• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRINSIP-PRINSIP POLITIK ISLAM MENURUT BEDIUZZAMAN SAID NURSI

Penelitian ini menjelaskan bahwa pemikiran politik Said Nursi memuat enam prinsip dasar yang meliputi tauhid, musyawarah, kebebasan, keadilan, persamaan dan nasioanalisme.

Tauhid

Salah satu prinsip dasar pemikiran politik Nursi adalah tauhid sebagaimana Imam al-Ghazali dan para tokoh pendahulunya juga berpendapat tauhid sebagai dasar pemikiran politik Islam. Menurut Nursi (2003a, hlm. 698-699) alam semesta ini merupakan sebuah sistem mulai dari partikel sampai galaksi. Oleh karena itu, sistem ini dengan semua bagiannya sesungguhnya sebuah bahan penelitian agar mencapai sistem sosial da politik untuk manusia. Dari pernyataan di atas dapat dipahami negara juga suatu sistem yang di dalamnya harus ada prinsip tauhid dalam membangun negara yang teratur dan sistematik. Dalam pandangan Nursi ada dua macam tauhid, yaitu tauhid lahir dan umum (taqlidi), tauhid haqiqi. Ia menguraikan tauhid tersebut sebagai berikut :

Tauhid lahir dan umum (tauhid taqlidi) dari orang yang beriman: “Allah yang Maha Kuasa adalah satu, tanpa pasangan atau menyamai-Nya. Jagad raya ini milik-Nya.” Tauhid haqiqi adalah dengan melihat tanda kekuasaan-Nya, stempel kemuliaan-kekuasaan-Nya, dan tulisan pena-Nya pada segala sesuatu,

seorang membuka pintu secara langsung menuju cahaya-Nya. Orang itu kemudian mengakui dan percaya, dengan seluruh keyakinan yang berasal dari pengamatan langsung, bahwa segala sesuatu ada karena kuasa-Nya, bahwa Dia tidak memiliki pasangan atau pembantu dalam sifat ke-Tuhanan dan Kemuliaan-Nya atau Kekuasaan-Nya yang absolut. Dengan cara ini, seseorang mencapai tingkatan kesadaran permanen atas keberadaan Tuhan (Nursi, 2003d, hal.35).

Selanjutnya, Nursi menguraikan bukti-bukti dari alam semesta untuk mencapai tauhid haqiqi. Menurutnya, keteraturan, keseimbangan, dan keindahan yang pada alam semesta menunjukkan keberadaan Allah SWT. Kemudian, Said Nursi (2003a, hal.663-668) berpendapat adanya 6 rukun iman, yaitu iman kepada Allah SWT, akhirat, malaikat, kenabian, kitab-kitab samawi dan taqdir. Menurutnya, perubahan yang bersifat baik dalam sebuah masyarakat mulai dari individu ke komunitas melalui tauhid haqiqi yang disebut di atas. Oleh karena itu , ia mengemukakan bahwa :

Manusia ini dihadirkan ke dunia untuk mencapai kesempurnaan melalui pengetahuan dan doa. Karena setiap sesuatu di dunia dihadapkan pada ilmu dan berkaitan dengan pengetahuan sesuai dengan esensi dan persiapannya. Jadi, landasan setiap ilmu yang haqiqi, tambang, cahaya dan ruhnya adalah „makrifat kepada Allah‟ sebagaiman landasan dasar ini adalah „iman kepada Allah‟ (Nursi 2004a, hlm. 18-19).

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa tauhid adalah pondasi sistem politik Islam untuk membangun masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam. Dari pandangan Nursi tentang tauhid, berpendapat bahwa:

Nursi mendefinisikan iman, yakni sebagai pengertian kehidupan manusia dari lahir sampai meninggal dala terminologi konsep al-Qur‟an. Menurutnya, dengan perubahan dari iman taqlidi ke iman haqiqi, umat Islam bisa melawan dengan positivisme modern, yaitu materialisme dan atheisme. Seorang muslim harus menanyakan kenapa dan bagaimana dia diciptakan? Setelah menjawab pertanyaan di atas, umat Islam dapat membangun satu komunitas dengan kesadaran tersebut. Dia membuktikan bahwa, semua kebajikan- keadilan, perdamaian, kejujuran, persatuan dan cinta- berasal dari iman dan ajaran moral Islam; sebaliknya, anarki, egoisme, penindasan dan kemelaratan semuanya merupakan akibat dari ketiadaan iman dan ajaran moral. Oleh karena itu, iman merupakan fondasi

komunitas bermoral dan sumber pengetahuan yang terkait dengan fenomena dunia (Yavuz 2003, hlm.158).

Hal yang sama diungkapkan Rais (1991, hal.44) dalam bukunya berjudul

Cakrawala Islam bahwa : “seluruh bidang dan kegiatan hidup kaum Muslimin harus

bertumpu pada tauhid. Dengan menjadikan tauhid sebagai poros – sentral kehidupan mereka. kaum muslimin dapat menarik atau mendeduksi etika, nilai-nilai norma pokok serta parameter bagi kehidupan bernegara dan berpemerintahan”.

Sebagaimana pendapat Rais yang mengatakan tauhid adalah prinsip dasar dalam dunia politik, Nursi juga meyakini bahwa tauhid merupakan prinsip dasar dalam kehidupan sosial. Perubahan dari iman taqlidi menuju iman haqiqi membuahkan masyarakat yang peduli dengan prinsip-prinsip Islamdalam sebuah pemerintahan dan menciptakan pemimpin-pemimpin adil yang menerapkan nilai-nilai Islam dalam menjalankan kebijakan-kebijakanya. Tidak hanya Nursi, tetapi juga tokoh-tokoh lainya seperti al-Gazali, al-Maududi berpendapat bahwa tauhid adalah fondasi dalam politik, maka pantas Nursi berpendapat tauhid sebagai prinsip politik dalam Islam.

Masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat dapat diatasi dengan pencapaian pada tingkat iman haqiqi. Karena, rekontruksi dalam watak masyarakat dengan iman

haqiqi berpengaruh pada sektor ekonomi, politik dan kehidupan sosial. Dengan

demikian, masyarakat akan maju tanpa meninggalkan nilai-nilai Islam dan tradisi masyarakat.

Terjadi banyak penyelewangan-penyelewangan oleh para pemimpin dan pejabat dalam dunia politik pada masa kini. Prinsip tauhid memberikan kesadaran kepada para pemimpin bahwa semua kebijakan yang mereka jalankan akan dipertanggunjawabkan di

hadapan Allah SWT. Maka, dengan kesadaran tauhid para pemimpin dan pejabat tidak menindas hak rakyat dan berhati-hati dalam setiap keputusannya.

Para pejabat dan penguasa cenderung memiliki otoritas yang tidak bisa ditentang, oleh karena itu banyak manusia yang begitu saja menyerah dan tunduk kepada mereka tanpa daya pikir dan keberanian untuk mengkritik. Dengan mencapai tingkat iman

tahqiqi yang disebutkan oleh Nursi di atas, masyarakat bisa mengkritik

kebijakan-kebijakan pemimpin demi kemaslahatan umat. Karena manusia merupakan hamba Allah semata dan tidak merendahkan diri kepada sesuatu apapun.

Musyawarah

Dawam Rahardjo (2002, hlm.444) mengemukakan bahwa; musyawarah, oleh para pemikir modern , dianggap sebagai doktrin kemasyarakatan dan kenegaraan pokok, tidak saja karena jelas nash-nya dalam al-Qur‟an, tetapi juga karena hal ini diperkuat oleh Hadits atau perkataan Nabi, serta merupakan sunnah atau keteladanan Nabi. Justru di sinilah letak kesulitan dalam menafsirkan arti dan makna musyawarah. Di satu pihak, para mufassir dan pemikir harus dan berusaha melihat konteks maknanya secara lebih spesifik, sesuai dengan apa yang dijalankan Nabi dan shahabatnya. Di lain pihak, mereka terutama para pemikir politik dan kemasyarakatan mengacu kepada bentuk-bentuk musyawarah yang telah berkembang di zaman modern, yang sudah tentu tidak akan diketemukan contohnya yang persis, pada awal perkembangan Islam.

Menurut Shihab (1998, hlm.469) musyawarah bermakna mengeluarkan madu

dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu

dapat juga berarti mengatakan atau mengerjakan sesuatu. Kata musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya.

Dalam al-Qur‟an ada dua ayat yang menjadi dasar untuk prinsip musyawarah, yaitu surat As-Syura ayat 38 dan surat Al-Imran ayat 159. Allah berfirman sebagai berikut :

























Artinya : Dan (bagi) orang –orang yang menerima seruan Tuhannya dana mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.































































Artinya : Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka

bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

Berdasarkan ayat-ayat di atas, Nursi memahami konsep musyawarah tidak hanya dari sudut pandang ekonomi, sosial. Ia percaya bahwa musyawarah merupakan mekanisme untuk mengambil keputusan yang benar untuk urusan Islam. Menurutnya, konsep musyawarah berdasarkan hakikat, argumentasi dan berpikir rasional. Ia juga percaya bahwa melalui proses musyawarah umat Islam, bisa menghadapi dan menjawab tantangan peradaban modern ini.

Menurut Nursi (2002, hlm. 26) untuk mengaktualisasikan musyawarah harus diambil contoh zaman Rasulullah di mana mekanisme membuat keputusan yang diterima berdasarkan pada rasionalitas manusia dan musyawarah yang didukung oleh wahyu, maka tidak ada keraguan dan kesalahan.

Dalam pandangan Nursi, musyawarah tidak hanya terbatas antara individu, tetapi juga perlu dilaksanakan antara kelompok-kelompok dan bahkan antara negara dan benua. Dengan sistem musyawarah itu, umat Islam bisa menghadapi tantangan zaman. Ungkapan di atas dapat dilihat pernyataan Nursi sebagai berikut :

Sesungguhnya kunci untuk kebahagiaan orang-orang yang beriman dalam kehidupan ialah musyawarah. Ayat-ayat suci al-Qur‟an memerintahkan kita agar menjalankan musyawarah dalam segala urusan. Sesungguhnya, kunci benua Asia dan ramalan masa depannya adalah musyawarah. Sebagaimana individu-individu itu bermusyawarah maka begitulah sepatutnya bangsa-bangsa dan benua-benua mengadakan musyawarah sesama mereka. Sesungguhnya pada perangkaian setiap rantai yang telah merantai tiga ratus bahkan empat ratus juta muslim dan pembebasan mereka dari perhambaan hanya tercapai dengan musyawarah dan kebebasan syar‟i yang bersumber kemuliaan Islam dan kesucian keimanan Islam serta kebebasan syar‟i yang dihiasi dengan adab-adab yang bisa menghambat kejahatan peradaban Barat (Nursi 1995a, hlm.51).

Untuk menyelesaikan problem-problem umat Islam, salah satu cara yang ditawarkan oleh Nursi adalah musyawarah. Hal ini bisa terlihat dalam pengajuan

proposalnya kepada Partai Persatuan dan Kemajuan bahwa, ia mengajukan proposal yang berisi tiga permintaan. Pertama, mendirikan satu universitas seperti universitas Al-Azhar. Kedua, bersikap tulus, amanah dan menjadi masa depan golongan ulama. Ia menuntut atas nama “perpaduan” dan “kemajuan” supaya pemerintah membantu untuk memenuhi keperluan rakyat, khususnya penduduk Turki Timur. Ketiga, meneguhkan Majlis syura, peranan dan tanggung jawab untuk menyelesaikan masalah-masalah yang melanda dunia Islam ketika itu tidak seharusnya dibebankan kepada Syaikh al-Islam semata-mata. Untuk mengatasi masalah ini, perlu dibentuk majlis syura yang beranggotakan para ulama dari seluruh dunia Islam. Tindakan ini penting untuk mendapatkan kepercayaan dunia Islam seluruhnya (Mat 2001, hlm.40).

Nursi lahir dan besar pada periode dimana mana absolutisme Sultan mendominasi di Turki Usmani. Para tokoh baik dari Usmani Muda maupun Turki Muda menawarkan pemerintahan konstitusional untuk membatasi keabsolutan Sultan. Nursi juga sepakat dengan pemerintahan konstitusional dan mengatakan ada prinsip musyawarah dalam Islam untuk menjalankan roda pemerintahan.

Untuk memahami pendapat Nursi tentang sistem republik, perlu disampaikan sebuah cerita sebagai berikut: Waktu dia berada di Mahkamah Eskisyehir, ia diminta pendapatnya tentang sistem republik. Nursi mengatakan kepada para hakim bahwa :

Biografi saya yang anda pegang membuktikan bahwa saya seorang republikan yang religius. Sebelum anda lahir semua kecuali ketua hakim, saya mempunyai sebuah cerita. Ringkasan dari cerita sebagai berikut : saya telah bermukim di sebuah makam. Adikku dan teman-temannya membawa makanan untuk saya dan saya kasih remah-remah roti kepada para semut. Setelah itu, saya mencelup roti saya di dalam sup dan makan, mereka bertanya kebijaksanaanku dan saya mengatakan kepada mereka:

Bangsa semut dan lebah adalah republikan. Saya memberi remah-remah ini kepada semut sebagai penghormatan atas kerepublikan mereka.

Mereka katakan kepada saya :

Saya menjawab :

Khulafaur Rasyidin adalah khalifah dan sekaligus presidennya republik. Abu Bakar r.a, sepuluh sahabat yang dipuji dengan surga dan para sahabat Nabi adalah seperti presiden. Tetapi bukan sekedar nama dan gelar saja, tetapi mereka adalah kepala republik religius yang membawa keadilan hakiki dan kebebasan yang sesuai dengan syariah (Nursi 2000h, hlm. 386-387).

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa Nursi menggambarkan sistem republik yang mengutamakan hukum, kebebasan berpendapat dan satu sistem yang adil.

Ketika Nursi membahas sistem republik, ia berfikir sistem republik bersama dengan atribut demokratik, dia mengatakan bahwa setiap pemerintah mempunyai oposisi. Selama kelompok oposisi tidak mengganggu kedamaian dan keamanan masyarakat, mereka tidak bisa dihukum karena adanya pemikiran yang mereka punya dalam hati dan kesadaran. Nursi mendukung kebebasan pendapat dalam sistem republik dan mengatakan bahwa sistem republik adalah bentuk kebebasan yang paling luas (Nursi 1999, hlm.127)

Dari uraian di atas terlihat pandangan Nursi sejalan dengan para tokoh Muslim modern. Contohnya, al-Afghani juga setuju dengan sistem republik. Dari persetujuan Nursi terhadap sistem pemerintahan republik dapat dipahami bahwa, sumber kekuasaan adalah rakyat.

Pulungan (2004, hlm. 336) berkesimpulan dari pendapat Nursi tentang musyawarah adalah sebuah prinsip yang menghindarkan masyarakat dari pemerintahan yang tirani. Kemudian, musyawarah harus berdasarkan pada Syariah. Selanjutnya, Nursi memperdebatkan musyawarah adalah sebuah kekuatan untuk memperjuangkan hakikat, keadilan dalam kehidupan sosial secara harmonis. Musyawarah juga merupakan interaksi sosial sesama manusia, antara manusia dan masyarakat atau antara kelompok dengan kelompok lain dari sudut pandang ilmu sosiologi.

Dari uraian di atas, Mursel (1989, hlm.151) berpendapat dalam pandangan Nursi, pelaksanaan musyawarah pada masa Rasulullah SAW mengandung prinsip-prinsip sistem republik. Maka, Nursi menyebut dirinya sebagai “republikan yang religius”. Selanjutnya, musyawarah perspektif Nursi tidak terbatas pada dunia politik, tetapi mencakup hal-hal yang mendorong untuk kemajuan dan perkembangan peradaban manusia. Kemudian, prinsip musyawarah memberikan hak kepada setiap individu untuk memberikan kontribusi terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah melalui wakil-wakil yang ada di majlis (DPR). Musyawarah juga membebaskan pihak-pihak yang mengambil satu keputusan tentang politik dari keraguan.

Dari konsep musyawarah Nursi dapat dipahami bahwa ruang lingkup musyawarah tidak terbatas dalam dunia politik, melainkan berlaku untuk masalah-masalah sosial, ekonomi dan individu. Dengan musyawarah dalam pengertian luas prinsip ini menjadi sarana untuk kemajuan umat Islam dan merupakan benteng dalam menghadapi tantangan zaman. Nursi selalu menekankan pentingnya penerapan prinsip musyawarah, namun dia tidak menjelaskan bentuk, tata cara dan hal-hal teknis yang terkait dengan musyawarah.

Seperti diuraikan oleh Dawam Rahardjo pada awal pembahasan bahwa para pemikir muslim berpendapat musyawarah merupakan salah satu prinsip dasar dalam politik Islam. Namun mereka berbeda pendapat dalam penerapan konsep musyawarah. Ketika dibandingkan dengan konsep Said Nursi dapat terlihat bahwa Nursi tidak menguraikan bentuk musyawarahnya seperti apa, tetapi menekankan perlunya pelaksanaan muyawarah di tingkat individu, masyarakat, negara, bahkan antar negara.

Ketika konstitusi kedua (1908) diumumkan di Turki Usmani Nursi mendukung konstitusi tersebut. Karena sistem parlementer yang berdasarkan pada undang-undang

merupakan implementasi dari prinsip musyawarah dalam Islam yang berdasarkan kedua ayat di atas. Dengan perubahan dari sistem Monarki ke Republik tidak cukup untuk menerapkan nilai-nilai Islam. Karena, kadang-kadang diterapkan sistem Republik, tetapi yang terjadi despotisme. Oleh karena itu, Nursi lebih menekankan penerapan prinsip-prinsip Islam secara substansif dalam politik daripada simbol-simbolnya.

Dalam konteks politik modern sekarang, prinsip musyawarah menentang elitisme yang menangkap bahwa hanya orang-orang tertentu menjadi pemimpin. Melalui prinsip musyawarah (atau pemilihan), masyarakat memilih pemimpinnya sendiri. Kemudian musyawarah mencegah penyelewengan negara ke arah sistem otoriter, despotisme dan berbagai sistem lain yang membunuh hak-hak politik masyarakat. Karena, dengan musyawarah, masyarakat berpartisipasi dalam dunia politik.

Prisip musyawarah juga dapat mejadi alat untuk mengontrol kebijakan-kebijakan pemerintahan. Karena, melalui wakil rakyat yang di majlis, masyarakat bisa mengontrol kebijakan-kebijakan pemerintah dan mengalokasikannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Kebebasan

Kebebasan sangat penting bagi Nursi, bahkan ia mengatakan “saya bisa hidup tanpa roti, tetapi tidak bisa hidup tanpa kebebasan” (Nursi 1999, hlm. 18).

Kebebasan, biasanya diartikan bahwa melakukan sesuatu dengan kehendak sendiri tanpa menganggu orang lain. Dari kaca mata ilmu hukum, kebebasan adalah melakukan sesuatu yang diperintahkan oleh hukum, menghindari apa yang dilarang oleh hukum (Basgil 1961, hlm. 97). Menurut Nursi (1993b, hlm. 14) kebebasan berprinsip tidak ada seorang yang menghakimi orang lain, selain peraturan hukum dan

norma-norma masyarakat. Semua hak orang terjamin, semua orang punya kebebasan dalam tindakan yang sesuai dengan ajaran Islam.

Dari definisi di atas, Mursel (1975, hlm. 336) memformulasikan kebebasan sebagai berikut :

1. Dalam penggunaan kebebasan, tolak ukur adalah hukum,

2. Penggunaaan kebebasan tidak berarti seorang menghakimi orang lain,

3. Ketika manusia menggunakan kebebasannya, ia tidak boleh merugikan dirinya sendiri dan orang lain, maka penggunaan kebebasan dalam bingkai Syariah.

Mungkin ada orang yang menafsirkan kebebasan sebagai kebebasan mutlak dan bertindak tanpa batas. Menurut Nursi, tidak ada kebebasan mutlak, kebebasan tanpa batas. Ia mengatakan kebebasan harus dihiasi dengan ajaran Islam. Kalau tidak, mengikuti hawa nafsu, bukan kebebasan lagi, tetapi kebebasan hewani dalam arti kebebasan yang membabi buta.

Nursi membuat relasi secara logis antara iman, kebebasan dan hukum. Menurutnya, orang yang menjadi pelayan Sultan alam semesta dengan ikatan iman, kemuliaan dan izzah iman orang tersebut akan menghindari untuk merendahkan dirinya terhadap orang lain dan menolak despotisme dan kezaliman, dan dengan kasih sayang orang tersebut tidak meremehkan hak dan kebebasan orang lain. Maka ukuran kekuatan iman menjunjung tinggi kebebasan. Contohnya, masa Nabi Muhammad SAW (Nursi 1995a, hlm. 23).

Hubungan antara iman dan kebebasan yang digambarkan Nursi sebuah hambatan terjadinya despotisme dan keabsolutan bagi Nursi. Oleh karena itu, hal ini menjadi sebab utama untuk mendukung Konstitusi Turki pada tahun 1908 (Davutoglu 1995, hlm. 4).

Menurutnya, kebebasan merupakan suatu hal untuk perubahan sosial, baik dalam maupun luar negeri, bagi umat Islam. Ia mengatakan “Sesungguhnya pintu pertama untuk masuk kemajuan Asia dan umat Islam mendatang, yaitu masyrutiyyet-i masyrua (konstitusi yang sesuai dengan syariah) serta kebebasan yang sesuai dengan syariah” (Nursi 1993a, hlm. 51).

Nursi (1999, hlm.17) mengakui juga kebebasan berfikir dan beragama, ia mengatakan sistem republik menjamin kebebasan berfikir dan beragama. Tidak seorangpun bisa dihukum dengan pendapatnya yang ia terima dengan hati nuraninya asalkan tidak mengganggu keamanan dan peraturan publik. Dari ungkapan di atas dapat dipahami bahwa seorang atau sebuah organisasi boleh beroposisi dengan pemerintahan, tetapi tidak punya hak untuk merusak keamanan masyarakat. Menurut Pulungan (2004, hlm. 336) dalam pandangan Nursi terdapat kebebasan berpendapat, kebebasan bertindak, kebebasan untuk mencari persamaan di masyarakat.

Dari uraian di atas, Mursel (1989, hlm.105-112) berpendapat bahwa Nursi setuju dengan kebebasan terbatas. Maka, kebebasan harus sesuai dengan ajaran Islam. Ia dihiasi dengan nilai-nilai akhlak seperti kasih sayang agar menjadi alat komunikasi masyarakat dan mencapai manfaat yang diharapkan secara individu, sosial dan politik. Selanjutnya, konsep kebebasan ini menjadi sarana untuk kemajuan dan peradaban.

Dari definisi Nursi tentang kebebasan, dapat dipahami bahwa kebebasan dapat digunakan di bawah supremasi hukum. Dengan supremasi hukum hak individu dijamin oleh negara. Rakyat memiliki kebebasan bertindak selama tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum dan Syariah. Nursi tidak membatasi konsep kebebasannya dengan mengganggu dan mengzalimi orang lain, bahkan manusia tidak berhak mengganggu dan merugikan dirinya. Walaupun manusia memiliki kebebasan, dia

bertanggung jawab tindakan- tindakannya terhadap masyarakat dan Allah SWT. Oleh karena itu, tindakan manusia harus sesuai dengan perintah Sang Pencipta. Jika manusia mengikuti hawa nafsunya, maka ia tidak memiliki kebebasan, melainkan menjadi “hamba nafsu”.

Prinsip kebebasan memberikan semangat kepada masyarakat untuk kemajuan. Karena masing-masing individu mempunyai pendapat terkait dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat dan dapat mengutarakan pendapatnya melalui LSM, institusi dan lembaga-lembaga lainya. Kalau tidak ada kebebasan rakyat mengikuti keputusan pemerintah secara paksa dan terjadi despotisme.

Prinsip kebebasan memicu kemajuan di berbagai sektor dan dapat mengatasi masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Oleh karena itu Nursi menekankan pentingnya kebebasan dengan ungkapan “Sesungguhnya pintu pertama untuk masuk kemajuan Asia dan umat Islam mendatang, yaitu masyrutiyyet-i masyrua (konstitusi yang sesuai dengan syariah) serta kebebasan yang sesuai dengan syariah” (Nursi 1993a, hlm. 51).

Dalam konteks politik modern sekarang, kebebasan berfikir dan berpendapat merupakan alat bagi individu, masyarakat dan organisasi untuk memonitor kebijakan-kebijakan pemerintah dan mereka bisa mengkritik kebijakan-kebijakan-kebijakan-kebijakan tersebut untuk mengarahkan ke hal yang lebih baik dan kepentingan masyarakat sendiri.

Pembatasan kebebasan manusia dengan peraturan hukum dan nilai-nilai Islam menyebabkan keharmonisan masyarakat di mana individu tidak mengambil hak orang lain. Individu bertindak bebas sesuai dengan batas-batas hukum dan Syariah.

Salah satu prinsip penting dalam politik Islam adalah keadilan. Secara bahasa keadilan ialah “tengah” atau “pertengahan”, yaitu makan etimologisnya dalam bahasa Arab. Adil juga sinonim dengan “wasth” yang darinya terambil kata pelaku “wasith” yang artinya ialah “penengah” atau “orang yang berdiri di tengah” yang mengisyaratkan sikap keadilan. Tentu saja, sebagai konsep, makna keadilan itu jauh lebih luas dan rumit dari pada makna kebahasaannya. Seperti dikutip oleh Nurcholis Madjid (1995, hlm. 512-516), menurut Murtadla al-Mutahhari terdapat empat pengertian pokok tentang adil dan keadilan. Pertama, keadilan mengandung pengertian perimbangan atau keadaan seimbang (mawzun), tidak pincang. Jika misalnya suatu masyarakat ingin mampu bertahan dan mantap, maka ia harus berada dalam keseimbangan, dalam arti bahwa bagian-bagiannya harus berada dalam ukuran dan hubungan satu dengan lainnya secara tepat. Kedua, keadilan mengandung makan persamaan (musawah) dan tiadanya

Dokumen terkait