• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

1.5 Kerangka Teori

1.5.1 Good Governance

1.5.1.4 Prinsip-Prinsip Good Governance

Kunci utama memahami Good Governance adalah pemahaman atas prinsip-prinsip di dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan tolak ukur kinerja suatu pemerintahan. Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai bila ia telah bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip Good Governance. Menyadari pentingnya masalah ini, prinsip-prinsip Good Governance diurai satu persatu sebagaimana tertera di bawah ini:

Dalam situs http://www.goodgovernance-or.id UNDP mengemukakan 10 buah prinsip Good Governance, yaitu:

1. Partisipasi

Partisipasi merupakan aspek yang penting dalam mewujudkan Good Governance sebab Good Governance tidak dimaksudkan memberikan

kewenangan hanya kepada pemerintah dalam proses penyelenggaraan pemerintahan, tetapi lebih dari itu harus memperkuat peran dan kedudukan warga masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Kesetaraan politik antara warga dengan pemerintah ini penting dalam penyelenggaraan pemerintahan, karena setiap orang sejatinya memiliki hak yang sama dalam hukum dan politik. Artinya, setiap warga memiliki kesempatan yang sama untuk mempengaruhi setiap kebijakan berdasarkan kepada preferensinya dan juga kepentinganya, menurut rambu-rambu yang telah disepakati dalam berbagai peraturan perUndang-Undangan. Masyarakat harus memiliki kesempatan ikut berpartisipasi dalam segala kegiatan yang ada, mulai pemeriksaan awal masalah, daftar pemecahan yang mungkin diambil, pemilihan satu kemungkinan tindakan, mengorganisasikan pelaksanaan, evaluasi dalam tahap pelaksanaan, hingga memperdebatkan mutu dari mobilisasi atau organisasi lebih lanjut (Goulet dalam Prasojo, 2007:3).

Prinsip partisipasi mendorong setiap warga untuk mempergunakan hak dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan, yang menyangkut kepentingan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Partisipasi bermaksud untuk menjamin agar setiap kebijakan yang diambil mencerminkan aspirasi masyarakat. Dalam rangka mengantisipasi berbagai isu yang ada, pemerintah daerah menyediakan saluran komunikasi agar masyarakat dapat mengutarakan pendapatnya. Jalur komunikasi ini meliputi pertemuan umum, temu wicara, konsultasi dan

penyampaian pendapat secara tertulis. Bentuk lain untuk merangsang keterlibatan masyarakat adalah melalui perencanaan partisipatif untuk menyiapkan agenda pembangunan, pemantauan, evaluasi dan pengawasan secara partisipatif dan mekanisme konsultasi untuk menyelesaikan isu sektoral.

Partisipasi warga dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah pada dasarnya dapat dibagi dalam tiga wilayah pengambilan keputusan yaitu dalam praktek operasional, keputusan anggaran dan pembuatan kebijakan (Burns, Hambleton, dan Hogget, dalam Prasojo 2007:5). Tiga wilayah keputusan tersebut pada dasarnya memiliki keterkaitan yang erat mengingat tujuan strategis tertentu yang harus diambil pada tingkatan pembuatan kebijakan membutuhkan keputusan pada tingkatan anggaran dalam membiayai praktek operasional. Jadi kekuasaan warga pada praktek operasional membutuhkan kekuasaan dalam menentukan anggaran. Kekuasaan warga dalam seluruh wilayah pengambilan keputusan ini sangat menentukan bagi derajat partisipasi yang terjadi di suatu pemerintahan. Berdasarkan ketiga wilayah pengambilan keputusan ini maka partisipasi warga dapat dibagi kedalam beberapa level/tingkatan mulai dari sekedar memberikan infomasi, konsultasi, kemitraan, sampai pada level kendali warga.

Menurut Yeremias (2007) partisipasi sangat diperlukan dalam rangka demokrasi. Untuk Indonesia yang sudah menerima ideologi demokrasi, maka partisipasi harus diterima dan dipraktekkan dalam sistem politik, administrasi pemerintahan dan dalam proses pengambilan

keputusan publik. Partisipasi harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dari proses kepemerintahan.

Secara teoritis, partisipasi memberi pengaruh positif terhadap kinerja/ pencapaian hasil dan kepuasan. Artinya semakin menggunakan atau mempraktekkan partisipasi, maka semakin meningkat kinerja atau pencapaian hasil serta kepuasan. Partisipasi juga penting dalam rangka membangun public trust (Wang & Wart dalam Yeremias, 2007). Kalau masyarakat diberikan kesempatan untuk berpartisipasi maka mereka merasa bahwa pemerintah tidak menipu mereka, pemerintah dekat dengan mereka, pemerintah dapat dipercaya. Sementara itu, kepentingan mereka mendapatkan perhatian dalam kesempatan itu karena mereka diberi keleluasaan untuk menyampaikan berbagai pendapat, keluhan, dsb. Partisipasi juga diperlukan untuk kepentingan masyarakat sendiri agar masyarakat dapat belajar sesuatu yang baru (learning process) dan juga bisa mendapatkan keterampilan (gain skills), dan juga untuk pemerintah partisipasi diperlukan untuk dapat meyakinkan masyarakat, membangun trus, mengurangi kegelisahan, membangun strategic alliances, memperoleh legitimasi (gain legitimacy).

Tapi permasalah terkait konsep partisipasi adalah konsep partisipasi itu sendiri juga masih menjadi masalah, karena memiliki arti yang variatif, sebagaimana disampaikan oleh Arnstein dalam (Yeremias:2007): mulai dari manipulation, therapy, informing, consultation, placation, partnership, delegated dan citizen control. Dalam kenyataannya, banyak yang melakukan bentuk manipulatif tapi telah

mengklaim sebagai partisipasi. Menurut Arnstein dalam (Suhirman, 2007), salah satu cara untuk memahami partisipasi adalah dengan menggunakan “tangga partisipasi”. Tangga partisipasi memperlihatkan relasi antara warga dengan pemerintah dalam formulasi dan pelaksanaan kebijakan publik.

1. Manipulasi, pemerintah memberikan informasi, dalam banyak hal berupa informasi dan kepercayaan yang keliru kepada warga. Dalam beberapa hal pemerintah melakukan mobilisasi warga yang mendukung/dibuat mendukung keputusannya untuk menunjukkan bahwa kebijakannya populer (memperoleh dukungan).

2. Penentraman, pemerintah memberikan informasi dengan tujuan agar warga tidak memberikan perlawanan atas kepatuhan yang telah ditetapkan. Pemberian informasi sering kali didukung oleh pengerahan kekuatan (baik hukum maupun psikologis). 3. Sosialisasi, pemerintah memberikan informasi mengenai

keputusan yang telah dibuat dan mengajak warga untuk melaksanakan keputusan tersebut.

4. Konsultasi, pemerintah meminta saran dan kritik dari masyarakat sebelum suatu keputuasan ditetapkan.

5. Kemitraan, masyarakat dilibatkan untuk merancang dan mengambil keputusan bersama dengan pemerintah.

6. Pendelegasian kekuasaan, pemerintah mendelegasikan keputusan untuk ditetapkan oleh warga.

7. Pengawasan oleh warga, warga memiliki kekuasaan mengawasi secara langsung keputusan yang telah diambil dan menolak pelaksanaan keputusan yang bertentangan dengan tujuan yang tekah ditetapkan.

Dalam tangga partisipasi, para praktisi umumnya menerima konsep bahwa manipulasi pada dasarnya bukanlah partisipasi. Penentraman, informasi dan konsultasi pada dasarnya adalah bentuk lain dari tokensime yaitu kebijakan sekedarnya berupa upaya superfisial (dangkal, pada permukaan) atau tindakan simbolis dalam pencapaian suatu tujuan. Sedangkan kemitraan, pendelegasian kekuasaan dan pengawasan oleh warga diterima sebagai wujud dari kekuasaan dan partisipasi warga.

2. Penegakan Hukum (Rule of Law)

Penegakan hukum adalah pelaksanaan semua ketentuan hukum dengan konsisten tanpa memandang subjek dari hukum itu. Prinsip penegakan hukum mewujudkan adanya penegakan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa kecuali, menjunjung tinggi HAM dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

3. Transparansi

Transparansi adalah keterbukaan atas semua tindakan dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Prinsip transparansi menciptakan kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai.

4. Kesetaraan

Kesetaraan adalah perlakuan yang sama kepada semua unsur tanpa memandang atribut yang menempel pada subyek tersebut. Prinsip kesetaraan menciptakan kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai.

5. Daya Tanggap

Daya tanggap (responsiveness) merupakan kemampuan untuk memberikan reaksi yang cepat dan tepat dalam situasi khusus. Prinsip ini meningkatkan kepekaan para penyelenggara pemerintahan terhadap aspirasi masyarakat, tanpa kecuali. Pemerintah daerah perlu membangun jalur komunikasi untuk menampung aspirasi masyarakat dalam hal

penyusunan kebijakan. Ini dapat berupa forum masyarakat, talk show, layanan hotline, prosedur komplain. Sebagai fungsi pelayan masyarakat, pemerintah daerah akan mengoptimalkan pendekatan kemasyarakatan dan secara periodik mengumpulkan pendapat masyarakat.

6. Wawasan ke Depan

Wawasan merupakan cara pandang yang jauh melebihi jangka waktu sekarang. Dalam kaitan dengan prinsip Good Governance wawasan yang dimaksud adalah wawasan ke depan dari pemerintahan Indonesia.

Inti prinsip ini adalah membangun daerah berdasarkan visi dan strategi yang jelas dan mengikutsertakan warga dalam seluruh proses pembangunan, sehingga warga merasa memiliki dan ikut bertanggungjawab terhadap kemajuan daerahnya.

7. Akuntabilitas

Akuntabilitas adalah perwujudan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan melalui media pertanggungjawaban yang dilaksanakan secara perodik. (Sedarmayanti, 2003:3)

8. Efisiensi dan Efektivitas

Terselenggaranya kegiatan instansi publik dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggung jawab. Indikatornya antara lain : pelayanan mudah, cepat, tepat dan murah ( Dwiyanto, 2005:82)

Pemerintah yang baik akan bertindak sebagai penengah bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau kesepakatan yang terbaik bagi kepentingan masing-masing pihak, dan jika dimungkinkan juga dapat diberlakukan terhadap berbagai kebijakan dan prosedur yang akan ditetapkan pemerintah.

10. Saling ketergantungan (Interrelated)

Bahwa keseluruhan ciri Good Governance adalah saling memperkuat dan saling terkait dan tidak bisa berdiri sendiri.

Sedangkan dalam praktek penyelenggaraan pemerintaan di Indonesia pasca gerakan Reformasi nasional, prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik tercermin dalam Ketetapan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yang memuat asas-asas umum pemerintahan yang mencakup:

1. Asas kepastian hukum, yaitu asas dalam Negara hukum yang mengutamakan lanasan peraturan perUndang-Undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Negara;

2. Asas tertib penyelenggaraan Negara, yaitu asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan Negara.

3. Asas kepentingan umum, yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif.

4. Asas keterbukan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan Negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia Negara.

5. Asas proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara Negara.

berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku;

7. Asas akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.

1.5.2 EFEKTIVITAS PERENCANAAN PEMBANGUNAN

Dokumen terkait