari long term debt dan shareholders equity, dimana stockholder equity terdiri dari preferred stock dan common equity, dan common equity itu sendiri adalah terdiri dari common stock dan retained earnings.
Struktur modal adalah perimbangan atau perbandingan antara jumlah hutang jangka panjang dengan modal sendiri. Oleh karena itu, struktur modal diukur dengan debt to equity ratio (DER). DER merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur tingkat leverage (penggunaan hutang) terhadap total shareholder’s equity yang dimiliki perusahaan. Secara matematis DER dapat dirumuskan sebagai berikut (Robert, 1997):
DER = ………..(2.1)
2.1.4 Profitabilitas
Persaingan bisnis di Indonesia sekarang telah kompetitif dan ketat. Hal ini mendorong para pimpinan perusahaan mendasarkan kinerja perusahaan yang dipimpin pada financial performance. Financial performance yang baik menunjukkan kinerja perusahaan yang sehat. Paradigma yang dianut oleh banyak perusahaan tersebut adalah profit oriented. Perusahaan yang dapat meperoleh laba yang besar dapat dikatakan berhasil, atau memiliki kinerja finansial yang bagus.
Sebaliknya apabila laba yang diperoleh perusahaan relatif kecil dapat dikatakan perusahaan kurang berhasil atau kinerjanya kurang baik.
Profitabilitas merupakan gambaran dari kinerja manajemen dalam mengelola perusahaan. Ukuran profitabilitas perusahaan dapat berbagai macam seperti : laba operasi, laba bersih, tingkat pengembalian invetasi/aktiva, dan tingkat pengembalian ekuitas pemilik. Robert (1997) mengungkapkan bahwa rasio profitabilitas atau rasio rentabilitas menunjukan keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan. Rasio ini dapat dibagi atas enam jenis yaitu gross profit margin (GPM), net profit margin (NPM), operating return on assets (OPROA), return on assets (ROA), return on equity (ROE) dan earning power.
1. Gross Profit Margin (GPM)
GPM berfungsi mengukur kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba kotor dengan penjualan yang dilakukan perusahaan.
GPM
=
...(2.2) Gross profit adalah net sales dikurangi dengan harga pokok penjualan, sedangkan net sales adalah total penjulan bersih selama satu tahun.2. Net Profit Margin (NPM)
NPM berfungsi untuk mengukur tingkat kembalian keuntungan bersih terhadap penjualan bersihnya.
NPM = ………..(2.3)
3. Operating Return On Assets (OPROA)
OPROA digunakan untuk mengukur tingkat kembalian dari keuntungan operasional perusahaan terhadap seluruh asset yang digunakan untuk menghasilkan keuntungan operasional tersebut.
OPROA = ………..(2.4)
4. Return On Assets (ROA)
ROA digunakan untuk mengukur efektivitas perusahaan didalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang dimilikinya. ROA kadang-kadang disebut juga Return on Investment (ROI).
ROA = ………..(2.5)
5. Return on equity (ROE)
Return on equity (ROE) merupakan tingkat pengembalian atas ekuitas pemilik perusahaan. Ekuitas pemilik adalah jumlah aktiva bersih perusahaan. Return on equity atau return on net worth mengukur kemampuan perusahaan memperoleh laba yang tersedia bagi pemegang saham perusahaan (Sartono, 2001). ROE secara eksplisit memperhitungkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan return bagi pemegang saham biasa setelah memperhitungkan
bunga (biaya hutang) dan biaya saham preferen. Pemegang saham mempunyai klaim sisa atas keuntungan yang diperoleh perusahaan pertama akan dipakai untuk membayar bunga hutang kemudian saham preferen baru kemudian ke pemegang saham biasa (Helfert, 1996). ROE merupakan rasio yang sangat penting bagi pemilik perusahaan (the common stockholder), karena rasio ini menunjukkan tingkat kembalian yang dihasilkan oleh manajemen dari modal yang disediakan oleh pemilik perusahaan. ROE menunjukkan keuntungan yang akan dinikmati oleh pemilik saham. Pertumbuhan ROE menunjukkan prospek perusahaan yang semakin baik karena berarti adanya potensi peningkatan keuntungan yang diperoleh perusahaan. Pertumbuhan ROE ditangkap oleh investor sebagai sinyal positif dari perusahaan sehingga akan meningkatkan kepercayaan investor serta akan mempermudah manajemen perusahaan untuk menarik modal dalam bentuk saham. Apabila terdapat kenaikkan permintaan saham suatu perusahaan, maka secara tidak langsung akan menaikkan harga saham tersebut di pasar modal. Dalam penelitian ini rasio profitabilitas yang digunakan adalah return on equity yang dapat dirumuskan sebagai berikut (Sartono, 2001):
ROE = ………...(2.6)
6. Earning Power
Earning Power adalah hasil kali net profit margin dengan perputaran aktiva.
Earning Power merupakan tolak ukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dengan aktiva yang digunakan. Rasio ini menunjukkan pula tingkat efisiensi investasi yang nampak pada tingkat perputaran aktiva. Apabila
perputaran aktiva meningkat dan net profit margin tetap maka earning power juga meningkat. Dua perusahaan mungkin akan mempunyai earing power yang sama meskipun perputaran aktiva dan net profit margin keduanya berbeda.
2.1.5 Agency Theory
Teori keagenan ini dikembangkan oleh Jensen dan Meckling. Teori keagenan merupakan sebuah teori yang berkaitan dengan hubungan pemilik perusahaan (principal) dengan manajer (agent). Teori keagenan ini membuat sebuah model mengenai suatu hubungan kontraktual antara manajer dengan pemilik. Pemilik perusahaan mendelegasikan suatu tanggung jawab pengambilan keputusan kepada manajer sesuai dengan kontrak kerja. Tugas, wewenang, hak dan tanggung jawab manajer dan pemilik diatur dalam kontrak kerja yang didepakati bersama.
Pemilik yang tidak mampu mengelola perusahaannya sendiri menyerahkan tanggung jawab operasional perusahaannya kepada manajer sesuai dengan kontrak kerja. Pihak manajemen sebagai agent bertanggung jawab secara moral dan professional menjalankan perusahaan sebaik mungkin untuk mengoptimalkan operasi dan laba perusahaan. Sebagai imbalannya, manajer sebagai agen akan memperoleh kompensasi sesuai dengan kontrak yang ada. Sementara pihak principal melakukan kontrol terhadap kinerja agen untuk memastikan modal yang dimiliki dikelola dengan baik. Motifnya tentu saja agar modal yang telah ditanam berkembang dengan optimal.
Menurut Darmawati dkk (2004), inti dari hubungan keagenan adalah adanya pemisahan antara kepemilikan dan pengendalian. Kepemilikan diwakili oleh
investor mendelegasikan kewenangan kepada manajer untuk mengelola kekayaan investor. Investor mempunyai harapan bahwa dengan mendelegasikan wewenang pengelolaan tersebut akan memperoleh keuntungan dengan bertambahnya kekayaan dan kemakmuran investor.
Hubungan keagenan dapat menimbulkan masalah pada saat pihak-pihak
Hubungan keagenan dapat menimbulkan masalah pada saat pihak-pihak