DENGAN DOMESTIC REGULATIONS WTO
T E S I S
Oleh
Asmin Nasution
067005084/HK
HALAMAN PENGESAHAN
(Hasil Penelitian)
Nama : Asmin Nasution
Nomor Pokok : 067005084 Program Studi : Ilmu Hukum
Judul Tesis : PENERAPAN PRINSIP TRANSPARANSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL KAITANNYA DENGAN DOMESTIC REGULATIONS WTO
Menyetujui,
Ketua Komisi Pembimbing
Prof.Dr.Bismar Nasution, SH.MH K e t u a
Dr.Sunarmi, SH.M.Hum Dr.Mahmul Siregar, SH.M.Hum
Anggota Anggota
Ketua Program Studi Ilmu Hukum Direktur
Prof.Dr.Bismar Nasution, SH.MH Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa, B.MSC
ABSTRAK
Penanaman modal mempunyai arti yang sangat penting bagi pembangunan ekonomi nasional sebagai tujuan yang hendak dicapai melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Undang-undang ini juga memberikan ruang kepada Pemerintah untuk mengambil kebijakan guna mengantisipasi berbagai perjanjian internasional yang terjadi dan sekaligus untuk mendorong kerjasama internasional lainnya guna memperbesar peluang pasar regional dan internasional bagi produk barang dan jasa di Negara Indonesia. Indonesia sebagai anggota Organisasi Perdagangan Dunia (OPD) yang diberi hak dan sekaligus kewajiban untuk menjabarkan ketentuan-ketentuan umum GATT dan GATS dalam peraturan perundang-undangan nasional yang disebut “Domestic Regulation” sepanjang mengenai ketentuan transparansi harus benar-benar diperhatikan.
Dalam penulisan Tesis ini terdapat tiga permasalahan yaitu : bagaimana hubungan ketentuan-ketentuan perdagangan internasional dengan ketentuan penanaman modal yang ditetapkan suatu negara anggota World Trade Organization dan apakah prinsip-prinsip hukum perdagangan internasional, khususnya di sektor jasa telah diterapkan dalam peraturan penanaman modal di Indonesia, serta apakah prinsip transparansi pada Undang-Undang Penanaman Modal sudah mengakomodir Domestic Regulations WTO.
Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif analitis dan merupakan penelitian hukum normatif, yaitu mengumpulkan, menganalisis dan mensistematiskan hasil penelitian hukum yang berlaku, kemudian melakukan sinkronisasi peraturan perundang-undangan secara vertikal dan horizontal berdasarkan pada prinsip transparansi tentang Penanaman Modal dalam kaitannya dengan Domestic Regulations WTO dengan penelitian lapangan sebagai penunjang.
Prinsip transparansi pada Undang-undang No.25 Tahun 2007 sudah
mengakomodir dari Domestic Regulations WTO, terbukti Indonesia selaku anggota WTO telah membuka pasarnya terhadap perdagangan barang (goods) dan jasa-jasa (services) asing untuk diperdagangkan di Indonesia, yang dalam perumusan regulasinya berkewajiban untuk memperhatikan konsistensi antara hukum Indonesia dengan ketentuan-ketentuan di dalam GATT/GATS, terutama dalam kaitan dengan komitmen kebijakan yang mendukung akses pasar di bidang perdagangan jasa yang telah dinyatakan dalam “Specific of Commitment”.
ABSTRACT
Investment has important aspects on the national economic development as the objective of constitution Number 25 year 2007 about Investment. This constitution also give opportunity to government to take regulation in order to anticipate various international agreement which exist also to support international cooperation to increase regional and international market opportunity of goods and service in Indonesia. Indonesia as one of World Trade Organization (WTO) which has right and also obligations to define general regulation GATT and GATS in national regulations which called as “Domestic Regulation” correlated with transparency regulation should give full attention.
In the research of the Thesis, there are three problems ; how correlation between the international trade regulations and the capital investment regulations predetermined by the member-nations of World Trade Organization and have the legal principles of international trade especially in service been implemented in the capital investment regulations in Indonesia, and has the transparancy principle in the Capital Investment Laws accomodated Domestic Regulations of WTO.
The thesis established in analytic descriptive and as normative constitution research result, for example, collected analysis and systematize current law that exist nowadays, then perform synchronization of constitution whether vertically and horizontally based on transparency principle about Investment related to Domestic Regulation of WTO supported by field research.
Transparency principle in Constitution Number 25 year 2007 has accommodated from Domestic Regulations of WTO, can be seen in Indonesia as WTO member has open its market to foreign goods and service trading to established in Indonesia, which in regulation formulation has to concern the consistency between Indonesian regulations and policy in GATT/GATS, particularly related to policy commitment which support market access un service trading which has stated in “Specific of Commitment”.
As one effort to increase investment flow, writers view that it is important to established education and training toward concern parties in investment process, harmonization, and synchronization regional investment regulation which suitable with central investment regulation, also create One Way Integrated Service System so that investors including prospective investors which feel interest to take decision to invest their capital / investment in Indonesia
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim, Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Syukur yang tak henti-hentinya Penulis panjatkan kepada Allah SWT Yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang telah berkenan memberikan rahmat serta
hidayahNya sehingga Penulis dapat menyelesaikan Tesis ini.
Penulis dengan segala kerendahan hati menyadari bahwa dalam penulisan
Tesis ini masih banyak memiliki kekurangan maupun ketidaksempurnaan yang
disebabkan keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki. Untuk itu penulis tidak menutup
diri dan akan sangat berterima kasih atas kritik dan saran yang dapat membangun dan
bermanfaat pada masa yang akan datang.
Penulis menyadari bahwa tidak akan dapat menyelesaikan Tesis ini tanpa
bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, untuk itu Penulis mengucapkan terima
kasih yang ikhlas atas segala sumbangsih untuk terselesaikannya Tesis ini kepada :
1. Bapak Prof.Chairuddin P.Lubis, DTM&H., SPA(k)., selaku Rektor USU.
2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc., selaku Direktur Sekolah Pascasarjana
USU.
3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH., selaku Ketua Program Magister Ilmu
Hukum Sekolah Pascasarjana USU dan juga selaku Ketua Komisi Pembimbing
5. Bapak Para Pembantu Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Ibu Dr. Sunarmi, SH, M.Hum., selaku Sekretaris Program Magister Ilmu Hukum
Sekolah Pascasarjana USU dan juga selaku Anggota Komisi Pembimbing dan
Penguji.
7. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH.MHum., selaku Anggota Komisi Pembimbing
dan Penguji
8. Bapak Prof. Dr.Muhammad Yamin, SH.CN.MS., selaku Anggota Komisi Penguji
9. Bapak Prof.Dr.Suhaidi, SH.MH., selaku Anggota Komisi Penguji.
10.Para Dosen yang telah bersusah payah memberikan ilmunya dan membuka
cakrawala berpikir penulis yang akan sangat berguna dalam menghadapi
tugas-tugas di masa yang akan datang.
11.Kedua Orang Tua T.Nasution (Alm) dan N.Lubis (Almh)) yang tercinta, Mertua
(Abah OK. Boerhanuddin dan Ibu Wan Syahrizad (Almh)), atas doa dan jerih
payahnya yang telah mendorong keberhasilan ini dapat penulis capai.
12.Istri (Rabiatul Syahriah, SH.M.Hum) yang tercinta serta anak-anakku (Ridho
Ananda Syahputra Nasution dan Anastasia Adinda Syahputri Nasution) yang
telah dengan setia, sabar dan penuh pengertian memberikan motivasi yang sangat
besar bagi Penulis dalam menyelesaikan studi ini.
13.Khusus buat abang ipar Burhan Aziddin, SH.SU (Alm.) Dosen Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membimbing dan mendorong
penulis di dalam membina karir sebagai Staf Pengajar di Fakultas Hukum
14.Abanganda H.Amru Daulay, SH (Bupati Mandailing Natal) yang telah cukup
banyak membantu, membimbing penulis sejak di BP-7 Propinsi Sumatera Utara
hingga penulis dapat menyelesaikan studi ini.
15.Abang Ir.H.Muhammad Iqbal Hasibuan (Alm) yang telah banyak memberikan
bantuan, bimbingan bagi penulis baik secara langsung maupun tidak langsung
hingga penulis dapat menyelesaikan studi.
16.Serta rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, untuk semua
bantuan yang telah diberikan kepada Penulis.
Akhirnya penulis berharap bahwa Tesis ini dapat berguna sebagai sumbang
saran dan pemikiran mengenai Penanaman Modal di Indonesia ini khususnya di
wilayah Propinsi Sumatera Utara, juga bagi para pembaca yang berminat serta
berkepentingan dengan bidang dari penulisan ini.
Medan, Februari 2008 Penulis,
RIWAYAT HIDUP
I. DATA DIRI
Nama : ASMIN NASUTION, SH
Tempat/Tgl Lahir : Madina, 01 Desember 1959
Alamat : Komplek THI Blok A No.36 Tanjung Sari – Medan
Agama : Islam
II. PENDIDIKAN FORMAL
1. SD Negeri Gunung Baringin Kabupaten Madina, Tahun 1966-1972 2. SMP Negeri Panyabungan Kabupaten Madina, Tahun 1973-1976 3. SMA Negeri 6 Medan, Tahun 1976-1979 (perpanjangan waktu 6 bulan) 4. S-1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Tahun 1979-1985 5. S-2 Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas
Sumatera Utara, Tahun 2006-sekarang.
III. PENDIDIKAN NON FORMAL
1. Penataran P4 Tingkat Nasional Pola 120 Jam Tahun 1981 (Peserta Terbaik I)
2. Penataran Prajabatan Tahun 1986.
IV. KELUARGA
Ayah : T. Nasution (Alm) Ibu : N. Lubis (Almh)
Istri : Rabiatul Syahriah, SH.MHum.
V. RIWAYAT JABATAN/KARIR
1. Staf Pengajar Fakultas Hukum USU Tahun 1983 – sekarang 2. Penatar P-4 Tahun 1983 – 1994
3. Asisten Pembantu Dekan III Fakultas Hukum USU, Tahun 1994 – 1998 4. Anggota Dewan Pengupahan Daerah (DEPEDA) Kabupaten Mandailing
Natal (Madina) Tahun 2007 – sekarang.
VI. ORGANISASI
1. Anggota Korps Pegawai Negeri Sipil Republik Indonesia (KORPRI), Tahun 1986 – sekarang.
2. Ketua Umum Korps Asisten Dosen Fakultas Hukum USU, Tahun 1998-2002.
Medan, Februari 2008 Penulis,
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP... vi
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR SINGKATAN ... xi
BAB I : PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan... 15
C. Tujuan Penelitian ... 16
D. Manfaat Penelitian ... 17
E. Keaslian Penelitian... 18
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 18
1. Kerangka Teori ... 18
2. Kerangka Konsepsi ... 23
G. Metode Penelitian... 27
1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 27
2. Sumber Data... 28
3. Teknik Pengumpulan Data ... 30
4. Analisis Data ... 30
BAB II : HUBUNGAN PRINSIP-PRINSIP HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL DENGAN PERATURAN PENANAMAN MODAL ... 31
A. Prinsip-Prinsip Hukum Perdagangan Internasional dalam Kerangka World Trade Organization... 31
2. Prinsip-Prinsip Hukum Perdagangan Internasional
Dalam Kerangka WTO ... 44 B. Prinsip-Prinsip Hukum WTO Dalam Perdagangan Jasa
Internasional ... 50 C. Hubungan Prinsip-prinsip Hukum Perdagangan
Internasional dan Peraturan Penanaman Modal ... 66 BAB III : PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP HUKUM PERDAGANGAN
INTERNASIONAL DALAM HUKUM PENANAMAN
MODAL DI INDONESIA ... 75 A. Perkembangan Hukum Penanaman Modal di Indonesia ... 75 B. Prinsip-prinsip Hukum Penanaman Modal di Indonesia... 85 C. Penerapan Prinsip-Prinsip Perdagangan Internasional dalam
Hukum Penanaman Modal di Indonesia ... 91 1. Prinsip Perlakuan Sama (National Treatment dan Most
Favoured Nations) ... 91 2. Prinsip Larangan Pembatasan Kuantitatif ... 94 BAB IV : PENERAPAN PRINSIP TRANSPARANSI PADA UNDANG-
UNDANG NO.25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN
MODAL KAITANNYA DENGAN DOMESTIC
REGULATIONS World Trade Organization ... 103 A. Domestic Regulations World Trade Organization ... 103 B. Domestic Regulation dan Persyaratan Penanaman Modal di
Indonesia ... 113 C. Prinsip Transparansi Dalam Penanaman Modal ... 117 D. Penerapan Prinsip Transparansi Dalam Undang-undang
DAFTAR SINGKATAN
AFTA = Asean Free Trade Area
APEC = Asia Pasific Economic Cooperation ECOSOC = Economic and Social Council
FDI = Foreign Direct Invesment
GATS = General Agreement on Trade in Services GATT = General Agreement on Tariff and Trade
GSP = Generalized System of Preferences for Developing Countries IBRD = International Bank of Reconstruction and Development
IMF = International Monetary Fund
ITO = International Trade Organization
MNC = Multi National Corporation
NAFTA = North America Free Trade Agreement
OPD = Organisasi Perdagangan Dunia
PBB = Perserikatan Bangsa-Bangsa TRIMs = Trade Related Investment Measures TRIPs = Trade Related Intellectual Property Rights
1
BAB I PENDAHULU
A. tar Belakang
asing (PMA) secara langsung1 adalah merupakan suatu
fenomena y
PM
dip
lang
manfaat yang sangat signifikan bagi Negara tujuan penanaman modal (host country)
karena sifatnya yang permanen/jangka panjang, juga memberi andil dalam alih
tekn
ka
inv
ek
pe
penanaman modal merupakan kewenangan absolut dari Negara tujuan penanaman
AN
La
Penanaman modal
ang riil dalam konteks pembangunan negara-negara berkembang, karena
A merupakan salah satu pilihan pembiayaan pembangunan yang belum dapat
enuhi oleh negara-negara berkembang. Selain menghasilkan devisa secara
sung bagi Negara, kegiatan penanaman modal secara langsung menghasilkan
ologi, alih keterampilan manajemen, dan membuka lapangan kerja baru.2 Oleh
rena itu Negara-negara berkembang cenderung untuk berkompetisi menarik
estasi asing untuk memanfaatkan kehadiran modal tersebut dalam pembangunan
onomi. Salah satu cara yang dilakukan adalah menyiapkan perangkat peraturan
rundang-undangan yang menarik bagi investor, baik asing maupun domestik.
Awalnya diyakini bahwa kewenangan menetapkan aturan-aturan hukum
nanaman modal asing secara langsung (foreign direct investment) adalah kegiatan
an penanaman modal. Cara penanaman modal ini selalu dibedakan dengan penanaman modal lalui portofolio yang dilakukan melalui pembelian saham atau efek lainnya di pasar modal.
1
Pe
penanaman yang dilakukan dengan melakukan kegiatan usaha dan membentuk badan hukum di daerah tuju
me
2 Pandji Anoraga, Perusahaan Multi Nasional Penanaman Modal Asing, (Jakarta : Dunia
modal (host country), karena kewenangan tersebut lahir dari kedaulatan Negara untuk
mengatur orang asing dan kekayaannya yang berada di wilayah territorial host
co
mengatur kegiatan penanaman modal di wilayah kedaulatannya.
Namun pendapat ini mengalami berubahan setelah berakhirnya Putaran
Urug pakatan
untry. Dalam rangka memanfaatkan secara optimal modal asing, Pemerintah host
untry berhak menetapkan ketentuan penanaman modal dalam peraturan nasional
uai dengan kebutuhan pembangunan ekonominya. Kewenangan ini tidak dibatasi
h peraturan-peraturan perdagangan internasional, karena ketentuan perdagangan
ernasional sebagaimana diatur dalam General Agreement on Tariff and Trade
tidak ditujukan untuk membatasi kewenangan Pemerintah host country
uay (Uruguay Round, 1986 – 1994) yang menghasilkan beberapa kese
dagan internasional yang terkait langsung dengan kebijakan penanaman modal,
utama Agreement on Trade Related Investment Measures (TRIMs),dan General
reement on Trade in Services (GATS). Sejak saat itu, pembentukan peraturan
sional di bidang penanaman modal tidak dibenarkan bertentangan dengan
katan-kesepakatan perdagangan internasional yang terkait dengan penanaman
3
Lebih lanjut, Mahmul Siregar (1), Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal Studi
olah Pascas rnasional da
3
Agreement on TRIMs melarang ditetapkannya persyaratan penanaman modal
dalam peratu
GATS mengatur berkenaan dengan cara pemasukan jasa (Mode of Supply).
Moda suplly jasa yang terkait langsung dengan pengaturan penanaman modal adalah
supply jasa
bo ment of
ran nasional Negara anggota yang tidak konsisten dengan Article III
TT (National Treatment) dan Article XI GATT (larangan hambatan kuantitatif)
lam bentuk persyaratan kewajiban menggunakan kandungan lokal (local content
uirement), kebijakan keseimbangan perdagangan (trade balancing policy),
mbatasan akses terhadap devisa untuk impor (foreign exchange limitation), dan
mbatasan ekspor (export limitation) yang ditujukan untuk memberikan keuntungan
perusahaan domestik.
melalui kehadiran komersil (Commercial Presence).
Pasal 1 Ayat 1 GATS menyatakan 4 (empat) cara pemasokan jasa, yaitu cross
rder supply5, consumption abroad6, commercial presence7, dan move
pro
denga )
berpendapat bahwa Panel mengakui kedaulatan Kanada untuk mengatur sendiri kebijakan penanaman modalnya, dan Panel tidak bermaksud untuk menguji kedaulatan tersebut. Namun, Panel berpendapat bahwa dalam melaksanaan kedaulatan tersebut tidak berarti Pemerintah Kanada boleh begitu saja menyampingkan kewajiban internasional yang ditelah disepakatinya (GATT).
Agr
duk buatan Kanada, (3) membeli barang-barang dari Kanada jika barang-barang tersebut bersaing n barang impor (4 membeli dari supplier Kanada.Dalam memutuskan sengketa ini Panel GATT
4
Lebih lanjut dapat dilihat pada ilustrative list yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari eement on Trade Related Investment Measures.(Departemen Luar Negeri Republik Indonesia,
emahan Resmi Persetujuan Akhir Putaran Uruguay, Jakarta, 1994). 5
Cross Border Supply (CBS), istilah WTO yang berkaitan dengan Schedule of Specific mmitment atau SOC tentang modes of supply yang berarti cara perdagangan yang dilakukan dari ayah atau negara pemasok jasa (supplier) ke dalam wilayah suatu negara (konsumen) dim
jasa tersebut pemasok tidak memasuki wilayah atau negara konsumen. Contohnya adalah melalui media elektronik.
6
Consumption Abroard (CA), istilah WTO yang berkaitan dengan Schedule of Specific mmitment atau SOC tentang modes of supply yang berarti cara perdagangan jasa
F
8
F
natural person . Ketentuan investasi langsung (direct invesment) yang diatur dalam
GATS a n
tujuan untuk melakukan pemasokan suatu jasa. Kedua, pendirian suatu kantor cabang
atau perwakilan di daerah wilayah suatu negara dengan tujuan untuk melakukan
pem
mu insip-prinsip dan aturan-aturan perdagangan jasa-jasa
dengan tuju
lib
da
dalah kete tuan yang menyangkut commercial presence atau disebut
sence of juridicial person dengan ketentuan bahwa negara anggota diwajibkan
tuk memberikan akses ke pasar domestiknya dan memberikan perlakuan non
kriminasi antar sesama anggota (most favored nation) serta memperlakukan
masok jasa asing yang tidak lebih jelek dari pemasok jasa domestik (national
atment), yaitu setiap jenis usaha yang dilakukan melalui : pertama, pendirian
si atau pendirian suatu badan hukum di dalam wilayah suatu negara dengan
asokan suatu jasa.9
Sasaran yang ingin dicapai oleh GATS adalah terciptanya sebuah kerangka
ltilateral yang berisikan pr
an untuk perluasan perdagangan berdasarkan kondisi yang transparan dan
eralisasi yang progresif serta sebagai sarana meningkatkan pertumbuhan ekonomi
ri seluruh negara mitra dagang dan untuk pembangunan negara berkembang.
h jasa di bidang kesehatan dimana seorang pasien dari Indonesia berobat ke Singapura vement of consumers).
7
mitment (SOC) tentang modes of supply yang berarti cara pemasokan jasa dimana dalam mberikan jasanya penyedia jasa memasuki wilayah atau negara konsumen dengan mendirikan suatu jasa. Conto
(mo
Commercial Presence (CP), istilah WTO yang berkaitan dengan schedule of specific com
me
perusahaan di wilayah atau negara tersebut. Contoh pembukaan kantor cabang bank asing di Indonesia (Pr
Spe neg
pad Un
esence of Juridicial Person).
8
Presence of Natural Persons (PNP), istilah WTO yang berkaitan dengan schedule of cific Of Commitment (SOC) tentang modes of supply yang berarti jasa yang diberikan oleh warga ara suatu negara dalam wilayah negara lain, contohnya jasa Konsultan, Pengacara dan Akuntan.
9
5
Liberalisasi perdagangan di sektor jasa-jasa komersial dalam kerangka GATS
diban
termasuk mengatur ketentuan tentang persyaratan-persyaratan penanaman modal
dalam peraturan nasional Negara anggota (domestic regulation).
dal agangan
jas rsi
un
be
me
untuk memberitahukan kepada Dewan Perdagangan Jasa, sedikitnya sekali setahun,
tentang adanya peraturan perundang-undangan yang baru atau pedoman
admin
gun dengan pendekatan liberalisasi yang progresif yang diwujudkan dalam
ecific of Commitment10 yang dinyatakan oleh setiap negara peserta atas
bidang-ang perdagbidang-angan jasa ybidang-ang diliberalisasi. Dengan pendekatan ini negara-negara
erikan waktu untuk mempersiapkan industri-industri jasa domestik yang belum
yatakan dalam Specific of Commitment.11
GATS juga menetapkan sejumlah batasan te
ktor jasa yang dapat menghambat perdagangan jasa internasional
General Agreement on Trade in Services (GATS) mengatur transparansi
am satu pasal tersendiri (Article III). Kewajiban transparansi dalam perd
a ve GATS diwujudkan dalam bentuk kewajiban publikasi semua
undang-dang, peraturan, pedoman pelaksana, serta semua keputusan dan ketentuan yang
rlaku secara umum yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat maupun daerah yang
mpunyai dampak pada pelaksanaan persetujuan GATS dan adanya kewajiban
istrative dan perubahan-perubahannya.
10
Specific Of Commitment adalah kebijakan yang dilakukan negara anggota-anggota WTO
O.
11
Bismar Nasution (2), “Penerapan Good Governance Dalam Menyambut Domestic ulations WTO”, Disampaikan pada Acara Diskusi Mengenai
dakan oleh Bank Indonesia, tanggal 21 Juni 2007, Jakarta, hlm.
1-berdasarkan kondisi perekonomian negaranya, sebelum full program menurut kesepakatan-kesepakatan WT
Reg Domestic Regulations – WTO, yang
Negara-negara anggota WTO diberi hak dan sekaligus kewajiban untuk
me abarkan
un
ke
da
(WTO) menyadari bahwa
Domestic
ham
GATS menetapkan bahwa untuk menjamin agar tindakan yang terkait dengan
persyaratan dan prosedur, standar lisensi dan persyaratan perijinan bukan digunakan
seb
lem
ya
pe
b. Tidak lebih berat daripada yang semestinya untuk menjamin kualitas
jasa-jasa
pply
nj ketentuan-ketentuan umum GATS dalam peraturan
perundang-dangan nasional yang disebut “Domestic Regulations”, yang memuat
ketentuan-tentuan tentang qualifications requirements and procedures, technical standard
n licensing prosedural and requirements”.12
Negara-negara anggota World Trade Organization
Regulations tersebut dapat saja muncul atau dipergunakan sebagai
batan-hambatan dalam perdagangan jasa. Oleh karena itu, dalam Article VI : 4
agai hambatan perdagangan, Dewan Perdagangan Jasa harus, melalui
lembaga-baga tertentu yang mungkin dibentuk, menetapkan ketentuan-ketentuan (disiplin)
ng diperlukan. Ketentuan-ketentuan tersebut ditujukan untuk memastikan bahwa
rsyaratan-persyaratan yang ditentukan oleh suatu negara-negara peserta :
a. Didasarkan pada kriteria yang objektif dan transparan, misalnya
kesanggupan dan kemampuan untuk menyediakan jasa ;
c. Dalam hal prosedur perijinan, bukan merupakan hambatan dalam su
jasa-jasa.13
12 Ibid, hlm. 2 13
7
Ada beberapa alasan penting mengapa perundangan domestic regulations
menjadi pen
1. nting untuk menjadi peserta
tidak akan menjadi
ma lah/prob
dilakukan oleh Indonesia adalah menegakkan prinsip transparansi hukum dan
kebijakan dan juga tidak perlu ada kekhawatiran, sebab Good Governance telah
me
Do
pu embahasan mengenai transparansi. Kebijakan
transparans
pro
perizinan, biaya, proses pengurusan, sampai pada tindakan penolakan.14
Pasal III General Agreement on Trade in Services (GATS) tentang
Tran
ting untuk Indonesia, antara lain :
Indonesia telah meratifikasi beberapa perjanjian pe
organisasi internasional (WTO) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994
2. Tuntutan dari negara anggota-anggota WTO, termasuk Indonesia.
3. Perundingan sampai saat ini sedang berlangsung.
Agar hasil perundingan Domestic Regulations – WTO
sa lem bagi Indonesia terkait ketentuan transparansi, maka yang harus
nyiapkan sejumlah prinsip yang sangat relevan dalam menyambut perundingan
mestic Regulations – WTO.
Sudah dapat dipastikan bahwa perundingan mengenai Domestic Regulations
n tidak akan bisa dipisahkan dari p
i akan lebih mengarah secara teknis kepada persyaratan-persyaratan dan
sedur perizinan terkait supply jasa, mulai dari kegiatan permohonan, persyaratan
sparansi, menyatakan :
14
1. Para anggota wajib segera menerbitkan (paling lambat pada saat
a peraturan
s) atau persetujuan internasional
denga m
GATS terutama dikarenakan salah satu moda dari perdagangan jasa adalah kehadiran
komersial
jas
berlakunya) semua undang-undang, peraturan, pedoman pelaksanaan, serta semua keputusan dan ketentuan yang berlaku secara umum yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah yang mempunyai dampak pada pelaksanaan persetujuan ini. Persetujuan internasional yang mempengaruhi perdagangan jasa-jasa dimana suatu negara anggota turut serta dalam persetujuan tersebut juga wajib diterbitkan.
2. Apabila publikasi seperti tersebut di atas tidak tersedia, informasi mengenai hal tersebut harus tersedia secara umum
3. Setiap negara harus segera dan paling tidak sekali setiap tahun memberitahukan Dewan Perdagangan Jasa tentang adany
perundang-undangan yang baru atau perubahan terhadap undang-undang, peraturan maupun pedoman administratif yang berlaku yang mempunyai dampak yang sangat berarti terhadap perdagangan jasa-jasa yang tercantum dalam “specific commitment” negara itu yang dibuat berdasarkan persetujuan ini.
4. Setiap negara harus menjawab segera seluruh permintaan informasi yang spesifik yang berasal dari negara lain tentang berbagai ketentuan (measures of general application
sebagaimana dimaksud dalam para 1 : Setiap negara juga harus mendirikan satu atau lebih pusat informasi yang spesifik atas permintaan negara lain mengenai seluruh masalah dan hal-hal yang harus diberitahukan sesuai dengan para 3. Pusat informasi tersebut harus didirikan dalam dua tahun setelah berlakunya persetujuan ini. Fleksibilitas yang memadai mengenai batas waktu pendirian enquiry point tersebut dapat disepakati untuk masing-masing negara berkembang. Enquiry point dimaksud tidak harus merupakan depositories peraturan perundang-undangan.
5. Suatu negara boleh memberitahukan kepada Dewan Perdagangan Jasa tentang tindakan yang dilakukan oleh negara lain yang dianggapnya mempunyai dampak terhadap pelaksanaan persetujuan ini.
Dengan demikian peraturan penanaman modal memiliki hubungan yang erat
n peraturan perdagangan internasional di sektor jasa sebagaimana diatur dala
dari investor asing ke Negara tujuan investasi. Untuk dapat memberikan
9
tujuan investasi, seperti usaha jasa perbankan, asuransi, pendidikan, telekomunikasi,
perho
Indonesia sudah melakukan upaya menarik modal asing dan dalam negeri
sejak tahun 1967 dengan diundangkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman
3. Sarana dan prasarana yang masih kurang memadai, terutama di luar Pulau Jawa
aha yang tangguh/bonafid
telan, dan lain sebagainya. Supply jasa yang dilakukan dengan kehadiran
mersial (commercial presence) ini akan bersentuhan dengan ketentuan hukum
nanaman modal langsung yang diterapkan oleh negara tujuan investasi (host
untry). Ketika investor asing melakukan supply jasa secara commercial presence,
ka investor tersebut harus mematuhi persyaratan-persyaratan penanaman modal
ng diterapkan oleh pemerintah host country dalam peraturan nasionalnya (domestic
ulation).
Modal Asing. Disusul kemudian dengan Undang-undang No. 6 Tahun
68 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Sampai saat ini terdapat beberapa
salah pokok yang masih sering dikeluhkan oleh para investor dalam berinvestasi
u menanamkan modalnya di Indonesia, antara lain15 :
Tidak mudahnya memperoleh dukungan pembiayaan
Sulitnya mendapatkan lahan usaha yang sesuai dengan kebu
4. Kurangnya tenaga kerja yang sudah terampil dan yang siap pakai
5. Sulitnya mencari mitra us
6. Lamanya pengurusan perizinan di daerah
15
Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 29 Maret
mampu menciptakan terwujudnya kedaulatan ekonomi Indonesia.
Keterkaitan pembangunan ekonomi dengan pelaku ekonomi kerakyatan
dim e ublik
Ind
ek
pe
da
Indonesia mendapat perhatian dalam Undang-Unda Tahun 2007
sehingga terdapat pengaturan mengenai pengesahan dan perizinan yang di dalamnya
terd at pe
san
pe
engesahkan Rancangan Undang-Undang Penanaman Modal menjadi
dang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
dal, yang selanjutnya disingkat menjadi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.
Hal ini merupakan amanat konstitusi yang mendasari pembentukan seluruh
ratura erundang-undangan di bidang perekonomian, sebagaimana yang telah
abarkan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945,
pembangunan ekonomi nasional harus berdasarkan prinsip demokrasi yang
16
antapkan lagi dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat R p
onesia Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam rangka demokrasi
onomi sebagai sumber hukum materiil. Dengan demikian, pengembangan
nanaman modal bagi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi menjadi bagian
ri kebijaksanaan dasar penanaman modal.17
Permasalahan pokok yang dihadapi penanam modal dalam memulai usaha di
ng Nomor 25
ap ngaturan mengenai pelayanan terpadu satu pintu. Dengan sistem itu,
gat diharapkan bahwa pelayanan terpadu di pusat dan di daerah dapat menciptakan
nyederhanaan perizinan dan percepatan penyelesaiannya.
16
Hadi Setia Tunggal, Undang-Undang Penanaman Modal Tahun 2007 beserta nya, (Jakarta : Harvarindo, 2007), hlm. 36.
17
11
Peningkatan peran penanaman modal tersebut harus tetap dalam koridor
kebijakan pe
Undang-undang No. 25 Tahun 2007 adalah untuk :
1. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional ;
n ; ;
dengan
ya mnya diatur dalam
Undang-undang No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang No.11 Tahun 1970 dan Undang-undang No.6
Ta
de
mbangunan nasional yang direncanakan dengan tahap memperhatikan
stabilan makro ekonomi dan keseimbangan ekonomi antar wilayah, sektor pelaku
ha, dan kelompok masyarakat, mendukung peran usaha nasional, serta memenuhi
idah tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance).
Penanaman modal mempunyai arti yang sangat penting bagi pembanguna
sional sebagaimana tujuan yang hendak dicapai melalui Undang-Undang
.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Tujuan penanaman modal menurut
2. Menciptakan lapangan kerja ;
3. Meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjuta
4. Meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional an teknologi nasional ; 5. Meningkatkan kapasitas dan kemampu
6. Mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan ;
7. Mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil menggunakan dana yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri, dan
8. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.18
Undang-Undang No.25 Tahun 2007 ini menjadi satu-satunya undang-undang
ng mengatur tentang penanaman modal di Indonesia. Sebelu
hun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diubah
ngan Undang-undang No.12 Tahun 1970. Untuk melaksanakannya diperlukan
18
pengaturan teknis melalui peraturan pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya
ses
memberikan ruang kepada
Pe
int
lai
ba
omi di wilayah tertentu ditempatkan sebagai
bagian untuk menarik potensi pasar internasional dan sebagai daya dorong guna
me ingkatka
Hak, kewajiban dan tanggung jawab penanam modal diatur secara khusus
guna memberikan kepastian hukum, mempertegas kewajiban penanam modal
terha memberikan
pe orma
sos
uai yang diisyaratkan oleh UUPM tersebut.19
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 juga
merintah untuk mengambil kebijakan guna mengantisipasi berbagai perjanjian
ernasional yang terjadi dan sekaligus untuk mendorong kerjasama internasional
nnya guna memperbesar peluang pasar regional dan internasional bagi produk
rang dan jasa di Indonesia.
Kebijakan pengembangan ekon
n n daya tarik pertumbuhan suatu kawasan atau wilayah ekonomi khusus
ng bersifat strategis bagi pengembangan perekonomian nasional, juga mengatur
k pengalihan aset dan hak untuk melakukan transfer dan repatriasi dengan tetap
mperhatikan tanggung jawab hukum, kewajiban fiskal, dan kewajiban sosial yang
rus diselesaikan oleh penanam modal, kemungkinan timbulnya sengketa antara
nanam modal dan pemerintah juga diantisipasi Undang-Undang Nomor 25 Tahun
07 dengan pengaturan mengenai penyelesaian sengketa.
dap penerapan prinsip tata kelola perusahaan yang baik
ngh tan atas tradisi budaya masyarakat dan melaksanakan tanggung jawab
ial perusahaan.
un 2007 : Sebuah Catatan, (Jakarta : Jurnal Hukum Bisnis No.4 Vol. 26/2007), hlm. 5
19 Lihat Adang Abdullah, Tinjauan Hukum atas Undang-Undang Penanaman Modal No.25
13
Pengaturan tanggung jawab penanam modal diperlukan untuk mendorong
iklim persaingan usaha yang sehat, memperbesar tanggung jawab lingkungan dan
pe
pe
da Und
ma
tenta
Pada awal pelaksanaan Pembangunan Jangka Panjang Tahap II telah banyak
tantangan yang harus dihadapi oleh Indonesia. tantangan tersebut antara lain
keikutsertaa
sebelum berdirinya PBB Tahun 1945. Dan cita-cita demikian baru terwujud pada
tahun 1994 (setelah 47 tahun).20
menuhan hak dan kewajiban tenaga kerja, serta upaya mendorong ketaatan
nanam modal terhadap peraturan perundang-undangan secara transparan.
Prinsip transparansi atau keterbukaan merupakan salah satu asas penting
lam ang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, yaitu asas yang terbuka terhadap hak
syarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif
ng kegiatan penanaman modal.
n Indonesia ke dalam organisasi perdagangan dunia berdasarkan
Undang-dang No.7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement on Establishing WTO
orld Trade Organization). Disepakatinya hasil Putaran Uruguay GATT yang
rupakan putaran ke-8 sejak tahun 1947, menandakan telah adanya pergeseran
radaban dunia, khususnya di bidang perdagangan. Dikatakan demikian, karena
cita-a untuk membentuk sucita-atu orgcita-aniscita-asi perdcita-agcita-angcita-an interncita-asioncita-al telcita-ah timbul sejcita-ak
pai Terbentuknya WTO (World Trade O sional, 1996), hlm. 1.
20
Taryana, Sunandar, Perkembangan Hukum Perdagangan Internasional dan GATT 1947
sam rganization), (Jakarta : Badan Pembinaan Hukum
Masuknya Indonesia sebagai anggota WTO berdasarkan UU No. 7 Tahun
1994 membawa konsekwensi hukum berupa kewajiban untuk menyesuaikan
pe
Measures dan Agreement on Trade in Services yang kemudian menghasilkan
kesepakatan Domestic Regulation.
Te
ke n modal yang diterapkan oleh Pemerintah
Ind
sam
TR
(legally bi aka egulations sepanjang mengenai
ketentuan transparansi harus benar-benar diperhatikan. Jangan sampai hasil
kesepakatan dalam pengaturan transparansi menjadi masalah atau problem bagi
Ind
ne
raturan perundang-undangan nasionalnya dengan kesepakatan-kesepakatan WTO
ng telah diratifikasi dan menjamin bahwa peraturan perundang-undangan nasional
ng telah disesuaikan tersebut dapat dilaksanakan.
Meskipun WTO tidak mengatur secara komprehensi
nana modal, akan tetapi terdapat setidaknya dua kesepakatan yang terkait
sung dengan peraturan penanaman modal, yakni Agreement on Trade Related
rkait kedua agreement tersebut, maka yang perlu diperhatikan adalah
tentuan mengenai syarat-syarat penanama
onesia dalam berbagai peraturan perundang-undangan penanaman modal. Jangan
pai syarat-syarat penanaman modal tersebut bertentangan dengan Agreement on
IMs, GATS serta Domestic Regulation.
Mengingat bahwa sifat dari kesepakatan WTO adalah mengikat secara hukum
nding), m perundingan domestic r
onesia. Jika hal ini terjadi, maka Indonesia akan sangat rentan terhadap tuntutan
15
transparansi merupakan salah satu isu krusial dan klasik dalam kebijakan di
Indonesia.
B.
perdagangan internasional dan penanaman modal asing
sel menj
seb
kepa
penanaman modal. Sering dikatakan bahwa WTO tidak memiliki mandat untuk
mengatur persoalan penanaman modal, karena kebijakan penanaman modal tunduk
pada
Terkait dengan peraturan penanaman modal di Indonesia, sejumlah
permasalahan perlu diteliti, antara lain : apakah hukum penanaman modal di
Ind telah sesuai dengan ketentuan
pe anga
21
Permasalahan
Hubungan antara
alu adi perdebatan. Perdebatan ini selalu mengarah pada kewenangan WTO
agai organisasi di bidang perdagangan yang semakin memperluas pengaturannya
da bidang-bidang lain di luar perdagangan seperti ketentuan-ketentuan terkait
kedaulatan sebuah negara. Disamping itu WTO didirikan dengan mandate untuk
ngatur masalah-masalah perdagangan dunia, tidak termasuk penanaman modal.
rtanyaan yang sering muncul adalah bagaimana sebenarnya hubungan perdagangan
ernasional dan penanaman modal ? Apakah WTO berwenang mengatur masalah
nanaman modal ? Dalam hal yang bagaimana GATT dapat diterapkan dalam
bijakan di bidang penanaman modal ?
onesia, khususnya UU No. 25 Tahun 2007
rdag n internasional yang terkait dengan penanaman modal ? Apakah
21
persyaratan-persyaratan penanaman modal yang diterapkan di Indonesia tidak
berte
20
jutnya dirumuskan
bat
1. internasional dengan
2. Apaka
jasa telah diterapkan dalam peraturan penanaman modal di Indonesia ?
3. Apakah prinsip transparansi pada Undang-Undang Penanaman Modal sudah
C. Tuj
Berdasarkan uraian yang terdapat dalam rumusan masalah, maka yang
ini adalah :
1. ntuk
dengan ketentuan penanaman modal di sektor jasa yang ditetapkan suatu negara
anggota WTO
ahwa prinsip transparansi pada Undang-Undang Penanaman ntangan dengan kesepakatan-kesepakatan WTO dan apakah UU No. 25 Tahun
07 telah mengakomodir domestic regulation WTO ?
Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut diatas, selan
asan permasalahan yang diteliti, sebagai berikut :
Bagaimana hubungan ketentuan-ketentuan perdagangan
ketentuan penanaman modal yang ditetapkan suatu negara anggota WTO ?
h prinsip-prinsip hukum perdagangan internasional, khususnya di sektor
mengakomodir Domestic Regulations WTO ?
uan Penelitian
menjadi tujuan dari penelitian
U menganalisis hubungan ketentuan-ketentuan perdagangan internasional
2. Untuk menganalisis penerapan prinsip-prinsip hukum perdagangan
internasionaldi sektor jasa dengan peraturan penanaman modal di Indonesia.
3. Untuk menganalisis b
17
D. Manfaat Penelitian
manfaat teoritis dan praktis. Adapun kedua kegunaan
tersebut ad
1.
i adalah sebagai bahan atau data informasi di bidang ilmu
huk
me
(fre
bidang perdagangan jasa (trade services), kaitannya dengan Domestic Regulations –
World Trade Organization (WTO).
2. Secara praktis
Ma an masukan bagi Pemerintah RI
embuatan peraturan perundang-undangan, khususnya dalam
keb
inte
bis
E. Keaslian Penelitian
h dilakukan oleh peneliti dan tenaga
ad inistrasi di Sekretariat Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana
ketahui bahwa penelitian tentang Penerapan Prinsip
Tr
Penelitian ini memiliki
alah :
Secara teoritis
Manfaat penelitian in
um, khususnya di bidang hukum investasi bagi kalangan akademisi, untuk
ngetahui dinamika penanaman modal dan perkembangan perdagangan bebas
e trade) atau liberalisasi perdagangan (trade liberalization), khususnya di
nfaat penelitian ini secara praktis sebagai bah
dan DPR RI dalam p
ijakan penanaman modal sekaitan dengan kesepakatan-kesepakatan organisasi
rnasional (WTO), serta pedoman bagi para pelaku bisnis dalam menjalankan
nisnya di wilayah Indonesia.
Berdasarkan pemeriksaan yang tela
m
Universitas Sumatera Utara, di
Modal Kaitannya Dengan Domestic Regulations WTO, belum pernah dilakukan
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
menguraikan hubungan perdagangan
man modal pada dasar bertolak dari asumsi bahwa
peraturan p
ham
Neg
dipe
yang bebas tersebut didukung oleh ketentuan-ketentuan yang menjamin
kebebasan arus modal. Peraturan perdagangan internasional saling
mem
terb
yan
arus
m pendekatan dan perumusan masalah yang sama, walaupun ada topik penelitian
tang hukum investasi/penanaman modal, namun jelas berbeda.
Jadi penelitian ini adalah “asli”, karena sesuai dengan asas-asas ke
r, rasional, objektif dan terbuka/transparan. Sehingga penelitian ini dapat
ertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan dan
tikan, serta saran-saran yang sifatnya membangun.
Teori-teori yang mencoba
internasional dan penana
erdagangan internasional yang tidak dibebani oleh
hambatan-batan perdagangan (trade barriers) mampu menciptakan kesejahteraan
ara-negara yang melakukan perdagangan internasional. Manfaat yang
roleh akan lebih optimal apabila peraturan perdagangan internasional
butuhkan dengan peraturan perdagangan internasional yang lebih
uka. Asumsi lain adalah bahwa adakalanya peraturan penanaman modal
g menetapkan syarat-syarat penanaman modal menyebabkan terdistorsinya
19
persyaratan penanaman modal dalam peraturan nasionalnya, akan tetapi pada
keny
Sanada dengan pandangan tersebut, Renato Reguiro menjelaskan
bahwa hukum perdagangan internasional bertujuan membuka pasar
internasional sec
hambatan-hamba n perdagangan.
ataannya persyaratan tersebut dapat dipergunakan sebagai trade barriers
i masuknya barang dan jasa dari luar negeri.
Rober Gilpin, mengatakan bahwa melalui pertukara
hapusan pembatasan modal, dan pembagian tenaga kerja secara
rnasional, setiap orang akan memperoleh keuntungan dalam jangka
ang, karena sumber-sumber yang langka akan dimanfaatkan secara
en.
ara luas, tanpa terganggu oleh hambatan-hambatan
agangan. Keterbukaan pasar, akan mendorong perubahan pola bisnis
sahaan multinasional dengan melakukan investasi ke luar negeri untuk
enuhi supply pasar internasional dan mendekatkan diri dengan
sumen.23 Dengan cara ini sistem perdagangan internasional yang liberal
n membuka pasar internasional secara luas, tanpa terganggu oleh
ta
ahmul Siregar (2), Perdagangan dan Penanama
22
M n Modal : Tinjauan terhadap Kesiapan
Hukum di Indonesia Menghadapi Persetujuan Perdagangan Multilateral yang Terkait dengan Peraturan Penanaman Modal, (Medan : Universitas Sumatera Utara Sekolah Pascasarjana, 2005), hlm.11.
23 Renato Ruggiero, “ Foreign Direct Investment and The Multilateral Trading System,”
Mekanisme hambatan tarif yang diatur dalam hukum perdagangan
internasional mempengaruhi pola perubahan pengembangan usaha perusahaan
mul
Sebaliknya, hukum penanaman modal domestik dapat menciptakan
hambatan-hambatan terhadap perdagangan internasional dengan menetapkan
syarat-syarat
huk
pen
ham
tinasional dari sekedar kegiatan perdagangan menjadi kegiatan investasi
sung (direct investment). Penerapan hambatan tarif pada kegiatan impor
n menekan perusahaan-perusahaan multinasional untuk melakukan
kasi investasi langsung ke wilayah host country. Produksi langsung di
yah host country akan lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan
or yang bebannya lebih besar karena dibebani tarif impor yang besar.
penanaman modal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip
um perdagangan internasional. Meskipun persyaratan-persyaratan
anaman modal tersebut bukan ditujukan secara khusus untuk menciptakan
batan di bidang perdagangan internasional, tetapi adakalanya persyaratan
ebih lanjut UNCTAD, World Investment Report 1996 : Investment Trade and
ontoh perkembangan industry otomotif di Argentina. Dibawah tekanan hambatan tarif , perusahaan otomotif asing mengadakan produksi otomotif langsung di wilayah
24 L
International Policy Arrangement, (New York and Geneva : UN, 1996), hal. 75-80. Laporan ini mengambil c
impor otomotif
Argentina. Hasilnya, antara Desember 1958 dan Nopember 1961, badan berwenang di Negara tersebut menyetujui r
encana investasi sektor otomotif mencapai US $ 97.000.000,- dengan 22 proyek bangan perusahaan otomotif. Perhatikan juga Laporan Department of Trade and Industry rajaan Inggris. Pengalaman Negara ini menunjukkan bahwa kegiatan investasi asing (FDI) oleh usahaan multinasional di Negara tersebut umumnya berlangsung dengan mengikuti pola
rnalisasi yang dimulai dengan kegiatan perdagangan dan akhirnya melakukan produksi langsung. kum perdagangan internasional dan kebijakan Inggris di bidang perdagangan mendorong usahaan multinasional menjadi tidak sekedar melakukan kegiatan perdagangan tetapi merubahnya
21
tersebut menimbulkan akibat yang dapat mengganggu kelancaran arus
perdagangan internasional. Secara umum, pertimbangan yang demikian yang
sela
kete
inte
asih belum ada perjanjian internasional yang bersifat
multilateral
menga
direct investment, FDI) secara komprehensif dan komplit. Usaha terakhir
dalam membuat peraturan yang komprehensif mengenai FDI ini pun masih
belu
treatment (Article III GATT) dan larangan pembatasan kuantitatif (Article III
GATT) tidak membenarkan adanya persyaratan penanaman modal yang dapat
menciptakan hambatan perdagangan internasional.
lu dipergunakan panel penyelesaian sengketa GATT/WTO untuk melihat
rkaitan hubungan hukum penanaman modal dengan hukum perdagangan
rnasional.
Sebenarnya m
yang disepakati oleh kebanyakan negara-negara di dunia ini yang
tur tentang prinsip-prinsip penanam modal asing langsung (foreign
m membuahkan hasil karena besarnya tarik menarik kepentingan antara
ara-negara maju yang biasanya sebagai penanam modal dan negara-negara
g sedang berkembang sebagai host countries atau penerima modal. Namun
kipun demikian beberapa prinsip perdagangan internasional dalam
pakatan WTO telah membuka hubungan yang tidak terpisahkan antara
WTO sebagai suatu lembaga yang mengadministrasikan dan
memantau pelaksanaan kesepakatan Putaran Uruguay jelas akan tidak mampu
mem
melalui pemberian informasi secara terbuka pada saat konsultasi dan
penyelesaian sengketa yang timbul dari persetujuan.
pad nya, karena
peraturan-pe
hasi
Prin
mem
pasar yang efisien serta mencegah penipuan (fraud).27
antau seluruh peraturan atau kebijaksanaan perdagangan negara anggota
g jumlahnya lebih dari seratus negara. Oleh karena itu, instrumen yang
rgunakan adalah mekanisme transparansi dan notifikasi. Dengan prinsip
sparansi, negara anggota diwajibkan melakukan pemberitahuan kepada
etariat WTO atas publikasi-publikasi dimana TRIMs dapat ditemukan,
asuk yang diterapkan oleh pemerintah daerah. Transparansi juga dituntut
25
Friedman mengatakan bahwa hukum itu bersifat diskriminatif, baik
a peraturan-peraturannya sendiri maupun melalui penegakan
raturan hukumnya sendiri tidaklah tidak memihak. Ia merupakan
l dari suatu bantuan atau perjuangan kekuasaan dalam masyarakat.26
sip transparansi atau keterbukaan dalam hal ini berfungsi untuk
elihara kepercayaan publik terhadap pasar dan menciptakan mekanisme
ahmul Siregar (1), Op.cit. hlm. 289-290.
25
M
26
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 151.
27 Bismar Nasution (3), Keterbukaan dalam Pasar Modal, (Jakarta : Fakultas Hukum,
Universitas Indonesia, 2001), hlm. 9.
23
Dalam rangka pembaharuan hukum penanaman modal, perlu dipahami
pendapat Burg
Bagian sepsi ini akan dijelaskan hal-hal berkenaan
akan oleh peneliti dalam penulisan Tesis ini.
Kon adal
untu
Kon jug
digeneralisasikan dalam hal-hal yang khusus yang biasa disebut dengan
defenisi operasional.
’s. Menurut studi yang dilakukan beliau mengenai hukum dan
bangunan, terdapat 5 (lima) unsur yang harus dikembangkan supaya tidak
ghambat ekonomi, yaitu “Stabilitas” (stability), “prediksi”
dictability), “keadilan” (fairness), “pendidikan” (education), dan
ngembangan khusus dari sarjana hukum” (the special development
ities of the lawyer).28 Hukum yang predictable akan sulit terwujud jika
sparansi tidak menjadi pedoman dalam pelaksanaannya.
kerangka kon
dengan konsep yang digun
sep ah suatu bagian yang terpenting dari perumusan suatu teori.
Konsep pada dasarnya berperan dalam penelitian Tesis ini adalah
k menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas.
sep a dapat diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang
28 Leonard J.Theberge, Law and Economic Development, Jurnal of International Law and
Defenisi operasional ini mempunyai peranan penting dalam
menghindark
men
istil
esis ini dipergunakan juga defenisi
ope
a.
ksanakan proses pengurusan pendirian
perusahaan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan
relevan mengenai penanaman modal.
Tra
lang mpengaruhi perdagangan
inter
daga
T
pros keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan
informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan.30
an perbedaan (diskriminasi). Pengertian antara penafsiran
dua (double) atau biasa juga disebut dengan istilah “dubius” dari suatu
ah yang dipergunakan.
Dalam proses penelitian T
rasional untuk memberikan pegangan bagi penulis, sebagai berikut :
Prinsip Transparansi
Keterbukaan dalam mela
nsparansi/transparency, istilah GATT, suatu prinsip bahwa
kah-langkah kebijakan nasional yang me
nasional harus benar-benar jelas dan terbuka untuk dinilai mitra
ngnya.29
ransparansi (transparency) yaitu keterbukaan dalam melaksanakan
es pengambilan
29
Eddie Rinaldy, Kamus Perdagangan Internasional, (Jakarta : Indonesia Legal Centre Publishing, 2006), hlm. 344.
30 Johny Sudharmono, Be G2C Good Governed Company, (Jakarta : Elex Media Komputindo,
25
Transparansi atau keterbukaan yaitu berusaha menyediakan informasi
perus haan,
pengertian tentang penanaman modal adalah
segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam
negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah
nega
P
Dala m modal untuk melakukan usaha di
wila h
dala
P
Asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah
Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing,
baik ya
berp
a termasuk informasi teknis (technical information). Tujuan
paransi atau keterbuakan adalah membuka ketertutupan informasi,
tidak menimbulkan ketidakpastian bagi investor. Ketidakpastian
t mengakibatkan investor sulit mengambil keputusannya untuk
nvestasi.31
naman Modal
Pasal 1 butir 1 memberikan
ra Republik Indonesia.32
asal 1 butir 2 memberikan pengertian tentang Penanaman Modal
m Negeri adalah kegiatan menana
ya Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal
m negeri dengan menggunakan modal dalam negeri.
asal 1 butir 3 memberikan pengertian tentang Penanaman Modal
ng menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang
atungan dengan penanam modal dalam negeri.
31
r Nasution (4), Prinsip Keterbukaan, Pengelolaan Perusahaan Yang Baik Dan m di Pasar Modal, (Februari 10, 2008) dapat diakses di http://www.Bismar
m
c. General Agreement on Trade in Services (GATS)
dari setiap negara meliberalisasikan perdagangan jasa.33
d. Domestic Regulations
Peratu ra lain
TS, untuk mengatur ketentuan-ketentuan
adm
diny
dapa
and
Requirement. 34
e. World Trade Organization (WTO)
Orga
khus B ngsa-Bangsa (PBB).
Salah satu kesepakatan yang dicetuskan dalam Putaran Urugua
aturan Prinsip-prinsip dan Ketentuan-ketentuan dalam Perdagangan
rnasional di Bidang Jasa, termasuk penerapan disiplin dan prosedur
k masing-masing sub sektor. GATS terdiri dari tiga kerangka dasar
: (i) Frame work agreement, berisikan peraturan dan disiplin umum,
Annexes, mengatur masing-masing sektor jasa, dan (iii) Schedule Of
itment atau SOC dari masing-masing negara, berisikan komitmen
ran perundang-undangan nasional yang berisikan anta
ketentuan-ketentuan umum GA
inistratif maupun prosedural terkait sektor-sektor jasa yang telah
atakan dalam Specific of Commitment. Domestic Regulations juga
t memuat ketentuan-ketentuan tentang Qualifications Requirements
Procedures, Tehnical Standard dan Licensing Procedure and
nisasi Perdagangan Dunia (OPD) memiliki status sebagai organ
27
G. Metode Penelitian
salahan yang diangkat dan untuk menjawab tujuan
penelitian i
diu
1.
adalah penelitian hukum normatif. Penelitian
huk m
(doectrinal research
sebagai law as it written in the book, maupun hukum sebagai law as it by the
judge through judicial process.
Un ntang Penanaman Modal Kaitannya
De n
yur
ken
arti
atau suatu klasifikasi tanpa secara langsung bertujuan untuk membangun dan
menguji hipotesa-hipotesa atau teori-teori. Dengan kata lain, penelitian ini
merupakan penelitian hukum
me
pen
Sesuai dengan perma
ni, maka dalam metode penelitian ini langkah-langkah yang dipergunakan
raikan sebagai berikut :
Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan
u normatif menurut Ronald Dworkin disebut juga penelitian doktrinal
), yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum
35
Penelitian yang dilakukan terhadap Penerapan Prinsip Transparansi Dalam
dang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Te
nga Domestic Regulations WTO dilakukan dengan melalui pendekatan
idis, yaitu bagaimana hukum didayagunakan sebagai instrumen mewujudkan
yamanan berinvestasi. Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif analitis,
nya membatasi kerangka studi kepada suatu pengumpulan data, suatu analisis
normatif, yakni mengumpulkan, menganalisis dan
nsistematiskan hukum yang berlaku berkaitan dengan asas, konsep dan
elitian lapangan sebagai penunjang.
Bismar Nasution (5), Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Hukum, (Medan : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2003), hlm. 1.
35
2. Sumber Data
Sumber bahan hukum pada penelitian ini didasarkan pada bahan-bahan
sum
dila
bah
kan upaya memperoleh
bahan-bahan
berwen
semua bahan-bahan yang diperlukan dapat diperoleh atau tersedia di
perpustakaan.
Adap
a. trian dan Perdagangan (Perindag) Propinsi Sumatera Utara
b. ) Propinsi Sumatera Utara
tudi pendahuluan.
Diperoleh informasi atau bahan bahwa potensi yang cukup besar untuk
berinvestasi dalam bidang usaha, antara lain di bidang industri (pabrikan),
perdagangan barang dan jasa, perhotelan, dan lain-lain.
ber berupa perpustakaan dan dokumen pemerintah. Penelitian lapangan juga
kukan untuk mendapatkan bahan-bahan guna melengkapi dan menunjang
an-bahan kepustakaan dan dokumen.
Penelitian lapangan yang dilaksanakan merupa
langsung berupa dokumentasi dari instansi-instansi pemerintah yang
ang dan terkait. Hal ini dilakukan oleh karena kemungkinan besar tidak
un yang menjadi informan adalah :
Staf Dinas Perindus
Staf Badan Investasi dan Promosi (BAINPROM
c. Staf Biro Pusat Statistik (BPS) Sumatera Utara
d. Pengurus Kantor Dagang dan Industri Daerah (Kadinda) Sumatera Utara
29
Sumber data kepustakaan dan dokumen diperoleh dari :
a.
eempat Pembukaan UUD 1945
ungan
b. , artikel, hasil-hasil
seminar atau pertemuan ilmiah lainnya dari kalangan pakar hukum
c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan
penulisan Tesis ini sepanjang surat kabar dan majalah tersebut memuat informasi
yang relevan dengan Penerapan Prinsip Transparansi Dalam Undang-Undang Bahan hukum primer, terdiri dari :
1) Norma atau kaedah dasar, yaitu Alinea K
2) Peraturan dasar, yaitu Pasal 27 dan Pasal 33 UUD 1945
3) Peraturan Perundang-undangan (prinsip transparansi) yang berhub
dengan penanaman modal dalam kaitannya dengan Domestic Regulations
World Trade Organization (WTO).
Bahan hukum sekunder, seperti : hasil-hasil penelitian
yang memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer
dan sekunder, serta bahan-bahan primer, sekunder dan tersier (penunjang) di
luar bidang hukum, misalnya yang berasal dari bidang budaya, sosiologi,
ekologi, lingkungan, filsafat dan lainnya yang dipergunakan untuk
melengkapi atau menunjang data penelitian.
Kamus, ensiklopedi, surat kabar dan majalah juga menjadi sumber bahan bagi
Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya Dengan Domestic
Regulations WTO.36
Soerjono Soekanto (1), Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, Cetakan Keempat, 1995), hlm. 88
3. Teknik Pengumpulan Data
ngumpulan data dalam penelitian ini
adalah
me
tert
4. Analisis Data
ukum, diolah dan dianalisis berdasarkan metode kualitatif
yaitu dengan melakukan : Pertama, menemukan makna atau konsep-konsep yang
terkandung dalam bahan hukum (konseptualisasi). Konseptualisasi ini dilakukan
denga
kali
ber
kat
dije
teo
menggunakan metode deduktif, untuk selanjutnya disajikan dalam bentuk uraian
kalimat.
Teknik yang dipergunakan untuk pe
dengan menggunakan studi dokumen yaitu dilakukan dengan
nginventarisir berbagai bahan hukum baik bahan hukum primer, sekunder dan
ier melalui penelusuran kepustakaan (library research).
Terhadap bahan h
n cara memberikan interpretasi terhadap bahan hukum berupa kata-kata dan
mat-kalimat ; Kedua, mengelompokkan konsep-konsep yang sejenis atau
kaitan (kategorisasi) ; Ketiga, menemukan hubungan di antara berbagai
egori ; Keempat, hubungan di antara berbagai kategori diuraikan dan
laskan. Penjelasan ini dilakukan dengan menggunakan perspektif pemikiran
BAB II
HUBUNGAN PRINSIP-PRINSIP HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL DENGAN PERATURAN
PENANAMAN MODAL
A. Prinsip-Prinsip Hukum Perdagangan Internasional dalam Kerangka WTO 1. Kesepakatan-Kesepakatan WTO
World Trade Organization (WTO) resmi berdiri pada tanggal
1 Januari 1995. Berdirinya WTO dilatar-belakangi oleh ketidakpuasan
Negara-negara penandatangan GATT terhadap status GATT yang tidak
bersifat permanen dan daya mengikatnya yang hanya bersifat kontraktual.
Pada Putaran Uruguay (1986–1994), negara-negara penandatangan GATT,
terutama negara-negara maju, lebih menghendaki adanya sebuah organisasi
perdagangan dunia yang permanen, memiliki daya mengikat secara hukum
(legally binding) terhadap anggota-anggotanya, serta memiliki lingkup
pengaturan perdagangan yang lebih luas. Kelemahan-kelemahan GATT
dipandang tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah perdagangan
internasional yang terus berkembang.37
Agreement on Establishing World Trade Organization disetujui
sebagai salah satu hasil akhir Putaran Uruguay. Pembentukan WTO
dilatarbelakangi tujuan-tujuan sebagai berikut :38
37
Lebih lanjut Taryana, Sunandar, Op.cit, hlm. 6-7 38
a. Membentuk sistem multilateral yang kuat yang mampu menangani berbagai masalah perdagangan di masa datang
b. Membentuk organisasi yang dapat menyediakan forum negosiasi dalam masa transisi dari sistem lama ke sistem yang baru. Juga menangani masalah-masalah baru seperti perdagangan jasa, perdagangan dan lingkungan
c. Meningkatkan status GATT menghadapi organisasi-organisasi internasional lain yang bertanggung jawab dalam hubungan ekonomi. Tujuannya adalah agar GATT menjadi setaraf dengan organisasi-organisasi Bretton Woods yakni Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (IBRD), untuk membantu kegiatan ekonomi internasional.
d. Menempatkan GATT sebagai organisasi sentral dan penting yang bertanggung jawab mengatur masalah-masalah perdagangan dan ekonomi di antara negara-negara pesertanya.
WTO memberikan kerangka kelembagaan perdagangan di antara
anggota-anggotanya dalam hal-hal yang berhubungan dengan
persetujuan-persetujuan dan instrumen-instrumen hukum terkait yang tercakup di dalam
persetujuan-persetujuan perdagangan multilateral yang mengikat semua
anggota, persetujuan-persetujuan perdagangan plurilateral yang berlaku bagi
anggota-anggota yang telah menerimanya, dan mengikat anggota-anggota
tersebut, tidak menimbulkan baik kewajiban-kewajiban dan hak-hak bagi
anggota yang tidak menerimanya.
Dalam memainkan peran strategisnya pada penataan system
perdagangan WTO, mempunyai beberapa fungsi, yaitu sebagai berikut :39
a. memperlancar pelaksanaan, administrasi dan operasi dan
persetujuan-33
b. menyediakan forum perundingan untuk anggota-anggotanya yang berhubungan dengan hubungan perdagangan multilateral mereka dalam bidang yang diatur di dalam persetujuan-persetujuan yang dilampirkan dalam persetujuan ini. OPD dapat juga menyediakan suatu forum bagi perundingan-perundingan lebih lanjut di antara anggota-anggotanya mengenai hubungan-hubungan perdagangan multilateral mereka, dan suatu kerangka kerja pelaksanaan hasil-hasil dari perundingan-perundingan tersebut, sebagaimana yang dapat diputuskan oleh Konferensi Tingkat Menteri.
c. mengatur kesepakatan mengenai tata tertib aturan dan prosedur penyelesaian sengketa (selanjutnya disebut “Kesepakatan Penyelesaian Sengketa” atau “KPS”) dalam Lampiran 2 pada persetujuan ini.
d. mengatur Mekanisme Pemantauan Kebijaksanaan Perdagangan (selanjutnya disebut “MPKP”) seperti yang terdapat pada Lampiran 3 persetujuan ini.
e. untuk mencapai keterkaitan yang lebih besar dalam pengambilan kebijaksanaan ekonomi global, WTO harus bekerjasama, sebagaimana mestinya, dengan Dana Moneter Internasional dan dengan Bank Internasional harus rekonstruksi dan pembangunan serta badan-badan afiliasinya.
WTO dan kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkannya tidak
ditujukan untuk menggantikan GATT, akan tetapi meneruskan dan
memperluas asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang telah dihasilkan dalam
kesepakatan-kesepakatan GATT terdahulu. GATT yang disempurnakan sejak
tahun 1947 adalah peraturan dasar dalam WTO. Oleh karena itu,
kesepakatan-kesepakatan WTO tetap dibangun diatas prinsip-prinsip perdagangan
Berdasarkan kesepakatan para anggota, bahwa ketentuan GATT 1947
masih tetap berlaku dan merupakan bagian dari GATT 1994, kecuali protokol
tentang Pemberlakuan Ketentuan GATT untuk sementara (Protocol of
Provisional Application). Selain “Article Agreement” GATT 1947 juga
menjadi bagian dari GATT 1994 berbagai perjanjian/kesepakatan yang
dihasilkan oleh Putaran Tokyo (1973 – 1979).
Kesepakatan-kesepakatan tersebut, adalah sebagai berikut :40
a. Kesepakatan Penafsiran Pasal II ayat 1 (b) GATT
Kesepakatan tentang Penafsiran Pasal II ayat 1 (b) GATT menyangkut lebih “bea pungutan lainnya” yang dikenakan selain tarif yang telah mengikat. Untuk memastikan transparansi hak dan kewajiban negara-negara anggota seperti tertuang dalam Pasal II alinea 1 (b), maka jenis dan besar “bea atau pungutan lainnya” yang dikenakan pada tarif yang diikat, harus dicatat di dalam Daftar Konsesi, tanpa merobah posisinya sebagai “bea pungutan lainnya”. Tanggal pencatatan semua tarif yang mengikat dilakukan pada tanggal 15 April 1994. Apabila suatu tarif sebelumnya sudah diberikan konsensi, maka besarnya “bea pungutan lainnya” yang dicatat dalam Daftar Konsesi, tidak boleh melebihi besarnya “bea atau pungutan lainnya” tersebut pada saat pertama kali digabungkan ke dalam daftar. Setiap anggota WTO dapat melakukan tuntutan terhadap keberadaan “bea atau pungutan lainnya” asalkan pada saat pengikatan tarif asli tidak ada “bea atau pungutan lainnya”.
b. Kesepakatan tentang Penafsiran Pasal VII GATT