• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 08 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP TANGGUNG JAWAB MUTLAK PADA KLAUSULA BAKU DI PERTOKOAN PASAR KARANGGEDE KABUPATEN BOYOLALI SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh G

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 08 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP TANGGUNG JAWAB MUTLAK PADA KLAUSULA BAKU DI PERTOKOAN PASAR KARANGGEDE KABUPATEN BOYOLALI SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh G"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR

08 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

TERHADAP TANGGUNG JAWAB MUTLAK PADA KLAUSULA

BAKU DI PERTOKOAN PASAR KARANGGEDE KABUPATEN

BOYOLALI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

Oleh:

INTAN PRATIWI

NIM: 21414067

PROGAM STUDI

HUKUM EKONOMI SYARI’AH

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)

MOTTO

MENGETAHUI TUJUAN ANDA DAN KEINGINAN

UNTUK MENCAPAINYA, TIDAK AKAN MEMBAWA

ANDA DEKAT KEPADANYA, HANYA TINDAKAN

YANG MAMPU BERBUAT DEMIKIAN

(6)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini dipersembahkan untuk:

1. Kedua orang tuaku tercinta sebagai motivator terbesar dalam hidupku yang

tak mengenal lelah dan mendoakan aku serta menyayangiku, terima kasih atas

semua pengorbanan, keringat dan kesabaran mengantarkanku sampai kini.

2. Ketiga adik-adiku yang telah memberikan dukungan yang berunsur bullyan

(7)

Kata Pengantar

Rasa syukur yang dalam penulis sampaikan kepada kehadirat Allah SWT,

karena berkat rahmat – Nya penulisan skripsi ini dapat penulis selesaikan sesuai dengan yag di harapkan. Penulis juga bersyukur atas rizki dan kesehatan yang telah

diberikan oleh – Nya, sehingga penulis dapat menyusun penulisan skripsi ini.

Shalawat dan salam penulis sanjungkan kepada Nabi, kekasih, spirit

perubahan Rasulullah SAW beserta segenap keluarga dan para sahabat – sahabatnya,

syafa‟at beliau sangat penulis nantikan di hari pembalasan.

Penulisan Skripsi ini disusun untuk diajukan sebagai salah satu persyaratan

guna memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H), Progam Studi Hukum Ekonomi

Syari‟ah, Fakultas Syari‟ah, yang berjudul : “Tinjauan Hukum Islam Dan

Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Terhadap

Tanggung Jawab Mutlak Pada Klausula Baku Di Pertokoan Pasar Karanggede

Kabupaten Boyolali” Penulis mengakui bahwa dalam menyususn penulisan skripsi

ini tidak dapat diselesaikan tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Karena itulah

penulis mengucapkan penghargaan yang setinggi – tingginya, ungkapan terima kasih kadang tak bisa mewakili kata – kata, namun perlu kiranya penulis mengucapkan

terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd, selaku Rektor IAIN Salatiga.

(8)

3. Ibu Evi Ariyani, M. H, selaku Ketua Progam Studi Hukum Ekonomi Syari‟ah IAIN Salatiga.

4. Ibu Luthfiana Zahriani, M. H. Selaku dosen pembimbing yang selalu

memberikan saran pengarahan dan masukan berkaitan dengan penulisan

skripsi sehingga dapat selesai dengan maksimal sesuai dengan yang

diharapkan.

5. Bapak dan Ibu Dosen selaku staf pengajar dan seluruh staf administrasi

Fakultas Syari‟ah yang tidak bisa penulis sebut satu persatu yang selalu memeberikan ilmunya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tanpa

halangan apapun.

6. Para informan di Pasar Karanggede yang telah berkenenan saya wawancarai.

7. Sahabat –sahabatku Jama‟ah Rasan-Rasan yang selalu memberikan semangat

dalam menyelesaikan skripsi.

8. Teman – temanku yang budiman Nurcahyo Andri S. Pd., Fuad S. Pd., dan

Ario Hermawan yang telah membantuku banyak dalam menyelesaikan

skripsi.

9. Teman – teman Jurusan Hukum Ekonomi Syari‟ah angkatan 2014 di IAIN Salatiga yang telah banyak memberikan cerita selama menempuh pendidikan

di IAIN Salatiga.

10.Bapak Lurah dan Bapak Ibu Perangkat Desa Bandung yang telah memberikan

pengertian kepada saya dispensasi waktu dan tenaga dalam bekerja guna

(9)

11.Dan semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu namun memberikan

kontribusi hebat dalam penyusunan skripsi ini.

Semoga Allah SWT membalas semua amal kebaikan mereka dengan balsan yang

lebih dari yang mereka berikan kepada penulis, agar pula senantiasa mendapatkan

maghfiroh, dan dilingkupi rahmat dan cita-Nya, Amiin.

Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa penulisan skripsi ini maaih jauh dari

sempurna, baik dari segi metodologi, penggunaan bahasa, isi, maupun analisisnya,

sehingga kritik dan saran yang konstruktif, sangat penulis harapkan demi

kesempurnaan penulisan skripsi ini, sehingga mudah dipahami.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat khususnya bagi penulis

sendiri dan u mumnya bagi pembaca.

Salatiga, 24 September 2018

Penulis.

INTAN PRATIWI

(10)

ABSTRAK

Pratiwi, Intan. 2018. Tinjauan Hukum Islam Dan Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Terhadap Tanggung Jawab Mutlak Pada Klausula Baku Di Pertokoan Pasar Karanggede Kabupaten Boyolali. Skripsi. Fakultas Syari‟ah. Progam Studi Ekonomi Syari‟ah. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Lutfiana Zahriani, SH.MH

Kata Kunci: Hukum Islam, Klausula baku, Perlindungan Konsumen.

Perkembangan ekonomi bisnis membuat perubahan pranata hukum terutama terkait dengan keberadaan konsumen. Dalam pembuatan perjanjian konsumen pada posisi tawar yang rendah sehingga adanya suatu perlindungan hukum. Pada saat konsumen berhadapan dengan pelaku usaha dalam kontek penandatangan perjanjian baku yang mengandung klausula baku maka posisinya menjadi lemah. Pencantuman klausula baku dalam perjanjian baku yang mengalihkan tanggung jawab pelaku usaha kepada konsumen yang tentunya berimplikasi pada perlindungan konsumen membuat peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana aturan klausula baku yang diberlakukan di Pertokoan Pasar Karanggede Kabupaten Boyolali dan bagaimana tinjauan hukum Islam dan Undang-Undang No.08 Th.1999 tentang Perlindungan Konsumen terhadap klausula baku di Pertokoan Pasar Karanggede Kabupaten Boyolali. Dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana aturan klausula baku yang diberlakukan di Pertokoan Pasar Karanggede Kabupaten Boyolali dan bagaimana tinjauan hukum Islam dan Undang-Undang No.08 Th.1999 tentang Perlindungan Konsumen terhadap klausula baku di Pertokoan Pasar Karanggede Kabupaten Boyolali.

Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (Field Research) dengan metode pengumpulan data wawancara. Sifat penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan yuridis sosiologis, artinya suatu penelitian yang dilakukan terhadap keadaan nyata masyarakat atau lingkungan masyarakat dengan maksud dan tujuan untuk menemukan fakta yang kemudian menuju pada identifikasi dan pada akhirnya menuju kepada penyelesaian masalah, dengan jenis penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang.

Berdasarkan penelitian yang diperoleh, penulis menyimpulkan beberapa pertokoan di Pasar Karanggede Kabupaten Boyolali telah memberlakukan aturan klausula baku yang berbunyi

(11)

DAFTAR ISI

A. Pengertian Hak dan Kewajiban Konsumen... 18

B. Pengertian Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha ... 21

C. Pengertian Klausula Baku ... 25

(12)

E. Dasar Hukum Islam dan UUPK Tentang Prinsip Tanggung

Jawab Mutlak Pada Klausula Baku ... 32

F. Tujuan dan Asas Undang-Undang No.08 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen ... 42

BAB III ATURAN KLAUSULA BAKU YANG DIBERLAKUKAN DI

PERTOKOAN PASAR KARANGGEDE KABUPATEN BOYOLALI

A. Wawancara dengan Pelaku Usaha Berkaitan Aturan

Klausula Baku yang Diberlakukan di Pertokoan

Pasar Karanggede Kabupaten Boyolali ... 51

B. Respon Konsumen Terhadap Aturan klausula Baku

di Pertokoan Pasar Karanggede ... 55

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN U NDANG-UNDANG

NOMOR 08 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

TERHADAP TANGGUNG JAWAB MUTLAK PADA

KLAUSULA BAKU DI PERTOKOAN PASAR KARANGGEDE

KABUPATEN BOYOLALI ... 58

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 64

B. Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 66

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Nota Pembimbing Skripsi

2. Surat Penunjukkan Skripsi

3. Lembar Konsultasi

4. Surat Keterangan Lulus Ujian Komperehensif

5. Foto Penulis Bersama Informan

6. Daftar Nilai SKK

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Semakin banyaknya jumlah pertumbuhan penduduk, tentu menjadikan

kebutuhan semakin meningkat, terutama dalam hal kebutuhan ekonomi.

Kebutuhan ini bisa dikatakan kebutuhan wajib yang harus dipenuhi guna

bertahan hidup karena tidak bisa dipungkiri bahwasannya kebutuhan ini harus

dipenuhi setiap harinya.

Kemudian didukung pula dengan adanya perkembangan

perekonomian, khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan yang

mana telah menghasilkan berbagai variasi barang atau jasa yang dapat

dikonsumsi. Di samping itu, globalisasi dan perdagangan bebas yang

didukung oleh kemajuan teknologi telah memperluas ruang gerak arus

transaksi barang dan/atau jasa untuk melintasi batas-batas wilayah suatu

negara, sehingga barang dan/atau jasa yang ditawarkan menjadi bervariasi,

baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri.

Kondisi tersebut memang menguntungkan bagi para konsumen karena

kebutuhan akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta

semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas

barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen.

(15)

kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan

konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi obyek aktivitas

bisnis untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya bagi pelaku usaha

melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang

merugikan konsumen.

Salah satu bentuknya yaitu pelaku usaha dalam menerapkan adanya

klausula baku, Keberadaan klausula baku ini memang dianggap sebagai media

untuk mempermudah transaksi jual beli yang dilakukan antara produsen

dengan konsumen, akan tetapi ternyata klausula ini disalah gunakan produsen

dengan memberikan persyaratan yang sangat merugikan bagi konsumen

antara lain dalam perjanjian kredit perbankan, perjanjian asuransi, perjanjian

penitipan barang, maupun perjanjian jula beli secara konvensional dan melalui

e-commerce (Agus dkk, 2015: 123).

Para pelaku usaha kebanyakan dalam meminimalisir kerugian, mereka

menerapkan klausula baku tersebut, seperti halnya di toko-toko sekitar Pasar

Karanggede, beberapa toko di sana yang menjual barang-barang yang mudah

rapuh/ pecah sudah pasti ada klausul seperti tulisan “Memecahkan Berarti Membeli” dan “Membuka Segel Berarti Membeli” .

Pada kasus klausula baku yang berbunyi “Membuka Segel Berarti

(16)

padahal konsumen berhak mengetahui kualitas dan kuantitas suatu barang

yang akan dibelinya, sedangkan dalam kasus klausula baku yang berbunyi

Memecahkan Berarti Membeli” dan melimpahkan seluruh kerugiannya

kepada konsumen merupakan suatu yang tidak adil, apalagi konsumen

tersebut merusakkan barang tanpa di sengaja.

Di Indonesia sendiri sebenarnya sudah ada aturan yang mengatur

mengenai masalah klausula baku, akan tetapi beberapa pelaku usaha tidak

menerapkan peraturan tersebut dalam membuat klausula baku, bahkan

diantara mereka tidak tahu kalau ada peraturan yang mengatur klausula baku,

kemudian dipengaruhi lagi dengan minimnya pengetahuan konsumen akan

hal-hal tersebut, kebanyakan konsumen mereka tidak mengetahui adanya

hak-hak konsumen, didukung dengan keadaan yang seperti itu membuat pelaku

usaha tidak perlu repot memperhatikan peraturan.

Namun ada juga beberapa konsumen yang merasa dirinya dirugikan

akan adanya klausula-klausula tersebut, dan mereka tidak bisa menuntut

apa-apa karena memang tulisan klausula tadi sudah tertera di sana, maka dari itu

perlunya ditegaskan adanya penerapan undang-undang, agar pelaku usaha

mengetahui penerapan peraturan dalam tokonya yang sesuai maupun yang

(17)

Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang biasanya disingkat

dengan UUPK merupakan upanya pemerintah untuk memberikan jaminan

perlindungan kepada para konsumen, namun Jauh sebelum diberlakukannya

UUPK, secara yuridis formal prinsip product liability sebenarnya telah diatur

dalam beberapa pasal dalam KUH Perdata, walaupun dengan catatan, ruang

lingkup materinya tidak se-ekstensif ketentuan yang diatur dalam UUPK.

Pada KUHPerdata secara umum apabila ada seorang yang melakukan

perbuatan melawan hukum (PMH) maka seseorang tersebut diwajibkan untuk

memberikan ganti kerugian. Pasal 1365 KUHPerdata mensyaratkan lima

syarat suatu perbuatan dapat masuk dalam kategori perbuatan melawan

hukum, yaitu:

1. Adanya perbuatan,

2. Perbuatan tersebut melawan hukum,

3. Adanya kerugian,

4. Adanya kesalahan, dan

5. Adanya hubungan sebab akibat (kausalitas) antara perbuatan

melawan hukum dengan akibat yang ditimbulkannya.

Jadi apabila seseorang melakukan sesuatu tindakan perbuatan melawan

hukum, maka seseorang tersebut harus mengganti kerugian, dalam hal ini bisa

di kaitkan dengan penerapan klausula baku karena dalam klausula baku

(18)

konsumen dengan membelinya, baik kesalahan tersebut dilakukan secara

sengaja maupun tidak sengaja. Oleh karena itu dalam penelitian ini penulis

akan meneliti lebih lanjut mengenai ketentuan-ketentuan klausula baku yang

sesuai dan boleh diberlakukan baik itu menurut hukum Islam maupun

peraturan perundang-undangan.

Maka dari itu penulis tertarik untuk melakukan sebuah penelitian dengan

judul “TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR

08 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

TERHADAP TANGGUNG JAWAB MUTLAK PADA KLAUSULA BAKU

DI PERTOKOAN PASAR KARANGGEDE KABUPATEN BOYOLALI”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada analisa latar belakang diatas, maka dapat

dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana aturan klausula baku yang diberlakukan di Pertokoan

Pasar Karanggede Kabupaten Boyolali?

2. Bagaimana tinjauan hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 08

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terhadap klausula

(19)

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penulis dalam melakukan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana aturan klausula baku yang diberlakukan di

Pertokoan Pasar Karanggede Kabupaten Boyolali.

2. Untuk mengetahui bagaimana tinjauan hukum Islam dan Undang-Undang

Nomor 08 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terhadap klausula

baku di Pertokoan Pasar Karanggede Kabupaten Boyolali.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini antara lain:

1. Manfaat Teoritis

a. Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah agar bermanfaat bagi

pengembangan pengetahuan dan keilmuan tertentu.

Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini diharapkan

memberikan pengembangan terhadap studi hukum tentang

perlindungan konsumen di Indonesia khususnya terkait dengan

klausula baku.

b. Sebagai sarana dalam rangka meningkatkan kreatifitas dalam

membuat tulisan ilmiah.

c. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

(20)

2. Manfaat Praktis

a. Manfaat praktis ditujukan sebagai pemberian manfaat atau

sumbangsih yang akan diperoleh dari penelitian ini bagi

masyarakat ataupun komunitas publik secara keseluruhan

atau stakeholder tertentu secara khusus.

b. Penelitian ini diharapkan dapat membantu masyarakat

dalam mendapatkan pengetahuan terhadap klausula baku,

hak dan kewajiban konsumen maupun pelaku usaha dan

penyelesaian penyelesaian sengketa.

c. Mengembangkan penalaran,membentuk pola pikir dinamis

dan untuk mengetahui kemampuan peneliti dalam

menerapkan ilmu yang diperoleh.

d. Mencari kesesuaian antara teori yang telah didapatkan

selama di bangku perkuliahan dengan kenyataan di

lapangan.

E. Penegasan Istilah

Untuk membatasi dan menghindari kesalahfahaman arti pada judul

penelitian ini, maka penulis akan menegaskan istilah-istilah yang

berhubungan dengan konsep-konsep pokok arti judul dalam penelitian ini

(21)

TERHADAP TANGGUNG JAWAB MUTLAK PADA KLAUSULA BAKU

DI PERTOKOAN PASAR KARANGGEDE KABUPATEN BOYOLALI”

sebagai berikut:

1. Hukum Islam (syari'at Islam) adalah rangkaian dari kata “hukum” dan

kata “Islam” untuk mengetahui arti hukum Islam perlu diketahui lebih

dahulu arti kata “Hukum”. Hukum yaitu seperangkat peraturan tentang

tingkah laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat itu dan

mengikat seluruh anggotanya. Hukum Islam artinya seperangkat

peraturan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah

laku manusia yang diakui dan diyakini serta mengikat untuk semua

yang beragama Islam (Syarifuddin, 1997:4-5).

2. Undang-Undang No 08 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

yang akan digunakan sebagai dasar penelitian ini, yang mana

menjelaskan mengenai hak-hak dan jaminan konsumen.

3. Tanggung Jawab Mutlak adalah unsur kesalahan tidak perlu

dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi.

( UU NO.32 Th. 2009).

4. Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat

yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak

(22)

perjanjian yang mengikat atau wajib dipenuhi oleh konsumen. (UU

NO.8 Th. 1999).

F. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka atau kajian pustaka berkedudukan sangat penting

dalam sebuah penelitian, karena penggunaan teori untuk dijadikan kerangka

pemikiran tidak akan dapat dilakukan jika tidak ada tinjauan pustaka. Hanya

perlu diperhatikan bahwa dalam tinjauan pustaka tidak perlu menguraikan

penjelasan yang panjang lebar, sehingga tampak seperti memindahkan

pendapat orang secara keseluruhan ke dalam tinjauan pustaka, tanpa sedikit

pun pemilihan substansi uraian-uraiannya (Saebani, 2008: 160).

Berikut adalah penelitian terdahulu yang membahas tentang

perlindungan konsumen:

1. SKRIPSI tahun 2017 yang di tulis oleh Rokhana Puji Astuti ( Institut

Agama Islam Negeri Salatiga) dengan judul “TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO.8 TAHUN 1999 TENTANG

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP SYSTEM PROMO

(STUDI KASUS TOKO JAKARTA PONSEL, SALATIGA)”. Dengan rumusan masalah bagaimana penerapan sistem promo di Toko Jakarta

Ponsel Salatiga, kemudian bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap

sistem promo di Toko Jakarta Ponsel Salatiga, serta bagaimana tinjauan

(23)

sistem promo di Toko Jakarta Ponsel Salatiga. Dalam penelitian tersebut

di simpulkan bahwa dalam penerapan sistem promo di Toko Jakarta

Ponsel Salatiga menggunakan media brosur yaitu yang pertama dengan

melakukan promosi besar-besaran dengan harga yang sangat murah, yang

kedua dengan penurunan harga secara temporer yaitu dengan cara di

lakukan menurunkan harga barang tertentu dalam jangka waktu tertentu

atau waktu yang telah ditentukan. Yang ketiga, pemberian hadiah yaitu

yang pembeli membeli barang tertentu di Toko Jakarta Ponsel dan

mendapatkan hadiah secara cuma-cuma. Adapun tinjauan hukum Islam

terhadap bisnis yang dilakukan toko tersebut boleh, akan tetapi

bertentangan dengan syariat Islam, karena ada pihak yang terdzolimi.

Sedangkan tinjauan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen terhadap system promo tersebut, konsumen

berhak mendapatkan perlindungan konsumen yang menjamin adanya

kepastian hukum.

2. SKRIPSI tahun 2015 yang tulis oleh Anur Janatin Na‟im (Institut Agama

Islam Negeri Tulungagung) dengan judul “PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM JUAL-BELI PERUMAHAN DITINJAU DARI

UNDANG-UNDANG NO. 08 TAHUN 1999 DAN FATWA DEWAN

SYARIAH NASIONAL NO.06/DSN-MUI/IV/2000 (STUDI KASUS DI

PERUM TAMAN NIRWANA KEDIRI)”. Dengan rumusan masalah

(24)

bagaimana hubungan perlindungan konsumen dalam jual-beli di Perum

Taman Nirwana dengan Undang-Undang No. 08 Tahun 1999 dan Fatwa

Dewan Syariah Nasional No.06/DSN-MUI/IV/2000. Hasil penelitian ini

di simpulkan bahwa, pertama dalam pelaksanaan jual-beli di Perum

Taman Nirwana Kediri, pembeli di beri kebebasan untuk memilih

objeknya dan pembayaran boleh dilakukan baik secara tunai maupun

kredit. Yang kedua ketentuan Undang-Undang No. 08 Tahun 1999 belum

sepenuhnya terlaksana. Yang ketiga pelaku usaha di Perum Taman

Nirwana Kediri dalam transaksi jual-beli rumah telah melanggar ketentuan

Undang-Undang No. 08 Tahun 1999, sehingga pelaku usaha harus

dikenakan sanksi yang tegas. Dan juga melanggar ketentuan Fatwa Dewan

Syariah Nasional No.06/DSN-MUI/IV/2000, karena hak-hak konsumen

yang belum terpenuhi terutama dalam fasilitas umum dan kontruksi

bangunan yang kurang bagus.

3. Jurnal Privat Law tahun 2015 yang tulis oleh Danty Listiawati

(Universitas Sebelas Maret Surakarta) dengan judul KLAUSULA

EKSONERASI DALAM PERJANJIAN STANDARD DAN

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN”. Yang rumusan masalahnya mengenai kedudukan klausula eksonerasi dalam perjanjian

standart serta kaitannya dengan hukum perlindungan konsumen. Yang

disimpulkan bahwa keberadaan klausula eksonerasi dalam perjanjian tidak

(25)

perjanjian apa saja, termasuk bebas menentukan isi, luas dan bentuk

perjanjian(Listiawati,http://journals.usm.ac.id/index.php/jdsb/article/view/

508, diakses 12 Januari 2018).

4. Jurnal Hukum Forum Akademika tahun 2014, yang ditulis oleh Taufik

Yahya, Dwi Suryahartati, dan Firya Oktaviarni (dosen Universitas Jambi).

dengan judul “PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JASA PERPARKIRAN DI

KOTA JAMBI” dan dengan rumusan masalah Bagaimana Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 3 Tahun 2010 tentang Retribusi

pelayanan parkir di Kota Jambi serta Bagaimanakah Model Perjanjian

Jasa Perparkiran yang memenuhi konsep-konsep Keseimbangan dan

Kepastian Hukum. Dalam jurnal ini disimpulkan bahwa Pelaksanaan

Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor. 3 Tahun 2010 tentang Retribusi

Pelayanan Parkir di tepi jalan umum belum diterapkan dengan maksimal.

Dibuktikannya masih ada titik parkir yang disinyalir merupakan titik

parkir tidak terdaftar di kantor pengelolaan parkir pasar Jambi. mengenai

nilai retribusi yang diharapkan menjadi kekuatan peningkatan PAD Kota

Jambi tidak begitu mendapat perhatian khususnya dari para juru parkir

yang berkewajiban menyetorkan dana parkir, karena masih terjadi

tunggakan-tunggakan pembayaran parkir oleh juru parkir di tiap titik

parkir, dan juga Klausula Baku yang terdapat dalam karcis Parkir di Kota

(26)

klausula tersebut bertentangan dengan konsep penitipan barang menurut

KUHPerdata. Dengan demikian klausula tersebut adalah cacat hukum, dan

dapat dinyatakan bahwa sedari awal tidak pernah ada hubungan hukum

antara pihak-pihak yang berkaitan terhadap kontrak tersebut (Yahya dkk,

http://ji.unbari.ac.id/index.php/ilmiah/article/view/357, diakses 12 Januari

2018).

Dari penelitian-penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa yang

menjadi perbedaan dalam penelitian adalah pada fokus masalah

bagaimana pelaksanaan klausula baku di Pertokoan Pasar Karanggede

Kabupaten Boyolali dan bagaimana tinjauan hukum Islam dan

Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terhadap

klausula baku di Pertokoan Pasar Karanggede Kabupaten Boyolali.

G. Metode Penelitian

Metode Penelitian adalah faktor yang sangat penting dalam

sebuah penulisan penelitian dan harus di tulis secara rinci. Adapun metode

yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pendekatan yang digunakan adalah yuridis sosiologis, artinya

suatu penelitian yang dilakukan terhadap keadaan nyata masyarakat

(27)

menemukan fakta yang kemudian menuju pada identifikasi dan pada

akhirnya menuju kepada penyelesaian masalah ( Soekanto, 1982: 10).

Dan jenis penelitiannya adalah kualitatif. Penelitian kualitatif

sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa

kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat

diamati (Moleong, 1998: 4).

2) Kehadiran Peneliti

Dalam penelitian ini penulis bertindak sebagai instrument

sekaligus pengumpul data, yang mana penulis hanya berperan sebagai

pengamat partisipan, dan kehadiran peneliti tidak ketahui statusnya

sebagai peneliti oleh subjek atau informan dan juga tempat objek

penelitian.

3) Lokasi Penelitian

Penulis memilih lokasi penelitian di Pasar Karanggede, dikarenakan

lokasi tersebut merupakan Pasar terbesar dan pusat kegiatan ekonomi

utama di daerah Jalan Raya Sruwen-Wonosegoro.

4) Sumber Data

Adapun dalam penelitian ini, sumber data yang diperlukan penulis

(28)

1. Data Primer

Data yang diperoleh peneliti dengan cara melakukan

wawancara terhadap informan yaitu pelaku usaha dan konsumen di

Pertokoan Pasar Karanggede Kabupaten Boyolali.

2. Data Sekunder

Sumber data sekunder, atau data tangan kedua adalah data

yang diperoleh lewat pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh

peneliti dari subjek penelitiannya. (Azwar, 1998:91).

Adapun data tersebut adalah Kitab suci Al-Quran, Hadist, kitab

undang-undang hukum Perdata, kitab undang-undang hukum

Dagang, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen, buku-buku tentang klausula baku, buku-buku tentang

perlindungan konsumen, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari

kalangan hukum yang dituangkan dalam majalah ataupun jurnal

hukum.

5) Prosedur Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data dari lapangan dalam penelitian ini

penulis menggunakan pedoman wawancara secara langsung kepada

informan yaitu pelaku usaha dan konsumen. Tujuannya agar data yang

diperoleh tidak jauh menyimpang dari yang diharapkan dalam

(29)

6) Analisis Data

Kemudian penulis mengolah data yang didapat dari hasil penelitian

lapangan sehingga penulis dapat mengetahui apakah prinsip klausula

baku yang diterapkan di Pertokoan Pasar Karanggede telah sesuai

dengan hukum Islam serta ketentuan-ketentuan sebagaimana di atur

dalam Undang-Undang No. 08 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen.

7) Pengecekan Keabsahan Temuan

Adapun dalam pengecekan keabsahan penelitian ini, penulis

berusaha sesering mungkin mendatangi lokasi penelitian agar

menghasilkan penelitian dengan maksimal.

(30)

H. Sistematika Penulisan

Agar pembaca mudah memahami kerangka penulisan ini, maka

penulis memberi gambaran yang lebih jelas sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah, tinjauan pustaka,

metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II KAJIAN TEORI meliputi pengertian konsumen dan pelaku usaha,

hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha, prinsip-prinsip tanggung

jawab dan tanggung gugat terhadap produk, dasar hukum Islam dan UUPK

tentang prinsip tanggung jawab mutlak, tujuan, asas dan manfaat

Undang-Undang No 08 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

BAB III HASIL PENELITIAN meliputi aturan klausula baku yang

diberlakukan di Pertokoan Pasar Karanggede Kabupaten Boyolali

BAB IV PEMBAHASAN meliputi tinjauan hukum Islam dan

Undang-Undang No 08 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengenai

klausula baku di Pertokoan Pasar Karanggede Kabupaten Boyolali.

(31)

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Pengertian, Hak dan Kewajiban Konsumen

1. Pengertian Konsumen

Konsumen merupakan pemakai barang/ jasa, yang dibedakan menjadi dua

yaitu konsumen perantara dan konsumen akhir. Konsumen perantara adalah

konsumen yang membeli produk/barang tidak untuk dikonsumsi sendiri,

tetapi untuk dijual lagi. Sedangkan pengertian konsumen akhir dijelaskan

dalam Undang – Undang Perlindungan Konsumen dalam Pasal 1 ayat (2)

menyatakan bahwa: “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau

jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,

keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk

diperdagangkan”. 2. Hak Konsumen

Dalam sejarahnya, pada tahun 1962 hak-hak konsumen telah dicetuskan

oleh presiden Amerika Serikat John F. Kennedy, yang disampaikan dalam

Kongres Gabungan Negara-Negara Bagian di Amerika Serikat, kemudian di

masukan dalam progam konsumen European Economic Community (EEC) di

mana hak-hak konsumen meliputi:

a. Hak perlindungan kesehatan dan keamanan

(32)

c. Hak untuk memperoleh ganti rugi

d. Hak atas penerangan

e. Hak untuk didengar

Menurut Ernes Barker, agar hak-hak konsumen itu sempurna harus

memenuhi tiga syarat, yakni hak itu dibutuhkan untuk perkembangan

manusia, hak itu diakui oleh masyarakat, dan hak itu dinyatakan demikian,

dan arena itu dilindungi dan dijamin oleh lembaga Negara. Jika tidak

memenuhi ketiga syarat tersebut, maka hak-hak itu bukanlah hak yang

sempurna, tetapi merupakan hak yang semu (quasright) (Sutedi, 2008:50).

Sedangkan di Indonesia, hak-hak konsumen telah terkandung dalam

pasal 4 undang-undang perlindungan konsumen, yaitu:

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengonsumsi barang dan / atau jasa;

b. Hak untuk memilih barang dan / atau jasa serta mendapatkan

barang dan / atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan

kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi

dan jaminan barang atau jasa;

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang atau

(33)

e. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan dan upaya

penyelesaian konsumen secara patut;

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. Hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta

tidak deskriminatif;

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi atau penggantian,

apabila barang dan jasa yang diterima tidak sesuai dengan

perjanjian atau sebagaimana mestinya;

i. Hak – hak yang diatur dalam peraturan perundang – undangan

lainnya.

Selain hak-hak konsumen diatas, ada dua hak konsumen yang

berhubungan dengan pertanggungjawaban produk, yaitu hak untuk

mendapatkan barang yang memiliki kuantitas dan kualitas yang baik serta

aman, dan hak untuk mendapatkan ganti kerugian, jika barang yang dibelinya

itu cacat, rusak atau telah membahayakan konsumen, ia berhak mendapatkan

ganti kerugian yang pantas.

3. Kewajiban Konsumen

Konsumen memiliki hak yang dapat diberikan apabila kewajibannya

sebagai konsumen telah terpenuhi, adapun mengenai kewajiban konsumen

(34)

a. Membaca dan mengikuti petunjuk informasi dan prosedur

pemakaian atau pemanfaatan barang atau jasa, demi keamanan

dan keselamatan;

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang

atau jasa;

c. Membayar dengan nilai tukar yang telah disepakati;

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan

konsumen secara patut.

B. Pengertian, Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

1. Pengertian Pelaku Usaha

Secara umum pelaku usaha dapat diartikan sebagai orang yang

melakukan usaha bisnis yang tujuan utamanya mencari untung. Istilah

pelaku usaha dipakai dalam Undang-Undang No.08 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen pasal 1 butir 3 menyatakan pelaku

usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang

berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan

dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum

Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama

melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan badan usaha dalam

(35)

2. Hak Pelaku Usaha

Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen merupakan landasan hukum paling pertama dan utama

dalam penyelesaian permasalahan konsumen yang menderita kerugian

akibat pelaku usaha yang kurang menyadari hak dan kewajiban

mereka dalam menjalankan usahanya. Pelaku usaha sudah sepantasnya

mengerti dan memahami apa yang menjadi hak dan kewajiban yang

dimiliki dalam menjalankan usahanya, sehingga tidak ada pihak lain

yang menderita kerugian akibat kelalaian dan itikad tidak baik yang

sering mereka lakukan. Sebagaimana tercantum di dalam Pasal 6

antara lain sebagai berikut :

e. Hak Untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan

kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau

jasa yang di perdagangkan;

f. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan

konsumen yang beritikad tidak baik;

g. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam

penyelesaian hukum sengketa konsumen;

h. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara

hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh

(36)

i. Hak – hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang – undangan lainnya.

3. Kewajiban Pelaku Usaha

Pelaku usaha dalam UUPK memiliki kewajiban untuk

beritikad baik didalam melakukan atau menjalankan kegiatan

usahanya. Sedangkan bagi konsumen diwajibkan beritikad baik dalam

melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal tersebut

tentu saja disebabkan oleh karena kemungkinan akan terjadi kerugian

bagi konsumen yang dimulai sejak barang dirancang atau diproduksi

oleh produsen (pelaku usaha), sedangkan bagi konsumen

kemungkinan untuk dapat merugikan produsen adalah saat melakukan

transaksi dengan produsen (Dewi, 2015:58).

Dalam hal ini, pelaku usaha memiliki kewajiban untuk untuk

memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur karena ketiadaan

informasi yang tidak memadai dari pelaku usaha merupakan salah satu

cacat informasi yang akan sangat merugikan konsumen. Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa yang dapat dikatakan sebagai

pelaku usaha itu tidak hanya terbatas pada produsen yang

memproduksi dan menghasilkan barang, melainkan seorang

distributor, dan juga pedagang dapat juga disebut seorang pelaku

(37)

Kewajiban pelaku usaha sebagimana tercantum di dalam Pasal 7

Undang –Undang Nomor 08 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen antara lain adalah:

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi

penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c. Memperlakukan atau melayani konsummen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

d. Menjamin mutu barang dan jasa yang diproduksi dan/ atau di perdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan

jasa yang berlaku;

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan mencoba barang dan/ atau jasa tertentu serta memberikan

jaminan dan garansi atas barang yang dibuat dan

diperdagangkan;

f. Memberikan kompensasi, ganti-rugi dan penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang

dan jasa yang diperdagangkan;

g. Memberikan kompensasi, ganti rugi dan penggantian apabila barang dan jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai

(38)

C. Pengertian Klausula Baku

Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan defenisi

klausula baku dalam Pasal 1 ayat 10 yaitu: Setiap aturan atau ketentuan

dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu

secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen

dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.

Berdasarkan pengertian klausula baku menurut UUPK, dapat

disimpulkan bahwa klausula baku terdiri atas 2 (dua) bentuk, yaitu:

1. Dalam bentuk perjanjian

Dalam hal ini, suatu perjanjian telah disiapkan terlebih dahulu

konsepnya oleh salah satu pihak, umumnya produsen. Perjanjian ini selain

memuat aturan-aturan umum yang tercantum dalam suatu perjanjian,

memuat pula persayaratan-persyaratan khusus baik berkenaan dengan

pelaksanaan perjanjian, menyangkut hal-hal tertentu dan/atau berakhirnya

perjanjian itu.

Dalam bentuk suatu perjanjian tertentu ia memang merupakan suatu

perjanjian, dalam bentuk formulir atau lain-lain, dengan materi (syarat-

syarat) tertentu dalam perjanjian tersebut. Misalnya memuat ketentuan

tentang syarat berlakunya kontrak baku, syarat syarat berakhirnya, syarat-

syarat tentang resiko tertentu, hal-hal tertentu yang tidak ditangggung dan

atau berbagai persyaratan lain yang pada umumnya menyimpang dari

(39)

ketentuan syarat-syarat umum yang telah ditentukan atau ditunjuk oleh

perusahaan tertentu, termuat pula ketentuan tentang ganti rugi, dan jaminan-

jaminan tertentu dari suatu produk (Fuady, 2007: 76).

2. Dalam bentuk persyaratan-persyaratan

Perjanjian ini dapat pula dalam bentuk bentuk lain, yaitu syaratsyarat

khusus yang termuat dalam berbagai kuitansi, tanda penerimaan atau tanda

penjualan, kartu-kartu tertentu, pada papan-papan pengumuman yang

diletakkan di ruang penerimaan tamu atau di lapangan, atau secarik kertas

tertentu yang termuat di dalam kemasan atau pada wadah produk yang

bersangkutan (Nasution, 2007:99-100).

D. Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab dan Tanggung Gugat Terhadap

Produk

Tanggung jawab produk dan tanggung gugat produk merupakan dua

istilah yang mempunyai arti hampir sama, perbedaannya terletak pada

darimana datangnya tuntutan atau gugatan dan pihak mana yang harus

tanggung jawab.

Tanggung jawab dan tanggung gugat produk dalam kontek

perlindungan konsumen merupakan hubungan yang bersifat kausal antara

(40)

jawab pelaku usaha timbul jika produk yang ditawarkan pelaku usaha tersebut

merugikan konsumen.

Secara theoritik prinsip-prinsip yang ada dalam mewujudkan tanggung

gugat produk antara lain ( Mansyur, 2007:60-61):

a. Pertanggungjawaban Kontraktual (Contractual Liability)

Artinya hubungan yang timbul dari pelaku usaha dengan

konsumen adalah berdasarkan hubungan perjanjian(contract),

karenanya pertanggungjawaban pelaku usaha terhadap produk

yang dipasarkan juga berdasarkan kontrak, artinya tanggung jawab

perdata atas dasar perjanjian/ kontrak dari pelaku usaha, atas

kerugian yang dialamikonsumen akibat mengkonsumsi barang

yang dihasilkannya atau memanfaatkan jasa yang diberikannya.

Dalam konteks ini, dasar gugatan konsumen/pembeli mendasarkan

pada wanprestasi dari suatu perjanjian.

b. Pertanggungjawaban Produk (Produk Liability)

Artinya adalah pertanggungjawaban produk terjadi manakala

setiap produk yang sampai di tangan konsumen, yang karena

hubungan langsung, jika menimbulkan kerugian bagi konsumen,

maka produsen harus bertangggungjawab. ketentuan umum

(41)

ditimbulkan oleh benda dapat kita temukan dalam pasal 1367 ayat

(1) kitab undang-undang hokum perdata yang berbunyi

“seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang

disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga atas kerugian

yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi

tanggungannya, atau disebabkan oleh barang-barang yang berada

di bawah pengawasannya”

Sebagaimana telah dijelaskan dalam uraian mengenai

pertanggungjawaban atas perbuatan melawan hukum orang lain,

bahwa ketentuan pasal 1367 ayat 1 kitab undang-undang hokum

perdata menyaratkan adanya kesalahan dalam diri orang yang

dimintakan pertanggungjawaban tersebut, meskipun perbuatan

melawan hokum yang menerbitkan kerugian tersebut bagi orang

lain, bukanlah perbuatan yang dilakukan oleh orang yang

dimintakan pertanggungjawaban tersebut ( Widjaja dan Kartini,

2005:197-198).

c. Pertanggungjawaban Professional (Professional Liability)

Artinya adalah pertanggungjawaban berdasarkan profesi,

dalam hal ini jika profesi berupa jasa. Pertanggungjawaban

professional dapat ditempuh melalui dua cara:

a) Jika hubungan perjanjian antara pelaku usaha dengan

(42)

yang jasanya tersebut tidak terukur, maka

pertangggungjawabannya bagi pelaku usaha mendasarkan

pada tanggung jawab perdata secara langsung (strick

liability).

b) Jika hubungan perjanjian pelaku usaha dengan konsumen,

dalam masa prestasinya berupa jasa yang dapat diukur,

maka tanggung jawab pelaku usaha berdasarkan pada

perjanjian (contractual liability).

d. Pertanggungjawaban Pidana (Criminal Liability)

Dalam hal hubungan pelaku usaha dengan negara dalam

memelihara keselamatan dan keamanan masyarakat (konsumen),

maka tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada

pertanggungjawaban pidana.

Sedangkan secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum

dapat dibedakan sebagai berikut:

a. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan

Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kelasalahan (fault

liability) atau liability based of fault adalah prinsip yang cukup

umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Prinsip ini menyatakan

sesorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika

(43)

b. Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggung Jawab

Prinsip ini menyatakan, tergugat dianggap bertanggung jawab

(presumption of liability princple), sampai ia dapat membuktikan ia bersalah.

Jadi, beban pembuktian ada pada si tergugat.

c. Prinsip Praduga untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab

Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga

untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumtion nonliability principle)

hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas, dan

pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.

Contoh dalam penerapan prinsip ini adalah “Memecahkan Berarti Membeli”,

Membuka Segel Berarti Membeli”, dalam hal ini, pelaku usaha tidak dapat

dimintai pertanggung jawaban.

d. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak

Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan

dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability). Substansi hokum

perlindungan konsumen mengalami perubahan, dari hokum yang

berkarakteristik represif, dalam bentuk prinsip tanggung jawab tanggung

jawab berdasarkan kesalahan (fault based liability) ke prinsip tanggung jawab

yang berpihak atau responsif terhadap kepentingan konsumen, dalam bentuk

tanggung jawab mutlak (strict liability). Hal ini dilakukan dalam rangka

menghadapi perkembangan perdagangan yang terus mengglobal untuk

(44)

Adapun alasan-alasan yang memperkuat penerapan prinsip tanggung

jawab mutlak yang di dasarkan pada Prinsip Social Theory (Barkatullah,

2008:175).

3. Manufacturer adalah pihak yang berada dalam posisi keuangan

yang lebih baik untuk menanggung beban kerugian, dan pada

setiap kasus yang mengharuskannya mengganti kerugian dia

akan meneruskan kerugian tersebut dan membagi resikonya

kepada banyak pihak dengan cara menutup asuransi yang

preminya dimasukan ke dalam perhitungan harga dari barang

hasil produksinya. Hal ini dikenal dengan deep pockets theory.

4. Terdapatnya kesulitan dalam membuktikan adanya unsur

kesalahan dalam suatu proses manufacturing yang demikian

kompleks pada perusahaan besar (industry) bagi seorang

konsumen/korban/penggugat secara individual.

Namun, ada pengecualian – pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force majeur. Sebaliknya,

absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada

pengecualian.

e. Prinsip Tanggung Jawab dengan Pembatasan

Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability

principle) sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan

(45)

dalam perjanjian pengiriman barang, barang yang akan dikirimkan itu hilang

atau rusak (termasuk akibat kesalahan petugas), maka konsumen hanya

dibatasi ganti rugi sebesar sepuluh kali harga barang yang rusak tersebut.

Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara

sepihak oleh pelaku usaha.

Dalam Undang-Undang No. 08 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen, seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan

klausul yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung

jawabnya. Jika ada pembatasan mutlak harus berdasararkan pada peraturan

perundang – undangan. Pembuktian inilah yang nantinya akan terlihat kelemahannya, ketika menggunakan pasal 19 Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen berkaitan dengan kerugian

yang dialami oleh konsumen.

E. Dasar Hukum Islam dan UUPK Tentang Prinsip Tanggung Jawab

Mutlak Pada Klausula Baku

Pada dasarnya semua hukum muamalah adalah boleh kecuali ada dalil

yang melarangnya, karena tujuan dari muamalah adalah memperhatikan

kemaslahatan manusia, maka segala sesuatu yang akan mewujudkan sebuah

kemaslahatan adalah boleh. Berinteraksi dengan akad-akad baru yang tidak

dikenal sebelumnya juga sah melalui qiyas, istihsan, ijma‟, atau kebiasaan

(46)

Ijtihad para ulama terbagi menjadi dua pendapat mengenai prinsip membuat

berakad ini, artinya dalam memilih aturan-aturan tertentu untuk menjadi

sebuah akad antara dua pihak atau memilih jenis akad tertentu yang tergolong

baru di samping akad-akad yang telah dikenal sejak dulu (Mahfudh, 1994:27).

Adapun dasar hukum Islam mengenai tanggung jawab mutlak pada klausula

baku sendiri masih bersifat umum, berikut beberapa ayat Al-Qur‟an dan Hadist yang dijadikan landasan hukum Islam mengenai tanggung jawab

mutlak pada klausula baku.

1. Landasan Al-Qur‟an

a. Surat Al An‟am 164

ر ُُُُِِْ ََْ ر ُُْكَِّر ر رَلِإ راُثُ رىَْ خُأ رَر زِو رٌةَرِزاَو رُرِزَت ر َلََو راَه يَلَع ر الَِإ رٍس فَ ن رُّلُك رُبِس َُت ر َلَ

رَو

رَنوُفِلَت َتَ رِهيِف ر ُْت نُك راَِبِ ر ُُُْئكبَنُ يَ ف

Artinya: “Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan

kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang

kamu perselisihkan.”

Maksudnya perbuatan yang dilakukan seseorang akan kembali kepada

diri mereka masing-masing, dan juga seseorang tidak akan memikul atau

menanggung dosa dari perbuatan yang dilakukan oleh orang lain. hadist ini

(47)

tanggung jawab mutlak, yang pada prinsipnya tanggungjawab dalam Islam

itu berdasarkan atas perbuatan individu saja.

b. An-Nisa Ayat 29

ر نَأ ر الَِإ ر ِلِطاَب لاِِّ ر َُُْن يَ ِّ ر َُُْلاَو ََأ راوُلُك أَت ر َلَ راوُنََآ رَنيِذالا راَهُّ يَأ راَي

ر رَهاللا رانِإ ر

ۚ

ر َُُْسُف نَأ راوُلُ ت قَ ت ر َلََو ر

ۚ

ر ُُْ نَِ ر ٍضاََْ ت ر نَع رًةَراَِتِ رَنوَُُت

اًمي ِحَر ر ُُِِّْ رَناَك

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling

memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha

Penyayang kepadamu”

Dalam Islam, kerugian atau bahaya fisik yang diderita oleh konsumen

karena cacat produk atau penipuan adalah perbuatan yang tidak dibenarkan,

oleh karena itu pelaku usaha/produsen harus bertanggung jawab atas

perbuatannya itu. Tanggungjawab jika dihubungkan dengan penyebabadanya

ganti rugi (dhaman) dapat dibedakan menjadi lima, yaitu (Muhammad &

Alimin, 2014:235-239):

1) Ganti Rugi Karena Perusakan (Dha-man Itlaf) adalah ganti rugi akibat

dari perusakan barang. Ganti rugi itlaf tidak hanya berhubungan dengan

kerusakan harta benda saja, tetapi juga menyangkut jiwa dan anggota

(48)

2) Ganti Rugi Karena Transaksi (Dhaman „Aqdin) adalah terjadinya suatu

aqad atau transaksi sebagai penyebab adanya ganti rugi atau tanggung

jawab;

3) Ganti Rugi Karena Perbuatan (Dhaman Wadh‟u Yadin) adalah ganti rugi

akibat dari kerusakan barang yang masih berada di tangan penjual apabila

barang belum diserahkan dalam sebuah aqad yang sah dan ganti rugi

karena perbuatan mengambil harta orang lain tanpa izin;

4) Ganti Rugi Karena Penahanan (Dhaman al-Hailulah) adalah ganti rugi

pada jasa penitipan barang (alwadi) jika terjadi kerusakan atau hilang,

baik kerusakan atau hilangnya itu disebabkan karena kelalaian atau

kesengajaan orang yang dititipi.

5) Ganti Rugi Karena Tipu daya (Dhaman al-Maghrur) adalah ganti rugi akibat

tipu daya. Dhaman al-maghrur sangat efektif diterapkan dalam perlindungan

konsumen, karena segala bentuk perbuatan yang dapat merugikan orang lain

pelakunya harus membayar ganti rugi sebagai akibat dari perbuatannya itu.

5. Landasan Hadist

Nabi Muhammad SAW telah melarang adanya penipuan dalam jual

beli, dan juga melarang jual beli mulamasah dan munaba-dzah, seperti yang

(49)

رَنيِد رِن ِّ رِهاللا رِد بَع ر نَع رٌكِلاََ راَنََْ ب خَأ رَفُسوُي رُن ِّ رِهاللا رُد بَع راَنَ ثادَح

رَيِضَر رََْمُع رِن ِّ رِهاللا رِد بَع ر نَع رٍرا

ر َلاَقَ ف رِعوُيُ ب لا ر ِفِ رُعَد ُيُ رُهانَأ رَْالَسَو رِه يَلَع رُهاللا رىالَص ركِبِانلِل رََْكَذ ر ًلًَُِر رانَأ راَمُه نَع رُهاللا

رَت َُ ياَِّ راَذِإ

رَةَِّ َلًِخ ر َلَ ر لُقَ ف

Jika kamu berjual beli katakanlah Maaf, namun jangan ada penipuan.

[HR. Bukhari No.1974].

Telah menceritakan kepada kami ['Abdullah bin Yusuf] telah mengabarkan kepada kami [Malik] dari ['Abdullah bin Dinar] dari ['Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhu] bahwa ada seorang laki-laki menceritakan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwa dia tertipu dalam berjual beli. Maka Beliau bersabda: "Jika kamu berjual beli katakanlah "Maaf, namun jangan ada penipuan".

رِع يَ ب لا ر ِفِ رِةَذَِّاَنُم لاَو رِةَسَََلًُم لا رِنَع رَْالَسَو رِه يَلَع رُللها رىالَص رُِّبِانلا رىَهَ ن

“Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam melarang mulamasah dan munaba

-dzah dalam jual beli.”

Adapun maksud dari mulamasah yaitu seseorang berkata, “apabila

engkau menyentuh pakaianku atau aku menyentuh pakaianmu, maka wajib

dijual. Ada juga yang mengatakan menyetentuh barang dengan mata tertutup

kemudian apa yang tersentuh wajib dijual.” Sedangkan munabadzah yaitu dua

orang menjadikan lemparan sebagai tanda jadi jual beli tanpa ada transaksi

lisan (tawar menawar) (Baqi, 2010:437).

Salah satu hak konsumen dalam Islam adalah hak untuk memilih yang

(50)

ruang yang cukup luas bagi konsumen dan produsen untuk mempertahankan

hak-hak mereka dalam perdagangan apakah melanjutkan aqad/ transaksi

bisnis atau tidak. Para ulama‟ membagi hak khiyar menjadi tujuh macam

yaitu:

1. Khiyar Majlis adalah hak untuk memilih melanjutkan atau

membatalkan transaksi bisnis selama masih berada dalam satu

tempat (majlis) (Al-Jaziri, 2001:41).

2. Khiyar Syarath adalah hak untuk memilih melanjutkan atau

membatalkan transaksi bisnis sesuai dengan waktu yang disepakati

atau syarat yeng telah ditetapkan bersama.

3. Khiyar Aibi adalah hak untuk membatalkan transaksi bisnis apabila

obyek transaksi cacat sekalipun tidak ada perjanjian sebelumnya.

Cacat yang dapat dijadikan alasan untuk mengembalikan barang

adalah cacat yang dapat menyebabkan turunnya harga.

4. Khiyar Tadlis terjadi jika penjual mengelabui pembeli. Dalam hal

ini pembeli memiliki hak Khiyar selama tiga hari (As-Sabatin,

2009:312).

5. Khiyar Ru‟yah adalah hak pilih untuk melanjutkan atau

membatalkan transaksi bisnis yang dilakukan terhadap suatu objek

yang belum dilihat pada saat transaksi dilaksanakan. Untuk sahnya

(51)

dengan jelas oleh penjual dan pembeli. Maka tidak sah menjual

atau membeli sesuatu yang tidak jelas, karena hal itu akan

mendatangkan perselisihan.

6. Khiyar Al-Ghabn Al-Fahisy (khiyar al-murtarsil) jika penjual dan

pembeli merasa ditipu maka ia memiliki hak khiyar untuk menarik

diri dari transaksi jual beli/bisnis dan membatalkan transaksi

tersebut. Khiyar jenis ini pada suatu saat bisa menjadi hak penjual

dan pada saat yang lain bisa juga menjadi hak pembeli.

7. Khiyar Ta‟yin adalah memberikan hak kepada pembeli untuk

memilih barang yang dia inginkan dari sejumlah atau kumpulan

barang yang dijual kendatipun barang tersebut berbeda harganya,

sehingga konsumen dapat menentukan barang yang dia kehendaki

(Al-Jaziri, 2001:316).

Dalam hukum Islam kewajiban-kewajiban konsumen tidak dijelaskan

secara spesifik, namun demikian sebagai bentukkeseimbangan dan keadilan

penulis dapat menjelaskannya sebagai berikut;

1. Beritikad baik dalam melakukan transaksi barang dan/atau jasa;

2. Mencari informasi dalam berbagai aspek dari suatu barang

dan/atau jasa yang akan dibeli atau digunakan;

3. Membayar sesuai dengan harga atau nilai yang telah disepakati dan

dilandasi rasa saling rela merelakan (taradhin), yang terealisasi

(52)

4. Mengikuti prosedur penyelesaian sengketa yang terkait dengan

perlindungan konsumen.

Undang-Undang Perlindungan Konsumen selain memberikan hak

kepada konsumen, konsumen juga dibebani dengan kewajiban-kewajiban

yang harus dipenuhi sebagaimana diatur pada Pasal 5, yaitu :

1. Membaca dan mengikuti informasi dan prosedur pemakaian atau

pemeliharaan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan

keselamatan;

2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang

dan/atau jasa;

3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.

4. Mengikuti upaya penyelesaian hokum sengketa perlindungan

konsumen secara patut.

Kewajiban-kewajiban konsumen seperti yang diatur pada Pasal 5 tidak

dijelaskan secara spesifik dalam hukum Islam, tetapi bila melihat tujuan

pengaturan itu untuk kemaslahatan konsumen dan pelaku usaha, maka

pengaturan itu sesuai dengan hokum Islam dan maqashid al syari‟ah, yaitu

untuk mewujudkan mashlahah (kebaikan). Sedangkan dalam undang-undang

perlindungan konsumen, ketentuan mengenai klausula baku ini diatur dalam

(53)

satu pasal, yaitu pasal 18. Pasal 18 tersebut secara prinsip mengatur dua

macam larangan yang diberlakuakan bagi para pelaku usaha yang membuat

perjanjian baku dan/atau mencantumkan klausula baku dalam perjanjian yang

dibuat olehnya (Widjaja&Yani, 2000:54).

Dalam ketentuan pasal 18 ayat 1 dikatakan bahwa para pelaku usaha

dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk

diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada

setiap dokumen dan/atau perjanjian dimana klausula baku tersebut akan

mengakibatkan:

1. Pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

2. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan

kembali barang yang dibeli konsumen;

3. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan

kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang

dibeli oleh konsumen;

4. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha

baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan

segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli

oleh konsumen secara angsuran;

5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau

(54)

6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa

atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek

jual beli jasa;

7. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa

aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan

yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen

memanfaatkan jasa yang dibelinya;

8. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku

usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak

jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara

angsuran.

Selanjutnya dalam pasal 18 ayat 2 dijelaskan bahwa Pelaku usaha

dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit

terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang

pengungkapannya sulit dimengerti.

Jadi sebagai konsekuensi atas pelanggaran terhadap ketentuan

pasal 18 ayat 1 dan 2, maka setiap ketentuan klausula baku yang telah

ditetapkan dalam bentuk dokumen atau perjanjian oleh pelaku usaha

(55)

Atas kebatalan demi hukum dari klausula sebagaimana disebutkan

dalam pasal 3, maka pada pasal 4 undang-undang tentang

perlindungan konsumen selanjutnya mewajibkan para pelaku usaha

untuk menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan

undang-undang tentang perlindungan konsumen ini.

Jadi pada prinsipnya undang-undang perlindungan konsumen tidak

melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian baku yang memuat

klausula baku atas setiap dokumen dan/atau perjanjian transaksi usaha

perdagangan barang/jasa, selama klausula tersebut tidak

mencantumkan ketentuan yang dilarang dalam pasal 18 ayat 1, dan

tidak berbentuk sebagaimana dilarang dalam pasal 2 Undang-Undang

Perlindungan Konsumen.

F. Tujuan dan Asas Undang-Undang No. 08 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen

Dalam Pasal 1 Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen, disebutkan "segala upaya yang menjamin adanya kepastian

hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen" maksudnya

kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen itu

antara lain adalah dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen serta

(56)

menumbuh-kembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan

bertanggungjawab.

Sedangkan dalam Pasal 3 disebutkan mengenai tujuan dari perlindungan

konsumen yang dibagi dalam tiga bagian utama yaitu :

a) Memberdayakan konsumen dalam memilih, menentukan barang

dan/atau jasa kebutuhannya dan menuntut hak-haknya.

b) Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang memuat

unsur-unsur kepastian hukum, keterbukaan informasi dan akses untuk

mendapatkan informasi itu.

c) Menumbuhkan kesadaran pelaku perlindungan konsumen sehingga

bertanggung jawab.

Usaha mengenai pentingnya tumbuh sikap jujur dan perlindungan

konsumen yang dijamin undang-undang ini adalah adanya kepastian

hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen, kepastian

hukum itu meliputi segala upaya berdasarkan hukum untuk

memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya

atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau

membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha

penyedia kebutuhan konsumen tersebut.

Pemberdayaan konsumen itu adalah dengan meningkatkan

(57)

sehingga mampu mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan

menghindari berbagai ekses negatif pemakaian, penggunaan dan

pemanfaatan barang dan/atau jasa kebutuhannya.

Di samping itu, juga kemudahan dalam proses menjalankan perkara

sengketa konsumen yang timbul karena kerugian harta bendanya,

kesehatan, keselamatan tubuh atau keamanan/kehilangan jiwa konsumen

dalam pemakaian, penggunaan dan/atau pemanfaatan produk konsumen.

Karena sebelum adanya undang-undang ini, konsumen umumnya

lemah dalam bidang ekonomi, pendidikan dan daya tawar, oleh karena

itu sangat dibutuhkan adanya undang-undang yang melindungi

kepentingan-kepentingan konsumen yang selama ini terabaikan.

Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 ditetapkan beberapa

asas yang mengayomi serta memberikan perlindungan baik kepada

pelaku usaha maupun konsumen. Asas-asas dalam undang-undang

perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama

berdasarkan 5 asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu :

1. Asas Manfaat

Maksudnya adalah untuk mengamankan bahwa segala upaya

dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen memberikan manfaat

(58)

keseluruhan. Menyimak asas di atas dapat dimaknai pembentuk

undang-undang tentang perlindungan konsumen ternyata sependapat dengan teori

Jeremy Betham melalui penganalogian yang mengajarkan bahwa

memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi konsumen dan pelaku usaha

secara keseluruhan adalah memberikan juga kebahagiaan yang terbesar

untuk jumlah yang terbanyak sebagaimana tujuan hukum yang

dikemukakannya.

2. Asas Keadilan

Dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan

secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku

usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara

adil. Keadilan artinya memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi

bagian atau haknya. Asas keadilan yang dianut oleh pembentuk

undang-undang tentang perlindungan konsumen ini adalah justifikasi dari apa yang

diperkenalkan oleh Aristoteles melalui teori etis yang maknanya bahwa

keadilan jangan dipandang sebagai penyamarataan melainkan bukan

penyamarataan yang kemudian dalam teorinya dijabarkan lebih lanjut

(59)

3. Asas Keseimbangan

Maksudnya untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan

konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil maupun

spiritual. Pengembang yang sudah mempunyai kemampuan ekonomi jauh

lebih besar serta mempunyai posisi tawar yang dominan sudah seharusnya

memperhatikan posisi tawar yang lemah dari pembeli.

Asas keseimbangan dapat diproyeksikan lebih ke bawah lagi

sehingga dapat dikemukakan asas yang lebih rinci yaitu, asas perlindungan

konsumen yaitu asas untuk melindungi konsumen terhadap mutu produk

barang/jasa dari produsen yang tidak tanggung jawab misalnya

membahayakan kesehatan, mutu di bawah standar, penipuan atau pemaksaan

kehendak karena secara ekonomis produsen lebih kuat. Asas kebebasan

berkontrak yang merupakan salah satu hak asasi yang perlu ditegakkan agar

tidak terjadi pemaksaan dari pihak yang satu terhadap pihak yang lain yang

terutama sekali produsen tertentu kepada konsumen. Asas perlindungan

terhadap kepentingan publik/umum yaitu masyarakat umum yang awam

dalam hukum perlu dilindungi terhadap itikad buruk pelaku usaha umumnya

atau produsen khususnya, sehingga perlu adanya syarat-syarat yang harus

dipenuhi oleh perusahaan yang akan menawarkan produknya kepada

masyarakat. Melalui asas keseimbangan ini undang-undang perlindungan

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kegiatan transaksi perdagangan mengenai penerapan klausula baku dalam perjanjian transaksi perdagangan dengan Undang –

Sedangkan ketentuan klausula baku yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42 Pasal

Skripsi ini membahas mengenai pelaksanaan pengawasan pencantuman klausula       baku oleh BPSK Kota Malang sebagai representasi dari Undang­Undang Perlindungan       Konsumen.

Dapat  disimpulkan  bahwa  pencantuman  klausula  baku  berupa  biaya  bagasi dalam  tiket  pesawat  Maskapai  LA  bertentangan  dengan  Pasal  18  ayat  (1)  huruf 

TIKI (Titipan Kilat) terdapat klausula baku dikaitkan dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merupakan dasar hukum yang dapat membantu

Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terhadap permasalahan ini dengan judul ³ Perlindungan Hak Konsumen Akibat Aturan Klausula Baku Usaha Karaoke

Kata kunci: Klausula Baku, Jasa Parkir, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Akad syariah, Dinas Perhubungan Kota Malang. Di dalam Layanan Jasa Parkir telah menerapkan

Perlindungan konsumen di Indonesia diatur dalam Undang – Undang No 8 Tahun 1999, Selain itu dikarenakan Klausula Baku pada kenyataannya banyak yang merugikan pihak konsumen dan juga