BAB II KAJIAN TEORI
D. Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab dan Tanggung Gugat
Tanggung jawab produk dan tanggung gugat produk merupakan dua istilah yang mempunyai arti hampir sama, perbedaannya terletak pada darimana datangnya tuntutan atau gugatan dan pihak mana yang harus tanggung jawab.
Tanggung jawab dan tanggung gugat produk dalam kontek perlindungan konsumen merupakan hubungan yang bersifat kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang timbul, artinya tanggung
jawab pelaku usaha timbul jika produk yang ditawarkan pelaku usaha tersebut merugikan konsumen.
Secara theoritik prinsip-prinsip yang ada dalam mewujudkan tanggung gugat produk antara lain ( Mansyur, 2007:60-61):
a. Pertanggungjawaban Kontraktual (Contractual Liability)
Artinya hubungan yang timbul dari pelaku usaha dengan konsumen adalah berdasarkan hubungan perjanjian(contract), karenanya pertanggungjawaban pelaku usaha terhadap produk yang dipasarkan juga berdasarkan kontrak, artinya tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian/ kontrak dari pelaku usaha, atas kerugian yang dialamikonsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkannya atau memanfaatkan jasa yang diberikannya. Dalam konteks ini, dasar gugatan konsumen/pembeli mendasarkan pada wanprestasi dari suatu perjanjian.
b. Pertanggungjawaban Produk (Produk Liability)
Artinya adalah pertanggungjawaban produk terjadi manakala setiap produk yang sampai di tangan konsumen, yang karena hubungan langsung, jika menimbulkan kerugian bagi konsumen, maka produsen harus bertangggungjawab. ketentuan umum mengenai pertanggungjawaban seseorang atas kerugian yang
ditimbulkan oleh benda dapat kita temukan dalam pasal 1367 ayat (1) kitab undang-undang hokum perdata yang berbunyi
“seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang
disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga atas kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh barang-barang yang berada
di bawah pengawasannya”
Sebagaimana telah dijelaskan dalam uraian mengenai pertanggungjawaban atas perbuatan melawan hukum orang lain, bahwa ketentuan pasal 1367 ayat 1 kitab undang-undang hokum perdata menyaratkan adanya kesalahan dalam diri orang yang dimintakan pertanggungjawaban tersebut, meskipun perbuatan melawan hokum yang menerbitkan kerugian tersebut bagi orang lain, bukanlah perbuatan yang dilakukan oleh orang yang dimintakan pertanggungjawaban tersebut ( Widjaja dan Kartini, 2005:197-198).
c. Pertanggungjawaban Professional (Professional Liability)
Artinya adalah pertanggungjawaban berdasarkan profesi, dalam hal ini jika profesi berupa jasa. Pertanggungjawaban professional dapat ditempuh melalui dua cara:
a) Jika hubungan perjanjian antara pelaku usaha dengan konsumen, dalam hal ini pemberi jasa dan peneima jasa,
yang jasanya tersebut tidak terukur, maka pertangggungjawabannya bagi pelaku usaha mendasarkan pada tanggung jawab perdata secara langsung (strick liability).
b) Jika hubungan perjanjian pelaku usaha dengan konsumen, dalam masa prestasinya berupa jasa yang dapat diukur, maka tanggung jawab pelaku usaha berdasarkan pada perjanjian (contractual liability).
d. Pertanggungjawaban Pidana (Criminal Liability)
Dalam hal hubungan pelaku usaha dengan negara dalam memelihara keselamatan dan keamanan masyarakat (konsumen), maka tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada pertanggungjawaban pidana.
Sedangkan secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut:
a. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan
Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kelasalahan (fault liability) atau liability based of fault adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Prinsip ini menyatakan sesorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya.
b. Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggung Jawab
Prinsip ini menyatakan, tergugat dianggap bertanggung jawab (presumption of liability princple), sampai ia dapat membuktikan ia bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada si tergugat.
c. Prinsip Praduga untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab
Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumtion nonliability principle) hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas, dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan. Contoh dalam penerapan prinsip ini adalah “Memecahkan Berarti Membeli”, “Membuka Segel Berarti Membeli”, dalam hal ini, pelaku usaha tidak dapat dimintai pertanggung jawaban.
d. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak
Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability). Substansi hokum perlindungan konsumen mengalami perubahan, dari hokum yang berkarakteristik represif, dalam bentuk prinsip tanggung jawab tanggung jawab berdasarkan kesalahan (fault based liability) ke prinsip tanggung jawab yang berpihak atau responsif terhadap kepentingan konsumen, dalam bentuk tanggung jawab mutlak (strict liability). Hal ini dilakukan dalam rangka menghadapi perkembangan perdagangan yang terus mengglobal untuk melindungi hak-hak konsumen.
Adapun alasan-alasan yang memperkuat penerapan prinsip tanggung jawab mutlak yang di dasarkan pada Prinsip Social Theory (Barkatullah, 2008:175).
3. Manufacturer adalah pihak yang berada dalam posisi keuangan yang lebih baik untuk menanggung beban kerugian, dan pada setiap kasus yang mengharuskannya mengganti kerugian dia akan meneruskan kerugian tersebut dan membagi resikonya kepada banyak pihak dengan cara menutup asuransi yang preminya dimasukan ke dalam perhitungan harga dari barang hasil produksinya. Hal ini dikenal dengan deep pockets theory. 4. Terdapatnya kesulitan dalam membuktikan adanya unsur
kesalahan dalam suatu proses manufacturing yang demikian kompleks pada perusahaan besar (industry) bagi seorang konsumen/korban/penggugat secara individual.
Namun, ada pengecualian – pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force majeur. Sebaliknya,
absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualian.
e. Prinsip Tanggung Jawab dengan Pembatasan
Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability principle) sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausula baku dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Misalnya
dalam perjanjian pengiriman barang, barang yang akan dikirimkan itu hilang atau rusak (termasuk akibat kesalahan petugas), maka konsumen hanya dibatasi ganti rugi sebesar sepuluh kali harga barang yang rusak tersebut. Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha.
Dalam Undang-Undang No. 08 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausul yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan mutlak harus berdasararkan pada peraturan perundang – undangan. Pembuktian inilah yang nantinya akan terlihat kelemahannya, ketika menggunakan pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen berkaitan dengan kerugian yang dialami oleh konsumen.
E. Dasar Hukum Islam dan UUPK Tentang Prinsip Tanggung Jawab Mutlak Pada Klausula Baku
Pada dasarnya semua hukum muamalah adalah boleh kecuali ada dalil yang melarangnya, karena tujuan dari muamalah adalah memperhatikan kemaslahatan manusia, maka segala sesuatu yang akan mewujudkan sebuah kemaslahatan adalah boleh. Berinteraksi dengan akad-akad baru yang tidak dikenal sebelumnya juga sah melalui qiyas, istihsan, ijma‟, atau kebiasaan
Ijtihad para ulama terbagi menjadi dua pendapat mengenai prinsip membuat berakad ini, artinya dalam memilih aturan-aturan tertentu untuk menjadi sebuah akad antara dua pihak atau memilih jenis akad tertentu yang tergolong baru di samping akad-akad yang telah dikenal sejak dulu (Mahfudh, 1994:27).
Adapun dasar hukum Islam mengenai tanggung jawab mutlak pada klausula baku sendiri masih bersifat umum, berikut beberapa ayat Al-Qur‟an dan
Hadist yang dijadikan landasan hukum Islam mengenai tanggung jawab mutlak pada klausula baku.
1. Landasan Al-Qur‟an
a. Surat Al An‟am 164
ر ُُُُِِْ ََْ ر ُُْكَِّر ر رَلِإ راُثُ رىَْ خُأ رَر زِو رٌةَرِزاَو رُرِزَت ر َلََو راَه يَلَع ر الَِإ رٍس فَ ن رُّلُك رُبِس َُت ر َلَ رَو
رَنوُفِلَت َتَ رِهيِف ر ُْت نُك راَِبِ ر ُُُْئكبَنُ يَ ف
Artinya: “Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkankemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang
kamu perselisihkan.”
Maksudnya perbuatan yang dilakukan seseorang akan kembali kepada diri mereka masing-masing, dan juga seseorang tidak akan memikul atau menanggung dosa dari perbuatan yang dilakukan oleh orang lain. hadist ini di jadikan penulis sebagai dasar hukum Islam secara umum mengenai
tanggung jawab mutlak, yang pada prinsipnya tanggungjawab dalam Islam itu berdasarkan atas perbuatan individu saja.
b. An-Nisa Ayat 29
ر نَأ ر الَِإ ر ِلِطاَب لاِِّ ر َُُْن يَ ِّ ر َُُْلاَو ََأ راوُلُك أَت ر َلَ راوُنََآ رَنيِذالا راَهُّ يَأ راَي
ر رَهاللا رانِإ ر ۚ ر َُُْسُف نَأ راوُلُ ت قَ ت ر َلََو ر ۚ ر ُُْ نَِ ر ٍضاََْ ت ر نَع رًةَراَِتِ رَنوَُُت
اًمي ِحَر ر ُُِِّْ رَناَك
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu”
Dalam Islam, kerugian atau bahaya fisik yang diderita oleh konsumen karena cacat produk atau penipuan adalah perbuatan yang tidak dibenarkan, oleh karena itu pelaku usaha/produsen harus bertanggung jawab atas perbuatannya itu. Tanggungjawab jika dihubungkan dengan penyebabadanya ganti rugi (dhaman) dapat dibedakan menjadi lima, yaitu (Muhammad &
Alimin, 2014:235-239):
1) Ganti Rugi Karena Perusakan (Dha-man Itlaf) adalah ganti rugi akibat
dari perusakan barang. Ganti rugi itlaf tidak hanya berhubungan dengan
kerusakan harta benda saja, tetapi juga menyangkut jiwa dan anggota tubuh manusia;
2) Ganti Rugi Karena Transaksi (Dhaman „Aqdin) adalah terjadinya suatu
aqad atau transaksi sebagai penyebab adanya ganti rugi atau tanggung
jawab;
3) Ganti Rugi Karena Perbuatan (Dhaman Wadh‟u Yadin) adalah ganti rugi akibat dari kerusakan barang yang masih berada di tangan penjual apabila barang belum diserahkan dalam sebuah aqad yang sah dan ganti rugi
karena perbuatan mengambil harta orang lain tanpa izin;
4) Ganti Rugi Karena Penahanan (Dhaman al-Hailulah) adalah ganti rugi
pada jasa penitipan barang (alwadi) jika terjadi kerusakan atau hilang,
baik kerusakan atau hilangnya itu disebabkan karena kelalaian atau kesengajaan orang yang dititipi.
5) Ganti Rugi Karena Tipu daya (Dhaman al-Maghrur) adalah ganti rugi akibat
tipu daya. Dhaman al-maghrur sangat efektif diterapkan dalam perlindungan
konsumen, karena segala bentuk perbuatan yang dapat merugikan orang lain pelakunya harus membayar ganti rugi sebagai akibat dari perbuatannya itu.
5. Landasan Hadist
Nabi Muhammad SAW telah melarang adanya penipuan dalam jual
beli, dan juga melarang jual beli mulamasah dan munaba-dzah, seperti yang dijelaskan dalam hadist berikut:
رَنيِد رِن ِّ رِهاللا رِد بَع ر نَع رٌكِلاََ راَنََْ ب خَأ رَفُسوُي رُن ِّ رِهاللا رُد بَع راَنَ ثادَح
رَيِضَر رََْمُع رِن ِّ رِهاللا رِد بَع ر نَع رٍرا
ر َلاَقَ ف رِعوُيُ ب لا ر ِفِ رُعَد ُيُ رُهانَأ رَْالَسَو رِه يَلَع رُهاللا رىالَص ركِبِانلِل رََْكَذ ر ًلًَُِر رانَأ راَمُه نَع رُهاللا
رَت َُ ياَِّ راَذِإ
رَةَِّ َلًِخ ر َلَ ر لُقَ ف
Jika kamu berjual beli katakanlah Maaf, namun jangan ada penipuan. [HR. Bukhari No.1974].
Telah menceritakan kepada kami ['Abdullah bin Yusuf] telah mengabarkan kepada kami [Malik] dari ['Abdullah bin Dinar] dari ['Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhu] bahwa ada seorang laki-laki menceritakan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwa dia tertipu dalam berjual beli. Maka Beliau bersabda: "Jika kamu berjual beli katakanlah "Maaf, namun jangan ada penipuan".
رِع يَ ب لا ر ِفِ رِةَذَِّاَنُم لاَو رِةَسَََلًُم لا رِنَع رَْالَسَو رِه يَلَع رُللها رىالَص رُِّبِانلا رىَهَ ن
“Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam melarang mulamasah dan munaba
-dzah dalam jual beli.”
Adapun maksud dari mulamasah yaitu seseorang berkata, “apabila
engkau menyentuh pakaianku atau aku menyentuh pakaianmu, maka wajib dijual. Ada juga yang mengatakan menyetentuh barang dengan mata tertutup
kemudian apa yang tersentuh wajib dijual.” Sedangkan munabadzah yaitu dua
orang menjadikan lemparan sebagai tanda jadi jual beli tanpa ada transaksi lisan (tawar menawar) (Baqi, 2010:437).
Salah satu hak konsumen dalam Islam adalah hak untuk memilih yang dikenal dengan istilah khiyar. Melalui hak khiyar ini, Islam memberikan
ruang yang cukup luas bagi konsumen dan produsen untuk mempertahankan hak-hak mereka dalam perdagangan apakah melanjutkan aqad/ transaksi
bisnis atau tidak. Para ulama‟ membagi hak khiyar menjadi tujuh macam
yaitu:
1. Khiyar Majlis adalah hak untuk memilih melanjutkan atau
membatalkan transaksi bisnis selama masih berada dalam satu tempat (majlis) (Al-Jaziri, 2001:41).
2. Khiyar Syarath adalah hak untuk memilih melanjutkan atau
membatalkan transaksi bisnis sesuai dengan waktu yang disepakati atau syarat yeng telah ditetapkan bersama.
3. Khiyar Aibi adalah hak untuk membatalkan transaksi bisnis apabila
obyek transaksi cacat sekalipun tidak ada perjanjian sebelumnya. Cacat yang dapat dijadikan alasan untuk mengembalikan barang adalah cacat yang dapat menyebabkan turunnya harga.
4. Khiyar Tadlis terjadi jika penjual mengelabui pembeli. Dalam hal
ini pembeli memiliki hak Khiyar selama tiga hari (As-Sabatin, 2009:312).
5. Khiyar Ru‟yah adalah hak pilih untuk melanjutkan atau membatalkan transaksi bisnis yang dilakukan terhadap suatu objek yang belum dilihat pada saat transaksi dilaksanakan. Untuk sahnya transaksi jual beli/binis disyaratkan barang dan harganya diketahui
dengan jelas oleh penjual dan pembeli. Maka tidak sah menjual atau membeli sesuatu yang tidak jelas, karena hal itu akan mendatangkan perselisihan.
6. Khiyar Al-Ghabn Al-Fahisy (khiyar al-murtarsil) jika penjual dan
pembeli merasa ditipu maka ia memiliki hak khiyar untuk menarik diri dari transaksi jual beli/bisnis dan membatalkan transaksi tersebut. Khiyar jenis ini pada suatu saat bisa menjadi hak penjual dan pada saat yang lain bisa juga menjadi hak pembeli.
7. Khiyar Ta‟yin adalah memberikan hak kepada pembeli untuk
memilih barang yang dia inginkan dari sejumlah atau kumpulan barang yang dijual kendatipun barang tersebut berbeda harganya, sehingga konsumen dapat menentukan barang yang dia kehendaki (Al-Jaziri, 2001:316).
Dalam hukum Islam kewajiban-kewajiban konsumen tidak dijelaskan secara spesifik, namun demikian sebagai bentukkeseimbangan dan keadilan penulis dapat menjelaskannya sebagai berikut;
1. Beritikad baik dalam melakukan transaksi barang dan/atau jasa; 2. Mencari informasi dalam berbagai aspek dari suatu barang
dan/atau jasa yang akan dibeli atau digunakan;
3. Membayar sesuai dengan harga atau nilai yang telah disepakati dan dilandasi rasa saling rela merelakan (taradhin), yang terealisasi dengan adanya ijab dan qabul (sighah) ;
4. Mengikuti prosedur penyelesaian sengketa yang terkait dengan perlindungan konsumen.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen selain memberikan hak kepada konsumen, konsumen juga dibebani dengan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi sebagaimana diatur pada Pasal 5, yaitu :
1. Membaca dan mengikuti informasi dan prosedur pemakaian atau pemeliharaan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
4. Mengikuti upaya penyelesaian hokum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
Kewajiban-kewajiban konsumen seperti yang diatur pada Pasal 5 tidak dijelaskan secara spesifik dalam hukum Islam, tetapi bila melihat tujuan pengaturan itu untuk kemaslahatan konsumen dan pelaku usaha, maka
pengaturan itu sesuai dengan hokum Islam dan maqashid al syari‟ah, yaitu
untuk mewujudkan mashlahah (kebaikan). Sedangkan dalam undang-undang perlindungan konsumen, ketentuan mengenai klausula baku ini diatur dalam Bab V tentang ketentuan pencantuman klausula baku yang hanya terdiri dari
satu pasal, yaitu pasal 18. Pasal 18 tersebut secara prinsip mengatur dua macam larangan yang diberlakuakan bagi para pelaku usaha yang membuat perjanjian baku dan/atau mencantumkan klausula baku dalam perjanjian yang dibuat olehnya (Widjaja&Yani, 2000:54).
Dalam ketentuan pasal 18 ayat 1 dikatakan bahwa para pelaku usaha
dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian dimana klausula baku tersebut akan mengakibatkan:
1. Pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
2. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
3. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
4. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
7. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
8. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Selanjutnya dalam pasal 18 ayat 2 dijelaskan bahwa Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
Jadi sebagai konsekuensi atas pelanggaran terhadap ketentuan pasal 18 ayat 1 dan 2, maka setiap ketentuan klausula baku yang telah ditetapkan dalam bentuk dokumen atau perjanjian oleh pelaku usaha batal demi hukum.
Atas kebatalan demi hukum dari klausula sebagaimana disebutkan dalam pasal 3, maka pada pasal 4 undang-undang tentang perlindungan konsumen selanjutnya mewajibkan para pelaku usaha untuk menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang tentang perlindungan konsumen ini.
Jadi pada prinsipnya undang-undang perlindungan konsumen tidak melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian baku yang memuat klausula baku atas setiap dokumen dan/atau perjanjian transaksi usaha perdagangan barang/jasa, selama klausula tersebut tidak mencantumkan ketentuan yang dilarang dalam pasal 18 ayat 1, dan tidak berbentuk sebagaimana dilarang dalam pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
F. Tujuan dan Asas Undang-Undang No. 08 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Dalam Pasal 1 Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, disebutkan "segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen" maksudnya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen itu antara lain adalah dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen serta membuka akses informasi tentang barang dan/atau jasa baginya, dan
menumbuh-kembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggungjawab.
Sedangkan dalam Pasal 3 disebutkan mengenai tujuan dari perlindungan konsumen yang dibagi dalam tiga bagian utama yaitu :
a) Memberdayakan konsumen dalam memilih, menentukan barang dan/atau jasa kebutuhannya dan menuntut hak-haknya.
b) Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang memuat unsur-unsur kepastian hukum, keterbukaan informasi dan akses untuk mendapatkan informasi itu.
c) Menumbuhkan kesadaran pelaku perlindungan konsumen sehingga bertanggung jawab.
Usaha mengenai pentingnya tumbuh sikap jujur dan perlindungan konsumen yang dijamin undang-undang ini adalah adanya kepastian hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen, kepastian hukum itu meliputi segala upaya berdasarkan hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen tersebut.
Pemberdayaan konsumen itu adalah dengan meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandiriannya melindungi diri sendiri
sehingga mampu mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan menghindari berbagai ekses negatif pemakaian, penggunaan dan pemanfaatan barang dan/atau jasa kebutuhannya.
Di samping itu, juga kemudahan dalam proses menjalankan perkara sengketa konsumen yang timbul karena kerugian harta bendanya, kesehatan, keselamatan tubuh atau keamanan/kehilangan jiwa konsumen dalam pemakaian, penggunaan dan/atau pemanfaatan produk konsumen.
Karena sebelum adanya undang-undang ini, konsumen umumnya lemah dalam bidang ekonomi, pendidikan dan daya tawar, oleh karena itu sangat dibutuhkan adanya undang-undang yang melindungi kepentingan-kepentingan konsumen yang selama ini terabaikan.
Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 ditetapkan beberapa asas yang mengayomi serta memberikan perlindungan baik kepada pelaku usaha maupun konsumen. Asas-asas dalam undang-undang perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu : 1. Asas Manfaat
Maksudnya adalah untuk mengamankan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara
keseluruhan. Menyimak asas di atas dapat dimaknai pembentuk undang-undang tentang perlindungan konsumen ternyata sependapat dengan teori Jeremy Betham melalui penganalogian yang mengajarkan bahwa memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan adalah memberikan juga kebahagiaan yang terbesar untuk jumlah yang terbanyak sebagaimana tujuan hukum yang dikemukakannya.
2. Asas Keadilan
Dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. Keadilan artinya memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi bagian atau haknya. Asas keadilan yang dianut oleh pembentuk undang-undang tentang perlindungan konsumen ini adalah justifikasi dari apa yang diperkenalkan oleh Aristoteles melalui teori etis yang maknanya bahwa keadilan jangan dipandang sebagai penyamarataan melainkan bukan penyamarataan yang kemudian dalam teorinya dijabarkan lebih lanjut mengenai keadilan distributif dan komutatif.
3. Asas Keseimbangan
Maksudnya untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil maupun spiritual. Pengembang yang sudah mempunyai kemampuan ekonomi jauh lebih besar serta mempunyai posisi tawar yang dominan sudah seharusnya memperhatikan posisi tawar yang lemah dari pembeli.
Asas keseimbangan dapat diproyeksikan lebih ke bawah lagi sehingga dapat dikemukakan asas yang lebih rinci yaitu, asas perlindungan konsumen yaitu asas untuk melindungi konsumen terhadap mutu produk barang/jasa dari produsen yang tidak tanggung jawab misalnya membahayakan kesehatan, mutu di bawah standar, penipuan atau pemaksaan kehendak karena secara ekonomis produsen lebih kuat. Asas kebebasan berkontrak yang merupakan salah satu hak asasi yang perlu ditegakkan agar tidak terjadi pemaksaan dari pihak yang satu terhadap pihak yang lain yang terutama sekali produsen tertentu kepada konsumen. Asas perlindungan terhadap kepentingan publik/umum yaitu masyarakat umum yang awam dalam hukum perlu dilindungi terhadap itikad buruk pelaku usaha umumnya atau produsen khususnya, sehingga perlu adanya syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh perusahaan yang akan menawarkan produknya kepada masyarakat. Melalui asas keseimbangan ini undang-undang perlindungan