• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRINSIP-PRINSIP POLITIK ISLAM MENURUT SAID NURSI. Bab 1 PENDAHULUAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PRINSIP-PRINSIP POLITIK ISLAM MENURUT SAID NURSI. Bab 1 PENDAHULUAN"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

PRINSIP-PRINSIP POLITIK ISLAM MENURUT SAID NURSI

Bab 1

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Pembaharuan yang muncul pada dunia Islam berpengaruh terhadap umat Islam termasuk Turki Usmani dan mendorong perkembangan pembaharuan di bidang politik, ekonomi dan kemasyarakatan. Dalam bidang politik, angin pembaharuan berpengaruh terhadap sultan-sultan dan tokoh-tokoh Turki Usmani. Pertama kalinya, Sultan Mahmud II telah berusaha membatasi kekuasaan absolut dalam pemerintah. Selanjutnya, pembaharuan dilanjutkan oleh kelompok Tanzimat dimana mereka telah berusaha untuk menyusun undang-undang politik.Tokoh-tokoh terkenalnya adalah Mustafa Rasyid Pasya, Mehmed Sadik Rifat Pasya.

Selanjutnya, pada tahun 1865 muncul Gerakan Usmani Muda yang pada asalnya merupakan perkumpulan rahasia untuk merubah pemerintah absolut Turki Usmani menjadi pemerintah konstitusional. Para tokohnya adalah Ziya Pasya (1825-1880), Namik Kemal (1840-1888) dan Midhat Pasya (1822-1883). Mereka menganggap bahwa pemerintahan absolut bertentangan dengan syariah. Sistem bai‟ah yang terdapat dalam pemerintahan khilafah pada hakikatnya merupakan kadaulatan rakyat dan musyawarah merupakan salah satu dasar politik Islam. Menurut mereka, ide-ide Barat tidak menerima begitu saja, tetapi mereka mencoba menyesuaikan dengan ajaran Islam (Nasution 1975, hlm. 15-112).

(2)

Selain Usmani Muda, muncul satu gerakan lagi yaitu Turki Muda. Di kalangan militer menjelma dalam bentuk komite-komite rahasia. Oposisi yang berbagai kelompok inilah yang kemudian dikenal dengan nama Turki Muda. Ide perjuangan Turki Muda, antara lain dimajukan oleh tiga pemimpin Ahmed Riza (1859-1931), Mehmed Murad (1853-1912) dan Pangeran Sabahuddin (1877-1948).

Sejalan dengan Usmani Muda, pada periode akhir Turki Usmani muncul seorang tokoh bernama Bediuzzaman Said Nursi. Ia dilahirkan pada tahun 1876 di Turki Timur. Dalam dunia pendidikan, untuk pertama kali Said Nursi belajar di Kuttab (madrasah) pimpinan Molla Mehmet Emin di desa Thag pada tahun 1885. Disamping itu, ia menerima pendidikan dasar dari para ulama terkenal di daerahnya. Pada tahun 1891, ia bersama seorang temannya berangkat menuju madrasah di Bayezid, satu daerah di Turki Timur. Disinilah Said Nursi mempelajari ilmu-ilmu agama dasar, karena sebelum ia hanya belajar Nahwu dan Sharaf saja. Ia belajar dengan segala kesungguhan dan secara intensif untuk jangka waktu tiga bulan lamanya. Selama itu, ia berhasil membaca seluruh buku yang pada umumnya dipelajari di sekolah-sekolah agama. Dalam waktu relatif singkat sekali ia mampu menguasai matematika, ilmu falak, kimia, fisika, geologi, filsafat, sejarah, geografi, dan lain-lain (Salih 2003 hlm. 8-15).

Ketika Konstitusi kedua diundangkan dalam sistem pemerintahan Turki Utsmani (23 Juli 1908), dia pertama kali terlibat dalam dunia politik dan menjadi pendukung pemerintahan konstitusional. Perhatian ia lebih difokuskan pada kegiatan orasi dan menulis makalah-makalah sebagai media untuk menjelaskan makna kebebasan dalam Islam dan pengaruh Islam dalam kehidupan politik, juga tuntunan agar Syari‟at

Konstitusu yang mengundangkan UUD dan pemilihan anggota parlemen yang mengukuhkan

(3)

Islam diterapkan dan aktif memberi peringatan jangan sampai menyalahgunakan makna kebebesan ( Salih 2003, hlm. 20).

Pada tahun 1910, ia pulang ke Turki Timur dan berkeliling berbagai kota dan kawasan pedesaan termasuk kabilah-kabilah dalam rangka mensosialisasikan pemerintahan konstitusional dan makna kebebasan menurut Islam kepada masyarakat. Dialog antara Said Nursi dan masyarakat dikumpulkan di dalam satu risalah berjudul

Munazarat (Debat-debat) dan diterbitkan pada tahun 1913. Selain karya tersebut, dia

menerbitkan beberapa karyanya berjudul Divan-i Harbi Orfi ve Said Nursi, Sunuhat,

Isharat, Tuluat yang mengenai berbagai persoalan tentang politik, kemasyarakatan,

peradaban dan lain-lain.

Nursi pergi ke Damaskus untuk menyampaikan khutbah di Masjid Umayyah Pada tahun 1911tentang kondisi umat Muslim dan cara mengatasi masalah-masalahnya. Khutbah ini, beberapa tahun kemudian diterbitkan dengan berjudul Hutbe-i Samiye ( Vahide 2003, hlm. XVIII-XIX).

Dari karya-karya tersebut dapat disimpulkan bahwa, Nursi tidak sepakat dengan pemerintahan absolut. Oleh karena itu, dia mendukung pemerintahan konstitusional dan kebebasan yang sesuai dengan Islam. Menurutnya, tugas para pejabat adalah melayani masyarakat, bukan untuk tirani. Ia menerima nasionalisme Islam yang meliputi semua umat Islam. Nampaknya, pemikiran nasionalisme Nursi senada dengan pemikiran

pan-Islamisme Jamaluddin al-Afghani. Pernyataan ini, diungkapkan oleh Nursi bahwa ia

sepakat dengan pemikiran al-Afghani tentang pan-islamisme. Di samping itu, menurutnya, sebab kelatarbelakangan umat Islam adalah kebodohan, kemiskinan dan persilisihan. Untuk mengatasi problem tersebut ada tiga cara, yaitu mengingkatkan pendidikan, kerja keras dan kemajuan, dan persatuan umat Islam.

(4)

Sebenarnya, Nursi membagi kehidupannya dua periode, yaitu Said Qadim dan

Said Jadid. Pada periode Said Qadim, ia aktif di dunia politik. Walaupun ia mempunyai

berbagai tulisan dan tanggapan tentang politik, dia melepaskan diri dari dunia politik pada periode Said Jadid. Sejak itu ia terfokus dalam aktifitas Inqadz al-Iman (menyelamatkan keimanan). Pada tahun 1925, ada satu pemberontakan terjadi di Turki Timur di bawah pimpinan seorang pemimpin Thariqah Naqsyabandiah kepada pemerintahan Turki sebagai Barlawanaan terhadap politiknya yang memusuhi Islam. Walaupun ia tidak terlibat dalam pemberontakan tersebut, ia diasingkan ke Burdur, Turki Barat. Sejak itu, kehidupan Nursi lewat di penjara atau pengasingan selama 24 tahun. Selama periode ini, dia mengarang master piece-nya yaitu Risale-i Nur (Salih 2003 hlm. 46-91).

Menyimak garis besar uraian mengenai kehidupan Said Nursi dalam kaitannya setting sosial-politik di Turki dan ide-idenya tentang seputar musyawarah, kebebasan, konstitusionalisme, dan peran umat Islam di dalam pergaulan sosial yang diuraikan di atas, maka permasalahan yang penting diteliti lebih lanjut adalah bagaimana pemikiran politik Bediuzzaman Said Nursi, baik pada periode Said Qadim, maupun Said Jadid. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan mengambil judul “PRINSIP-PRINSIP POLITIK ISLAM MENURUT BEDIUZZAMAN SAID NURSI”

(5)

Dari latar belakang masalah di atas, masalah pokok penelitian ini adalah prinsip-prinsip politik Islam dalam pandangan Bediuzzaman Said Nursi? Untuk memudahkan pembahasan masalah dirumuskan sebagai berikut:

1- Bagaimana setting sosial-politik yang berpengaruh kepada Said Nursi pada periode akhir Turki Usmani?

2- Apa prinsip-prinsip politik Said Nursi?

Tujuan dan Kegunaan Penilitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini mempunyai berapa tujuan sebagai berikut:

Pertama, menjelaskan setting sosial-politik yang berpengaruh terhadap Said Nursi. Selain latar belakang pendidikan, kondisi Nursi berpengaruh dan membentuk pribadinya. Kedua, memformulasikan prinsip-prinsip Said Nursi tentang politik.

Penulis mengharapkan penelitian ini berguna sebagai kontribusi menambah referensi dalam kajian pemikiran politik Islam modern, sebagai referensi untuk Jamaah

Nur di Turki dan sebagai bahan perbandingan bagi para peneliti pemikiran politik Islam.

Tinjauan Pustaka

Banyak penulis telah mengkaji tentang pemikiran Said Nursi dari berbagai sudut. Mengenai pemikiran politiknya, terdapat beberapa penulis telah mengkaji dalam bentuk disertasi, buku dan artikel-artikel.

Penelitian yang dilakukan oleh M. Hakan Yavuz, dalam disertasinnya berjudul

Islamic Political Identity in Turkey ( Identitas Politik Islam di Turki ) pada Universitas

(6)

mengemukakan ide-ide Said Nursi dan penagaruhnya dalam perkembangan politik di Turki. Menurutnya, Gerakan Nur menjadi komunitas sosio-politik yang paling efektif dan kuat pada Turki kontomporer. Dalam konteks ini, karya-karya Said Nursi menjadi dasar untuk “gerakan iman” ini. Karya Nursi menandai wacana ilmiah politik Islam, memberikan ide-ide orisinal untuk menghadapi problem politik dan sosio-kultural. Dengan meneliti gerakan ini, bias dipahami dinamika agama dan negara di satu sisi, modernitas dan idenditas di sisi lain. Dinamika gerakan ini sebagai gerakan sosial berakar pada jaringan media, pendidikan, bisnis dan publishing mereka.

Safa Mursel menulis buku dengan judul Bediuzzaman ve Devlet Felsefesi (Bediuzzaman Said Nursi dan Filsafat Negara) dalam Bahasa Turki. Buku tersebut

mengemukakan pemikiran Nursi tentang kehidupan sosial, peradababan, sistem pemerintahan, nasionalisme, kebebasan, hukum dan lain-lain. Dia berpendapat bahwa Nursi merupakan seorang ulama yang mengungkapkan ide-idenya untuk menetapkan dasar-dasar Republik Turki dan berusaha menghalangi keruntuhan Turki Usmani. Menurutnya, pemikiran politik Nursi mencakup wacana politik kenegeraan. Contohnya, Nursi adalah seorang yang mendukung sistem “republik religius”, ketika system monarki masih eksis pada Turki Usmani. Hal ini merupakan hal yang baru ketika banyak tokoh masih setuju dengan sistem kesultanan.

Ada banyak makalah yang disajikan pada simposium internasional tentang pemikiran Said Nursi yang dilaksanakan di Istanbul, Turki. Sebagian makalah membahas pemikiran politik Said Nursi. Antara lain, Prof. Dr Ahmet Davudoglu menulis makalah berjudul Bediuzzaman and The Politics The 20th Century Islamic World (Bediuzzaman

dan politik Dunia Islam pada abad ke-20). Ia mengungkapkan bahwa ada hubungan erat periodesasi kehidupan Nursi dengan perkembangan pada dunia Islam. Periode pertama,

(7)

adalah dari awal abad ke-20 sampai dengan runtuhnya kekhalifahan pada tahun 1924. Menurutnya, peiode ini bertetapan dengan periode Said Qadim pada kehidupan Nursi. Periode ini, Nursi telah aktif mencari solusi untuk problem-problem sosial. Ia juga mencurahkan perhatiannya maslah-masalah yang terkait dengan dunia Islam, khususnya Turki Usmani.

Periode kedua adalah dari runtuhnya kekhalifahan sampai dengan Perang Dunia II. Pada periode ini, dunia Islam kehilangan resistensi terhadap dunia emperyalis dan banyak perubahan-perubahan penting dalam kehidupan sosial pada dunia Islam. Dalam kondisi ini, Nursi berusaha memperbaharui iman individu untuk membentuk komunitas Islami. Pada periode ketiga, negara-negara muslim terselamat dari penjajahan dan mnedirikan negara tersendiri. Walaupun Nursi melepaskan diri dari dunia politik, dia menyuarakan pendapatnya seputar maslah-masalah politik.

Selain itu, Dr. Huseyin Celik menulis makalah berjudul Republicanism and

Democracy according to Bediuzzaman (Sistem Republik dan Demokrasi menurut

Bediuzzaman). Di dalam makalahnya, Celik mengemukakan sistem Republik dan demokrasi dari sudut pandang Nursi. Dia menyimpulkan bahwa Nursi adalah seorang ulama yang memiliki cita-cita bahwa perlu menerapkan konstitusionalisme ketika sistem kesultanan berlaku pada Turki Usmani. Nursi juga berbicara tentang sistem republik secara eksplisit dalam periode konstitusional. Ia menekankan bahwa sistem pemerintahan harus mengandung prinsip-prinsip demokrasi baik pada periode konstitusional maupun periode pemerintahan Rebuplik Turki.

Prof. Dr. Mim Kemal Oke menulis makalah berjudul The Key of the ideal of

Republicanism in the Light of Bediuzzaman‟s Social and Political Views. Di dalam

(8)

pemerintahan konstitusional. Dia mengungkapkan bahwa berpendapat konsep konstitusionalisme ada pada Islam. Dengan pandangan ini, ia menggambarkan sebuah sistem politik yang bersupremasi hukum, adil dan bebas. Sistem tersebut yang ia anggap masa khularaurrasyidin sebagai contoh merupakan inti sistem republik yang ideal.

Meskipun telah memberikan kontribusi penting terhadap kajian tentang pemikiran politik Said Nursi, buku dan makalah di atas belum membahas prinsip-prinsip politik Said Nursi secara utuh. Contohnya, Huseyin Celik membahas sistem republik dan demokrasi menurut Said Nursi. Ia hanya meneliti pemikiran politik Nursi dari segi sistem pemerintahan, aspek politik lain tidak dibahas. Oleh karena itu, penulis mencoba menulis sebuah penelitian yang melingkupi prinsip-prinsip politik Nursi seperti tauhid, musyawarah, kebebasan, persamaan, keadilan.

Definisi Operasional

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991, hlm. 355) prinsip adalah asas (kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, berindak, dsb), dasar. Menurut Jamer Hasting yang dikutip oleh Pulungan (1996, hlm. 14) secara filosofis kata itu mengandung arti kebenaran-kebenaran yang fundamental dari suatu kandungan doktrin atau dasar apa saja yang berkaitan dengan tingkah laku manusia. Pengulangan istilah prinsip-prinsip dalam judul mengandung arti ada beberapa dasar, asas kebenaran-kebenaran yang fundemental, tuntunan peraturan moral yang dikandung oleh suatu ajaran yang dijadikan dasar berpikir, bertindak, dan bertingkah laku oleh manusia. Pengertian inilah yang dimaksud untuk kepentingan penelitian ini.

Menurut Salim (1994, hlm. 37) politik adalah “perilaku manusia, baik berupa aktivitas maupun sikap yang brtujuan mempengaruhi dan mempertahankan tatanan

(9)

sebuah masyarakat dengan menggunakan kekuasaan. Senada dengan pengertian tersebut, Rais (1991, hlm. 27) mengdeskripsikan politik sebagai hal yang menyangkut kekuasaan dan juga berhubungan dengan cara dan proses pengelolahan pemerintahan suatu negara dengan segala perangkat kekuasaannya untuk mengatur kehidupan masyarakat.

Kerangka Teori

Menurut Pulungan (1996, hlm. 125-260) terdapat prinsip-prinsip politik dalam Piagam Madinah yang dibuat oleh Nabi Muhammad SAW. yaitu, persatuan dan persaudaraan, persamaan, kebebasan, musyawarah, keadilan, pelaksaan hukum dan lain-lain. Contohnya, dengan prinsip persamaan, umat mempunyai status yang sama dalam kehidupan sosial (pasal 25-35); persamaan tanggung jawab dalam mempertahankan keamanan kota Madinah (pasal 44); persamaan hak dalam memberikan saran dan nasihat untuk kebaikan (pasal 37). Hak-hak ini adalah hak-hak manusia yang paling dasar yang tidak boleh dilanggar oleh siapa pun. Prinsip kebebasan yang terdapat dalam Piagam Madinah memberikan bebeapa peluang terhadap segenap penduduk Madinah. Pertama, kebebasan melakukan adat kebiasaan yang baik (pasal 2); kedua, kebebasan dari penganiayaan dan menuntut hak (pasal 16,36); ketiga, kebebasan dari rasa takut, yakni hak atas hidup dan keselamatan diri, hak atas perlindungan diri (pasal 47); keempat, kebebasan berpendapat (pasal 37); kelima, kebebasan beragama (pasal 25, 26, 27…).

Dalam pandangan al-Maududi (1993, hlm. 91-107) ada beberapa prinsip politik Islam, yaitu keadilan antar manusia, persamaan antara kaum muslimin, permusyawaratan, ketaatan dalam hal kebajikan dan lain-lain. Menurutnya, Nabi diperintahkan untuk bertindak adil tanpa memihak (QS 42:15). Maka, hubungannya dengan manusia semuanya adalah sama, yaitu hubungan keadilan dan kejujuran. Dengan

(10)

prinsip persamaan, semua kaum muslimin memiliki persamaan dalam hak-hak dengan sempurna, tanpa memandang warna, suku, bahasa atau tanah air.

Implementasi prinsip permusyawaratan adalah keharusan bagi para pemimpin negara dan pejabat-pejabatnya untuk bermusyawarah dengan kaum muslimin dan mencari keridhaan mereka, mengikuti pendapat mereka serta melaksanakan system pemerintahan dengan musyawarah. Dengan prinsip ketaaatan dalam hal kebajikan, perintah yang dikeluarkan oleh suatu pemerintahan atau penguasa kepada rakyat harus ditaati apabila perintahnya sesuai dengan ajaran Islam, tidak ada ketaatan bagi mereka dalam hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Sementara Rais berpendapat ada prinsip-prinsip yang harus diterapkan dalam politik seperti tauhid, syura, keadilan, kebebasan dan persamaan. Menurutnya, seluruh kegiatan hidup kaum muslimin bertumpu pada tauhid. Dengan menjadikan tauhid sebagai poros-sentral kehidupan, kaum muslimin menerapkan etika, nilai-nilai Islam dalam kehidupan bernegara dan berpemerintahan. Prinsip musyawarah yang dijalankan sesuai dengan ajaran Islam akan menjadi pagar pencegah yang kuat untuk penyelewengan negara ke arah otorotisme, despotisme dan pelbagai sistem lain yang membunuh hak-hak politik rakyat.

Selanjutnya, ia uraiakan bahwa dalam pandangan Islam negara harus bertujuan untuk melaksanakan keadilan seluas-luasnya, tidak saja keadilan hukum, melainkan juga keadilan social dan ekonomi. Persamaan harus menjadi prinsip konstitusional. Manusia harus berdiri sama di depan hokum, tanpa diskriminasi berdasarkan ras, asal-usul, keyakinan, pangkat atau latar belakang social ekonomi (Rais 1991, hlm. 45-56).

(11)

Sumber Data

Sumber data pada penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Sumber data primer adalah data yang langsung dikumpulkan dari sumber pertama, yaitu karya-karya Said Nursi yang terkait dengan politik seperti Sunuhat, Munazarat, Divan-Harbi Orfi,

Hutbe-i Syamiyyah dan kutipan-kutipan dari Risalah Nur.

Adapun sumber data sekunder bersumber dari buku, jurnal ilmiah, majalah, dokumen dan makalah-makalah yang terkait dengan topik penelitian ini sebagai data pendukung sumber data primer.

Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini merupakan riset kepustakaan (Library research), maka penelitian ini dimulai dengan proses penghimpunan bahan dan sumber data dalam bentuk buku, makalah, artikel, dan tulisan yang berkaitan dengan topik penelitian. Selanjutnya, penulis membaca data-data tersebut dan mencatatnya. Sesudah itu, penulis mengkategorikan data dan menyeleksi data-data tersebut untuk identifikasi konsep-konsep dasar pemikiran Said Nursi. Jadi, teknik pengumpulan data melalui dokumen yang terkait dengan topik penelitian.

Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan historis dan pendekatan sosiologis. Pendekatan historis memungkinkan penulis mencatat arti dan maksud dari berbagai peristiwa dalam kehidupan Nursi dan membantu untuk menulis riwayat hidupnya secara kronologis. Di samping itu, dalam penelitian ini akan digunakan

(12)

pendekatan sosiologis agar memehami setting sosial-politik yang berpengaruh kepada Nursi pada periode akhir Turki Usmani.

Teknik Analisis Data

Untuk menganalisis data, penulis akan mengunakan metode contents analysis (analisis isi) yaitu, suatu cara analisis ilmiah tentang pesan sesuatu komunikasi yang mencakup klasifikasi tanda-tanda yang dipakai dalam komunikasi, menggunakan kriteria sebagai dasar klarifikasi dan menggunakan teknik analisis tertentu sebagai membuat prediksi. Dengan menggunakan metode ini, penulis ingin mengeloborasi aspek-aspek isi materi, menganalisisnya dari aspek bahasa, kedalaman yang keluasan isi dan kaitan pokok-pokok masalah yang melingkupinya serta menarik garis koherensi dan konsistensi antara berbagai materi untuk disimpulkan. Data dan sumber pustaka yang ditemukan selanjutnya dibahas secara deskriptif-analitik (Muhadjir 1998, hlm. 56-58).

Dengan demikian, seluruh data dianalisis sedemekian rupa dengan beberapa perangkat seperti yang dikemukakan sebelumnya melalui analisis kritisis, untuk selanjutnya memunculkan kesimpulan sebagai tahap akhir dari proses penelitian ini.

Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bab pertama, pendahuluan yang menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metodologi penilitian dan sistematika pembahasan.

Bab Kedua, menguraikan riwayat hidup Said Nursi yang terdiri dari setting sosial

(13)

perjuangan dan pengaruhnya. Selain itu, bab ini juga akan menguraikan perubahan pada Said Nursi dari Said Qadim ke Said Jadid.

Bab Ketiga, menguraikan pemikiran Said Nursi tentang politik seperti prinsip musyawarah, kebebasan, nasionalisme, keadilan dan relevansi prinsip-prinsip tersebut dengan kehidupan politik modern.

Bab Keempat, adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

(14)

Bab 2

RIWAYAT HIDUP SAID NURSI

Setting Sosial-Politik Said Nursi

Kemunduran Turki Usmani dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dialami oleh Eropa pada abad ke- 18 menyadarkan pejabat-pejabat bahwa perlu pembaharuan pada Turki Usmani. Usaha pembaharuan mula-mula adalah membuka percetakan dan penerjemahan yang dipelopori oleh Ibrahim Mutafarrika. Maka mulailah pencetakan al-Qur‟an, Hadits, tafsir dan ilmu agama yang lain. Begitu juga ilmu-ilmu umum seperti kedokteran , sejarah, ilmu pasti, astronomi dicetak. Sultan Salim III juga termasuk yang tertarik dengan usaha pembaharuan, walaupun ditentang keras, bahkan ia terbunuh karena ingin melancarkan perubahan di bidang kemiliteran, terutama golongan Yeniceri ( kelompok tentara baru dalam kerajaan Ottoman yang amat berpengaruh).

Selanjutnya, Mahmud II berusaha membersihkan sisa-sisa dominasi kekuasaan Turki Usmani yang feodal dan absolut dalam pemerintahan. Sultan dianggap menjalankan kekuasaan tuhan sehingga secara undang-undang tidak dapat di tuntut, maka diganti bahwa sultan hendaknya berkuasa berdasarkan undang-undang, sehingga rakyat dapat meminta pertanggungjawabannya. Sejak Mahmud II pula dikenal ada perdana menteri yang mengurusi pemerintahan dan membawahi menteri-menteri di bidang luar negeri, dalam negeri dan pendidikan. Disinilah ia meletakkan perbedaan

(15)

yang mendasar antara kekuasaan negara dengan agama, persoalan-persoalan agama diurus oleh syariat dan persoalan negara diurus oleh hukum sekuler yang dikeluarkan oleh dewan perancang hukum untuk mengaturnya. Dengan demikian bintik-bintik sekularisme sudah mulai ada sejak dia berkuasa.

Apa yang dilakukan oleh Mahmud II itu dianggap sebagai langkah lebih maju lagi atas program pembaruan yang sebelumnya pernah dirintis oleh Mutafarrika dan lainnya. Jadi upaya yang lebih sungguh-sungguh dalam upaya menerapkan ide-ide barat dengan cara radikal melalui kekuatan politik militer, sehingga pengaplikasian amat sunguh-sungguh. Akar-akar pemikiran inilah nanti yang kemudian dikembangkan oleh pembaru generasi berikutnya.

Kelompok Tanzimat suatu generasi pelanjut dari ide-ide Mahmud II yang banyak berperan mengadakan usaha perbaikan, pengaturan dan penyusunan undang-undang baru baik bidang ekonomi, pendidikan, militer, pemerintahan dan sosial di Turki pada waktu gencar-gencarnya usaha modernisasi Turki. Peran kelompok Tanzimat yang lebih efektif antar tahun 1839-1971. Walaupun nanti kelompok ini tidak secara langsung berada di pemerintahan, namun ide mereka berpengaruh dalam kekuasaan negara (Sani 1998, hlm. 87-88).

Mustafa Rasyid Pasya adalah tokoh utama dari kelompok tanzimat. Pada tahun 1834 ia dikirim ke Paris sebagai duta besar dan mengunjungi beberapa negara eropa. Ia melihat sebab-sebab kemajuan yang dicapai oleh negera Barat secara umum antar lain, toleransi kehidupan beragama sangat tinggi dan orang Barat menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada tahum 1839 ia diangkat menjadi perdana menteri. Pembaruan yang diterapkan olehnya selain mengacu kepada pengalaman puluhan tahun di luar negeri, juga secara praktis ia memperbarui sistem perundangan Turki.

(16)

Tokoh yang lain dari kelompok tanzimat adalah Mehmed Sadik Rifat Pasya (1807-1856). Menurutya, kemakmuran suatu negara bergantung pada kemakmuran rakyat, dan kemakmuran dapat diperoleh dengan menghilangkan pemerintahan absolut. Dalam pemerintahan sewenang-wenang rakyat meresa tidak aman dan tentaram. Hal ini akan membuat mereka kurang giat berusaha dan bekerja. Kejujuran dalam pekerjaan hilang, korupsi banyak dijalankan dan orang lebih mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan umum. Produktivitas menurun dan ini akhirnya akan membawa kepada kejatuhan negara. Hal inilah tidak adanya rasa ketentraman baik dikalangan rakyat maupun dikalangan pegawai, yang menjadi sebab utama bagi kemunduran dan kelemahan Kerajaan Usmani.

Obatnya ialah pengadaan undang-undang dan peraturan. Sultan dan pembesar-pembesar negara harus tunduk pada undang-undang dan peraturan. Negara harus merupakan negara hukum. Pemikiran Sadik Rifat sejalan dengan pemikiran Mustafa Rasyid Pasya, yang pada waktu itu mempunyai kedudukan sebagai Menteri Luar Negeri. Atas pengaruhnya berhasillah langkah pertama dalam pengadaan undang-undang dan peraturan sebagai dimaksud oleh Sadik Rifat. Ditahun 1839, Abdul Majid, sultan yang

menggantikan Mahmud II, mengeluarkan Hatt-i Syerif Gulhane (Piagam Gulhane). Piagam itu menjelaskan bahwa pada masa permulaan Kerajaan Usmani syari‟at

dan undang-undang negara dipatuhi dan oleh karena itu kerajaan menjadi besar serta kuat dan rakyat hidup dalam kemakmuran. Tetapi pada masa seratus lima puluh tahun terakhir syariat dan undang-undang tak diperhatikan lagi, dan sebagai akibatnya kemakmuran rakyat hilang untuk digantikan oleh kemiskinan dan kebesaran negara lenyap untuk

(17)

Oleh karena itu perlulah diadakan perubahan-perubahan yang akan membawa kepada pemerintahan yang baik. Dasar-dasar untuk perubahan itu adalah :

1. Terjaminnya ketentraman hidup, harta dan kehormatan warga negara. 2. Peraturan mengenai pemungutan pajak.

3. Peraturan mengenai kewajiban dan lamanya dinas militer.

Selanjutnya dijelaskan bahwa orang tertuduh akan diadili secara terbuka dan sebelum ada pengadilan pelaksanaan hukuman mati dengan racun atau jalan lain tidak dibolehkan. Pelanggaran terhadap kehormatan seseorang juga tidak lagi diperkenankan. Hak milik terhadap harta dijamin dan tiap orang mempunyai kebebasan terhadap harta yang dimilikinya. Ahli waris dari yang kena hukum pidana tidak boleh dicabut haknya untuk mewarisi dan demikian pula harta yang kena hukum pidana tidak boleh disita.

Atas dasar piagam ini terjadilah pembaharuan-pembaharuan pada berbagai institusi kemasyarakatan. Dalam bidang pemerintahan pembaharuan diadakan dengan mengajak rakyat memberikan pendapat tentang soal-soal negara dan administrasi. Wakil-wakil rakyat dari daerah-daerah diundang datang ke Istanbul pada tahun 1845. Karena terlalu baru bagi rakyat, sistem musyawarah dalam soal kenegaraan tidak dapat berjalan dengan baik. Sebagai gantinya Sultan mengirim utusan-utusan ke daerah-kedaerah untuk meninjau keadaan dan pendapat daerah tentang usaha pembaharuan yang sedang dijalankan. Laporan mereka dipakai pemerintah pusat sebagai pegangan untuk usaha-usaha pembaharuan selanjutnya.

Pada tahun 1856 diumumkan lagi suatu piagam baru, Hatt-i Humayun, yang lebih banyak mengandung pembaharuan terhadap kedudukan orang Eropa yang berada dibawah kekuasaan Kerajaan Usmani. Pembaharuan-pembaharuan lain, yang dikandung piagam Humayun antara lain adalah : pengadaan anggaran belanja tahunan negara,

(18)

pembukaan bank-bank asing, pemasukan kapital Eropa Kerajaan Usmani, pengadaan undang-undang dagang, penghapusan hukum bunuh terhadap orang yang keluar dari Islam dan pemasukan anggota-anggota bukan Islam kedalam Dewan Hukum.

Pembaharuan yang dijalankan di zaman Tanzimat tidak seluruhnya mendapat penghargaan, bahkan mendapat kritik dari kaum intelegensia Kerajaan Usmani yang ada pada waktu itu. Kedua piagam yang menjadi dasar pembaharuan Tanzimat mengandung faham sekularisme dan dengan demikian mambawa sekularisasi dalam berbagai institusi kemasyarakatan, terutama dalam institusi hukum. Piagam Gulhane menyatakan penghargaan tinggi pada syari‟at, tetapi dalam pada itu mengaku perlunya diadakan sistem hukum baru.

Kritik ditujukan pula terhadap sikap pro-Barat yang dianut pemuka-pemuka Tanzimat. Sikap pro-Barat itu membuka pintu bagi masuknya pengaruh dan turut campurnya negara-negara Barat dalam soal intren Kerajaan Usmani. Hal ini akhirnya membawa kepada jatuhnya kekuatan ekonomi negara ini. Kerajaan Usmani menjadi makin lemah dalam menghadapi Eropa (Nasution 1975, hlm. 99-104).

Dalam kondisi tersebut muncul beberapa kelompok untuk menyelamatkan Turki Usmani. Salah satunya adalah kelompok Usmani Muda atau Ittifaq-i Humayat yang muncul pada tahun 1865 . Mereka bertujuan untuk mengadakan Barlawanan secara rahasia terhadap kekuasan absolut sultan. Terutama sekali atas pemberlakuan pemerintahan absolut menjadi pemerintahan yang konstitusional. Pemikiran yang dikembangkan oleh Usmani Muda mempunyai dampak positif bagi pembaruan setelah Tanzimat di Turki. Dalam usaha pengembangan ide pembaruan dan kritikan-kritikan terhadap pemerintahan absolut, saluran media masa banyak dipergunakan. Tahun 1861, Ibrahim Sinasi Effendi ( 1242 H/1826 M) mendirikan sebuah surat kabar yang bernama

(19)

Tasvir-i Efkar ( gambaran Pemikiran). Sebagai akibat penilaian pemerintah yang sangat

tajam, ia terpaksa meninggalkan Turki pada tahun 1864. Selanjutnya surat kabar tersebut dipimpin oleh Namik Kemal (1840-1888). Sebagaimana pimpinan pertama, Namik Kemal, pada tahun 1867 juga harus meninggalkan Turki (Ensiklopedi Islam 1993, hlm.144).

Ziya Pasya (1825-1880), sebagai tokoh dan pemuka Usmani Muda, berpandangan bahwa kemajuan Eropa hanya dapat dicapai dengan pemerintahan yang bersifat konstitusional. Agar Turki menjadi negara maju, ia harus meninggalkan absolutisme dan menggantinya dengan negara kosntitusional. Negara konstitusional tidaklah bertentangan dengan Islam. Islam tidak menyetujui pemerintahan absolut. Ia menjunjung tinggi nilai-nilai permusyawaratan. Sungguhpun mengakui kebesaran dan kemajuan Eropa, Ziya Pasya tidak sepenuhnya menerima Barat dan menirunya dalam segala hal. Umat Islam harus bersifat kritis terhadap nilai-nilai kemajuan dan kebudayaan Barat. Dalam banyak hal, apa yang dimiliki Barat dan membawa kemajuan adalah nilai-nilai yang mendapat legitimasi dari Islam.

Namik Kemal, yang terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran Ibrahim Sinasi Effendi, mempunyai pandangan yang sama dengan Ziya Pasya dalam memajukan Turki. Ide-ide barat tak dapat diterima tanpa melalui seleksi agar sejalan dengan nilai-nilai Islam. Kebesaran jiwa Namik Kemal mengantarkannya untuk berani memberikan kritikan-kritikan terhadap pembaruan yang dilancarkan oleh Tanzimat yang sepenuhnya telah menerima Barat, yang menjuru ke sekular dan memasukkan intitusi-institusi Barat yang belum tentu sejalan dengan ajaran Islam dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat dunia Timur. Menurutnya, syariat Islam mampu untuk membenahi bentuk-bentuk

(20)

pemerintahan dan mampu menghadapi masuknya pengaruh barat dalam urusan pemerintahan Islam.

Midhat Pasya (1822-1883), sebagaimana dua pendahuluannya, juga menginginkan kekuasaan sultan dibatasi oleh konstitusi. Pada saat Midhat Pasya menjadi perdana menteri, ia mengajukan usul kepada Sultan agar konstitusi segera diadakan bagi kerajaan Ottoman. Konstitusi yang diajukan pemerintahan harus bertanggung jawab kepada parlemen, komposisi parlemen diatas dasar nasionalisme Turki, bukan atas dasar agama atau etnis, wakil-wakil rakyat harus terlepas dari afiliasi agama dan etnis, dan otonomi harus diberikan kepada daerah-daerah yang mayoritas penduduknya non muslim atau non Turki.

Usul ketiga tokoh Usmani Muda untuk membatasi keabsolutan sultan-sultan Turki melalui konstitusi itu terwujud dengan keluarnya konstitusi tahun 1876. Sungguhpun demikian, dalam pelaksanaan konstitusi itu terdapat kendala-kendala yang tak terelakkan. Konstitusi yang ditandatangani pada tanggal 23 Desember 1876 tersebut bukanlah konstitusi yang bersifat demokrasi. Dalam konstitusi tersebut terdapat ketentuan bahwa sultan tetap memiliki kekuasaan penuh dan mempunyai hal yang tidak terbatas. Pasal 3 mengungkapkan bahwa kedaulatan terletak ditangan sultan, bukan ditangan rakyat. Pasal 4 menyatakan bahwa sultan bersifat suci dan tidak bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatannya. Pasal 54, rencana undang-undang baru dapat menjadi undang-undang kalau telah disetujui oleh sultan. Kesemuanya pasal itu memberikan indikasi bahwa sultan masih mempunyai kedudukan tinggi dan mempunyai kekuasaan besar. Pasal-pasal yang tercantum dalam undang-undang 1876 itu tidak semuanya mengandung pengertian yang tegas dalam hal pembatasan kemutlakan kekuasaan sultan, bahkan banyak pasal justru membuat sultan menjadi autokrat.

(21)

Disamping kendala yang berasifat intren dalam kosntitusi, terdapat pula halangan-halangan ekstren dari luar konstitusi. Gerakan Usmani Muda pada hakekatnya bukanlah gerakan yang muncul dari rakyat dan atas dasar kepentingan rakyat. Pada saat itu tingkat kesadaran politik dan kedalaman pengetahuan rakyat Turki masih rendah, sehingga mereka tidak memahami apa yang dikehendaki oleh konstitusi tersebut, dan keuntungan apa yang didapat dari sistem konstitusional. Dalam merumuskan kostitusi, kebanyakan golongan cendikiawan Turki dipengaruhi oleh pertentangan dan perbedaan pendapat yang sukar dipertemukan. Disamping itu, kebanyakan ulama menentang pengadaan konstitusi dan tetap mempertahankan kebiasaan-kebiasaan yang telah berlangsung lama didalam dunia Islam (Ensiklopedi Islam 1993, hlm. 145-146).

Kelompok Turki Muda merupakan kelanjutan dari gerakan-gerakan pembaruan sebelumnya. Cara sultan Abdulhamid memerintahkan Turki semakin otoriter dan absolut. Rakyat tidak mempunyai kebebasan berpendapat. Kritik dan kecaman atas kekuasaan sultan yang demikian besar tidak saja datang dari umum tetapi juga kaum intelegensia, kalangan akademik ( perguruan tinggi, kelompok militer dan rakyat sipil). Gambaran demikian mendorong lahirnya gejolak dan kebangkitan oposisi, yang berusaha menentang sikap pemerintah dan muncullah kelompok Turki Muda. Ada tiga tokoh utama yang melopori kelopok tersebut, yaitu; Ahmed Riza, Mehmed Murad dan Pangeran Sabahuddin (Sani 1998, hlm. 102-103).

Menurut Ahmed Riza (1859-1931), jalan yang harus ditempuh untuk menyelamatkan Turki Usmani ialah pendidikan dan ilmu pengetahuan positif bukan teologi atau metafisika. Adanya dan terlaksananya program yang baik berhajat pada pemerintahan konstitusional. Pemerintahan konstitusional tidak bertentangan dengan

(22)

Islam, karena dalam Islam terdapat ajaran musyawarah dan musyawarah adalah dasar pemerintahan konstitusional.

Pelopor kedua, Pangeran Sabahuddin (1877-1948), berpendapat problema yang ada di Turki Usmani perlu dipandang dari sudut sosiologi bahwa perlu perubahan sosial. Masyarakat Turki sebagai masyarakat timur mempunyai corak kolektif dan masyarakat kolektif tidak mudah berubah dalam menuju kemajuan. Dalam masyarakat kolektif, orang tidak bisa percaya pada diri sendiri, tetapi senantiasa bergantung kelompoknya. Selama masyarakat Turki masih bersifat kolektif, Sultan tetap akan mempunyai kekuasaan absolut. Ia menganjurkan supaya diadakan desentralisasi dalam bidang pemerintahan. Daerah-daerah diberi otonomi dan sistem otonomi itu, sebaiknya dilaksanakan sampai tingkat desa.

Pelopor ketiga, Mehmed Murad (1853-1912), berpendapat sebab kemunduran turki Usmani terletak pada Sultan yang memerintah secara absolut. Oleh karena itu, kekuasaan sultan harus dibatasi. Ia berpendapat juga musyawarah dalam Islam sama dengan pemerintahan konstitusional Barat. Karena sultan tidak setuju dengan Konstitusi, ia mengusulkan supaya ddirikan suatu Badan Pengawas yang tugasnya ialah menjaga supaya undang-undang tidak dilanggar pemerintah. Di samping itu, perlu diadakan Dewan Syariat Agung yang anggotanya tersusun dari wakil-wakil ngera Islam di Afrika dan Asia.

Sungguhpun ada perbedaan pendapat dan politik antar tiga pelopor di atas beserta pengikut masing-masing, mereka sepakat untuk menggulingkan Sultan Abdulhanid. Keputusan ini diambil setelah diadakan dua kali konferensi di Eropa, yang terakhir pada tahun 1907 di Paris.

(23)

Kedudukan pemerintahan Turki Muda memang tidak kuat dan kesempatan ini dipakai oleh sultan untuk mengembalikan kekuasaanya. Tetapi Enver Pasya dengan kekutan Batalyon III masuk Istanbul dan merampas kekuasaan, sultan digulingkan pada tahun 1909, lalu diganti oleh saudaranya sultan Mahmed V. Keberhasilan kaum pembaru makin nampak, ketika pemilihan umum kembali diadakan tahun 1912 untuk kedua kalinya mereka memperoleh kemenangan besar. Parlemen mereka kuasai dan kantor pusat organisasi yang tadinya berada di Salonika mereka pindahkan ke Istanbul (Nasution 1975, hlm. 119-124). Uraian di atas merupakan gambaran umum kondisi politik dan sosial di Turki Usmani pada waktu kelahiran Said Nursi dan kondisi tersebut berpengaruh pemikiran politik Nursi.

Latar Belakang Keluarga, Kelahiran dan Masa Kecil Said Nursi

Bediuzzaman Said Nursi dilahirkan menjelang fajar musim semi di Nurs, sebuah desa kecil di propinsi Bitlis wilayah Turki Timur pada 1293 H/1877 M. Daerah tempat kelahirannya ini terdapat lereng dan lembah gunung Taurus, daerah danau Van (Vahide 2000, hlm. 3).

Nama asli Bediuzzaman Said Nursi adalah Said bin Mirza. Ia dilahirkan dalam sebuah keluarga petani yang sederhana dari pasangan Mirza dan Nuriye (Nuriyyah). Kedua orang tuanya itu adalah dari keturunan Kurdi. Said bin Mirza juga dikenal dengan sebutan Said Nursi yang merujuk kepada tempat kelahirannya (desa Nurs). Berdasarkan sumber Sham al-Haqq al-Azzim Abadi yang dikutip Zaidin (2001), bahwa nenek moyang

(24)

Nursi berasal dari Isbartah (Isparta). Mereka berasal dari keturunan Ahl al-Bayt. Said Nursi merupakan anak keempat dari tujuh orang adik beradik, yaitu Durriyyah, Khanim, Abdullah, Said (Nursi), Muhammad, Abd al-Majid dan Marjan (Zaidin 2001, hlm. 7).

Ayahnya bernama Mirza, seorang sufi yang sangat wara‟ dan diteladani sebagai seorang yang tidak pernah memakan barang haram dan hanya memberi makan anak-anaknya dengan yang halal saja. Dikisahkan, bahwa setiap ternaknya kembali dari penggembalaan, mulut-mulut ternak tersebut dibuka lebar-lebar khawatir ada makanan dari tanaman kebun milik orang yang dimakan. Ibunya (Nuriah) pernah berkata, bahwa dirinya hanya menyusui anak-anaknya dalam keadaan suci dan berwudu (Salih 2003, hlm. 8).

Said Nursi di usia kecil sudah memperlihatkan tanda-tanda seorang jenius. Hal ini seperti terlihat kebiasaan ia banyak bertanya dan gemar menelaah masalah-masalah yang

belum dimengertinya. Ia juga suka membuat pertanyaan ilmiah dalam benaknya . Kisah tentang pengalaman kecil Said Nursi tersebut seperti dituliskan berikut

ini:

Saat aku masih kecil, imajinasiku bertanya kepadaku, manakah yang dianggap lebih baik dari dua masalah? Apakah hidup bahagia selama seribu tahun dalam kemewahan dunia dan berkuasa, namun berakhir dengan ketiadaan, atau kehidupan abadi yang ada namun harus dijalani dengan penuh derita? Kemudian, aku melihat imajinasiku lebih memilih alternatif kedua daripada yang pertama dengan menyatakan: Aku tidak menginginkan ketiadaan, bahkan aku menginginkan keabadian meskipun di dalam neraka jahanam. (Salih 2003, hal. 9).

Di usia kecil ini, Said Nursi juga gemar menghadiri forum pendidikan yang diselenggarahkan untuk orang-orang dewasa dan menyimak diskusi-diskusi tentang

Dijelaskan dalam Urkhan Muhammad Ali (1995, hal. 8), bahwa Mirza adalah keturunan Hasan bin Ali dan Nuriyyah keturunan dari Husain bin Ali, lihat dalam Zaidin, Bediuzzaman Said Nursi: Sejarah

(25)

berbagai kajian, khususnya majelis ilmiah yang dihadiri oleh para ulama setempat di rumah ayahnya. Selain itu ia terkenal seorang anak yang sangat pandai memelihara harga diri dari perbuatan zalim. Sikap dan sifat-sifat tersebut terus melekat dan bertambah kuat dalam kepribadiannya.

Ia juga terkenal seorang yang sangat pandai memelihara harga diri, tidak pernah mau menerima Barlakuan sewenang-wenang dan sejak kecil selalu menjauhkan diri dari perbuatan zalim. Sikap dan sifat-sifat ini terus melekat dan bertambah kuat dalam kepribadinya setelah ia dewasa, juga tercermin dalam sikapnya saat dijumpai oleh lain, baik dari kalangan para penguasa maupun pihak berwajib (Salih 2003, hlm. 9).

Melihat pengalaman hidup Said Nursi di masa kecilnya ini, ia dapat digolongkan sebagai anak yang unik, aktif, dan rajin, juga pandai memanfaatkan waktu untuk kepentingan menimba ilmu pengetahuan. Dengan pengalaman hidup dan ditunjang oleh perwatakan yang baik inilah telah memberi bekal yang berharga bagi pengalaman hidup Said Nursi selanjutnya.

Latar Belakang Pendidikan

Dalam dunia pendidikan, untuk pertama kali Said Nursi belajar di khuttab (madrasah) pimpinan Molla Mehmet Emin di desa Thag, sebagaimana ia juga belajar kepada kakaknya, Abdullah, pada setiap liburan akhir pekan. Namun keberadaannya di desa Thag ini hanya berlangsung sebentar saja, karena kegiatan belajarnya di lanjutkan di madrasah desa Birmis (Salih 2003, hlm. 9-10).

Di Birmis, Nursi berguru dengan Syaikh Sayyid Nur Muhammad. Sebagaimana di Tagh, pengajiannya disini juga terganggu. Kali ini Nursi diganggu oleh empat orang pelajar nakal. Nursi yang tidak tahan dengan keadaan tersebut telah mengadu kepada

(26)

gurunya. Katanya, “Tuan, saya harap tuan dapat memberitahu pelajar-pelajar itu agar tidak mengganggu saya secara berempat. Saya sanggup menghadapi mereka sekiranya mereka datang secara berdua”. Keberanian Nursi ini mengejutkan gurunya. Dengan nada membujuk gurunya itu berkata , “Kamu adalah pelajarku, aku tidak akan biarkan seorangpun mengganggumu”. Selepas peristiwa itu, Nursi dikenali dengan gelaran

Tilmidh al-Shaykh (Murid Kesayangan Guru), disebabkan keakraban dan penghormatan

guru tersebut terhadapnya (Zaidin 2001, hlm. 9).

Setelah berguru dengan Sayyid Nur Muhammad, Nursi pergi ke Nursin bersama kakaknya, yaitu Abdullah. Karena musim panas, mereka meninggalkan desa dan pergi ke padang rumput Syaikhan bersama penduduk desa dan murid-murid yang lain. Disitu Nursi berkelahi dengan Abdullah. Salah satu guru Madrasah Tag, yaitu Mehmed Emin Efendi marah kepada Nursi tidak menerima otoritas syaikh tersebut dan menyatakan kepadanya bahwa karena disini madrasah yang dimiliki oleh Syaikh Abdurrahman Tagi, kamu juga murid seperti saya dan kamu tidak punya hak untuk bertindak sebagai guru. Sesudah itu, ia segera meninggalkan madrasah menuju ke Nursin, melalui hutan yang tidak bisa dilewati pada siang hari ( Vahide 2003, hlm. 7).

Ketika ia selama masih anak-anak dalam mimpi dikisahkan bahwa dirinya melihat Rasulullah SAW. Peristiwa tersebut selalu diingat sampai akhir hayatnya. Dalam mimpi tersebut ia melihat seolah-olah kiamat telah terjadi dengan segala kejadian yang sangat mengerikan dan seluruh manusia dihimpun. Ketika itu, perasaan ingin melihat Nabi SAW pun begitu menggebu-gebu, tapi bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi, di manakah dirinya dapat menjumpainya dalam keadaan berdesak-desakan seperti ini?..Pada waktu dirinya sedang berpikir demikian dan dalam keadaan sedang berada di tengah kerumunan orang banyak, terlintaslah dalam benaknya untuk pergi ke jembatan

(27)

Shirat (jembatan menuju surga), karena Rasulullah SAW pun pasti akan melintasi

jembatan tersebut, dengan demikian bergegaslah Bediuzzaman menuju ke sana dan di sana ia diam menunggu Rasulullah SAW melintasinya selama dalam penantian ini, para nabi melewatinya, lalu tangan mereka dijabat dan dicium. Kemudian Nabi SAW yang dinanti-nanti pun lewat padanya. Ketika itu dirinya adalah seorang Said Nursi yang masih kecil yang sedang berada di hadapannya sambil menciumi kedua tangannya. Setelah itu, ia memohon darinya agar diberi ilmu, lalu Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Engkau akan diberi ilmu Al-Qur‟an dengan syarat engkau tidak boleh bertanya-tanya kepada siap pun dari kalangan umatku.” (Salih 2003, hlm. 15).

Pada tahun 1888 M. ia pergi ke Bitlis dan mendaftarkan diri di sekolah Syaikh Amin Afandi. Tetapi hanya sebentar saja di sekolah tersebut, sebab Syaikh tersebut menolak untuk mengajarnya dengan alasan faktor usia yang belum memadai. Ia hanya dititipkan pada orang dalam hal ini membuat ia sedih. Kemudian, ia segera mengalihkan perhatiannya untuk masuk di sekolah Mir Hasan Wali di Mukus, kemudian di sekolah yang terletak di Waston (Kawasiy). Hanya bertahan satu bulan, selanjutnya ia bersama seorang temannya yang bernama Muhammad berangkat menuju sekolah di Bayazid, salah sebuah daerah yang termasuk ke dalam wilayah Agri pada tahun 1891.

Disinilah Said Nursi mempelajari ilmu-ilmu agama dasar, karena sebelum itu ia hanya belajar Nahwu dan Sharaf saja. Disekolah yang terakhir inilah dan dengan berada di bawah bimbingan Syaikh Muhammad Jalali, Said Nursi belajar dengan segala kesungguhan dan secara intensif untuk jangka waktu tiga bulan lamanya. Selama itu, ia berhasil membaca seluruh buku yang pada umumnya dipelajari di sekolah-sekolah agama. Tercatat, bahwa Said Nursi dalam kesehariannya selalu membaca dua ratus halaman buku yang bahasanya sangat sulit dimengerti. Namun demikian, ia mampu

(28)

memahaminya tanpa harus merujuk pada catatan kaki atau catatan pinggir (Salih 2003, hlm. 10-11). Disini dia belajar sekitar 80 kitab, diantaranya ; Jam‟u al-Jawami, Syarh al

Mawakif dan Tuhfah. Setelah tiga bulan berlalu, ia pun berhasil menggondol ijazah dari

Syaikh Muhammad Jalali.

Kemudian Said Nursi berangkat menuju Bitlis untuk mengikuti pelajaran yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad Amin. Dari sini ia melanjutkan studinya ke kota Syirwan, tempat seorang kakaknya yang bernama Abdullah. Selanjutnya dari kota ini ia menuju ke Si‟rad untuk menjadi siswa seorang ulama kenamaan, Fathullah Afandi, yang bertanya kepadanya:

“Engkau katanya telah selesai membaca as-Suyuthi pada tahun yang silam, tapi apakah engkau telah selesai membaca kitab al-Jami pada tahun ini?”

Kemudian oleh Nursi dijawab: “Ya, saya telah selesai membacanya secara keseluruhan.” Kemudian Syaikh Fathullah Afandi mulai menyebutkan nama kitab-kitab kepadanya dan oleh Said Nursi dijawab bahwa semua kitab tersebut telah selesai dibaca. Syaikh Afandi berdecak kagum mendengar pernyataan ini, lalu sambil bercanda ia berkata: “Sungguh pada tahun yang silam engkau ini orang gila, apakah sampai sekarang engkau masih tetap gila?”

Ketika itu, Said Nursi menunjukkan kesiapannya untuk diuji seputar kitab-kitab di atas. Pada waktu menjalani ujian, ia dengan mantap mampu menjawab setiap soal yang disampaikan. Peristiwa ini sungguh telah membuat Syaikh Fathullah geleng kepala dan sangat kagum, sampai pada akhirnya ia berkata: “Baik,…. Sungguh engkau ini seorang yang dikaruniai kejeniusan yang luar biasa. Namun demikian, biarkan kami untuk mengetahui daya hafalanmu. Apakah engkau bersedia membaca beberapa baris dari kitab ini dua kali, lalu menghafalnya?”

(29)

Kemudian ia memberikan kitab Maqamat al-Hariri. Said Nursi pun meraihnya lalu membaca tulisan yang termaktub dalam halaman pertama dan hanya dibaca satu kali saja. Ternyata dengan satu kali membaca, ia mampu menghafalnya. Tentu saja apa yang terjadi membuat Syeikh Fathullah Afandi semakin kagum, sehingga ia berkata lagi: “Sungguh perpaduan antara otak jenius yang luar biasa dengan daya hafal yang luar biasa seperti yang engkau miliki merupakan kejadian yang sangat jarang”.

Ketika said Nursi berada di sisi Syaikh Fathullah Affandi secara intensif ia setiap harinya selama satu minggu membaca kitab Jam‟ul Jawami‟ (Kitab tentang Ushul Fiqh) karya Ibn as-Subki. Tenggang waktu yang digunakan untuk membaca kitab tersebut ternyata mencakup untuk menghafalnya juga, sehingga Syaikh Fathullah pun terdorong untuk menulis catatan dalam sampul kitab tersebut dengan kata-kata “Laqaad Jama‟a fi

hifzihihi, Jam‟ al-Jawami‟.Jami‟ilhi fi jum‟atin = Sungguh seluruh kitab Jam‟ul Jawami‟

telah mampu dihafal hanya dalam satu minggu (Salih 2003, hlm. 11-12).

Kemudian ia berangkat menuju Bitlis dan dari sana ke kota Tillo. Untuk beberapa lamanya selama berada di kota ini, ia melakukan iktikaf di salah satu tempat ibadah dan selama itu ia menghafal kamus al-Qamus al-Muhith, karya al-Fairuz Abadi, sampai pada huruf Sin.

Pada tahun 1892 M. said Nursi berangkat menuju Mardin untuk menyampaikan pengajian di Masjid Raya kota tersebut dan menjawab berbagai pertanyaan yang disampaikan oleh pesertanya. Ketika itu walikota setempat, Nadir Bek, karena termakan hasutan sebagian para pegawainya merasa bahwa Said Nursi seorang yang berbahaya dan telah membuat kekacauan di kota wilayah kekuasaannya. Dengan demikian, ia divonis agar keluar dari kota Mardin (Salih 2003, hlm. 13).

(30)

Pada tahun 1894, Said Nursi berangkat menuju kota Wan berdasarkan undangan wali kotanya yang bernma Hasan Pasya agar tinggal bersamanya. Kemudian dari sana ia pindah ke rumah Thahir Pasya. Selama berada di sana Allah Ta‟ala telah mempersiapkan situasi dan kondisi agar dirinya bertemu dengan sebagian para intellektual dari berbagai disiplin ilmu modern, seperti: Geografi, kimia, dan lain-lain. Ketika ia terlibat dialog dengan mereka, dirasakan bahwa penguasaan dirinya terhadap ilmu-ilmu tersebut mempelajarinya. Dengan semangat dan kecintaan yang menggelora ia pun menyambut tuntutan tersebut, sehingga berhasil menjadi seorang ilmuwan yang ahli dan mampu bergaul dan juga berdebat dengan orang-orang yang mengkhusukan diri di bidang tersebut. Dalam waktu relatif singkat sekali ia mampu menguasai matematika, ilmu falak, kimia, fisika, geologi, filsafat, sejarah, geografi, dan lain-lain. Berkat potensinya yang mampu menyerap berbagai disiplin ilmu dan otaknya yang sangat jenius, popularitas ia segera tersebar luas an digelari Badi‟uzzaman (Keindahan Zaman).

Semasa menetapnya Bediuzzaman, di kota Wan, suatu hari Wali Kota Wan menginformasikan kepadanya tentang berita menggemparkan yang dimuat surat kaar setempat dan membuat ia gemetaran karena menahan emosi. Dalam surat kabar tersebut dikemukakan, bahwa menteri urusan koloni Inggris, Gladystone, di depan anggota parlemen dengan menggenggam Al-Quran telah berkata: Selama Al-Qur‟an ini berada di tangan kaum muslimin, kita pun tidak akan pernah mau menguasai mereka. Dengan demikian, bagi kita tidak ada jalan lain kecuali melenyapkannya atau memutuskan hubungan kaum muslimin dengannya.

Berita ini telah membuat Said Nursi bergetar dan bertekad untuk mengabdikan seluruh hidupnya agar mukjizat Al-Qur‟an berkibar dan kaum muslimin terikat

(31)

al-Qur‟an adalah matahari maknawi (hakikat) yang tidak akan redup sinarnya dan tidak mungkin padam cahayanya”( Salih 2003, hlm. 14-15).

Karya-karya Said Nursi

Sebelum Nursi menulis Risale-i Nur, ia mempunyai beberapa karya pada periode Said

Qadim. Karya-karya tersebut adalah Taliqat (buku yang mengenai logika), Muhakamat

(buku yang terkait dengan kaidah-kaidah untuk penafsiran al-Qur‟an, sastra dan lain-lain), Sunuhat (buku ini terisi berbagi topik seperti kemukjizatan al-Qur‟an, keadilan, khilafah dan peradaban), Munazarat (buku ini terisi dengan debat antara Said Nursi masyarakat Turki Timur mengenai pemerintahan konstitusional, musyawarah, hukum dan lain-lain), Divan-Harbi Orfi (buku yang berisi penjelasan Nursi kepada masyarakat Istanbul mengenai seputar masalah politik), Hutbe-i Syamiyyah (Khutbah yang berisi penyakit yang melanda umat Islam dan pengobatannya), Hutuvat-i Sitte (buku yang berisi serangan Nursi terhadap Inggris ketika mereka mau menduduki Istanbul. Kesimpulannya, karya-karya tersebut membahas pemikiran Nursi tentang politik, sosial, sastra, logika dan lain-lain.

Pada periode Said Jadid, Nursi megarang master pieces-nya, yaitu Risale-i Nur dalam bahasa Turki dan Arab. Dalam bahasa Turki memuat beberapa bagian, yaitu

Mektubat (kumpulan surat-surat), Sualar (kumpulan pertanyaan-pertanyaan), Sozler

(kumpulan kata), Lemalar (kumpulan cahaya), Mesnevi Nuriye (ringkasan-ringkasan isi

Risale-i Nur), Asa-yi Musa (Tongkat Nabi Musa), Iman ve Kufur Nuvazeneleri

(pembahasan tentang iman dan kufur), Sikke-i Tasdiki Gaybi (mengungkap kebenaran alam ghaib), Kastamonu Lahikasi (berisi tentang surat-surat Nursi kepada para muridnya dan jawaban untuk surat dari muridnya selama ia berada di Kastamonu), Barla Lahikasi

(32)

(berisi tentang surat-surat Nursi kepada para muridnya dan jawaban untuk surat dari muridnya selama ia berada di Barla), dan Emirdag Lahikasi (berisi tentang surat-surat Nursi kepada para muridnya dan jawaban untuk surat dari muridnya selama ia berada di Emirdag); dan dua buku dalam bahasa Arab berjudul Isyarat al-I‟jaz (tanda-tanda kemu‟jizatan al-Qur‟an) dan Matsnawi al-„Arabi an-Nuriy (pembahasan singkat kandungan Risale-I Nur).

Sebagai contoh, Mektubat (edisi Bahasa indonesia, Menjawab Yang Tak

Terjawab, Menjelaskan Yang Tak Terjelaskan) memuat tentang tingkat kehidupan,

rahmat dalam kematian dan kemalangan, Asma Allah SWT, mukjizat Rasulullah SAW, makna mimpi, hikmah penciptaan syetan, mengapa harus ada mukjizat dan lain sebagainya. Penyajian buku ini menjawab dan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan dengan dalil naqli dan argumentasi serta pendekatan analogi yang aktual dan relevan.

Buku Mesnevi-i Nuriye (edisi Bahasa Indonesia, Sinar Yang Mengungkap Sang

Cahaya) berisi tentang tentang tafsir kalimat Laa Ilaha Illallah yang menjadikan segala

sesuatu yang ada di jagad ini bagaikan rangkaian kepingan-kepingan bermakna yang memantulkan ke-Esaan Allah rabb al-„alamin. Buku ini juga merupakan ringkasan dari Risale-I Nur.

Buku Lem‟alar (edisi Bahasa Indonesia, Menikmati Takdir Langit) mengandung 33 Cahaya, membahas peristiwa yang menimpa para Nabi Allah SWT, mengenai kemukjizatan Rasulullah, keutamaan munajat (doa), tentang kabar ghaib dari ayat al-Quran, Minhaj As-Sunnah, Ma‟rifat terhadap Allah dan Rasulullah, pembahasan tentang Akhlak, dan lain-lainnya.

(33)

Penulisan Risale-i Nur

Risale-i Nur dan penerbitannya merupakan sesuatu yang sangat istimewa dalam sejarah dakwah Islam modern. Hal ini berdasarkan asumsi, bahwa risalah Said Nursi tidak banyak yang ditulis secara langsung oleh dirinya, karena dalam keterampilan menulis ia adalah seorang yang boleh disebut „setengah ummi‟. Oleh karena itu, kebanyakan dari risalah-risalah ia selalu didiktekan kepada sebagian para muridnya. Kemudian naskah asli dari risalah-risalah tersebut beredar dan tersimpan di antara mereka yang selama ini bertugas menyalin dan mencatatnya. Selanjutnya seluruh naskah tersebut diserahkan kepadanya untuk dikoreksi ulang satu persatu. Dari seluruh risalah karyanya ini ia hanya menjadikan al-Quran sebagai satu-satunya sumber rujukan. Semua ini terjadi berkat rahmat yang dilimpahkan Allah kepadanya, yakni bahwa ia diberi anugrah berupa daya ingat yang luar biasa dan daya hafal yang sangat mengagumkan. Dengan demikian, saat-saat menyusun risalah-risalahnya ia hanya bersandar pada Al-Qur‟an dan ilmu-ilmu agama yang pernah dibaca pada awal masa kehidupannya yang tersimpan dalam ingatannya.

Oleh karena itu banyak pelajar atau muridnya yang berdatangan kepadanya, baik siang maupun malam dan ia tidak pernah meninggalkan satu keistimewaan rabbani yang terdapat hatinya atau satu buah pikiran pun yang melainkan ia berikan kepada murid-muridnya dan mengharapkan dapat menerimanya. Kesemua itu adalah karena ia telah menulisnya sendiri sebagian dari risalah-risalahnya, terlebih-terlebih lagi ketika ia masih berada dalam penjara (Salih, 2003, hlm. 131).

Risale-i Nur dan Kandungannya

(34)

Sesungguhnya Risalah Nur adalah satu dalil yang berkemilau bagi Al-Qur‟an, juga sebagai tafsir yang berharga, dia juga merupakan sinar yang cemerlang dari kecemerlangan Al-Qur‟an, juga tetesan air dari lautan, dia sebagai pantulan cahaya matahari serta satu kebenaran yang dipancarkan dari tumpukan ilmu haqiqah dan menerapkan pula terjemahan maknawi yang memencar dan melimpah.

Apabila ada yang mengatakan: mengapa kitab Risalah Nur dikategorikan sebagai tafsir Al-Qur‟an, sedangkan dia tidak menyerupai dengan kitab-kitab tafsir?

Jawabannya ialah tafsir itu ada dua macam:

Pertama: tafsir yang sudah populer yang isinya menerangkan, menguraikan, dan

menguatkan arti dan perumpamaan Al-Qur‟anul Karim termasuk pula jumlahnya dan kalimat-kalimatnya.

Kedua: tafsir yang merupakan penjelasan, keterangan, ketetapan tentang

keimanan yang hakiki terhadap Al-Qur‟anul Karim. Yaitu yang dibuktikan dengan dalil-dalil yang nyata dan hujjah yang konkrit. Macam yang kedua ini mempunyai arti yang sangat penting.

Adapun tentang kitab-kitab tafsir yang sudah populer itu ada juga yang mencakup tentang kategori dari macam yang kedua yang kadang-kadang dalam bentuk global. Dan bagi Rasail an-Nur memilih konsep ini sebagai bentuk tafsir maknawi bagi Al-Qur‟an di mana ia mengesampingkan pendapat para filosof dan bahkan membungkam mereka (Salih 2003, hlm. 140-141).

Pengarang selalu mengulang-ulang tentang arti ini ke dalam ingatan, yaitu bahwa Risalah Nur merupakan tafsir bagi makna yang termaktub dalam Al-Qur‟an seraya berkata:

Sesungguhnya kitab Risalah Nur itu bukanlah bagian dari tarekat ahli sufi, tetapi ia adalah bagian dari ilmu hakikat, dia adalah sinar yang memancar dari ayat-ayat Al-Qur‟an yang tidak diadopsi dari ilmu-ilmu ketimuran atau

(35)

pula dari kesenian barat. Dia tidak lain merupakan mukjizat dari kandungan Al-Qur‟anul Karim yang khusus untuk masa kini.

Dia adalah tafsir yang sangat berbeda dengan tafsir-tafsir yang lain di mana kitab-kitab tafsir itu hanya berlaku pada masanya. Tidak diragukan bahwa tafsir yang dikarang pada masa lalu di tengah masyarakat Islam adalah tidak sama dengan tafsir-tafsir yang dikarang pada masa kini yang berupaya untuk membantah upaya-upaya sesat yang menyerang umat Islam. Maka tafsir-tafsir tadi hanya membicarakan orang mukmin.

Dari urian di atas dapat disimpulkan bahwa Risalah Nur adalah kitab tafsir maani (maknawi) bagian al-Qur‟an yang mengungkap tentang persoalan-persoalan yang mendasar dalam kehidupan seseorang, disana terdapat di dalamnya gambaran-gambaran yang menyesatkan dan moral yang merusak. Dia mengungkap tentang arti tauhid dengan dalil-dalil yang beragam dan tentang hakikat akhirat, kebenaran kenabian, keadilan syariat dan lain-lainnya yang terkandung dalam al-Qur‟an.

Dan berkenaan dengan pembahasan tentang dakwah kepada Allah dan mencintai Rasulullah saw. Tentang rindu kepada akhirat juga tentang urusan-urusan kemasyarakatan dan politik yang beraneka ragam. Dalam hal ini Ustadz berkata:

Sesungguhnya kitab Risalah Nur mencakup lebih dari 100 rahasia-rahasia agama, syariat dan al-Qur‟an Karim. Kemudian diuraikan dan dijabarkan dengan luas sekaligus membantah pendapat orang-orang kafir dengan mengagungkan dalil-dalilnya, maka jadilah ia seumpama matahari yang bersinar dan sulit dijangkau akal pikiran seperti kebenaran peristiwa Isra‟ dan Mi‟raj dan hari kebangkitan manusia menurut paham para pembangkang dari kelompok filsof dan zindiq (anti Tuhan). Adapun menurut kitab Risalah Nur bahwasanya alam dan sekitarnya adalah mempunyai keterkaitan satu dan lainnya dan tidak boleh tidak bahwasanya dialah kebenaran tentang Al-Qr‟an yang dibutuhkan untuk masa kini dan masa yang akan datang. Dan menjadi pusat perhatian bahkan dia merupakan pedang yang dapat menyentuh hati orang-orang yang beriman (Salih 2003, hal. 141-143).

(36)

Perjuangan dan Pengaruh Said Nursi

Menurut Salih (2003, hlm. 90-91) kehidupan Said Nursi dapat dilihat dalam dua periode. Periode pertama adalah Said Qadim (Said Lama). Periode ini mulai dari kelahirannya berlangsung sampai ia diasingkan ke Barla (nama sebuah desa di Turki Barat) pada tahun 1926 dan Nursi sendiri menamainya sebagai Said Qadim. Periode kedua adalah Said Jadid (Said Baru). Periode ini berlangsung sejak ia memulai kehidupannya di Barla pada tahun 1926 sampai ia wafat pada tahun 1960. Di samping itu, ada juga periodesasi dari Sukran Vahide (2003, hlm. 1) bahwa ia sepakat dengan periodesasi di atas, tetapi ia menambah periode Third Said (1950-1960). Menurutnya, periode ini lanjutan dari periode Said Jadid, tetapi Nursi mempunyai karakter-karakter dari Said Qadim pada periode ini yang bertetapan dengan era pemerintahan Partai Demokrat.

Davutoglu (1994, hal.12) berkomentar mengenai pembagian riwayat hidup Said Nursi sebagai Said Qadim dan Said Jadid bahwa Said Nursi sebagai Said Qadim telah aktif di dunia politik dan berusaha membawa reformasi politik yang diperlukan oleh umat Islam. Pada periode kedua sebagai Said Jadid, ia berusaha memperbaharui iman individu muslim dan membentuk komunitas Islami dari individu tersebut untuk membangun kembali struktur politik dunia Islam yang memasuki periode stagnasi politik secara keseluruhan. Usaha ini bisa dipahami sebagai pilihan individu muslim yang membangun “Madinah Baru” untuk menghidupkan kembali iman dan spirit Makkah, daripada personel kolektif yang kehilangan Madinahnya dalam makna otoritas kebebasan politik menggelepar dalam dunia politik “Madinah Palsu”.

Dengan demikian, pelepasan Said Jadid dari politik tidak bisa dipahami seperti pendekatan Ali Abdul Raziq yang memisahkan agama Islam dengan urusan politik.

(37)

Dalam hal ini, Nursi berbeda pendapat baik dengan pendapat Ali Abdur Raziq yang mempersempit ruang lingkup agama , maupun Rashid Ridha yang mencari solusi pada pembaharuan institusional. Walaupun ia mendekati pendapat Iqbal dalam beberapa hal, dia berbeda dengan Iqbal dalam menekankan upaya menghidupkan kembali iman individu. Ketika ideologi-ideologi berbasis filsafat mulai berpengaruh dengan cepat kepada sistem politik, penekanan Nursi untuk menjaga keimanan individu menunjukkan pendapatnya bahwa solusi utama, yaitu menjadikan setiap individu muslim adalah titik Barlawanan terhadap ekspansi yang bersandar pada ideologi Barat dengan menjaga keimanan individu daripada pembaharuan struktural. Pendekatan seperti ini, sesuai dengan situasi umum umat Islam pada waktu itu.

Periode Said Qadim

Masa kecil dan pengalaman pendidikannya termasuk dalam periode ini. Selanjutnya, Nursi berangkat ke Istanbul pada tahun 1907 M. untuk mewujudkan cita-citanya, yaitu mendirikan sebuah madrasah yang ilmu agama dan ilmu sains diajarkan secara bersama. Di sana ia tinggal di Hotel Sekerci yang terletak di wilayah Fatih. Tercatat, bahwa hotel ini merupakan tempat tinggal sejumlah para pemikir dan pujangga, seperti penyair kenamaan yang bernama Muhammad „Akif dan kepala intelejen yang bernama Fatih, juga seorang guru bahasa kenamaan yang bernama Jalal dan lain-lain.

Selama berada di ibu kota Istanbul ia telah menggantungkan sebuah papan di depan pintu kamarnya yang bertuliskan: “Gratis”!!! Di sini akan terjawab setiap pertanyaan dan setiap problema pasti akan terpecahkan”. Ini merupakan pernyataan asing dan menarik perhatian yang membuat popularitas Bediuzzaman semakin luas yang

(38)

sebelumnya juga sudah terkenal di ibu kota Istanbul dan membuat orang-orang ingin melihatnya secara langsung (Salih 2003, hlm. 15-16)

Di ibu kota Istanbul Said Nursi menyampaikan usulan kepada Sultan Abdul Hamid agar didirikan sebuah madrasah bernama Madrasah Az-Zahrah yang ilmu agama dan ilmu sains diajarkan secara bersama di Turki Timur. Usulan ini disampaikan, karena penduduknya sangat didominasi oleh kebodohan dan kemiskinan, juga sangat dicekam oleh kediktatoran, sistem keamanan, dan para intel dari kalangan Istana Yildiz. Tetapi usulan ini hanya membuat orang-orang dekat Sultan yang hakikatnya tidak mencerminkan pemikiran Sultan membawa ia ke beberapa dokter untuk diperiksa dan diteliti daya nalar otaknya. Kemudian para dokter berketetapan untuk menempatkannya di RS Jiwa Topbasyi.

Ketika salah seorang dokter hadir untuk memeriksa daya nalar otak Said Nursi, kepada dokter ini ia menyampaikan apa yang terlintas dalam benak sang dokter. Kejadian ini telah mendorongnya mebuat keterangan: “Jika memang terdapat sedikit saja kegilaan pada Said Nursi, ini artinya bahwa di seluruh muka planet bumi ini tidak seorang pun ada yang berakal sehat” (Salih 2003, hlm. 17-18)

Kemudian Said Nursi berangkat menuju Salonika dan di sana ia berkenalan dengan para tokoh al-Ittihad Wa at-Taaraqqi (Kelompok Persatuan dan Kemajuan). Langkah ini ditempuh, dengan pertimbangan karena dirinya juga sebagai seorang yang menyarakan dan menyerukan kebebasan dan prinsip musyawarah secara Islami. Di sana ia mendapat sambutan hangat dari para pemimpin al-Ittihad Wa at-Taraqi. Namun demikian, mereka tidak berhasil mengajaknya untuk menjadi pengikut mereka. Kasus ini terjadi, karena ia tetap pada prinsip pemikiran dan kepribadiannya. Kemudian saat dirasakan bahwa sebagian di antara mereka ada yang goyah pendiriannya dan bersikap

(39)

memusuhi agama (Islam), ia pun berkata: “Kalian ternyata memusuhi agama dan berpaling dari syari‟at” (Salih 2003, hlm. 19-20).

Ketika Konstitusu kedua diundangkan dalam sistem pemerintahan Turki Utsmani (23 Juli 1908), perhatian iapun lebih difokuskan pada kegiatan orasi dan menulis makalah-makalah sebagai media untuk menjelaskan makna kebebasan dalam Islam dan pengaruh Islam dalam kehidupan politik, juga tuntunan agar Syari‟at Islam diterapkan dan aktif memberi peringatan jangan sampai menyalahgunakan makna kebebasan.

Komunitas Persatuan Ummah (Ittihad-i Muhammadi) telah didirikan pada 5 Februari 1909. Acara pembukaan resmi dilaksanakan dalam bentuk mevlid dan

bertepatan dengan tanggal kelahiran Nabi SAW. Nursi ikut serta dalam pelaksanaan

mevlid yaitu memberikan khutbah selama dua jam. Didalam khutbahnya, ia menerangkan

tema-tema terkait dengan politik, sosial dan agama. Media komunitas ini adalah koran Volkan. Nursi sering menulis makalah di dalam koran tersebut. Di samping itu, Nursi juga menulis berbagai tulisan di koran-koran lain seperti Tanin, Ikdam, Serbesti, Mizan,

Misbah (Vahide 2000, hal. 74-78).

Pada tanggal 13 April 1909 (31 Maret 1325) pecah pemberontakan 31 Maret. Peristiwa ini berlaku atas beberapa sebab yang saling kait mengaitkan antara satu sama lain. Antaranya, kekhawatiran masyarakat Islam terhadap tindakan pemerintah yang jelas membelakangkan agama dan hubungan rapat mereka dengan golongan Yahudi. Pemerintah sendiri dilihat terlibat dalam kes pembunuhan Hasan Fahmi Bey (pemilik

Konstitusu yang mengundangkan UUD dan pemilihan anggota parlemen yang mengukuhkan bahwa sultan dan kementerian bertanggungjawab kepada parlemen.

** Mevlid adalah sebuah syair yang dilagukan untuk kelahiran Nabi Muhammad SAW oleh Sulaiman Celebi yang meninggal di Bursa pada tahun 780 H/ 1378M.

(40)

akhbar Surbasti) dan Mahir Basha. Pada masa yang sama, heboh pula berita yang mengatakan pihak pemerintah akan memecat pegawai-pegawai tentara yang bukannya dari Maktab Tentara. Berita tentang penjualan Bosnia, Herzegovina dan Semenanjung Crete Balkan juga telah menimbulkan kemarahan rakyat.

Dalam suasana tegang beginilah, peristiwa yang menyedihkan itu terjadi. Pada 13 April 1909, tentara-tentara di Istanbul yang disertai oleh gerakan Ittihad al-Muhammadi telah mengurung pegawai-pegawai mereka (Lepasan Maktab Tentara). Sebagian dari penunjuk perasaan ini bergerak ke Beshiktash dan Sultan Ahmad sambil melaung-laungkan “Kami inginkan Syari‟at”. Kumpulan pelajar-pelajar Tarekat, pegawai-pegawai kerajaan dan penyokong parti-parti pembangkan yang lain (selain Parti al-Ittihad al-Muhammadi).

Pemberontakan tersebut dengan mudah dapat dipatahkan oleh Hareket Urdusu (Tentara Bertindak) yang dibentuk di Salanika di bawah pimpinan Mahmud Shawkat Pasya pada 24 April 1909. Akhirnya Undang-undang Tentara pun diisytiharkan di Istanbul. Parti-parti pembangkan dan akhbar-akhbar mereka telah ditutup. Pada 27 April 1909, Sultan Abd al-Hamid yang tidak terlibat langsung dalam kejadian itu telah digulingkan. Darswih Wihdati dan beberapa orang pengikutnya telah dijatuhkan hukuman gantung.

Nursi turut sama ditahan walapun jelas ia tidak terlibat dalam kejadian tersebut. Ia sebagaimana dalam Revolusi 1908, juga menolak tindakan para penunjuk rasa yang dilihatya telah melakukan suatu tindakan yang tidak wajar. Oleh karena itu, ia telah mencoba mententramkan keadaan dengan menasihatkan para tentara yang merusuh agar kembali ke kem dan mematuhi arahan pegawai-pegawai mereka. Jelasnya, penahanan ini

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, perlakuan pemberian Mabar Fine Compost berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah ginofor, jumlah cabang utama, jumlah

Pada saluran tataniaga nol tingkat nilai efisiensi dapat dilihat pada perbandingan antara biaya tataniaga yang dikeluarkan dengan jumlah produksi yang dijual, maka

Analisis sitiran yang terkait dengan jenis, bahasa, pengarang literatur dan jurnal dapat menunjukkan kecenderungan penggunaan dokumen dalam penyusunan karya ilmiah tesis

1.1.2 Memilih tipe dan macam- macam perkakas bertenaga, alat- alat potong dan alat-alat bantu yang diperlukan sesuai dengan spesifikasi dan karakteristik pekerjaan pemasangan dan

H0 :Ekstrak daun sirih (Piper betle Linn) tidak mampu menurunkan jumlah neutrofil darah pada mencit yang diinfeksi

Jadi kesimpulan dari langkah-langkah kolaborasi model pembelajaran Think Pair Share dan Talking Stick adalah di awali dengan Sintaks model pembelajaran Think Pair

Berdasarkan pemaparan tersebut dan hasil penelitian diketahui apabila informasi positif yang diterima oleh pengguna LINE maka akan membawa konsumen untuk merekomendasikan

Observasi kelas juga dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh gambaran mengenai kondisi siswa dan proses belajar mengajar di kelas, sehingga apabila pada saatnya