• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : HUBUNGAN PRINSIP-PRINSIP HUKUM PERDAGANGAN

A. Prinsip-Prinsip Hukum Perdagangan Internasional dalam

World Trade Organization (WTO) resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 1995. Berdirinya WTO dilatar-belakangi oleh ketidakpuasan

Negara-negara penandatangan GATT terhadap status GATT yang tidak

bersifat permanen dan daya mengikatnya yang hanya bersifat kontraktual.

Pada Putaran Uruguay (1986–1994), negara-negara penandatangan GATT,

terutama negara-negara maju, lebih menghendaki adanya sebuah organisasi

perdagangan dunia yang permanen, memiliki daya mengikat secara hukum

(legally binding) terhadap anggota-anggotanya, serta memiliki lingkup

pengaturan perdagangan yang lebih luas. Kelemahan-kelemahan GATT

dipandang tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah perdagangan

internasional yang terus berkembang.37

Agreement on Establishing World Trade Organization disetujui sebagai salah satu hasil akhir Putaran Uruguay. Pembentukan WTO

dilatarbelakangi tujuan-tujuan sebagai berikut :38

37

Lebih lanjut Taryana, Sunandar, Op.cit, hlm. 6-7 38

a. Membentuk sistem multilateral yang kuat yang mampu menangani berbagai masalah perdagangan di masa datang

b. Membentuk organisasi yang dapat menyediakan forum negosiasi dalam masa transisi dari sistem lama ke sistem yang baru. Juga menangani masalah-masalah baru seperti perdagangan jasa, perdagangan dan lingkungan

c. Meningkatkan status GATT menghadapi organisasi-organisasi internasional lain yang bertanggung jawab dalam hubungan ekonomi. Tujuannya adalah agar GATT menjadi setaraf dengan organisasi-organisasi Bretton Woods yakni Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (IBRD), untuk membantu kegiatan ekonomi internasional.

d. Menempatkan GATT sebagai organisasi sentral dan penting yang bertanggung jawab mengatur masalah-masalah perdagangan dan ekonomi di antara negara-negara pesertanya.

WTO memberikan kerangka kelembagaan perdagangan di antara

anggota-anggotanya dalam hal-hal yang berhubungan dengan

persetujuan-persetujuan dan instrumen-instrumen hukum terkait yang tercakup di dalam

persetujuan-persetujuan perdagangan multilateral yang mengikat semua

anggota, persetujuan-persetujuan perdagangan plurilateral yang berlaku bagi

anggota-anggota yang telah menerimanya, dan mengikat anggota-anggota

tersebut, tidak menimbulkan baik kewajiban-kewajiban dan hak-hak bagi

anggota yang tidak menerimanya.

Dalam memainkan peran strategisnya pada penataan system

perdagangan WTO, mempunyai beberapa fungsi, yaitu sebagai berikut :39

a. memperlancar pelaksanaan, administrasi dan operasi dan

persetujuan-33

b. menyediakan forum perundingan untuk anggota-anggotanya yang berhubungan dengan hubungan perdagangan multilateral mereka dalam bidang yang diatur di dalam persetujuan-persetujuan yang dilampirkan dalam persetujuan ini. OPD dapat juga menyediakan suatu forum bagi perundingan-perundingan lebih lanjut di antara anggota-anggotanya mengenai hubungan-hubungan perdagangan multilateral mereka, dan suatu kerangka kerja pelaksanaan hasil-hasil dari perundingan-perundingan tersebut, sebagaimana yang dapat diputuskan oleh Konferensi Tingkat Menteri.

c. mengatur kesepakatan mengenai tata tertib aturan dan prosedur penyelesaian sengketa (selanjutnya disebut “Kesepakatan Penyelesaian Sengketa” atau “KPS”) dalam Lampiran 2 pada persetujuan ini.

d. mengatur Mekanisme Pemantauan Kebijaksanaan Perdagangan (selanjutnya disebut “MPKP”) seperti yang terdapat pada Lampiran 3 persetujuan ini.

e. untuk mencapai keterkaitan yang lebih besar dalam pengambilan kebijaksanaan ekonomi global, WTO harus bekerjasama, sebagaimana mestinya, dengan Dana Moneter Internasional dan dengan Bank Internasional harus rekonstruksi dan pembangunan serta badan-badan afiliasinya.

WTO dan kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkannya tidak

ditujukan untuk menggantikan GATT, akan tetapi meneruskan dan

memperluas asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang telah dihasilkan dalam

kesepakatan-kesepakatan GATT terdahulu. GATT yang disempurnakan sejak

tahun 1947 adalah peraturan dasar dalam WTO. Oleh karena itu,

kesepakatan-kesepakatan WTO tetap dibangun diatas prinsip-prinsip perdagangan

Berdasarkan kesepakatan para anggota, bahwa ketentuan GATT 1947

masih tetap berlaku dan merupakan bagian dari GATT 1994, kecuali protokol

tentang Pemberlakuan Ketentuan GATT untuk sementara (Protocol of

Provisional Application). Selain “Article Agreement” GATT 1947 juga menjadi bagian dari GATT 1994 berbagai perjanjian/kesepakatan yang

dihasilkan oleh Putaran Tokyo (1973 – 1979).

Kesepakatan-kesepakatan tersebut, adalah sebagai berikut :40

a. Kesepakatan Penafsiran Pasal II ayat 1 (b) GATT

Kesepakatan tentang Penafsiran Pasal II ayat 1 (b) GATT menyangkut lebih “bea pungutan lainnya” yang dikenakan selain tarif yang telah mengikat. Untuk memastikan transparansi hak dan kewajiban negara-negara anggota seperti tertuang dalam Pasal II alinea 1 (b), maka jenis dan besar “bea atau pungutan lainnya” yang dikenakan pada tarif yang diikat, harus dicatat di dalam Daftar Konsesi, tanpa merobah posisinya sebagai “bea pungutan lainnya”. Tanggal pencatatan semua tarif yang mengikat dilakukan pada tanggal 15 April 1994. Apabila suatu tarif sebelumnya sudah diberikan konsensi, maka besarnya “bea pungutan lainnya” yang dicatat dalam Daftar Konsesi, tidak boleh melebihi besarnya “bea atau pungutan lainnya” tersebut pada saat pertama kali digabungkan ke dalam daftar. Setiap anggota WTO dapat melakukan tuntutan terhadap keberadaan “bea atau pungutan lainnya” asalkan pada saat pengikatan tarif asli tidak ada “bea atau pungutan lainnya”.

b. Kesepakatan tentang Penafsiran Pasal VII GATT

Pasal VII GATT mengatur perdagangan yang dilakukan oleh negara (State Trading Enterprise). Yang dimaksudkan dengan “State Trading” adalah perusahaan milik pemerintah atau Badan Milik Pemerintah termasuk Badan Pemasaran (Marketing Boards), yang telah diberi hak-hak istimewa dan khusus atau diistimewakan, berdasarkan kekuatan peraturan

perundang-35

tingkat atau arah impor atau ekspor. Menurut Pasal XVII ayat 1, negara anggota wajib konsisten dengan prinsip dasar GATT 1994 untuk tidak melakukan diskriminasi, terutama dalam menerapkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang dapat mempengaruhi impor atau ekspor yang dilakukan oleh pedagang swasta.

Kesepakatan tersebut menentukan bahwa negara anggota harus memberitahukan tentang keberadaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kepada Dewan Perdagangan Barang untuk dievaluasi oleh kelompok kerja (working party) yang akan dibentuk sesuai dengan ketentuan alinea 5. Keharusan pemberitahuan itu tidak berlaku terhadap impor produk yang perlu segera digunakan baik oleh pemerintah maupun perusahaan sebagaimana spesifikasi di atas tidak untuk dijual kembali atau dipergunakan untuk memproduksi barang untuk dijual.

Setiap negara anggota akan meninjau kebijaksanaannya, sehubungan dengan kepatuhan pemberitahuan BUMN kepada Dewan Perdagangan Barang. Dengan tinjauannya setiap negara anggota sejauh mungkin harus memperhatikan kepastian transparansi sehingga memungkinkan untuk dipahaminya operasi BUMN yang diberitahukan dengan pengaruhnya terhadap perdagangan internasional.

c. Kesepakatan tentang Ketentuan Neraca Pembayaran

Kesepakatan ini merupakan kesepakatan Penafsiran Pasal XII tentang Penerapan Kuota karena alasan kesulitan neraca pembayaran, dan XVIII : B dan persyaratan dalam Deklarasi 1979 mengenai Kebijaksanaan Perdagangan untuk Tujuan Neraca Pembayaran bagi Negara Berkembang. Namun kesepakatan ini tidak dimaksudkan untuk mengubah hak dan kewajiban para anggota menurut Pasal XII atau XVIII:B GATT.

Para anggota telah sepakat untuk memberitahukan secepatnya jadwal penghapusan kebijaksanaan impor yang ditujukan untuk perbaikan neraca pembayaran. Tetapi apabila ada keberatan pemberitahuan itu, perlu diberikan alasan pembenaran yang jelas. Kebijaksanaan pembatasan impor yang akan diterapkan itu adalah pembatasan yang dampak hambatannya paling minim. Kebijaksanaan tersebut mencakup : bea masuk tambahan, ketentuan deposit impor atau kebijaksanaan serupa lainnya yang mempunyai dampak terhadap harga barang impor. Kebijaksanaan tersebut dilaksanakan dalam bentuk tambahan bea masuk yang diumumkan secara jelas sesuai dengan ketentuan prosedur notifikasi.

Pada dasarnya harus dihindarkan penggunaan kuota untuk tujuan neraca pembayaran, kecuali bila neraca pembayaran dalam keadaan kritis, dimana kebijaksanaan harga tidak cukup untuk mengatasi kesulitan neraca pembayaran. Dalam hal terjadi keadaan seperti itu, harus diberikan alasan pembenaran yang jelas mengapa kebijaksanaan harga tidak cukup untuk mengatasi kesulitan neraca pembayaran yang dihadapi. Selanjutnya negara yang mengenakan kuota harus menjelaskan perkembangan neraca pembayarannya dan pengurangan kuotanya. Satu jenis produk hanya boleh dikenakan satu jenis pembatasan impor.

Selanjutnya diatur tentang prosedur konsultasi dalam rangka neraca pembayaran, pemberitahuan tertulis dan pencatatan, dan hasil konsultasi neraca pembayaran. Lembaga yang bertugas menangani masalah ini adalah Komite Pembatasan-Pembatasan dalam rangka kesulitan neraca pembayaran yang melaksanakan serangkaian konsultasi untuk menilai semua kebijaksanaan pembatasan impor.

d. Kesepakatan tentang Penafsiran Pasal XXVI tentang “Free Trade Area” dan “Custom Union”

Kesepakatan ini bertujuan untuk mempermudah perdagangan dari anggota lain dengan wilayah perdagangan bebas dan tidak menambah hambatan perdagangan negara-negara anggota WTO lainnya dengan anggota wilayah tersebut. Oleh karenanya dalam pembentukan atau perluasan keanggotaannya sedapat mungkin menghindari terjadinya dampak ikatan dalam perdagangan negara anggota WTO lainnya.

e. Kesepakatan tentang Penundaan Kewajiban Menurut GATT

Permohonan penundaan syarat yang telah ada harus disertai uraian tentang tindakan-tindakan yang akan diambil oleh anggota, tujuan kebijaksanaan khusus yang diupayakan oleh anggota dan sebab-sebab yang menghalangi anggota untuk mencapai tujuan kebijaksanaannya dengan tindakan-tindakan yang konsisten dengan kewajiban menurut GATT 1994. Penundaan syarat apapun yang berlaku pada tanggal diberlakukannya persetujuan WTO akan terhenti, kecuali diperpanjang sesuai dengan prosedur-prosedur di atas dan prosedur Pasal IX c dan prosedur WTO pada tanggal

37

f. Kesepakatan Penafsiran Pasal XXVIII GATT

Kesepakatan ini merupakan penafsiran dari ketentuan tentang prosedur penarikan kembali konsesi tarif. Untuk maksud perubahan atau penarikan kembali konsesi, anggota yang mempunyai rasio ekspor tertinggi dipengaruhi oleh konsesi tersebut (yaitu ekspor produk ke pasar anggota yang merubah atau menarik kembali konsesi tersebut), terhadap ekspor totalnya akan dianggap mempunyai kepentingan pemasokan utama jika sebelumnya sudah tidak mempunyai hak negosiasi awal atau kepentingan pemasokan utama seperti diatur dalam Pasal XVIII.

Kesepakatan tersebut akan ditinjau ulang oleh Dewan

Perdagangan Barang setelah lima tahun dari tanggal berlakunya WTO untuk menguji apakah kriteria tersebut telah berjalan secara baik dalam menentukan redistribusi hak-hak negosiasi bagi kepentingan ekspor berskala kecil dan menengah.

g. Protokol Marrakesh dari GATT 1994

Daftar tarif dari para anggota yang terlampir dalam protokol menjadi daftar tarif GATT 1994 WTO berlaku. Daftar tarif yang disampaikan dalam kerangka keputusan para menteri mengenai negara-negara berkembang yang paling terbelakang akan menjadi lampiran dari protokol.

Selain kesepakatan tentang penyempurnaan mekanisme GATT, juga

tercakup dalam perjanjian akhir Putaran Uruguay masalah-masalah baru di

bidang perdagangan barang seperti ketentuan investasi yang dapat

mempengaruhi perdagangan, terutama yang dapat menghambat pelaksanaan

ketentuan Pasal III dan Pasal XI GATT 1947 yaitu tentang Pengenaan Pajak

Dalam Negeri dan Pembatasan Fisik Barang dan Perdagangan yang terkait

dengan Perlindungan Hak Milik Intelektual. Bahkan dengan kesepakatan

hanya menyangkut produk barang, tetapi juga jasa yang diatur di dalam

perjanjian tersendiri dan merupakan bagian dari perjanjian WTO.41

Disamping kesepakatan-kesepakatan tersebut, WTO juga menghasilkan sejumlah kesepakatan yang tidak saja mengatur masalah tarif dan perdagangan internasional, tetapi meluas pada peraturan perdagangan internasional yang terkait dengan ketentuan-ketentuan penanaman modal, yakni :

a. General Agreement on Trade in Services (GATS)

General Agreement on Trade in Services (GATS) meletakkan aturan-aturan dasar bagi perdagangan internasional di bidang jasa. GATS berisikan dua kumpulan kewajiban utama, yaitu kumpulan tentang konsep, prinsip dan aturan yang menetapkan kewajiban yang berlaku bagi seluruh “measures” yang mempengaruhi perdagangan jasa dan kumpulan kewajiban khusus hasil negosiasi yang merupakan komitmen yang berlaku untuk sektor jasa dan sub sektor jasa yang terdaftar pada “Schedule of Commitment”.42

WTO yang mengambil alih peranan GATT dalam memelihara sistem perdagangan dunia yang terbuka dan bebas adalah organisasi internasional lainnya. Berbeda dengan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), WTO benar-benar mempunyai “gigi”, kemudian tidak seperti IMF dan

39

aturan yang dikeluarkannya berlaku sama bagi setiap negara anggota, tanpa membedakan negara berkembang dan maju.

Salah satu aspek yang dicakup oleh WTO adalah perdagangan jasa

yang diatur dalam GATS yang merupakan salah satu lampiran (annex)

dari perjanjian pembentukan WTO (selanjutnya disebut dengan Perjanjian

WTO). GATS meletakkan aturan-aturan dasar bagi perdagangan

internasional di bidang jasa. Aspek perdagangan jasa ini merupakan aspek

yang sama sekali tidak disentuh secara mendalam oleh GATT. Tujuan

dibentuknya GATS ditegaskan dalam Deklarasi Punta del Este, deklarasi

yang merupakan dasar dilaksanakannya perundingan Putaran Uruguay,

yaitu untuk membentuk suatu kerangka multilateral dari prinsip dan aturan

tentang perdagangan jasa.

Sebagaimana telah ditegaskan di atas, secara garis besar GATS

berisikan dua kumpulan kewajiban. Pertama, adalah kumpulan tentang

konsep, prinsip, dan aturan yang menciptakan kewajiban yang berlaku

bagi seluruh measure yang mempengaruhi perdagangan jasa. Kedua

adalah kumpulan tentang kewajiban khusus hasil negosiasi yang

merupakan komitmen yang berlaku untuk sektor jasa dan sub-sektor jasa

yang terdaftar pada Schedule of Commitment (selanjutnya disingkat

dengan SOC) negara anggota. Di samping itu, perjanjian ini juga berisikan

lampiran tentang sektor-sektor jasa tertentu yang mempunyai karakteristik

ini merupakan satu kesatuan yang berlaku dan mengikat seluruh anggota

WTO.

Kumpulan pertama GATS berisikan kewajiban umum yang beberapa di antaranya berlaku untuk seluruh sektor jasa (misalnya most-favoured-nation dan transparansi) dan beberapa hanya berlaku untuk SOC (misalnya Pasal XI tentang Payment and Transfers). Sementara itu, kumpulan kedua berupa komitmen pembukaan akses pasar yang ditawarkan kepada anggota lain sebagai hasil perundingan.

Secara lebih rinci GATS terdiri dari 6 Bagian, 29 Pasal dan 8 Lampiran (annex) yang dapat dikelompokkan ke dalam 6 (enam) kelompok, yaitu :

1) Kewajiban umum yang berlaku bagi semua anggota;

2) Kewajiban khusus yang tercantum dalam SOC masing-masing

anggota;

3) Ketentuan pengecualian terhadap kewajiban; 4) Isu-isu untuk perundingan mendatang;

5) Annex dan keputusan menteri yang menjelaskan berbagai aspek GATS;

6) Masalah-masalah teknis, prosedural, dan administratif

Dalam ketentuan umum, diatur prinsip-prinsip yang tidak jauh

berbeda dengan prinsip-prinsip yang diatur GATT. Prinsip-prinsip

tersebut antara lain :

41

5) Integrasi ekonomi;

6) Liberalisasi bertahap ; dan 7) Keadaan darurat.43

Ruang lingkup perdagangan internasional di bidang jasa sesuai Pasal

1 ayat (1) GATS, yang berbunyi : “This agreement applies to measures by

member affecting trade in services”.

Pasal ini mencoba memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud

dengan “trade in services”, adalah perdagangan jasa yang dilakukan

dengan cara sebagai berikut :44

1) Jasa yang diberikan dari suatu wilayah negara ke wilayah negara lainnya (cross border) misalnya jasa yang mempergunakan media telekomunikasi;

2) Jasa yang diberikan dalam suatu wilayah negara kepada

konsumen dari negara lain (consumption abroad) misalnya turisme;

3) Jasa yang diberikan melalui kehadiran badan usaha suatu negara dalam wilayah negara lain (commercial presence) misalnya pembukaan kantor cabang bank asing;

4) Jasa yang diberikan oleh warga negara suatu negara wilayah negara lain (presence of natural person) misalnya jasa konsultan, pengacara dan akuntan.

b. Agreement on Trade Related Investment Measures (TRIMs)

Di bidang TRIMs perjanjian yang akan disepakati tidak mencakup

masalah investasi seperti yang dikehendaki negara maju, melainkan

terbatas pada interpretasi lebih lanjut terhadap ketentuan yang sudah ada

dalam GATT. Dalam perjanjian yang akhirnya disetujui dalam perjanjian

43

Ibid, hlm. 172-174 44

Uruguay Round. Hal pokok yang menjadi hasil perjanjian di bidang TRIMs adalah penekanan kembali tentang ketentuan GATT yang

melarang adanya “local content requirement dan trade balancing”.45

Dirjen GATT merumuskan ilustrative list yang kemudian dijadikan

lampiran integral dari Agreement on TRIMs sebagai berikut :

“a. Persyaratan penanaman modal yang tidak sejalan dengan keharusan perlakuan sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal III.4 GATT 1994 :

(1) Pembelian atau penggunaan produk-produk yang berasal dari dalam negeri atau dari sumber dalam negeri lainnya dirinci menurut produk-produk tertentu, volume atau nilai barang produk, atau menurut perbandingan dari volume atau nilai produksi lokal ; atau

(2) Pembelian atau penggunaan produk impor oleh perusahaan dibatasi sampai jumlah tertentu dikaitkan dengan volume atau nilai produksi lokal yang diekspor;

b. Persyaratan penanaman modal yang tidak sejalan dengan keharusan penghapusan pembatasan kuantitatif, sebagaimana diatur dalam Pasal XI ayat (1) GATT 1994 :

(1) Impor produk yang dipakai dalam proses produksi atau terkait dengan produksi lokalnya secara umum atau senilai produk yang diekspor oleh perusahaan yang bersangkutan ; (2) Impor produk yang dipakai dalam atau terkait produksi lokal

dengan membatasi aksesnya terhadap devisa luar negeri sampai jumlah yang terkait dengan devisa yang dimasukkan oleh perusahaan yang bersangkutan ;

(3) Ekspor atau penjualan untuk ekspor apakah dirinci menurut produk khusus, menurut volume atau nilai produk-produk atau menurut perbandingan volume atau nilai dari produksi lokal perusahaan yang bersangkutan”.46

43

c. Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights

Persetujuan tentang aspek-aspek dagang Hak Atas Kekayaan

Intelektual (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property

Rights – TRIMs), merupakan standar internasional yang harus diterapkan negara anggota WTO dalam peraturan perundang-undangan yang

mengatur berkenaan dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) atau

Hak Cipta, dan hak-hak yang terkait, seperti Merek Dagang, Indikasi

Geografis, Disain Industri, Paten, Hak Atas Topografi Rangkaian Terpadu

Semi Konduktor, Perlindungan Mengenai Undisclosed Information, dan

Pengawasan Terhadap Praktek yang Membatasi Konkurensi dan Kontrak

Lisensi.47

Di bidang TRIPs, Indonesia seperti juga negara berkembang lainnya, ditempatkan dalam kedudukan yang terpaksa untuk memikul beban dalam memberikan perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual dari negara maju sebagai imbalan dalam kesediaan negara maju menyelesaikan perundingan Uruguay Round dan memberikan akses ke pasar. Untuk mengantisipasi adanya kesulitan dalam melaksanakan implementasi, pihak Indonesia dalam perundingan berulang kali menekankan perlunya pemikiran mengenai masalah pelaksanaan. Berdasarkan pertimbangan itu Indonesia menghendaki adanya fleksibilitas dalam ketentuan menerapkan kewajiban enforcement dan bantuan teknis

47

yang konkret dalam pelaksanaan. Dalam perjanjian TRIPs, telah disepakati perlunya ada bantuan teknis untuk melaksanakan enforcement dalam kewajiban TRIPs.48

2. Prinsip-Prinsip Hukum Perdagangan Internasional Dalam Kerangka WTO

Dari waktu ke waktu ketentuan GATT disempurnakan lewat berbagai putaran perundingan, terakhir lewat perundingan Putaran Uruguay (1986-1994) yang berhasil membentuk sebuah Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization), yang akan melaksanakan dan mengawasi aturan-aturan perdagangan internasional yang telah dirintis GATT sejak tahun 1947. Aturan-aturan GATT 1947 diintegrasikan ke dalam sistem WTO, yang tidak hanya mengatur perdagangan barang, tetapi juga perdagangan jasa, masalah hak milik intelektual, dan aspek-aspek penanaman modal yang terkait.49

Dalam menghadapi era globalisasi yang tengah berjalan di segala sektor dewasa ini, Indonesia telah meratifikasi beberapa perjanjian penting yang di antaranya adalah menjadi peserta organisasi internasional seperti WTO, APEC, AFTA, dan lain-lain. Konsekuensi penting dari keanggotaan suatu organisasi dunia, seperti WTO yang diratifikasi Indonesia melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 pada tanggal 2 November 1994

45

Dalam berpartisipasi mewujudkan globalisasi perdagangan bebas

tahun 2020, maka melalui Undang-undang No.5 Tahun 1999, Indonesia telah

menunjukkan itikad baik untuk siap bersaing secara internasional.50

Ratifikasi yang dilakukan pemerintah Indonesia atas Agreement

Establishing the World Trade Organization dilihat dari segi hukum merupakan suatu langkah yang tidak dapat dicegah sebab sebagai negara yang

berkembang dengan posisi lemah dalam peraturan dagang inernasional,

Indonesia harus meletakkan tumpuan pada suatu forum multilaral, yakni

WTO sebagai wujud suatu kekuasaan internasional di bidang perdagangan

antar negara, yang diharapkan menegakkan rule of law dalam masyarakat

global. Hal yang paling membutuhkan perlindungan hukum adalah pelaku

yang posisinya paling lemah.

Sejak tahun 2003 telah berlaku era pasar bebas untuk perdagangan

bebas AFTA (Asean Free Trade Area) dan tahun 2010 untuk negara-negara

APEC (Asia Pasific Economic Cooperation) yang Indonesia juga turut di

dalamnya dan secara keseluruhan negara anggota WTO (World Trade

Organization) pada tahun 2020.51

World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia (OPD), mempunyai sejumlah prinsip, yaitu :52

50 Ibid, hlm. 14. 51 Ibid, hlm. 15 52

Nurdin, Muhammad Husin, Indonesia Dalam Lipatan Ekonomi Global (GATT/WTO), (Banda Aceh : Sophia Center, 2007), hlm. 45-47.

a. Most Favored Nation (MFN) atau Non diskriminasi

Prinsip Most Favored Nation (MFN) menyatakan bahwa perdagangan internasional antara anggota GATT harus dilakukan secara non-diskriminatif. Dengan demikian prinsip utama adalah bahwa konsensi yang diberikan kepada suatu negara mitra dagang harus berlaku pula bagi semua negara lainnya. Satu negara tidak boleh diberi perlakuan lebih baik atau lebih buruk daripada negara lain. Dengan demikian maka semua negara ditempatkan pada kedudukan yang sama, dan semua negara harus turut menikmati peluang yang tercapai dalam liberalisasi perdagangan internasional dan memikul kewajiban yang sama.

b. National Treatment

Prinsip National Treatment adalah merupakan sisi lain dari konsep non-diskriminasi. Prinsip ini melarang perbedaan perlakuan antara barang asing dan barang domestik yang berarti bahwa pada saat suatu barang impor telah masuk ke pasaran dalam negeri suatu anggota, dan setelah melalui daerah pabean serta membayar biaya masuk, maka barang impor tersebut harus diperlakukan secara tidak lebih buruk daripada hasil dalam negeri.

c. Tarif sebagai Instrumen Tunggal untuk Proteksi

Menurut prinsip ini, GATT mengizinkan proteksi terhadap hasil dalam negeri. Namun dengan proteksi yang diperlukan terhadap hasil dalam negeri hanya dapat dilakukan melalui tarif atau bea masuk yang dikenakan terhadap barang impor, dan tidak boleh dengan cara pembatasan lainnya. Antara lain, maksud prinsip ini adalah agar proteksi yang diberikan terhadap hasil dalam negeri

Dokumen terkait