• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prinsip – Prinsip Hukum Dalam Perjanjian Konstruksi

BAB II PRINSIP PERLINDUNGAN HUKUM KEPADA PIHAK

E. Prinsip – Prinsip Hukum Dalam Perjanjian Konstruksi

Prinsip-prinsip yuridis mengenai suatu kontrak pemborongan yang terdapat dalam KUH Perdata adalah sebagai berikut :69

1. Prinsip Antara Tanggung Jawab Para Pihak Dengan Kesalahan Dan Penyediaan Bahan Bangunan.

Prinsip ini menyatakan bahwa tanggung jawab masing-masing pihak disangkutkan dengan (a) kesalahan para pihak dan (b) pihak mana yang menyediakan bahan bangunan. Dalam hal ini KUH Perdata menentukan bahwa dalam suatu kontrak pemborongan, jika pihak pemborong yang harus menyediakan bahan bangunannya, maka apabila sebelum diserahkan, pekerjaannya musnah dalam keadaan bagaimanapun, maka setiap kerugian yang timbul merupakan tanggung jawab pihak pemborong, kecuali dapat dibuktikan bahwa pihak bouwheer telah melakukan kesalahan berupa lalai untuk menerima pekerjaan tersebut. Sebaliknya, apabila bahan bangunan disediakan oleh pihak bouwheer sementara pihak pemborong hanya berkewajiban :

a. Bouwheer telah bersalah yakni lalai dalam memeriksa dan menyetujui pekerjaannya, dan/atau

b. Musnahnya pekerjaan tersebut akibat dari cacat dari bahan yang bersangkutan.

69

2. Prinsip Ketegasan Tanggung Jawab Pemborong Jika Bangunan Musnah Karena Cacat Dalam Penyusunan Atau Faktor Tidak Ditopang Oleh Kesanggupan Tanah.

Menurut prinsip ini, terhadap suatu pembangunan gedung (dan juga ahli bangunan) pihak pemborong mesti bertanggung jawab secara hukum atas pekerjaan yang dibuatnya, jika kemudian bangunannya musnah (seluruhnya atau sebagian) asal memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a. Yang diborongkan untuk suatu harga tertentu, dan b. Pekerjaan diborongkan untuk suatu harga tertentu, dan

c. Tanggung jawab pihak pemborong (dan juga ahli bangunan) sampai dengan jangka waktu 10 tahun

d. Musnahnya barang tersebut disebabkan karena : 1. Cacat dalam penyusunan, atau

2. Tanah tidak sanggup (menahan gedung tersebut) 3. Prinsip Larangan Perubahan Harga Kontrak.

Yang dimaksud dengan prinsip larangan perubahan harga kontrak adalah bahwa pihak pemborong tidak boleh mengubah kontrak secara sepihak dengan menaikkan harga borongan, dengan alasan telah terjadi :

a. Telah terjadi kenaikan upah buruh, atau

b. Telah terjadi kenaikan harga bahan-bahan bangunan, atau

c. Telah terjadi perubahan-perubahan dan tambahan-tambahan yang tidak termasuk dalam rencana tersebut.

4. Prinsip Kebebasan Pemutusan Kontrak Secara Sepihak Oleh PihakBouwheer

Prinsip ini berasal dari Pasal 1611 KUH Perdata. Prinsip ini menentukan bahwa pihak bouwheer bebas memutuskan kontrak di tengah jalan (walaupun tidak disebutkan di dalam perjanjian) walau tanpa kesalahan dari pihak pemborong, asalkan bouwheer tersebut mengganti kerugian (biaya yang telah dikeluarkan dan keuntungan yang hilang) dari pekerjaan tersebut. Prinsip ini menyimpang dari prinsip hukum kontrak yang umumnya berlaku bahwa para pihak tidak dapat memutuskan kontrak di tengah jalan kecuali disetujui oleh kedua belah pihak atau dengan keputusan pengadilan (Pasal 1266 KUH Perdata), kecuali ditentukan lain dalam kontrak yang bersangkutan.

Bahwa oleh Pasal 1611 KUH Perdata hanya diberikan hak untuk memutuskan perjanjian secara sepihak hanya kepada pihak bouwheer, hak mana tidak diberikan kepada pihak pemborong, hal ini dapat dimengerti, karena apabila suatu konstruksi terbengkalai, pihak bouwheer yang lebih besar kemungkinan menghadapi masalah. Misalnya sulit atau lamanya proses mencari pemborong pengganti. Untuk menghindari masalah seperti itu, maka undang-undang tidak memberikan hak pemutusan kontrak ini kepada pihak pemborong. Hal ini sudah tidak sesuai lagi karena pada saat memulai pekerjaan Pihak kontraktor telah menyerahkan jaminan pelaksanaan minimal 5% dari nilai kontrak yag diterbitkan oleh bank, sehingga apabila pihak pemborong tidak melaksanakan pekerjaan maka jaminan pelaksanaan tersebut akan dicairkan serta perusahan Kontraktor akan masuk dalam daftar hitam selama 2 tahun.

5. Prinsip kontrak yang melekat dengan pihak pemborong

Pada umumnya hukum menentukan bahwa hak dan kewajiban yang terbit dari suatu kontrak turun ke ahli waris. Prinsip hukum yang berlaku umum seperti ini tidak berlaku terhadap kontrak-kontrak untuk mana kepada salah satu pihak untuk dapat melaksanakan prestasinya diperlukan skill tertentu. Contohnya kontrak pemborongan yang memang memerlukan skill tertentu dari pihak pemborong.

Konsekuensinya KUH Perdata menentukan bahwa suatu kontrak pemborongan akan berakhir dengan meninggalnya pihak pemborong. Jadi kewajiban pihak pemborong tidak diteruskan kepada ahli waris. Akan tetapi para ahli waris pemborong tersebut tetap mempunyai hak atas harga borongan terhadap pekerjaan yang lelah dikerjakan oleh pihak pemborong sebanding dengan pekerjaan yang telah dikerjakannya itu.

6. PrinsipVicarious Liability

Yang dimaksudkan dengan vicarious liability (tanggung jawab pengganti) adalah suatu tanggung jawab dari atasan atas tindakan tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh bawahannya terhadap pihak ketiga ketika menjalankan tugas yang dibebankan kepadanya oleh atasannya itu. Prinsip tanggung vicarious liability ini dianut dalam hukum tentang kontrak pemborongan dan konstruksi. Pasal 1613 KUH Perdata menentukan bahwa pihak pemborong secara hukum mesti bertanggung jawab atas tindakan-tindakan dari orang-orang yang di pekerjakan olehnya. Tidak ada keterangan lebih lanjut mengenai bagaimana

pemberlakuan prinsip vicarious liability ke dalam suatu kontrak pemborongan ini. Akan tetapi, sesuai dengan asas-asas hukum yang berlaku secara universal, maka dalam hubungan dengan vicarious liability, istilah "tindakan" orang lain tersebut haruslah ditafsirkan bahwa tindakan yang bersangkutan dilakukannya dalam rangka melakukan tugas yang dibebankan kepadanya atau dijanjikan untuk dilakukannya. Selanjutnya penafsiran secara universal terhadap istilah “orang yang dipekerjakan” dalam hubungan dengan vicarious liability adalah mereka yang bekerja tetapi tidak dalam arti “independent contractor”. Jadi, dalam hubungan dengan kontraktor dengan subkontraktor, maka subkontraktor akan bertanggung jawab sendiri kepada pihak pemborong, bukan pihak pemilik kontraknya.

7. Prinsip Ekosistensi Hubungan Kontraktual

Berlakunya prinsip eksistensi hubungan kontraktual ini juga antara lain sebagai konsekuensi dari keberadaan Pasal 1613 tersebut. Sebab di samping berlakunya prinsip vicarious liability, maka si pemborong juga bertanggung jawab atas tindakan pekerja terhadap pihakbouwheer (jadi tidak hanya tindakan pekerja terhada pihak ketiga seperti dalam hal vicarious liability). Sebab yang terikat secara kontrak dengan bouwheer (yang menandatangani kontrak) adalah pihak pemborong sendiri, sehingga sudah sepantasnyalah jika pihak pemborong yang mesti bertanggung jawab kepada pihakbouwheer, sungguhpun menyangkut dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pihak pekerja dari pemborong tersebut.

Dalam hal ini pihak bouwheer tidak punya hubungan kontraktual dengan pihak pekerja tersebut, sehingga dalam bahasa litigasi dikatakan bahwa satu sama lainnya tidak dapat saling menggugat karena tidak punya cause of action.70 Selain dari Pasal 1613 KUH Perdata tersebut, maka Pasal 1614 dan Pasal 1615 KUH Perdata juga menegaskan kembali berlakunya prinsip eksistensi hubungan kontraktual ini, di mana para tukang hanya mempunyai hubungan hukum (secara kontraktual) dengan pihak pemborong (bukan dengan pihak bouwheer), kecuali apabila para tukang tersebut bekerja atas tanggung jawab sendiri secara langsung (dengan pihakbouwheer) dan untuk suatu harga tertentu.

8. Prinsip Hak Retensi

Juga merupakan hukum yang telah berlaku secara universal dan diakui secara eksplisit dalam KUH Perdata (Pasal 1616) bahwa jika para pekerja menguasai sesuatu barang kepunyaan orang lain untuk membuat sesuatu pekerjaan atas barang tersebut, maka kepada pekerja tersebut diberikan hak retensi. Maksudnya adalah bahwa para pekerja tersebut mempunyai hak untuk menahan barang tersebut (meskipun milik orang lain) dalam kekuasaannya selama ongkos pembuatan pekerjaan atas barang tersebut belum dibayar lunas.

Yang perlu digaris bawahi di sini adalah adanya perbedaan antara hak retensi dengan jaminan hutang. Sebab, dalam hak retensi, pihak yang mempunyai hak retensi tersebut hanya dapat "menahan" barang yang bersangkutan, dalam arti mempertahankan barang tersebut sehingga tetap berada dalam kekuasaannya. Dia

tidak mempunyai wewenang untuk mengeksekusi, jadi barang tersebut tidak dapat dijual, dimiliki atau dinikmati hasilnya. Jika hutang tetap tidak dibayar oleh pemilik barang tersebut kepada pihak pemegang hak retensi, maka tentunya pihak pemegang hak retensi tersebut dapat mengajukan gugatan melalui prosedur biasa ke pengadilan dan minta dilakukan conservatoir beslag71 atas barang tersebut. Dalam hal ini kedudukan pihak pemegang hak retensi sebagai kreditur konkuren dan penyitaan barang tersebut didasarkan atas Pasal 1331 KUH Perdata. Lain halnya seperti yang berlaku di negara-negaraCommon Lawdimana disana berlaku teori Mechanics' lien. Dalam hal ini, berdasarkan teori tersebut, pihak pekerja atau subkontraktor dapat menahan barang yang telah dibuatnya beserta property miliknya pihak bouwheer di mana barang tersebut dibuat, dan, secara hukum (walau tidak diperjanjikan) dapat menjadi jaminan hutang atas upah/ongkos pembuatannya itu, dan barang tersebut dapat dieksekusi dengan cara melakukan lelang di muka umum.

9. Prinsip Hukum Pemborongan Dalam Peraturan Selain KUH Perdata72

a. Prinsip Hukum Pemborongan Dalam AV 1941

Peraturan ini diberlakukan karena ternyata KUH Perdata sangat minim mengatur tentang masalah pemborongan/kontruksi ini.

71

Conservatoir beslag dalam bahasa hukum Indonesia dapat diartikan ke dalam istilah sita pengukuhan dan istilah sita jaminan.Tetapi agar adanya pembakuan keseragaman pengalihan bahasa, maka istilah yang dipilih adalah istilah sita jaminan.Dalam pengerian sita jaminan dari segi yuridis, dimaksudakan memahami sita jaminan sesuai ketentuan undang- undang. Ketentuan sita jaminan ini diatur dalam pasal 227 HIR jo pasal 261 RBG, disini akan dibahas mengenai sita tindakan hukum eksepsional dan juga sita sebagai perampasan. Sita jaminan ini tujuannya adalah agar tergugat tidak memindahkan atau membebankan hartanya kepada pihak ketiga.

b. Prinsip Hukum Pemborongan Dalam Lainnya. Selain dari KUH Perdata dan AV 1941, masih ada lagi peraturan lain yang mesti diikuti dalam mengerjakan suatu konstruksi.

Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral. Demikianlah sehingga asas- asas moral, kepatutan dan kebiasaan yang mengikat para pihak.73

Pasal 1339 KUH Perdata: “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal- hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”. Suatu perjanjian tidak diperkenankan merugikan pihak ketiga, hal ini sesuai dengan Pasal 1340 KUH Perdata: “Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya”. Suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ketiga; tak dapat pihak-pihak ketiga mendapat manfaat karenanya, selain dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317 KUH Perdata".

Pihak ketiga adalah mereka yang bukan merupakan pihak dalam suatu perjanjian dan juga bukan penerima/pengoper hak (rechtsverkrijgenden), baik berdasarkan alas hak umum maupun alas hak khusus. Suatu perjanjian menimbulkan hak dan kewajiban antara para pihak, isi hak dan kewajiban tersebut selain ditentukan oleh hukum yang memaksa juga sudah tentu oleh sepakat para pihak. Namun

73

Mariam Darus Badrulzamanet.al, Kompilasi Hukum Perikatan (Dalam Rangka Menyambut Masa Purna Bakti Usia 70 Tahun), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,2001, hal 87-88

disamping itu hukum yang menambah juga mengisi kekosongan dalam perjanjian mereka, yaitu apabila mereka tidak secara tegas mengaturnya secara menyimpang. Adanya kesempatan kepada para pihak untuk menyimpangi ketentuan yang bersifat menambah itu,ada kalanya memberikan kesempatan kepada si kuat untuk menyingkirkan tanggung jawab tertentu, bahkan ada kalanya menggesernya ke pundak lawan janjinya, dengan memperjanjikan suatu klausula, yang biasa disebut

exoneratie-clausul. Dengan adanya kesempatan seperti itu kita sudah dapat menduga bahwa kemungkinan terjadi, bahwa klausula exoneratie mempunyai kaitan dengan penyalahgunaan keadaan.

Dokumen terkait