• Tidak ada hasil yang ditemukan

pimp4DASARPEMERINTAHANYANGBAIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "pimp4DASARPEMERINTAHANYANGBAIK"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

MODUL PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

KEPEMIMPINAN TINGKAT IV

(2)

Hak Cipta Pada : Lembaga Administrasi Negara Edisi Tahun 2008

Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia Jl. Veteran No. 10 Jakarta 10110

Telp. (62 21) 3868201, Fax. (62 21) 3800188

Dasar - Dasar Kepemerintahan Yang Baik

Jakarta – LAN – 2008 91 hlm: 15 x 21 cm

ISBN: 979 – 8619 – 43 – 9

LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA REPUBLIK INDONESIA

SAMBUTAN

Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian menegaskan bahwa dalam rangka usaha mencapai tujuan nasional, diperlukan Pegawai Negeri Sipil yang berkemampuan melaksanakan tugas secara profesional. Untuk mewujudkan profesionalisme PNS ini, mutlak diperlukan peningkatan kompetensi, khususnya kompetensi kepemimpinan bagi para pejabat dan calon pejabat Struktural Eselon IV baik di lingkungan pemerintah pusat maupun daerah. Sebagai pejabat struktural yang berada pada posisi paling depan atau ujung tombak, pejabat struktural eselon IV memainkan peran yang sangat penting karena bertanggung jawab dalam mensukseskan pelaksanaan kegiatan-kegiatan secara langsung, sehingga buah karyanya dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat.

(3)

standarisasi meliputi keseluruhan aspek penyelenggaraan Diklat, mulai dari aspek kurikulum yang meliputi rumusan kompetensi, mata Diklat dan strukturnya, metode dan skenario pembelajaran sampai pada pengadministrasian penyelenggaranya. Dengan proses standarisasi ini, maka kualitas penyelenggaraan dan alumni dapat lebih terjamin.

Salah satu unsur penyelenggaraan Diklatpim Tingkat IV yang mengalami proses standarisasi adalah modul untuk para peserta (participants’ book). Disadari sejak modul-modul tersebut diterbitkan, lingkungan strategis khususnya kebijakan-kebijakan nasional pemerintah juga terus berkembang secara dinamis. Di samping itu, konsep dan teori yang mendasari substansi modul juga mengalami perkembangan. Kedua hal inilah yang menuntut diperlukannya penyempurnaan secara menyeluruh terhadap modul-modul Diklatpim Tingkat IV ini.

Oleh karena itu, saya menyambut baik penerbitan modul-modul yang telah mengalami penyempurnaan ini, dan mengharapkan agar peserta Diklatpim Tingkat IV dapat memanfaatkannya secara optimal, bahkan dapat menggali kedalaman substansinya di antara sesama peserta dan para Widyaiswara dalam berbagai kegiatan pembelajaran selama Diklat berlangsung. Semoga modul hasil perbaikan ini dapat dipergunakan sebaik-baiknya.

Kepada Drs. Idup Suhadi, M.Si dan Drs. Desi Fernanda, M.Soc, Sc selaku penulis serta seluruh anggota Tim yang telah berpartisipasi, kami ucapkan terima kasih atas kesungguhan dan dedikasinya.

Jakarta, Juli 2008

KEPALA

LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA REPUBLIK INDONESIA

SUNARNO

KATA PENGANTAR

Sejalan dengan upaya mewujudkan Pegawai Negeri Sipil yang profesional melalui jalur pendidikan dan pelatihan (Diklat), pembinaan Diklat khususnya Diklat Kepemimpinan (Diklatpim) Tingkat IV ke arah Diklat berbasis kompetensi, terus dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 Tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil. Salah satu upaya pembinaan yang telah ditempuh adalah melalui penerbitan modul Diklat.

Kehadiran modul Diklatpim Tingkat IV ini memiliki nilai strategis karena menjadi acuan dalam proses pembelajaran, sehingga kebijakan pembinaan Diklat yang berupa standarisasi penyelenggaraan Diklat dapat diwujudkan. Oleh karena itu, modul ini dapat membantu widyaiswara atau fasilitator Diklat dalam mendisain pengajaran yang akan disampaikan kepada peserta Diklat; membantu pengelola dan penyelenggara Diklat dalam penyelenggaraan Diklat; dan membantu peserta Diklat dalam mengikuti proses pembelajaran. Untuk maksud inilah maka dilakukan penyempurnaan terhadap keseluruhan modul Diklat Kepemimpinan Tingkat IV yang meliputi substansi dan format.

(4)

peserta Diklat juga dibutuhkan. Kongkritnya, widyaiswara dapat melakukan penyesuaian dan pengembangan terhadap isi modul, sedangkan peserta Diklat dapat memperluas bacaan yang relevan dengan modul ini, sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung dinamis, interaktif dan aktual.

Selamat memanfaatkan modul Diklat Kepemimpinan Tingkat IV ini. Semoga melalui modul ini, kompetensi kepemimpinan bagi peserta Diklat Kepemimpinan Tingkat IV dapat tercapai.

Jakarta, Juli 2008

DEPUTI BIDANG PEMBINAAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

APARATUR

NOORSYAMSA DJUMARA

DAFTAR ISI

SAMBUTAN………...………. iii

KATA PENGANTAR……….. v

DAFTAR ISI……… vii

BAB I PENDAHULUAN……….. 1

A. Latar Belakang………. 1

B. Deskripsi Singkat………. 3

C. Hasil Belajar……….… 4

D. Indikator Hasil Belajar……….… 5

E. Materi Pokok……… 5

F. Manfaat……… 6

BAB II PERKEMBANGAN INTERAKSI SOSIAL POLITIK ANTARA PEMERINTAH DENGAN MASYARAKAT... 7

A. Dinamika Sistem Sosial Politik…….……….. B. Kompleksitas Sistem Sosial Politik…………. C. Keanekaragaman Sistem Sosial Politiik…….. D. Implikasi Bagi Kepemerintahan……….. E. Latihan………. F. Rangkuman………..

13 16 19 21 23 23

BAB III PERUBAHAN PARADIGMA : DARI GOVERNMENT MENJADI

(5)

A. Konsepsi Kepemerintahan (Governance)... B. Prinsip-Prinsip Kepemerintahan……….. C. Latihan………. D. Rangkuman………..

27 40 46 46

BAB IV KEPEMERINTAHAN YANG BAIK (GOOD GOVERNANCE)………

49

A. Pengertian Kepemerintahan Yang Baik……... B. Prinsip-Prinsip Kepemerintahan Yang Baik… C. Latihan………. D. Rangkuman………..

49 57 65 66

BAB V ANALISIS KASUS KEPEMERINTAHAN YANG BAIK………..

68

A. Kasus Pertama………. B. Kasus Kedua……… C. Kasus Ketiga………

69 73 75

BAB VI PENUTUP……….. 79 A. Simpulan……….. 79 B. Tindak Lanjut……….. 80

DAFTAR PUSTAKA………..

DAFTAR DOKUMEN……… 81

(6)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Era reformasi yang dewasa ini sedang dijalani oleh bangsa dan negara Republik Indonesia pasca pemerintahan Orde Baru, telah memberikan peluang bagi proses transformasi (perubahan)

struktural di segala bidang. Transformasi struktural tersebut ditandai dengan proses demokratisasi yang semakin tumbuh dan berkembang, pemberdayaan dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam berbagai bidang, penegakkan supremasi hukum dan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme di lingkungan pemerintahan, penghormatan hak-hak asasi manusia

dan masih banyak lagi dinamika perubahan interaksi sosial, politik dan ekonomi antara pemerintah dan masyarakat.

Proses perubahan yang terjadi dewasa ini di Indonesia, tanpa disadari memiliki kesearahan dengan kecenderungan

perkembangan paradigma pembangunan dan pemerintahan dalam skala global. Berbagai negara di hampir seluruh pelosok dunia, maupun lembaga-lembaga internasional yang bergerak dalam pemberian bantuan dan asistensi pembangunan, secara sinergis dalam dasawarsa terakhir ini sedang bergiat melakukan

(7)

Trend global perubahan paradigma tersebut dalam banyak hal didorong oleh semangat belajar dari pengalaman berbagai

kegagalan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, yang dalam beberapa dekade yang lalu telah cenderung berdampak negatif bagi masyarakat maupun keberlanjutan lingkungan hidupnya. Pengalaman menunjukkan bahwa meskipun di satu sisi sebagian masyarakat mengalami peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi, tetapi di sisi yang

lain sebagian masyarakat bahkan cenderung mengalami kemiskinan dan ketertinggalan yang semakin memburuk.

Sebagian masyarakat di satu sisi memiliki akses dan kesempatan berperan aktif dalam berbagai kegiatan sosial, ekonomi, dan

politik. Di sisi yang lain sebagian masyarakat justru mengalami kerawanan pangan bahkan kelaparan, menjadi korban penyakit epidemik yang mematikan, mengalami kemiskinan karena tidak memiliki aset ekonomi, dan tidak pula memiliki akses terhadap sumber-sumber mata pencaharian dan kesempatan kerja karena

tidak memiliki latar belakang pendidikan dan ketrampilan yang memadai, bahkan menjadi korban eksploitasi dan politisasi rezim pemerintahan yang berkuasa, maupun kelompok masyarakat lainnya yang justru memperoleh berbagai kemudahan dan fasilitas dari pemerintah.

Kondisi tersebut menunjukkan adanya kesenjangan sosial, ekonomi, politik yang cenderung berkembang semakin lebar, baik antar kelompok masyarakat, maupun antar wilayah daerah, bahkan antar negara di penghujung abad ke-20 yang baru lalu.

Kini, kesadaran baru telah muncul dan berkembang di berbagai negara yang mengoreksi peranan pemerintah yang selama ini

sentralistik bahkan otoriter, korup, dan kolusif, ke arah pemerintahan dan penyelenggaraan pembangunan yang berorientasi pada misi pemberdayaan peran serta masyarakat secara aktif dalam berbagai upaya peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi, serta demokratisasi politik yang dilandasi oleh penghormatan dan perlindungan atas hak-hak asasi manusia.

Pemerintah di berbagai negara dewasa ini tengah menjalani proses perubahan yang relatif mendasar untuk mewujudkan karakter pemerintahan yang demokratis, transparan, akuntabel, bersih dan bebas korupsi, berorientasi kepada pasar dan peran

serta aktif masyarakat dalam berbagai bidang. Singkatnya dewasa ini sedang terjadi perubahan dari pola kepemerintahan yang buruk (Bad Governance) ke arah terwujudnya kepemerintahan yang baik (Good Governance).

B. Deskripsi Singkat

Dalam modul ini dijelaskan tentang pengertian, prinsip-prinsip dan karakteristik kepemerintahan maupun kepemerintahan yang baik, serta implikasi penarapannya dalam konteks

penyelenggaraan administrasi publik di Indonesia.

(8)

Prima”, terutama yang berhubungan dengan pembahasan mengenai pelayanan publik yang prinsip-prinsipnya juga harus

mengandung dan mencerminkan nilai dan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik.

Pemahaman yang lebih luas mengenai “kepemerintahan yang baik akan diberikan dan dibahas lebih lanjut pada Diklatpim Tingkat III dalam Mata Diklat “Membangun Kepemerintahan

yang Baik”.

C. Hasil Belajar

Setelah membaca Modul Dasar-Dasar Kepemerintahan

yang Baik ini peserta mampu memahami dan menjelaskan

latar belakang dan perkembangan interaksi sosial politik

antara pemerintah dengan masyarakat (Government and

Society) dalam kehidupan masyarakat yang semakin

kompleks, dinamis, dan beranekaragam; memberikan

dasar-dasar pengertian, prinsip-prinsip, dan karakteristik

kepemerintahan (Governance) dan kepemerintahan yang

baik (Good Governance) dalam kerangka interaksi sosial

politik tersebut; serta memberikan pengetahuan dan

wawasan praktis mengenai implikasi penerapan konsep

kepemerintahan dan kepemerintahan yang baik dalam

konteks penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia,

khususnya dalam sektor-sektor pemerintahan tertentu.

D. Indikator Hasil Belajar

Indikator-indikator hasil Belajar adalah peserta mampu

memahami dan menjelaskan :

1. Latar belakang dan perkembangan interaksi sosial

politik antara pemerintah dengan masyarakat;

2. Pengertian dan prinsip-prinsip kepemerintahan sebagai wujud pergeseran paradigma penyelenggaraan pemerintahan dari paradigma Pemerintah menjadi paradigma

Kepemerintahan ;

3. Pengertian dan karakteristik kepemerintahan yang baik sebagai paradigma administrasi publik yang baru dan berkembang dewasa ini.

4. Implikasi dan penerapan konsep kepemerintahan yang baik di Indonesia, khususnya dalam sektor-sektor pemerintahan tertentu seperti halnya unit kerja di mana para peserta

Diklatpim IV itu berasal.

D. Materi Pokok

Materi Pokok yang dibahas dalam modul Dasar-Dasar

Kepemerintahan Yang Baik adalah :

1. Latar belakang dan kepemerintahan yang baik; 2. Prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik;

(9)

Disamping itu, kepada para peserta Diklat disarankan untuk mencermati berbagai kasus yang timbul dalam menerapkan prinsip-prinsip kepemerintahan dan karakteristik kepemerintahan yang baik di lingkungan kerjanya, serta mengemukakannya sebagai materi bahan diskusi dalam proses pembelajaran.

E.

Manfaat

Berbekal hasil belajar pada modul Dasar-Dasar Kepemerintahan Yang Baik ini, peserta diharapkan mampu menerapkan prinsip-prinsip good governance serta mampu melibatkan sektor swasta dan masyarakat dalam pelaksanaan keseluruhan atau sebagai tugas-tugasnya, guna meningkatkan kinerja instansinya.

7

BAB II

PERKEMBANGAN INTERAKSI

SOSIAL-POLITIK ANTARA PEMERINTAH

DENGAN MASYARAKAT

Permasalahan pembangunan nasional dari waktu ke waktu dirasakan bukannya semakin ringan dan mudah, pada kenyataannya bangsa

Indonesia justru dihadapkan kepada kondisi yang semakin sulit, kompleks, dinamis, dan beraneka ragam sejalan dengan perkembangan tingkat kebutuhan, kesejahteraan, dan kemajuan masyarakat bangsa Indonesia itu sendiri. Kondisi demikian bukan hanya dialami bangsa Indonesia, tetapi juga bangsa-bangsa lainnya di

berbagai penjuru dunia.

Kecenderungan pergeseran interaksi sosial politik antara pemerintah dengan masyarakat tersebut ditandai dengan semakin meningkatnya peranan sektor swasta dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat dalam penyelenggaraan tugas-tugas dan tanggungjawab yang

sebelumnya menjadi semacam monopoli pemerintah atau sektor publik. Kenyataan ini di satu sisi merupakan perkembangan baru yang perlu dicermati dalam upaya meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Di sisi lain, hal tersebut menunjukkan fakta adanya

Setelah membaca Bab II, peserta Diklat diharapkan mampu menjelaskan latar belakang dan pengertian

(10)

keterbatasan kapasitas aparatur pemerintah atau sektor publik untuk memenuhi aneka ragam pelayanan publik. Sebagai konsekuensinya,

pemerintah perlu melakukan inovasi kebijakan dan praktek administrasi publik yang baru yang lebih mampu menjawab tantangan perkembangan interaksi sosial politik tersebut, melalui kerja sama atau kolaborasi yang efektif dengan sektor swasta dan masyarakat (society) pada umumnya.

Pada akhir abad XX dan dalam memasuki abad XXI, Indonesia seperti halnya negara-negara lain di berbagai belahan dunia menghadapi suatu tantangan yang berupa perubahan lingkungan strategis yang berat, baik yang berasal dari dalam (internal) maupun dari luar (external), perubahan lingkungan strategis tersebut juga

merupakan tantangan dalam pembangunan administrasi negara. Secara eksternal, globalisasi yang dipacu oleh perkembangan teknologi terutama teknologi informasi dan semangat liberalisasi telah mendorong terjadinya perubahan besar dalam kehidupan ekonomi, politik, pemerintahan, dan sosial budaya. Perubahan

tersebut seakan-akan mengarah pada terbentuknya dunia tanpa batas (borderless world). Peristiwa penting yang terjadi pada suatu negara secara cepat dapat diakses oleh masyarakat di negara pada belahan dunia lainnya. Globalisasi juga ditandai oleh meningkatnya persaingan bebas yang mengharuskan setiap bangsa utuk secara terus menerus meningkatkan kompetensinya dalam bersaing dengan

bangsa lain.

Pengaruh globalisasi semakin terasa dan tidak dapat diabaikan dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan. Kebijakan-kebijakan

yang dikeluarkan oleh suatu negara dan organisasi internasional seperti AFTA, APEC, WTO, World Bank, IMF, dan

organisasi-organisasi hak asasi manusia perlu dijadikan pertimbangan dalam menyusun dan melaksanakan kebijakan pemerintahan dan pembangunan. Tingkat keterkaitan baik antar organisasi pemerintah, masyarakat dan dunia usaha maupun organisasi-organisasi internasional sangat tinggi dan saling mempengaruhi.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah manajemen pelayanan sektor publik dan sektor bisnis sedemikian rupa sehingga berbagai transaksi dapat dilakukan tanpa bertatap muka; arus informasi telah mampu menembus batas ruang dan waktu secara cepat. Seiring dengan itu demokratisasi, hak asasi manusia,

dan pelestarian kualitas lingkungan hidup telah menjadi tuntutan dunia yang semakin mendesak. Sementara itu secara internal, pemerintah dan masyarakat Indonesia juga dihadapkan pada krisis multidimensi di antaranya situasi politik yang belum stabil, ancaman disintegrasi bangsa, menipisnya kepercayaan masyarakat terhadap

pemerintah, lemahnya penegakan hukum dan pemberantasan KKN, lambatnya pemulihan ekonomi, meningkatnya kriminalitas, pengangguran dan jumlah penduduk miskin serta merosotnya daya saing.

Dalam konteks perubahan sosial masyarakat, kita menyaksikan

(11)

komunikasi, gaya hidup, budaya, cara berpakaian (fashion) dan sebagainya, sehingga masyarakat sendiri dihadapkan kepada situasi

yang menuntut mereka untuk mengetahui lebih banyak, tetapi tidak memiliki cukup waktu untuk bereaksi terhadap perubahan yang terjadi. Kondisi ini menyebabkan masyarakat berada pada kedudukan yang sangat rentan terhadap berbagai dampak perubahan itu sendiri.

Perubahan yang cepat telah pula mengakibatkan semakin

beragamnya identitas diri masing-masing kelompok masyarakat bukan cuma antar bangsa, tetapi juga antar etnis atau suku bangsa, bahkan antar individu dalam masyarakat itu sendiri. Perbedaan etnis, bahasa, dan agama telah mendorong terbentuknya identitas masyarakat yang beranekaragam. Bahkan dalam keanekaragaman

tersebut masyarakat kemudian menuntut adanya perlakuan-perlakuan khusus dari pemerintah; atau menuntut otonomi kepada pemerintah agar mampu mengurus kepentingan spesifik kelompok masyarakat tersebut, sesuai dengan karakteristik kebutuhan yang berbeda dari kelompok masyarakat lainnya.

Di sektor swasta, pertumbuhan perusahaan multinasional telah mendorong perubahan pola operasi dan administrasi yang semula sangat tersentralisasi pada perusahaan induk di negara asalnya, kini mereka lebih mempercayakan manajemen operasinya kepada unit-unit cabang usahanya yang berlokasi di berbagai kota di seluruh

dunia. Jaringan hubungan antar perusahaan cabang tidak lagi berbentuk hirarki, tetapi telah mengarah kepada pola-pola kompetisi dan kolaborasi.

Sedangkan di lingkungan lembaga swadaya masyarakat (LSM/NGO), kita melihat semakin pesatnya pertumbuhan dan

kemunculan organisasi tersebut dengan berbagai tujuan yang berbeda satu sama lainnya. Kini kita bisa melihat bahwa setiap individu masyarakat merupakan bagian atau anggota dari berbagai kelompok atau organisasi yang berlainan. Pada suatu saat seseorang adalah anggota dari kelompok pencinta alam, sementara pada saat yang sama orang tersebut adalah juga anggota asosiasi profesi tertentu,

sekaligus menjadi anggota atau pengurus pada satu atau beberapa organisasi kemasyarakatan lainnya.

Begitu kompleks, dinamis dan beranekaragamnya kehidupan masyarakat di jaman ini, secara ringkas tergambarkan dalam tulisan

Andrew Dunsire (1993: 3-34) yang menurutnya semuanya itu memerlukan kapasitas tersendiri untuk dapat mengelola dan mengendalikannya. Pada kenyataannya menurut Dunsire, pemerintah atau siapapun tidak mungkin dapat mengelolanya dengan cara-cara yang konvensional. Pertanyaan yang diajukannya dalam rangka

mencari jawaban terhadap fenomena perubahan sosial masyarakat yang demikian pesat tersebut adalah sebagai berikut:

(12)

semakin menurunnya tingkat kepatuhan masyarakat, sulitnya menjalankan pemerintahan, yang akhirnya mengarah kepada timbulnya kekacauan sosial…?” (Dunsire, 1993: 22-23)

Apapun yang terjadi, tuntutan bagi penyelenggaraan pemerintahan adalah melakukan perubahan untuk menyesuaikan diri terhadap kecenderungan perkembangan kehidupan masyarakat yang semakin dinamis, kompleks, beranekaragam, dan kritis. Pertanyaan yang

diajukan oleh Kooiman (1993) tampaknya mewakili tuntutan realitas kehidupan masyarakat modern dewasa ini: “How can a dynamic, complex and diverse socio-political world be governed in a dynamic, complex and diverse way ?”

Dalam hubungan itu, Dunsire dengan mengutip pernyataan Ashby (1957) mengungkapkan bahwa untuk menghadapi kondisi yang kompleks, dinamis dan sangat beragam tersebut diperlukan model kepemerintahan yang beragam pula. Menurut Ashby (Dunsire, 1993: 23) : “Hal ini tidak berarti bahwa kita harus memahami dinamika, kompleksitas, dan keragaman obyek yang harus diatur (objects to be governed) dengan berbagai keterkaitannya, tetapi kita juga harus mengerti bagaimana kualitas kepemerintahan (quality of governance) yang seharusnya.”

Pernyataan tersebut dikuatkan oleh Renate Mayntz (1993) yang mengungkapkan bahwa yang sebenarnya bukan hanya jenis

instrumen pemerintahan apa yang penting itu, tetapi adalah format kelembagaan proses penyusunan kebijakan yang mampu menjamin bahwa dalam setiap proses pengambilan keputusan, informasi yang dipertimbangkan tidak terbatas kepada kebutuhan dan kekhawatiran

mengenai siapa yang akan menjalankan kebijakan, tetapi yang lebih penting adalah informasi mengenai indikasi efek sampingan, saling

ketergantungan (interdependensi), dan permasalahan lainnya yang akan muncul.

Untuk memahami bagaimana perkembangan interaksi sosio-politik masyarakat yang semakin kompleks, dinamis dan bervariasi, berikut ini akan diuraikan bagaimana karakteristik dinamika, kompleksitas,

dan keanekaragaman tersebut secara konseptual, sebagaimana diungkapkan oleh Kooiman (1993: 36-41) sebagai berikut:

A.

Dinamika Sistem Sosial Politik

Dinamika sosio-politik dapat dipandang sebagai suatu hubungan sebab akibat diantara berbagai variabel, baik yang bersifat non

linier maupun linier. Dalam kenyataan kehidupan, dinamika sistem sosio-politik adalah suatu kondisi dimana sistem tersebut berubah dari satu kondisi ke kondisi yang lain karena adanya tekanan, dorongan, atau pengaruh dari faktor-faktor eksternal seperti gejala alam, perkembangan teknologi, maupun

(13)

Dalam konteks pengalaman Indonesia, sebagai contoh, adalah bagaimana gerakan mahasiswa pada tahun 1997/98 telah

menjadi kekuatan sosial Reformasi Total, yang berhasil merubuhkan tatanan kekuasaan Orde Baru yang telah membentuk tata kehidupan masyarakat selama lebih kurang 32 tahun. Dengan keberhasilan tersebut, dewasa ini kita lihat bagaimana pola-pola interaksi antara pemerintah dengan masyarakat menjadi berubah. Kehidupan demokrasi telah

menunjukkan perkembangan yang sangat berarti, dengan semakin leluasanya masyarakat untuk menyampaikan pendapat dan aspirasinya, kegiatan unjuk-rasa dan demonstrasi mahasiswa tidak lagi diberangus dengan pendekatan keamanan yang represif sepanjang tidak bersifat anarkis atau mengganggu

ketertiban umum.

Sementara itu, keberadaan partai politik tidak lagi dibatasi hanya kepada tiga partai seperti di jaman Orde Baru. Kini lebih dari tiga puluh partai politik hadir dalam sistem demokrasi Indonesia.

Kondisi tersebut tidak berhenti sampai disitu, melainkan terus berlanjut dengan berbagai upaya penataan kembali sistem dan struktur-struktur, serta instrumen-instrumen penyelenggaraan pemerintahan yang disesuaikan dengan tuntutan perkembangan sosio-politik nasional, yang juga tidak lepas dari pengaruh perkembangan internasional maupun global.

Kooiman (1993: 38) menyatakan bahwa dinamika sistem sosial-politik tidak mungkin dapat dipahami tanpa memiliki wawasan yang cukup mengenai interaksinya. Interaksi sosial-politik tidak

hanya menjelaskan proses makro yang berkaitan dengan diferensiasi dan integrasi, tetapi juga proses kerjasama,

kolaborasi, bahkan konflik-konflik sosial-politik pada tataran mikro dan meso. Setiap interaksi sosial-politik yang merupakan kekuatan dinamika sosial masyarakat, pada dasarnya meliputi unsur, yaitu tingkat aksi, struktural, dan tingkat dimana unit interaksi tersebut terjadi. Selanjutnya dijelaskan bahwa untuk membangun teori mengenai kepemerintahan (governance) perlu

dibedakan jenis-jenis interaksi sosial-politik yang mencakup: interferences (gangguan, pemengaruhan), interplays (keterlibatan), dan interventions (campur tangan).

Interferensi atau saling mempengaruhi merupakan dinamika

yang sangat mendasar dalam alam dan kehidupan manusia. Dalam ruang lingkup kepemerintahan, interferensi tersebut dapat dilihat terutama dalam skala primer, misalnya dalam kehidupan keluarga, sekolah, atau unit usaha (perusahaan).

Sedangkan jenis interaksi dalam masyarakat modern yang berikutnya, yaitu interplays atau keterlibatan, pada umumnya cenderung terjadi secara sangat terorganisir atau melembaga. Dilihat dari sudut pandang kepemerintahan dan penyelenggaraan pemerintahan atau pengelolaan, tatanan kelembagaan tersebut sangat penting karena didalamnya telah mengandung unsur

dinamika tersendiri.

(14)

merupakan tindakan campur tangan (biasanya dari pihak pemerintah) dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, yang

diarahkan untuk terciptanya suatu keadaan tertentu sesuai dengan ketentuan atau keinginan pemerintah; bahkan mungkin berdasarkan permintaan sebagian unsur masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, interaksi dalam bentuk intervensi ini biasanya (meskipun tidak selalu) melibatkan banyak pelaku, baik dari lingkungan pemerintah sendiri maupun dari berbagai unsur

masyarakat (swasta, LSM, individual, dan sebagainya)

Ketiga jenis interaksi tersebut pada dasarnya memiliki ciri yang sama, yaitu adanya interaksi atau hubungan yang dinamis diantara dua atau lebih unsur pelaku. Sedangkan perbedaannya

terutama terletak pada format kelembagaan atau organisasi dan tingkat pengarahannya (level of directions). Dalam rangka kepemerintahan, sangat penting untuk mendapatkan gambaran teoritis maupun empiris mengenai berbagai bentuk interaksi sosio-politik, karena dengan begitu sistem pemerintahan yang

dibangun akan mampu mengimbangi dinamika proses interaksi yang berkembang dalam masyarakat.

B.

Kompleksitas Sistem Sosial Politik

Kompleksitas adalah sebuah konsep yang biasanya digunakan dengan mudah, tetapi lebih sering penggunaan tersebut tidak berarti apa-apa selain menggambarkan sebuah isu (issue),

situasi, atau permasalahan tertentu, yang biasanya sulit untuk dimengerti atau terlalu rumit untuk dipecahkan. Tetapi yang

lebih penting bukanlah kompleksitasnya sendiri, melainkan aspek-aspek mendasar dari setiap fenomena yang terjadi yang

harus dipertimbangkan dalam memecahkan permasalahan kepemerintahan.

Menurut Kooiman (1993:39) berdasarkan literatur yang ada, terdapat tiga cara yang bisa dilakukan dalam memanfaatkan kompleksitas bagi pengembangan teori dan konseptualisasi

kepemerintahan dan kondisi memerintah (governance and governability), yaitu: seleksi dan reduksi (Luhmann, 1970), penstrukturan (Simon, 1969), dan operasionalisasi (La Porte, et.al, 1975). Menurut Luhmann (1970), permasalahan fundamental dari seluruh sistem sosial masyarakat adalah

mengurangi kompleksitasnya. Dalam pandangannya, kompleksitas itu tidak harus berarti jumlah atau bervariasinya subsistem permasalahan, tetapi yang bersifat kompleks itu adalah interaksinya. Dengan demikian memilah-milah (menyeleksi) dan menyusun pola interaksi adalah pekerjaan

yang mendasar dalam upaya memecahkan kompleksitas permasalahan. Metode inilah yang digunakan sebagai pendekatan dalam menganalisis pengembangan sistem-sistem, seperti sistem pendidikan, sistem hukum dan peradilan, baik pada skala makro maupun dalam perspektif kesejarahan.

(15)

biggest structure). Oleh karena itu, ia merekomendasikan bahwa untuk mempelajari kompleksitas sesuatu permasalahan interaksi sosial sebaiknya digunakan prinsip “nearly-decomposability”

yang berarti bahwa beberapa bagian dalam suatu sistem cenderung lebih memiliki keterkaitan yang erat dibandingkan dengan beberapa bagian lainnya dari sistem tersebut.

Kompleksitas interaksi sosial masyarakat sebagaimana

diungkapkan La Porte et.al (1975) dapat pula ditanggulangi dengan cara memandangnya sebagai problematika operasional. Apa yang dilakukannya dalam upaya memecahkan permasalahan kompleksitas adalah melalui kajian dengan konseptualisasi dan studi kasus berbagai tingkatan sosial.

Hampir semua pendekatan studi mengenai kompleksitas sosial memiliki pandangan yang sama bahwa kompleksitas adalah sekumpulan interaksi dari berbagai unsur dalam suatu sistem tertentu. Karakteristik ini mendekati kondisi yang sebenarnya dari fenomena interaksi sosial-politik yang kita hadapi

sehari-hari.

Selanjutnya, kita dapat mengatakan bahwa kompleksitas selalu berkaitan dengan bagian-bagian atau unsur-unsur dan keseluruhannya (parts and wholes). Oleh karena itu, kita tidak mungkin dapat memahami kompleksitas sosial, dengan

mengabaikan berbagai interaksi yang terjadi diantara unsur-unsurnya dan berbicara hanya keseluruhannya saja; atau jika kita hanya mengkaji keseluruhan fenomena, tanpa

mempertimbangkan interaksi yang terjadi di antara unsur-unsurnya.

Akhirnya, berdasarkan hal-hal tersebut di atas kita dapat mengatakan bahwa untuk menghadapi kompleksitas permasalahan sosial tidak mungkin hanya dengan mengandalkan satu jalan pemecahan. Untuk itu, cara yang terbaik adalah memilih cara terbaik dari beberapa alternatif penyelesaian,

tergantung kepada apa dan bagaimana permasalahan yang dihadapi itu. Berbagai kriteria mungkin dapat dikemukakan untuk pemilihan alternatif tersebut, misalnya yang berkaitan dengan tingkat pemusatan, intensitas, ataupun cakupan atau ruang lingkup pemecahannya.

C.

Keanekaragaman Sistem Sosial Politik

Keanekaragaman (diversity) sebagai konsep dasar sangat terkait dengan perkembangan indivualisasi, diferensiasi, spesialisasi, dan beragam aspek kehidupan dunia modern lainnya. Kooiman (1993:40) telah mendefiniskan kompleksitas berdasarkan

hubungan-hubungan atau interaksi yang terjadi, dan keanekaragaman mengacu kepada komponen-komponen yang membentuk interaksi tersebut. Sebuah sistem mungkin saja terdiri dari beraneka macam komponen, tetapi sistem tersebut mungkin terdapat hubungan-hubungan atau keterkaitan yang relatif sederhana diantara bagian-bagiannya. Mungkin saja

(16)

unsur-unsur yang hampir sama (tidak jauh berbeda), namun demikian hubungan atau keterkaitan antara satu unsur dengan

unsur lainnya bisa saja sangat berbeda (spesifik), sehingga dapat dikatakan bahwa sistem tersebut bersifat kompleks.

Kooiman menyatakan selanjutnya bahwa bagaimanapun, argumennya mengenai keanekaragaman sebagai bagian dari karakteristik dasar sistem sosial politik (dan

kepemerintahannya), adalah terletak pada nilai penting dan strategisnya keanekaragaman dalam sistem tersebut. Dengan menggunakan konsep keanekaragaman kita dapat mempertimbangkan berbagai aktor (pelaku) dalam sistem sosial-politik. Dengan konsep kompleksitas kita dapat mengkaji dan

menguraikan struktur-struktur hubungan, dan dengan menggunakan konsep keanekaragaman (diversitas) kita dapat mengkaji berbagai aspek dalam sistem tersebut, seperti mengkaji tentang maksud dan tujuannya, kekuasaannya dan sebagainya. Dengan demikian dapat ditarik semacam hipotesis bahwa

kenakeragaman dapat berimplikasi bahwa berbagai variasi, diferensiasi, dan spesialisasi adalah sebuah keniscayaan dalam sistem sosial-politik. Mengabaikan adanya keanekaragaman sebagai ciri khusus dan mendasar dari sistem sosial politik barangkali merupakan akar permasalahan dari banyak masalah kepemerintahan (governance) dan kemampuan pemerintahannya (governability).

Konsep keanekaragaman sangat bermanfaat dalam upaya pengkajian substansi sistem sosial-politik, yang pada umumnya

bersifat abstrak dan formal. Sedangkan dalam konteks pengembangan teori tentang kepemerintahan sosial-politik (socio-political governance), konsepsi keanekaragaman telah

mendorong perubahan beberapa disiplin ilmu – seperti ilmu administrasi publik dan ilmu politik – ke arah keilmuan yang bersifat interdisiplin atau multidisiplin. Dalam bidang lainnya, seperti ilmu ekonomi, sosiologi, dan ekologi, semuanya diperlukan untuk memahami dan menginterpretasikan

keanekaragaman para pelaku sosial-politik dengan berbagai maksud dan tujuannya, norma-norma, dan kekuasaannya masing-masing. Ini berarti bahwa teori kepemerintahan (governance) yang menaruh perhatian kepada kompleksitas, dinamika, dan keanekaragaman sosial-politik, haruslah bersifat

multidisiplin dengan segala permasalahan dan peluang yang dihadapinya.

D.

Implikasi Bagi Kepemerintahan

Kepemerintahan ataupun pengelolaan (Governing) sosial-politik pada dasarnya dilakukan dalam interaksi di antara para pelaku

baik pada tataran mikro, meso, maupun makro dari keseluruhan sistem sosial-politik. Berbagai interaksi yang terjadi tidak hanya mencerminkan kompleksitas, dinamika, dan keanekaragaman; tetapi sesungguhnya interaksi sosial-politik itu sendiri memiliki ciri yang kompleks, dinamis, dan beranekaragam. Dalam sistem sosial-politik tergambarkan kompleksitas yang menyangkut

(17)

keanekaragaman substansi saling ketergantungan dan keterkaitan dari berbagai unsur.

Oleh karena itu, dalam pengaturan dan pengelolaan ataupun kepemerintahan sosial-politik kondisi-kondisi seperti tersebut harus mendapatkan perhatian yang serius. Meskipun demikian tidak berarti bahwa dalam pola kepemerintahan yang tradisional hal-hal tersebut tidak pernah dipertimbangkan; tetapi yang

terjadi dalam kepemerintahan tradisional adalah pendekatan yang cenderung kasuistis, terpilah-pilah, tidak sistematis, dan cenderung bersifat aksidental (secara kebetulan).

Seandainya sistem kepemerintahan diharapkan dapat lebih

efektif, maka kondisi-kondisi kompleksitas, dinamika, dan keanekaragaman sosial-politik harus merupakan bagian yang integral dan sangat mendasar dalam pertimbangan kebijakan dan implementasinya. Ini berarti bahwa dalam penyelenggaraan kepemerintahan tidak lagi harus digunakan pendekatan yang

seragam, pemecahan masalah yang simplistik, birokrasi yang kaku, hirarki otoritas dan jalur perintah yang panjang; tetapi kepemerintahan modern harus mampu memiliki karakter yang dinamis, jaringan yang kompleks tetapi hubungannya sederhana, serta keanekaragaman tindakan dan kebijakan yang sesuai dengan situasi dan kualitas interaksi sosial-politik yang

dihadapi.

E.

Latihan

1. Bagaimana kondisi sosial politik masyarakat modern dewasa ini, dan faktor-faktor apa yang dapat menjelaskan kondisi

interaksi sosial politik antara pemerintah dengan masyarakat ?

2. Mengapa pemerintah gagal dalam menjalankan fungsinya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat ? 3. Model pemerintahan mana yang dapat mendekati kondisi

Indonesia sekarang ini ?

F.

Rangkuman

Berdasarkan uraian dalam Bab ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai rangkuman, sebagai berikut:

1. Bahwa hubungan antara negara/pemerintah dengan masyarakat bukanlah merupakan hal yang sederhana dalam

masyarakat post-modern dewasa ini. Kondisi ini diwarnai oleh dinamika, kompleksitas, dan keanekaragaman dalam interaksi sosial politik antara pemerintah dengan masyarakat, yang mempengaruhi bagaimana pola kepemerintahan yang

harus dijalankan.

(18)

dinamis, kompleks, kritis, dan sangat beragam dalam karakteristik dan kebutuhannya. Kegagalan pemerintahan

Orde Baru maupun rezim lainnya di Indonesia merupakan contoh bagaimana kondisi tersebut muncul dalam suatu negara.

3. Dalam konteks interaksi sosial politik antara pemerintah dengan masyarakat, dalam perkembangannya telah melahirkan konsepsi mengenai model-model atau pola

kepemerintahan yang disesuaikan dengan tingkat dinamika, kompleksitas dan diversitas sosial politik yang dihadapi. Dalam hal ini terdapat empat model umum, yaitu pola negara/pemerintahan hirarki (the Hierarchical State), pemerintahan otonom (the Autonomous State), pemerintahan

negosiasi (the Negosiating State), dan pemerintahan responsif (the Responsif State). Pemerintahan yang responsif sendiri memiliki tiga varian, yaitu: pemerintahan supermarket (the Supermarket State) dan pemerintahan pelayanan (the Service State) yang keduanya dilandasi oleh

pandangan kelompok “Kanan-Baru” atau “the New Right Normative State”, serta model negara berkepemerintahan mandiri (the Self-Governing State) yang dilandasi oleh pemikiran kelompok “Kiri” (“Leftist”) yang berorientasi kerakyatan.

25

BAB III

PERUBAHAN PARADIGMA: DARI

GOVERNMENT MENJADI

GOVERNANCE

Dalam Bab II telah diuraikan bagaimana konsepsi mengenai kondisi

masyarakat dewasa ini yang sudah jauh berbeda dibandingkan dengan kondisi setengah abad yang lalu. Kemajuan pembangunan sosial, ekonomi telah semakin meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup maupun kehidupan masyarakat yang semakin kompleks, dinamis, dan sangat beragam. Dalam kondisi yang

demikian kita sebenarnya juga telah menyaksikan bagaimana perekonomian berbagai negara, khususnya Indonesia, telah sempat mengalami fluktuasi bahkan pada menjelang akhir tahun 1990-an justru mengalami kegagalan pasar yang memacu timbulnya krisis multi dimensional yang berakhir dengan kegagalan pemerintah (khususnya Pemerintah Orde Baru di Indonesia) dalam

mempertahankan kekuasaannya.

Dengan latar belakang kegagalan yang demikian itu, ditambah dengan kenyataan semakin menguatnya tuntutan aktualisasi peranan masyarakat dalam bentuk aspirasi maupun partisipasi aktif dalam

pembangunan, dominasi peranan pemerintah dalam pembangunan mulai dipertanyakan. Sementara itu, dalam interaksi sosial politik

(19)

masyarakat dengan pemerintah, sejalan dengan semakin menguatnya kesadaran akan nilai-nilai demokrasi, masyarakat – dalam pengertian

luas – mulai menuntut keterlibatan mereka dalam berbagai proses penyusunan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi dan pengendalian. Berdasarkan hal itu, banyak negara yang kemudian bereksperimen menemukan pola-pola baru ataupun pendekatan-pendekatan baru dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan publik, maupun pembangunan dengan melibatkan peran

aktif masyarakat termasuk dunia usaha dan lembaga swadaya masyarakat yang lebih besar. Format kepemerintahan baru inilah yang merubah pandangan klasik bahwa pemerintahlah yang harus berperan dominan dalam pembangunan masyarakat. Dewasa ini pandangan tersebut telah beralih dengan memberikan penekanan

yang lebih besar kepada masyarakat melalui konsepsi kepemerintahan (governance).

Setelah mempelajari Bab ini, para peserta Diklatpim Tingkat IV diharapkan dapat memahami konsepsi dan pengertian

kepemerintahan (governance), serta prinsip-prinsip yang melandasinya. Selain itu, para peserta diharapkan dapat pula memahami dan menjelaskan kembali pilar-pilar pelaku yang menjadi komponen kepemerintahan, serta pola interaksi atau kolaborasi diantara pilar-pilar tersebut.

A.

Konsepsi Kepemerintahan (Governance)

Sebagaimana telah teruraikan dalam bab sebelumnya, karakteristik masyarakat post-modern dewasa ini secara umum

bersifat kompleks, dinamis, dan beranekaragam. Berbagai kemajuan pembangunan masyarakat yang selama ini dicapai telah mendorong terbentuknya kondisi masyarakat seperti tersebut di atas. Dalam hubungan itu, pola interaksi sosial-politik antara pemerintah dengan masyarakat juga cenderung berubah, sejalan kompleksitas, dinamika, dan keragaman

permasalahan yang dihadapi.

Sepanjang sejarah pembangunan bangsa-bangsa terutama di berbagai negara yang sedang berkembang, baik di Asia, Afrika, maupun Amerika Latin, bahkan Eropa Timur akhir-akhir ini, dan tentu saja di Indonesia khususnya di era Orde Baru;

pemerintah telah cenderung sangat dominan menentukan bagaimana kondisi sosial-ekonomi bahkan politik dalam kehidupan masyarakat yang perlu ditumbuh-kembangkan. Pemerintah dengan segala kompetensi, pengalaman, serta akses yang lebih baik terhadap sumber-sumber dan informasi statistik,

telah mengambil peran sebagai pemegang monopoli dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, menengahi konflik-konflik dalam masyarakat, menyelidiki berbagai permasalahan dan upaya pemecahannya, dan akhirnya melaksanakan sendiri kebijakan dan program yang telah dirancang. Dewasa ini tampaknya pendekatan klasik atau ortodoks dalam

(20)

pembaharu (Change Agent atau Agent of Development), dewasa ini justru telah cenderung mulai ditinggalkan.

Format interaksi antara pemerintah dengan masyarakat dari semula “sarwa negara” atau pemerintah (government) sebagai paradigma klasik pemerintahan negara dan penyelenggaraan pembangunan maupun pelayanan publik, telah bergeser menjadi format baru kepemerintahan yang lebih dikenal dengan istilah

governance.

1. Konsepsi Penyelenggaraan Pemerintahan

(Governing)

Sebelum menjelaskan konsepsi dan pengertian kepemerintahan, berikut ini akan diuraikan bagaimana konteks pemerintahan dalam masyarakat kontemporer yang dinamis, kompleks, dan beranekaragam, sebagaimana dijelaskan oleh Kooiman (1993: 255-259). Dalam dunia dengan karakteristik masyarakat seperti tersebut di atas, kita

dapat melihat hal sebagai berikut:

a. Permasalahan sosial dalam masyarakat pada umumnya disebabkan oleh interaksi berbagai faktor (yang tidak semuanya selalu dapat diidentifikasi) dan tidak bisa dibatasi oleh sebab munculnya suatu faktor tertentu secara

terisolasi;

b. Pengetahuan politis maupun teknis mengenai berbagai permasalahan dan kemungkinan pemecahannya, pada kenyataannya sangat tersebar di antara berbagai aktor;

c. Tujuan kebijakan publik tidak mudah untuk dirumuskan, bahkan lebih sering menjadi bahan untuk disempurnakan:

ketidakpastian menjadi aturan dan bukan sebagai pengecualian.

Sebagai dampak dari kondisi tersebut, dalam masyarakat dewasa ini, kegiatan dalam rangka pemerintahan dapat didefinisikan sebagai: “proses interaksi antara berbagai

aktor dalam pemerintahan dengan kelompok sasaran atau berbagai individu masyarakat” (Kooiman: 255). Karena sifatnya yang interaktif seperti definisi tersebut, dapat juga dikemukakan bahwa pola pemerintahan yang berkembang dalam masyarakat dewasa ini, baik yang bersifat hirarkis

maupun non-hirarki, adalah sebagaimana dikemukakan oleh Offe (1985: 310) bahwa: “…hasil dari tindakan administrastif dalam berbagai bidang adalah bukan merupakan hasil dari pelaksanaan tugas pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan sebelumnya; tetapi lebih merupakan hasil dari kegiatan produksi bersama (co-production) antara lembaga pemerintahan dengan klien masing-masing.”

Penyelenggaraan pemerintahan (governing) dalam masyarakat dewasa ini pada intinya adalah merupakan proses

(21)

untuk dapat memenuhi tuntutan perubahan pola interaksi sosial-politik antara pemerintah dengan masyarakat seperti

tersebut di atas. Pola tersebut tentu saja harus berbeda dengan pola penyelenggaraan pemerintahan tradisional yang terutama mendasarkan pada perspektif hubungan yang bersifat “top-down”, atau pendekatan “aturan-pusat-rasional” (Rational-Central-Rule Approach) (Kooiman: 255). Tetapi hal ini tidak berarti sepenuhnya meninggalkan

gagasan tentang keberadaan pemerintah dengan berbagai instrumen pemerintahan yang bisa digunakan untuk melayani ataupun mengendalikan kehidupan sosial-ekonomi politik masyarakat.

Dalam masyarakat modern atau post-modern dewasa ini pola pemerintahan yang dapat dikembangkan sesuai dengan karakteristiknya masing-masing adalah sebagai berikut (Kooiman: 257):

a. Kompleksitas: dalam menghadapi kondisi yang kompleks,

maka pola penyelenggaraan pemerintahan perlu ditekankan pada fungsi koordinasi dan komposisi.

b. Dinamika: dalam hal ini pola pemerintahan yang dapat dikembangkan adalah pengaturan atau pengendalian (steering) dan kolaborasi (pola interaksi saling mengendalikan diantara berbagai aktor yang terlibat dan

atau berkepentingan dalam sesuatu bidang tertentu). c. Keanekaragaman: masyarakat dengan berbagai

kepentingan yang beragam dapat diatasi dengan pola penyelenggaraan pemerintahan yang menekankan pada

pengaturan (regulation) dan integrasi atau keterpaduan (integration).

Berdasarkan hal-hal tersebut dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan (governing) dapat dipandang sebagai: “intervensi pelaku politik dan sosial yang berorientasi hasil, yang diarahkan untuk menciptakan pola interaksi yang stabil atau dapat diprediksikan dalam suatu sistem (sosial-politik), sesuai dengan harapan ataupun tujuan dari para pelaku intervensi tersebut”.

2. Konsepsi Kepemerintahan (Governance).

Pemerintah atau “Government” dalam Bahasa Inggris yang berarti: “The authoritative direction and administration of

the affairs of men/women in a nation, state, city, etc.” atau dalam bahasa Indonesia berarti “Pengarahan dan administrasi yang berwenang atas kegiatan orang-orang dalam sebuah negara, negara bagian, kota dan sebagainya.” Bisa juga berarti “The Governing body of a nation, state, city etc.” atau

“Lembaga atau Badan yang menyelenggarakan pemerintahan negara, negara bagian, atau kota dan sebagainya.” Sedangkan istilah “kepemerintahan” atau dalam Bahasa Inggrisnya disebut “Governance” yang berarti “the act, fact, manner, of governing” atau jika dialihbahasakan ke dalam Bahasa Indonesia berarti: “Tindakan, fakta, pola, dari kegiatan atau penyelenggaraan pemerintahan”.

(22)

1993) bahwa governance lebih merupakan serangkaian proses interaksi sosial politik antara pemerintah dengan

masyarakat dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dan intervensi pemerintah atas kepentingan-kepentingan tersebut.

Dalam tulisannya yang berjudul “Good Governance” (Paradigma Baru Manajemen Pembangunan), Prof. Bintoro

Tjokroamidjojo (34:2000), mengemukakan sebagai berikut: “Governance artinya: memerintah-menguasai-mengurus-mengelola”. Beliau juga mengutip pendapat Bondan Gunawan yang menawarkan istilah “penyelenggaraan” sebagai terjemahan dari “governance”. Kemudian dalam

Pidato Presiden 16 Agustus 2000, istilah “governance” diterjemahkan sebagai “pengelolaan”.

Dari beberapa kutipan di atas dapat diketahui bahwa istilah “governance”, tidak hanya berarti kepemerintahan sebagai

suatu kegiatan, tetapi juga mengandung arti pengurusan, pengelolaan, pengarahan, pembinaan, penyelenggaraan dan bisa juga diartikan pemerintahan. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila terdapat istilah public governance, private governance, corporate governance dan banking governance. Governance sebagai terjemahan dari pemerintahan kemudian berkembang dan menjadi populer dengan sebutan kepemerintahan, sedangkan praktek terbaiknya disebut kepemerintahan yang baik (good governance). Istilah kepemerintahan yang baik dapat

ditemukan misalnya dalam Modul Sosialisasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAN dan BPKP;

2000), dan Peraturan Pemerintah No.101 Tahun 2000, Tentang Diklat Jabatan PNS.

Kooiman (1993:258) memandang governance sebagai sebuah struktur yang muncul dalam sistem sosial-politik sebagai hasil dari tindakan intervensi interaktif diantara berbagai

aktor yang terlibat. Sesuai dengan karakteristik interaksi antara pemerintah dan masyarakat yang cenderung bersifat plural, maka konsepsi governance tersebut tidak dapat hanya dibatasi kepada salah satu unsur pelaku atau kelompok pelaku tertentu. Sebagaimana dinyatakan oleh Marin dan

Mayntz (eds, 1991: sampul belakang) bahwa: “Kepemerintahan politik dalam masyarakat modern tidak bisa lagi dipandang sebagai pengendalian pemerintah terhadap masyarakat, tetapi muncul dari pluralitas pelaku penyelenggaraan pemerintahan.”

United Nations Development Program (UNDP) dalam Dokumen Kebijakannya yang berjudul “Governance for Sustainable Human Development, January 1997”, mendefinisikan kepemerintahan (governance) sebagai berikut:

(23)

cohesion, integration, and ensure the well-being of their population. It embraces all methods used to distribute power and manage public resources, and the organizations that shape government and the execution of policy. It encompasses the mechanisms, processes, and institution through which citizen and groups articulate their interests, exercise their legal rights, meet their obligations, and resolve their differences.”

(“Kepemerintahan adalah pelaksanaan kewenangan/ kekuasaaan di bidang ekonomi, politik dan administratif untuk mengelola berbagai urusan negara pada setiap tingkatannya dan merupakan instrumen kebijakan negara untuk mendorong terciptanya kondisi kesejahteraan, integritas, dan kohesivitas sosial dalam masyarakat. Hal ini mencakup berbagai metode yang digunakan untuk mendistribusikan kekuasaan/kewenangan dan mengelola sumber daya publik, dan berbagai organisasi yang membentuk pemerintahan serta melaksanakan kebijakan-kebijakannya. Konsep ini juga meliputi mekanisme, proses, dan kelembagaan yang digunakan oleh masyarakat, baik individu maupun kelompok, untuk mengartikulasikan kepentingan-kepentingan mereka, memenuhi hak-hak hukum, memenuhi tanggung jawab dan kewajiban sebagai warganegara, dan menyelesaikan perbedaan-perbedaan diantara sesama.”

Berdasarkan pengertian tersebut di atas, UNDP mengindikasikan adanya tiga model kepemerintahan, yaitu:

a. Economic governance, yang meliputi proses pembuatan

keputusan (decision making processes) yang memfasilitasi kegiatan ekonomi di dalam negeri dan interaksi di antara penyelenggara ekonomi. Economic governance mempunyai implikasi terhadap kesetaraan, kemiskinan dan kualitas hidup;

b. Political governance, yang mencakup proses-proses pembuatan berbagai keputusan untuk perumusan kebijakan; dan

c. Administrative governance, yaitu sistem implementasi kebijakan.

Oleh sebab itu kelembagaan dalam governance meliputi tiga domain, yaitu negara (state), sektor swasta (private sector) dan masyarakat (society) yang saling berinteraksi dalam menjalankan fungsinya masing-masing.

Negara berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif, sektor swasta menciptakan lapangan pekerjaan dan pendapatan, sedangkan masyarakat memfasilitasi interaksi sosial dan politik, menggerakkan kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk berperan serta

(24)

Sektor swasta meliputi perusahaan-perusahaan swasta yang bergerak di berbagai bidang dan sektor informal lain di pasar.

Ada anggapan bahwa sektor swasta adalah bagian dari masyarakat. Namun demikian sektor swasta dapat dibedakan dengan masyarakat karena sektor swasta mempunyai pengaruh terhadap kebijakan-kebijakan sosial politik dan ekonomi yang dapat menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi pasar dan perusaaan-perusahaan itu sendiri.

Sedangkan masyarakat (society) terdiri dari individual dan kelompok (baik yang terorganisasi maupun tidak) yang berinteraksi secara sosial, politik, dan ekonomi dengan aturan formal maupun tidak formal. Society meliputi lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi dan lain-lain. Dalam kaitan dengan masyarakat Hubbard (2001) mengatakan “governance is more than goverment”, kemudian “governance” didefinisikan sebagai: “how societies steer them selves”.

Novartis Foundation for Sustainable Development (NFSD) mendefinisikan governance sebagai seni kepemimpinan publik yang terdiri dari tiga dimensi yaitu :

a. bentuk dari rezim politik (the form political regime); b. proses penyelenggaraan kewenangan dalam manajemen

ekonomi dan sumber-sumber daya sosial negara (the

process by which authority is exercised in the management of country’s economic and social resources); dan

c. kemampuan pemerintah untuk merancang, mendesain, merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan serta

melaksanakan fungsi-fungsinya (the capacity of goverments to design, formulate, and implement policies and discharge functions).

Secara sederhana, konsep kepemerintahan tersebut dapat juga dirumuskan dengan pengertian sebagai “…the way state power is used in managing economic and social resources for development of society” (“kepemerintahan adalah cara menggunakan kekuasaan pemerintah/negara dalam pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial untuk pembangunan masyarakat.”) (Rainer Tetzlaff dalam D+C Development and Cooperation, 1995: 20-22).

Berbagai pengertian mengenai konsep kepemerintahan

tersebut di atas pada dasarnya hampir sama, yaitu mengenai bagaimana pemerintah berinteraksi dengan masyarakat dalam bidang ekonomi, sosial, dan politik dalam upaya pemenuhan kepentingan-kepentingan masyarakat. Dalam bidang ekonomi proses kepemerintahan tersebut mencakup proses

yang mempengaruhi kegiatan perekonomian nasional dan hubungannya dengan perekonomian negara-negara lain. Sedangkan dalam lingkup politik, kepemerintahan mencakup proses pengambilan keputusan untuk menetapkan kebijakan dan peraturan perundang-undangan. Di sisi lain, kepemerintahan administratif – yang dilaksanakan melalui

(25)

menghasilkan berbagai konsekuensi bagi kondisi sosial masyarakat.

3. Aktor Dalam Kepemerintahan (Governance).

Dalam praktek kepemerintahan terdapat banyak pelaku atau aktor yang dapat diidentifikasikan, mencakup individual, organisasi, institusi, dan kelompok-kelompok sosial, yang keberadaannya sangat penting bagi terciptanya

kepemerintahan yang efektif. Beberapa aktor yang dapat diidentifikasi antara lain sebagai berikut:

a. Negara dan Pemerintahan. Konsepsi kepemerintahan pada dasarnya adalah kegiatan kenegaraan, tetapi lebih

jauh dari itu melibatkan pula sektor swasta dan kelembagaan masyarakat madani (Civil Society Organizations). Pengertian negara (State) atau pemerintahan dalam hal ini secara umum mencakup keseluruhan lembaga politik dan sektor publik. Peranan dan tanggung jawab negara atau pemerintah adalah

meliputi penyelenggaraan pelayanan publik, penyelenggaraan kekuasaan untuk memerintah, dan membangun lingkungan yang kondusif bagi tercapainya tujuan pembangunan baik pada level lokal, nasional, maupun internasional dan global.

b. Sektor Swasta. Pelaku sektor swasta mencakup perusahaan swasta yang aktif dalam interaksi dalam sistem pasar, seperti: industri pengolahan (manufacturing), perdagangan, perbankan, dan koperasi, termasuk juga kegiatan sektor informal. Peranan sektor

swasta sangat penting dalam pola kepemerintahan dan pembangunan, karena peranannya sebagai sumber

peluang untuk meningkatkan produktivitas, penyerapan tenaga kerja, sumber penerimaan, investasi publik, pengembangan usaha, dan pertumbuhan ekonomi;

c. Masyarakat Madani (Civil Society). Kelompok masyarakat dalam konteks kenegaraan pada dasarnya berada di antara atau di tengah-tengah antara Pemerintah dan perseorangan, yang mencakup baik perseorangan maupun kelompok masyarakat yang berinteraksi secara sosial, politik dan ekonomi. Kelembagaan masyarakat

sipil tersebut pada umumnya dapat dirasakan oleh masyarakat, melalui kegiatan fasilitasi partisipasi masyarakat dengan cara mobilisasi.

Interaksi diantara ketiga pelaku governance secara sederhana dapat digambarkan sebagaimana terlihat dalam Bagan 1,

PEMERINTAH

Interaksi Antar Pelaku Dalam Kerangka

SWASTA MASYARAKAT

(26)

B.

Prinsip-Prinsip Kepemerintahan

Telah dibahas sebelumnya bahwa konsepsi kepemerintahan pada dasarnya merupakan sistem interaksi sosial-politik antara

pemerintah/negara dengan masyarakat modern dewasa ini yang memiliki karakteristik yang kompleks, dinamis, dan beraneka ragam. Dalam implementasi konsep kepemerintahan dengan demikian tidak dapat dipisahkan antara peranan pemerintah dan peranan masyarakat, meskipun tuntutan dari konsep kepemerintahan dewasa ini menghendaki peranan yang lebih

dominan justru terletak di tangan masyarakat. Alasan yang melandasinya sebenarnya sederhana saja, yaitu bahwa permasalahan yang harus ditangani pemerintahan (governability) dari waktu ke waktu cenderung meningkat sejalan dengan meningkatkan kompleksitas, dinamika, dan keanekaragaman kepentingan masyarakat modern dewasa ini, yang secara umum

belum dipertimbangkan dalam kerangka teori dan praktek penyelenggaraan kepemerintahan.

Sedangkan prinsip mendasar yang melandasi perbedaan antara konsepsi kepemerintahan (governance) dengan pola

pemerintahan yang tradisional, adalah terletak pada adanya tuntutan yang demikian kuat agar peranan pemerintah dikurangi dan peranan masyarakat (termasuk dunia usaha dan LSM/Ornop) semakin ditingkatkan dan semakin terbuka aksesnya.

Mengapa dalam pola kepemerintahan dewasa ini peranan masyarakat (society) perlu mendapatkan perhatian yang lebih

besar? Jawabannya dapat terwakili oleh beberapa pernyataan yang menunjukkan bagaimana selama ini model pemerintahan

tradisional telah cenderung mengabaikan aktualisasi keberadaan masyarakat sebagai subyek pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik. Masyarakat selama ini cenderung hanya menjadi obyek pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik, sehingga di berbagai negara terdapat fakta bahwa dengan pembangunan nasional yang dikendalikan sepenuhnya oleh

pemerintah, justru berakhir dengan kesengsaraan, bukan kesejahteraan masyarakat. Beberapa kesimpulan dari hasil studi mengenai interaksi antara pemerintah dan masyarakat sebagaimana dikemukakan oleh Duclaud Williams menurut Kooiman (1993: 251) adalah sebagai berikut:

1. Bahwa keberadaan struktur kekuasaan, metode, dan instrumen pemerintahan tradisional dewasa ini telah gagal; 2. Berbagai bentuk dan ruang lingkup kegiatan interaksi

sosial-politik yang baru telah muncul, tetapi format kelembagaan dan pola tindakan mediasi berbagai kepentingan yang

berbeda pada kenyataannya masih belum tersedia;

3. Terdapatnya berbagai isu baru yang sangat strategis dan menjadi pusat perhatian seluruh aktor yang terlibat dalam interaksi sosial politik, baik dari lingkungan pemerintah maupun masyarakat; dan

4. Diperlukan adanya konvergensi atau kesearahan tujuan dan

(27)

Beberapa kondisi obyektif tersebut telah mendorong munculnya format kepemerintahan sosial-politik (Social-political Governance) baru dalam masyarakat modern dewasa ini. Selain kondisi obyektif yang diperlukan dalam kerangka pikir kepemerintahan yang ternyata tidak muncul dalam pola pemerintahan tradisional, beberapa kondisi subyektif yang harus dapat dimunculkan dalam diri setiap aktor yang terlibat dalam rangka pengembangan konsep kepemerintahan, adalah adanya:

1. Derajat tertentu dalam sikap saling mempercayai atau saling memahami (mutual trust atau mutual understanding); 2. Kesiapan untuk memikul tanggungjawab (bersama);

3. Derajat tertentu keterlibatan politik dan dukungan sosial masyarakat.

Beberapa kondisi obyektif maupun kondisi subyektif tersebut kiranya dapat dipandang sebagai prinsip yang melandasi format kepemerintahan modern yang diperlukan dewasa ini, yang menekankan kepada pola interaksi antara pemerintah dan

masyarakat yang semakin terpadu, kohesif, dan berorientasi kepada kepentingan masyarakat, bukan kepada kepentingan pemerintah semata.

Pola kepemerintahan kontemporer yang ditandai dengan proses pengelolaan bersama (co-arrangement) antara pemerintah

dengan masyarakat (termasuk swasta dan LSM), memiliki karakteristik yang relatif berbeda dibandingkan dengan pola kepemerintahan tradisional atau konvensional yang memiliki karakter utama “lakukan sendiri” oleh pemerintah (“Do it

alone” Government). Perbandingan diantara keduanya dapat digambarkan sebagaimana terlihat dalam Tabel 1.

Dalam masyarakat modern yang dinamis dan kompleks, serta sangat beraneka ragam dewasa ini, pemerintah (dan masyarakat umum) memiliki berbagai tugas baru sebagai berikut:

1. Pemberdayaan interaksi sosial politik, hal ini mengandung arti penarikan diri dalam berbagai kesempatan, namun seringnya (dan pada saat yang sama) hal ini berarti

mengambil tanggung jawab untuk mengorganisasikan interaksi sosial politik yang memberikan dorongan bagi pertumbuhan sistem interaksi sosial-politik untuk mengatur dirinya sendiri.

2. Pembentukan dan pemeliharaan kelangsungan berbagai jenis

dan bentuk “co-arrangements” dimana permasalahan, tanggung jawab dan tindakan kolektif ditanggung bersama (shared).

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dapat disusun sebuah

kerangka acuan berpikir bagi para pejabat pemerintahan Daerah maupun pemerintahan Pusat dalam kerangka aktualisasi pelaksanaan gagasan konsepsional kepemerintahan sebagai berikut:

1. Bahwa orientasi interaktif dan eksternal bagi organisasi pemerintahan merupakan salah satu hal yang sangat penting

dan strategis;

(28)

berbagai pengertian yang berlaku mengenai permasalahan tindakan kolektif dan upaya pemecahannya, dari dalam diri

administrasi publik tersebut;

3. Pemerintah harus mampu mencoba mendelegasikan tanggung jawab makro terhadap berbagai unsur pelaku sosial, dan pada saat yang bersamaan mendorong dan memberdayakan mereka untuk mengambil dan menerima tanggung jawab tersebut;

[image:28.792.440.726.125.431.2]

4. Peranan pemerintah pada akhirnya perlu dibekali dengan kemampuan diri dan kompetensi untuk menjembatani konflik diantara berbagai kelompok kepentingan dan berbagai hambatan lainnya dalam kerangka sosial-politik.

Tabel 1:

Perbandingan Pola Kepemerintahan Tradisional dan Kontemporer Dalam

Hubungannya dengan Kondisi Kompleksitas, Dinamika, dan Keanekaragaman

Interaksi Sosial-Politik Masyarakat

Karakteristik Interaksi Sosial-Politik

Pemerintahan Tradisional “Do it Alone”

Kepemerintahan Modern “Co-arrangement”

Kompleksita s

Hubungan sebab-akibat

Ketergantungan yang bersifat unilateral

Terbagi atau dibagi-bagi kedalam berbagai unit organisasi atau disiplin keilmuan

Menyeluruh dan bagian-bagiannya

Saling ketergantungan (interdependensi) yang bersifat multididiplin

Pengelolaan melalui jaringan komunikasi

Dinamika • Linieritas dan

predik-tabilitas

Kontinuitas dan reversalitas (reversability)

Menggunakan mekanisme “ feed-forward”

Polanya bersifat non-linier dan Chaotic

Diskontinuitas dan Ireversalitas (irreversability)

Memanfaatkan model pemecahan permasalahan, melalui penggunaan mekanisme “Feed-While”/ Feed-back

Keanekaraga man

Pendekatan/analisis didasarkan pada pola perhitungan rata-rata

Perubahan pengaturan dari orientasi hukum dan perundang-undangan kepada berbagai pengecualian.

Analisis bersifat situasional dan diskrit

Dari pengecualian kepada aturan perundang-undangan

Sumber: Jan Kooiman (eds) , 1993, Modern Governance: New

(29)

C.

Latihan

1. Mengapa paradigma penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan berubah dari sarwa negara kepada paradigma kepemerintahan (governance) ?

2. Bagaimana konsepsi kepemerintahan (governance) dapat dirumuskan ?

3. Apa implikasi dari rumusan konsep kepemerintahan tersebut dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Indonesia maupun di berbagai negara

lainnya ?

D.

Rangkuman

Uraian dalam Bab ini dapat dirangkumkan dalam beberapa butir sebagai berikut:

1. Sejalan dengan perkembangan sosial-ekonomi-politik

masyarakat di berbagai negara, khususnya di negara-negara yang sedang berkembang, peranan negara dan pemerintah yang sangat dominan dalam pembangunan nasional telah cenderung bergeser ke arah peranan masyarakat dan swasta

yang lebih besar. Format interaksi antara pemerintah dengan masyarakat telah bergeser dari paradigma klasik sarwa negara (government) telah bergeser kearah paradigma kepemerintahan yang berorientasi pada peranan masyarakat madani dalam format kepemerintahan (governance).

2. Penyelenggaraan pemerintahan (governing) dalam konteks tersebut di atas dapat diartikan sebagai proses interaksi antara

berbagai aktor dalam pemerintahan dengan kelompok sasaran atau berbagai individu masyarakat.

3. “Governance”, tidak hanya berarti kepemerintahan sebagai suatu kegiatan, tetapi juga mengandung arti pengurusan, pengelolaan, pengarahan, pembinaan, penyelenggaraan dan bisa juga diartikan pemerintahan. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila terdapat istilah public governance, private governance, corporate governance dan banking

governance.

4. Konsepsi kepemerintahan dapat didefinisikan sebagai pelaksanaan kewenangan/ kekuasaaan dibidang ekonomi, politik dan administratif untuk mengelola berbagai urusan negara pada setiap tingkatannya dan merupakan instrumen

kebijakan negara untuk mendorong terciptanya kondisi kesejahteraan, integritas, dan kohesivitas sosial dalam masyarakat.

5. Konsepsi governance mencakup berbagai metode yang digunakan untuk mendistribusikan kekuasaan/kewenangan

dan mengelola sumber daya publik, dan berbagai organisasi yang membentuk pemerintahan serta melaksanakan kebijakan-kebijakannya. Konsep ini juga meliputi mekanisme, proses, dan kelembagaan yang digunakan oleh masyarakat, baik individu maupun kelompok, untuk mengartikulasikan kepentingan-kepentingan mereka,

(30)

6. Dalam konsepsi governance, para pelaku dalam interaksi kepemerintahan terdiri dari unsur sektor publik (pemerintah) yang berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif, sektor swasta yang menciptakan pekerjaan dan pendapatan bagi masyarakat, dan masyarakat madani (civil society) yang memfasilitasi interaksi sosial dan politik, menggerakkan kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk berperan serta dalam

kegiatan ekonomi, sosial dan politik.

7. Paradigma kepemerintahan (governance) adalah paradigma yang menekankan bagaimana pemerintah berinteraksi secara kondusif dalam kesetaraan dan keseimbangan peranan dengan sektor swasta dan masyarakat madani dalam bidang

ekonomi, sosial, dan politik untuk berkolaborasi memenuhi kebutuhan dan kepentingan-kepentingan masyarakat itu sendiri.

49

BAB IV

KEPEMERINTAHAN YANG BAIK

(

GOOD GOVERNANCE

)

Arti kepemerintahan yang baik sebagai terjemahan dari good governance dalam modul ini lebih ditekankan pada peran pemerintah dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dan pembangunan, walaupun mempunyai obyek menyentuh berbagai sektor. Hal ini sejalan dengan pendapat Pinto (1994) bahwa istilah “governance” mengandung arti “Praktik penyelenggaraan kekuasaan dan kewenangan oleh pemerintah dalam pengelolaan urusan pemerintahan secara umum, dan pembangunan ekonomi pada khususnya”.

A.

Pengertian Kepemerintahan Yang Baik

Dalam bab terdahulu telah dijelaskan dijelaskan mengenai pengertian governance yang dalam modul ini dialihbahasakan menjadi kepemerintahan, sehingga para peserta Diklat dapat memahami makna yang terkandung di dalamnya untuk membahas lebih lanjut konsep kepemerintahan yang baik dalam konteks modul ini.

Setelah membaca Bab IV, peserta Diklat diharapkan mampu menjelaskan pengertian Kepemerintahan yang Baik beserta

(31)

Arti good dalam istilah good governance mengandung dua pengertian: pertama, nilai-nilai yang menjunjung ti

Gambar

Tabel 1:

Referensi

Dokumen terkait

Dengan diperolehnya 3 kebijakan pengembangan sistem penerapan SNI dan penilaian kesesuaian tersebut, maka capaian kinerja pada tahun 2016 tersebut diharapkan akan

Penulis menyimpulkan bahwa jenis ijtihad yang digunakan oleh Didin adalah ijtihad istil ā h ī , karena Didin dalam menggali, menemukan, dan merumuskan hukum syar’i dengan cara

1) Melakukan penyusunan rencana kegiatan Sub Bagian Analisis Informasi berdasarkan tugas, permasalahan dan regulasi kebijakan tentang perencanaan program dan kegiatan SETDA

Indikator soal : Disajikan sebuah kalimat yang memuat kata ganti tertentu, siswa dapat menentukan jawaban pertanyaan tentang kata rujukan dalam teks dengan tepat..

Grafik 4.1 Kecepatan Yang Terjadi Pada Lubang Buang 9cm yang Melewati Garis Ukur

2018 Menyingkap Fenomena Cadar di Indonesia, Dipetik, Maret, 25, 2018 dari simak.co.id : http://simak.co.id/menyingkap-fenomena-cadar-diindonesia/ Berikut Cara Menggunakan Fitur Ask

kelompok diklat untuk mendapatkan balikan. g) Guru yang ditunjuk tersebut memperbaiki kembali secara lebih detail rencana pembelajaran dan mengirimkan pada semua

yaitu pada lafaz (خشئبع َزمشف) „Aisyah benar-benar menyobek tutup kepala yang tipis tersebut dan menggantinya dengan tutup kepala yang tebal. Hukum dari lafaz ini