• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prinsip-Prinsip Kepemerintahan Yang Baik…

Dalam dokumen pimp4DASARPEMERINTAHANYANGBAIK (Halaman 26-42)

BAB II PERKEMBANGAN INTERAKSI SOSIAL

B. Prinsip-Prinsip Kepemerintahan Yang Baik…

Telah dibahas sebelumnya bahwa konsepsi kepemerintahan pada dasarnya merupakan sistem interaksi sosial-politik antara pemerintah/negara dengan masyarakat modern dewasa ini yang memiliki karakteristik yang kompleks, dinamis, dan beraneka ragam. Dalam implementasi konsep kepemerintahan dengan demikian tidak dapat dipisahkan antara peranan pemerintah dan peranan masyarakat, meskipun tuntutan dari konsep kepemerintahan dewasa ini menghendaki peranan yang lebih dominan justru terletak di tangan masyarakat. Alasan yang melandasinya sebenarnya sederhana saja, yaitu bahwa permasalahan yang harus ditangani pemerintahan (governability) dari waktu ke waktu cenderung meningkat sejalan dengan meningkatkan kompleksitas, dinamika, dan keanekaragaman kepentingan masyarakat modern dewasa ini, yang secara umum belum dipertimbangkan dalam kerangka teori dan praktek penyelenggaraan kepemerintahan.

Sedangkan prinsip mendasar yang melandasi perbedaan antara konsepsi kepemerintahan (governance) dengan pola pemerintahan yang tradisional, adalah terletak pada adanya tuntutan yang demikian kuat agar peranan pemerintah dikurangi dan peranan masyarakat (termasuk dunia usaha dan LSM/Ornop) semakin ditingkatkan dan semakin terbuka aksesnya.

Mengapa dalam pola kepemerintahan dewasa ini peranan masyarakat (society) perlu mendapatkan perhatian yang lebih

besar? Jawabannya dapat terwakili oleh beberapa pernyataan yang menunjukkan bagaimana selama ini model pemerintahan tradisional telah cenderung mengabaikan aktualisasi keberadaan masyarakat sebagai subyek pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik. Masyarakat selama ini cenderung hanya menjadi obyek pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik, sehingga di berbagai negara terdapat fakta bahwa dengan pembangunan nasional yang dikendalikan sepenuhnya oleh pemerintah, justru berakhir dengan kesengsaraan, bukan kesejahteraan masyarakat. Beberapa kesimpulan dari hasil studi mengenai interaksi antara pemerintah dan masyarakat sebagaimana dikemukakan oleh Duclaud Williams menurut Kooiman (1993: 251) adalah sebagai berikut:

1. Bahwa keberadaan struktur kekuasaan, metode, dan instrumen pemerintahan tradisional dewasa ini telah gagal; 2. Berbagai bentuk dan ruang lingkup kegiatan interaksi

sosial-politik yang baru telah muncul, tetapi format kelembagaan dan pola tindakan mediasi berbagai kepentingan yang berbeda pada kenyataannya masih belum tersedia;

3. Terdapatnya berbagai isu baru yang sangat strategis dan menjadi pusat perhatian seluruh aktor yang terlibat dalam interaksi sosial politik, baik dari lingkungan pemerintah maupun masyarakat; dan

4. Diperlukan adanya konvergensi atau kesearahan tujuan dan kepentingan untuk menghasilkan dampak yang bersifat sinergis atau situasi “menang-menang” (Win-win Situation).

Beberapa kondisi obyektif tersebut telah mendorong munculnya format kepemerintahan sosial-politik (Social-political Governance) baru dalam masyarakat modern dewasa ini. Selain kondisi obyektif yang diperlukan dalam kerangka pikir kepemerintahan yang ternyata tidak muncul dalam pola pemerintahan tradisional, beberapa kondisi subyektif yang harus dapat dimunculkan dalam diri setiap aktor yang terlibat dalam rangka pengembangan konsep kepemerintahan, adalah adanya: 1. Derajat tertentu dalam sikap saling mempercayai atau saling

memahami (mutual trust atau mutual understanding); 2. Kesiapan untuk memikul tanggungjawab (bersama);

3. Derajat tertentu keterlibatan politik dan dukungan sosial masyarakat.

Beberapa kondisi obyektif maupun kondisi subyektif tersebut kiranya dapat dipandang sebagai prinsip yang melandasi format kepemerintahan modern yang diperlukan dewasa ini, yang menekankan kepada pola interaksi antara pemerintah dan masyarakat yang semakin terpadu, kohesif, dan berorientasi kepada kepentingan masyarakat, bukan kepada kepentingan pemerintah semata.

Pola kepemerintahan kontemporer yang ditandai dengan proses pengelolaan bersama (co-arrangement) antara pemerintah dengan masyarakat (termasuk swasta dan LSM), memiliki karakteristik yang relatif berbeda dibandingkan dengan pola kepemerintahan tradisional atau konvensional yang memiliki karakter utama “lakukan sendiri” oleh pemerintah (“Do it

alone” Government). Perbandingan diantara keduanya dapat digambarkan sebagaimana terlihat dalam Tabel 1.

Dalam masyarakat modern yang dinamis dan kompleks, serta sangat beraneka ragam dewasa ini, pemerintah (dan masyarakat umum) memiliki berbagai tugas baru sebagai berikut:

1. Pemberdayaan interaksi sosial politik, hal ini mengandung arti penarikan diri dalam berbagai kesempatan, namun seringnya (dan pada saat yang sama) hal ini berarti mengambil tanggung jawab untuk mengorganisasikan interaksi sosial politik yang memberikan dorongan bagi pertumbuhan sistem interaksi sosial-politik untuk mengatur dirinya sendiri.

2. Pembentukan dan pemeliharaan kelangsungan berbagai jenis dan bentuk “co-arrangements” dimana permasalahan, tanggung jawab dan tindakan kolektif ditanggung bersama (shared).

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dapat disusun sebuah kerangka acuan berpikir bagi para pejabat pemerintahan Daerah maupun pemerintahan Pusat dalam kerangka aktualisasi pelaksanaan gagasan konsepsional kepemerintahan sebagai berikut:

1. Bahwa orientasi interaktif dan eksternal bagi organisasi pemerintahan merupakan salah satu hal yang sangat penting dan strategis;

2. Administrasi publik harus mampu memberikan perhatian terhadap beragam sudut pandang administratif, politik, ilmiah, dan sosial; dan harus pula mempertimbangkan

berbagai pengertian yang berlaku mengenai permasalahan tindakan kolektif dan upaya pemecahannya, dari dalam diri administrasi publik tersebut;

3. Pemerintah harus mampu mencoba mendelegasikan tanggung jawab makro terhadap berbagai unsur pelaku sosial, dan pada saat yang bersamaan mendorong dan memberdayakan mereka untuk mengambil dan menerima tanggung jawab tersebut;

4. Peranan pemerintah pada akhirnya perlu dibekali dengan kemampuan diri dan kompetensi untuk menjembatani konflik diantara berbagai kelompok kepentingan dan berbagai hambatan lainnya dalam kerangka sosial-politik.

Tabel 1:

Perbandingan Pola Kepemerintahan Tradisional dan Kontemporer Dalam Hubungannya dengan Kondisi Kompleksitas, Dinamika, dan Keanekaragaman

Interaksi Sosial-Politik Masyarakat

Karakteristik Interaksi Sosial-Politik Pemerintahan Tradisional “Do it Alone” Kepemerintahan Modern “Co-arrangement” Kompleksita s Hubungan sebab-akibat Ketergantungan yang bersifat unilateral

Terbagi atau dibagi-bagi kedalam berbagai unit organisasi atau disiplin keilmuan

Menyeluruh dan bagian-bagiannya

Saling ketergantungan (interdependensi) yang bersifat multididiplin

Pengelolaan melalui jaringan komunikasi

Dinamika Linieritas dan

predik-tabilitas Kontinuitas dan reversalitas (reversability) Menggunakan mekanisme “ feed-forward”

Polanya bersifat non-linier dan Chaotic

Diskontinuitas dan Ireversalitas (irreversability)

Memanfaatkan model pemecahan permasalahan, melalui penggunaan mekanisme “Feed-While”/ Feed-back

Keanekaraga man

Pendekatan/analisis didasarkan pada pola perhitungan rata-rata

Perubahan pengaturan dari orientasi hukum dan perundang-undangan kepada berbagai pengecualian.

Analisis bersifat situasional dan diskrit

Dari pengecualian kepada aturan perundang-undangan

Sumber: Jan Kooiman (eds) , 1993, Modern Governance: New

C. Latihan

1. Mengapa paradigma penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan berubah dari sarwa negara kepada paradigma kepemerintahan (governance) ?

2. Bagaimana konsepsi kepemerintahan (governance) dapat dirumuskan ?

3. Apa implikasi dari rumusan konsep kepemerintahan tersebut dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Indonesia maupun di berbagai negara lainnya ?

D. Rangkuman

Uraian dalam Bab ini dapat dirangkumkan dalam beberapa butir sebagai berikut:

1. Sejalan dengan perkembangan sosial-ekonomi-politik masyarakat di berbagai negara, khususnya di negara-negara yang sedang berkembang, peranan negara dan pemerintah yang sangat dominan dalam pembangunan nasional telah cenderung bergeser ke arah peranan masyarakat dan swasta yang lebih besar. Format interaksi antara pemerintah dengan masyarakat telah bergeser dari paradigma klasik sarwa negara (government) telah bergeser kearah paradigma kepemerintahan yang berorientasi pada peranan masyarakat madani dalam format kepemerintahan (governance).

2. Penyelenggaraan pemerintahan (governing) dalam konteks tersebut di atas dapat diartikan sebagai proses interaksi antara

berbagai aktor dalam pemerintahan dengan kelompok sasaran atau berbagai individu masyarakat.

3. “Governance”, tidak hanya berarti kepemerintahan sebagai suatu kegiatan, tetapi juga mengandung arti pengurusan, pengelolaan, pengarahan, pembinaan, penyelenggaraan dan bisa juga diartikan pemerintahan. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila terdapat istilah public governance, private governance, corporate governance dan banking governance.

4. Konsepsi kepemerintahan dapat didefinisikan sebagai pelaksanaan kewenangan/ kekuasaaan dibidang ekonomi, politik dan administratif untuk mengelola berbagai urusan negara pada setiap tingkatannya dan merupakan instrumen kebijakan negara untuk mendorong terciptanya kondisi kesejahteraan, integritas, dan kohesivitas sosial dalam masyarakat.

5. Konsepsi governance mencakup berbagai metode yang digunakan untuk mendistribusikan kekuasaan/kewenangan dan mengelola sumber daya publik, dan berbagai organisasi yang membentuk pemerintahan serta melaksanakan kebijakan-kebijakannya. Konsep ini juga meliputi mekanisme, proses, dan kelembagaan yang digunakan oleh masyarakat, baik individu maupun kelompok, untuk mengartikulasikan kepentingan-kepentingan mereka, memenuhi hak-hak hukum, memenui tanggung jawab dan kewajiban sebagai warga negara, dan menyelesaikan perbedaan-perbedaan diantara sesama.

6. Dalam konsepsi governance, para pelaku dalam interaksi kepemerintahan terdiri dari unsur sektor publik (pemerintah) yang berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif, sektor swasta yang menciptakan pekerjaan dan pendapatan bagi masyarakat, dan masyarakat madani (civil society) yang memfasilitasi interaksi sosial dan politik, menggerakkan kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk berperan serta dalam kegiatan ekonomi, sosial dan politik.

7. Paradigma kepemerintahan (governance) adalah paradigma yang menekankan bagaimana pemerintah berinteraksi secara kondusif dalam kesetaraan dan keseimbangan peranan dengan sektor swasta dan masyarakat madani dalam bidang ekonomi, sosial, dan politik untuk berkolaborasi memenuhi kebutuhan dan kepentingan-kepentingan masyarakat itu sendiri.

49

BAB IV

KEPEMERINTAHAN YANG BAIK

(GOOD GOVERNANCE)

Arti kepemerintahan yang baik sebagai terjemahan dari good governance dalam modul ini lebih ditekankan pada peran pemerintah dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dan pembangunan, walaupun mempunyai obyek menyentuh berbagai sektor. Hal ini sejalan dengan pendapat Pinto (1994) bahwa istilah “governance” mengandung arti “Praktik penyelenggaraan kekuasaan dan kewenangan oleh pemerintah dalam pengelolaan urusan pemerintahan secara umum, dan pembangunan ekonomi pada khususnya”.

A. Pengertian Kepemerintahan Yang Baik

Dalam bab terdahulu telah dijelaskan dijelaskan mengenai pengertian governance yang dalam modul ini dialihbahasakan menjadi kepemerintahan, sehingga para peserta Diklat dapat memahami makna yang terkandung di dalamnya untuk membahas lebih lanjut konsep kepemerintahan yang baik dalam konteks modul ini.

Setelah membaca Bab IV, peserta Diklat diharapkan mampu menjelaskan pengertian Kepemerintahan yang Baik beserta

Arti good dalam istilah good governance mengandung dua pengertian: pertama, nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak rakyat, dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan (nasional) kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial. Kedua, aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan pengertian ini kepemerintahan yang baik berorientasi pada dua hal yaitu:

1. Orientasi ideal negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional; dan

2. Pemerintahan yang berfungsi secara ideal, yaitu secara efektif dan efisien melakukan upaya pencapaian tujuan nasional.

Orientasi pertama mengacu pada demokratisasi dalam kehidupan bernegara dengan elemen-elemen konstituennya seperti: legitimacy atau legitimasi, apakah pemerintah dipilih dan mendapat kepercayaan dari rakyatnya; accountability atau akuntabilitas, yaitu seberapa jauh perlindungan hak-hak asasi manusia terjamin, adanya otonomi dan devolusi kekuasaan kepada daerah, serta adanya jaminan berjalannya mekanisme konrol oleh masyarakat. Sedangkan orientasi kedua, tergantung pada sejauhmana pemerintah mempunyai kompetensi, dan sejauhmana struktur dan mekanisme politik serta administratif berfungsi secara efektif dan efisien.

OECD dan World Bank mensinonimkan good governance dengan penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggungjawab yang sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi investasi yang langka, dan penghindaran korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political frameworks bagi tumbuhnya aktivitas kewiraswastaan.

Dokumen lain yang diterbitkan oleh UNDP dan Pemerintah Vietnam memberikan definisi good governance sebagai proses yang meningkatkan interaksi konstruktif diantara domain-domainnya dengan tujuan untuk menciptakan dan memelihara kebebasan, keamanan dan kesempatan bagi adanya aktivitas swasta yang produktif. Oleh karena itu good governance juga adalah mengutamakan partisipasi, transparansi, akuntabilitas, dan efektivitas serta memperlakukan semua sama. Adapun UNDP sendiri memberikan definisi good governance sebagai “hubungan yang sinergis dan konstruktif diantara negara, sektor swasta dan masyarakat (society)”.

Berdasarkan definisi itu, kemudian UNDP mengajukan karakteristik yang dapat dipandang sebagai prinsip-prinsip good governance, seperti: partisipasi, supremasi hukum, transparansi, cepat tanggap, membangun konsensus, kesetaraan, efektif dan efisien, bertanggung jawab dan visi yang strategik. Kesembilan karakteristik tersebut saling memperkuat dan tidak dapat berdiri sendiri.

Dalam kaitan dengan karakteristik dari good governance tersebut, dalam Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun 2000, dirumuskan pengertian Kepemerintahan Yang Baik (good governance) yaitu: “Kepemerintahan yang mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip profesionalitas, akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi, efisiensi, efektivitas, supremasi hukum dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat.”

Sedangkan dalam modul sosialisasi AKIP (LAN & BPKP, 2000) dikemukakan bahwa “proses penyelenggaraan kekuasaan negara dalam melaksanakan penyediaan public goods and services di sebut governance (pemerintahan atau kepemerintahan), sedang praktik terbaiknya disebut good governance (kepemerintahan yang baik).” Selanjutnya dikemukakan pula bahwa good governance yang efektif menuntut adanya “alignment” (koordinasi) yang baik dan integritas, profesionalisme serta etos kerja dan moral yang tinggi. Agar kepemerintahan yang baik menjadi realita dan berhasil diwujudkan, diperlukan komitmen dari semua pihak, pemerintah dan masyarakat.

Atas dasar uraian di atas, dapat dikatakan bahwa wujud kepemerintahan yang baik (good governance) adalah penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggungjawab, serta efisien dan efektif, dengan menjaga menyinergikan interaksi yang konstruktif diantara domain-domain negara, sektor swasta dan masyarakat (society). Oleh karena good governance bersenyawa dengan sistem administrasi

negara, maka upaya mewujudkan kepemerintahan yang baik merupakan upaya melakukan penyempurnaan sistem administrasi negara yang berlaku pada suatu negara secara menyeluruh. Dalam kaitan itu Bagir Manan (1999) menyatakan bahwa : “ sangat wajar apabila tuntutan penyelenggaran pemerintahan yang baik terutama di tujukan pada pembaharuan administrasi negara dan pembaharuan penegakan hukum”. Hal ini di kemukakan karena dalam hubungan dengan pelayanan dan perlindungan rakyat ada dua cabang pemerintahan yang berhubungan langsung dengan rakyat yaitu administrasi negara dan penegak hukum.

Jika dilihat dari ketiga domain dalam governance, tampaknya domain state menjadi domain yang paling memegang peranan penting dalam mewujudkan good governance karena fungsi pengaturan yang memfasilitasi domain sektor swasta dan masyarakat (society), serta fungsi administratif penyelenggaraan pemerintahan melekat pada domain ini. Dalam makalah “Reformasi Birokrasi ke Arah Good Governance”, Bintoro Tjokroamidjojo menyatakan bahwa “ good governance lebih dapat berjalan dalam suatu sistem politik yang demokratis, dalam masyarakat yang berkesadaran hukum, tegaknya hukum untuk semua secara sama dan dalam ekonomi dimana berjalan mekanisme pasar secara sehat”. Sedangkan J.B. Kristiadi berpendapat, “ good governance dapat dicapai melalui pengaturan yang tepat antara fungsi pasar dengan fungsi organisasi, termasuk organisasi publik sehingga dicapai

transaksi-transaksi dengan biaya paling rendah”. Dalam hubungan ini Mustopadidjaja berpandangan bahwa:

“Kredibilitas manajemen pemerintah pada negara-negara demokratis konstitusional dimasa mendatang akan lebih banyak ditentukan oleh kompetensinya dalam pengelolaan kebijakan publik. Peran pemerintah melalui kebijakan-kebijakan publiknya sangat penting dalam memfasilitasi terjadinya mekanisme pasar yang benar sehingga penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di dalam pasar dapat dihindari. Oleh karena itu, upaya-upaya perwujudan ke arah good governance dapat dimulai dengan membangun landasan demokratisasi penyelenggaraan negara dan bersamaan dengan itu dilakukan upaya pembenahan terhadap penyelenggaraan pemerintahan”.

Adapun pembangunan landasan demokratisasi penyelenggaraan negara menurut JICA dapat dilihat berdasarkan elemen-elemen berikut:

1. Legitimacy. Apakah demokrasi dijunjung tinggi? Apakah

pemerintahan dipilih secara demokratis dan mendapat kepercayaan dari masyarakat? Apakah hukum dengan semestinya mengendalikan kekuasaan dan kedaulatan? Apakah prosedur untuk mekanisme penyampaian keberatan dan perbedaan pendapat dibangun dan berfungsi?

2. Accountability. Apakah penyalahgunaan wewenang tidak

mungkin dilakukan? Apakah ada keterbukaan informasi

dalam penyelengaraan wewenang? Apakah tugas-tugas dan wewenang para pejabat diuraikan secara jelas?

3. Securing human rights. Apakah hak asasi manusia

dihormati? Apakah hak-hak minoritas dihormati? Apakah upaya-upaya dilakukan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat?

4. Local autonomy and devolution. Apakah otonomi daerah

dan pendelegasian wewenang dihormati secara institusional ?

5. Civilian control over excessive arms management and

disarmament. Apakah pengeluaran militer dikendalikan pada proposional tertentu dari anggaran?

Dari sisi pemerintah (government), good governance dapat dilihat melalui aspek-aspek :

1. Hukum/kebijakan. Aspek ini ditujukan pada perlindungan kebebasan sosial, politik dan ekonomi.

2. Administrative competence and transparency. Kemampuan membuat perencanaan dan melakukan implementasi secara efisien, kemampuan melakukan penyederhanaan organisasi, penciptaan disiplin dan model administratif keterbukaan informasi.

3. Desentralisasi. Desentralisasi regional dan dekonsentrasi didalam departemen.

4. Penciptaan pasar yang kompetitif. Penyempurnaan mekanisme pasar peningkatan peran pengusaha kecil dan segmen lain dalam sektor swasta, deregulasi, dan

kemampuan pemerintah melakukan kontrol terhadap makro ekonomi.

Senada dengan JICA, NFSD juga merumuskan kriteria-kriteria good governance berdasarkan dimensi-dimensi di atas, yaitu:

1. Legitimasi dari pemerintahan (menyangkut tingkat/derajat

demokratisasi);

2. Akuntabilitas dari elemen-elemen politik dan pejabat dalam

pemerintahan (menyangkut pula kebebasan media, transparansi dalam pembuatan/ pengambilan keputusan, mekanisme akuntabilitas);

3. Kompetensi pemerintah dalam memformulasikan kebijakan dan memberikan pelayanan;

4. Penghormatan terhadap hak azasi manusia dan hukum yang berlaku (hak-hak individu dan kelompok, keamanan, kerangka hukum untuk aktivitas sosial dan ekonomi, partisipasi).

Sejalan dengan pemikiran di atas, dalam menguraikan pengertian “good governance” (penyelenggaraan pemerintahan yang baik), Bagir Manan (1999) selanjutnya mengemukakan bahwa “berbagai ungkapan teoritik sering dilekatkan pada bentuk dan isi good governance seperti, responsible, accountable, controlable, transparancy, limitable dan lain-lain”. Bagi rakyat banyak penyelenggaraan pemerintahan yang baik menurut beliau adalah pemerintahan yang memberikan berbagai kemudahan, kepastian dan bersih dalam menyediakan

pelayanan dan perlindungan dari berbagai tindakan sewenang-wenang, baik atas diri, hak maupun atas harta bendanya.

B. Prinsip-Prinsip Kepemerintahan Yang Baik

Dari uraian terdahulu mengenai pembahasan konsep “good governance” yang dalam modul ini diterjemahkan sebagai “kepemerintahan yang baik” telah dikemukakan berbagai karakteristik atau ciri-ciri dari kepemerintahan yang baik. Ciri-ciri tersebut bila ditelaah sebenarnya merupakan suatu ketentuan yang harus diikuti untuk mewujudkan kepemerintahan yang baik. Bila halnya demikian, maka ciri-ciri ataupun karakteristik tersebut dapat diidentikan dengan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik, sebagai patokan yang memberikan pedoman dalam mewujudkan suatu kepemerintahan yang baik. Artinya bila prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik itu diterapkan secara konsekuen dan konsisten maka akan menjadi karakteristiknya.

Ciri-ciri kepemerintahan yang baik sebagaimana dikemukakan terdahulu, dalam Peraturan Pemerintah No.101 Tahun 2000 disebut sebagai prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik, yang terdiri dari 1) profesionalitas, 2) akuntabilitas, 3) transparansi, 4) pelayanan prima, 5) demokrasi,

6) efisiensi, 7) efektifitas,

8) supremasi hukum dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat.

Dalam pada itu karakteristik kepemerintahan yang baik sebagai suatu prinsip dikemukakan dalam Rencana Strategis LAN 2005-2009, yang menyebutkan perlunya pendekatan baru dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan yang terarah pada terwujudnya kepemerintahan yang baik (good governance) yakni: ” … proses pengelolaan pemerintahan yang demokratis, profesional, menjunjung tinggi supremasi hukum dan HAM, desentralistik, partisipatif, transparan, berkeadilan, bersih dan akuntabel; selain berdayaguna, berhasil guna dan berorientasi pada peningkatan daya saing bangsa”.

Gambir Bhatta (1996:7) mengungkapkan bahwa “unsur-unsur utama governance” (bukan prinsip), yaitu: akuntabilitas, (accountability), transparansi (transparancy), keterbukaan (opennes), dan aturan hukum (rule of law) ditambah dengan kompetensi manajemen (management competence) dan hak-hak azasi manusia (human right).

Selanjutnya dikemukakan adanya empat unsur utama yang dapat memberikan gambaran suatu administrasi publik yang bercirikan kepemerintahan yang baik sebagai berikut :

1. Akuntabilitas. Mengandung arti adanya kewajiban bagi

aparatur pemerintah untuk bertindak selaku penanggung

jawab dan penanggung gugat atas segala tindakan dan kebijakan yang ditetapkannya. Unsur ini merupakan inti

dari kepemerintahan yang baik (good governance).

2. Transparansi. Kepemerintahan yang baik akan bersifat

transparan terhadap rakyatnya, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Rakyat secara pribadi dapat mengetahui secara jelas dan tanpa ada yang ditutupi-tutupi dalam proses perumusan kebijakan publik dan tindakan pelaksanaannya (implementasinya). Dengan kata lain, segala tindakan dan kebijaksanaan pemerintah baik di pusat maupun di daerah, harus selalu dilaksanakan secara terbuka dan diketahui umum.

3. Keterbukaan. Prinsip ini menghendaki terbukanya

kesempatan bagi rakyat untuk mengajukan tanggapan dan kritik terhadap pemerintah yang dinilainya tidak transparan. Kepemerintahan yang baik, yang bersifat transparan dan terbuka akan memberikan informasi/data yang memadai bagi masyarakat sebagai bahan untuk melakukan penilaian atas jalannya pemerintahan. Dalam praktek, dewasa ini masih terlihat kenyataan misalnya dalam prosedur tender kompetitif suatu proyek pembangunan hingga penetapan keputusan pemenangnya, masih sering bersifat tertutup. Rakyat atau bahkan para pelaku tender dengan pemerintah sering tidak memperoleh kejelasan informasi tentang hasil atau kriteria penetapan pemenang tender proyek yang bersangkutan.

4. Aturan Hukum (Rule of Law). Prinsip ini mengandung arti

berupa jaminan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat terhadap setiap kebijakan publik yang ditempuh. Oleh karena itu, setiap kebijakan dan peraturan perundang-undangan harus selalu dirumuskan, ditetapkan dan dilaksanakan berdasarkan prosedur baku yang sudah melembaga dan diketahui oleh masyarakat umum, serta memiliki kesempatan untuk mengevaluasinya. Masyarakat membutuhkan dan harus dapat diyakinkan tentang tersedianya suatu proses pemecahan masalah perbedaan pendapat (conflict resolution), dan terdapat prosedur umum untuk membatalkan sesuatu peraturan atau perundangan tertentu. Hal ini penting untuk dikemukakan, mengingat bahwa kenyataannya sektor swasta dewasa ini terlibat dalam perekonomian nasional maupun internasional dan karenanya, terdapat kebutuhan untuk memiliki kejelasan tentang kerangka hukum yang mampu melindungi hak-hak kepemilikan seseorang (property rights) dan yang mampu menghormati nilai-nilai perjanjian dalam suatu kontrak

Dalam dokumen pimp4DASARPEMERINTAHANYANGBAIK (Halaman 26-42)

Dokumen terkait