TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR
08 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
TERHADAP TANGGUNG JAWAB MUTLAK PADA KLAUSULA
BAKU DI PERTOKOAN PASAR KARANGGEDE KABUPATEN
BOYOLALI
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh:
INTAN PRATIWI
NIM: 21414067
PROGAM STUDI
HUKUM EKONOMI SYARI’AH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
MOTTO
MENGETAHUI TUJUAN ANDA DAN KEINGINAN
UNTUK MENCAPAINYA, TIDAK AKAN MEMBAWA
ANDA DEKAT KEPADANYA, HANYA TINDAKAN
YANG MAMPU BERBUAT DEMIKIAN
PERSEMBAHAN
Skripsi ini dipersembahkan untuk:
1. Kedua orang tuaku tercinta sebagai motivator terbesar dalam hidupku yang
tak mengenal lelah dan mendoakan aku serta menyayangiku, terima kasih atas
semua pengorbanan, keringat dan kesabaran mengantarkanku sampai kini.
2. Ketiga adik-adiku yang telah memberikan dukungan yang berunsur bullyan
Kata Pengantar
Rasa syukur yang dalam penulis sampaikan kepada kehadirat Allah SWT,
karena berkat rahmat – Nya penulisan skripsi ini dapat penulis selesaikan sesuai dengan yag di harapkan. Penulis juga bersyukur atas rizki dan kesehatan yang telah
diberikan oleh – Nya, sehingga penulis dapat menyusun penulisan skripsi ini.
Shalawat dan salam penulis sanjungkan kepada Nabi, kekasih, spirit
perubahan Rasulullah SAW beserta segenap keluarga dan para sahabat – sahabatnya,
syafa‟at beliau sangat penulis nantikan di hari pembalasan.
Penulisan Skripsi ini disusun untuk diajukan sebagai salah satu persyaratan
guna memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H), Progam Studi Hukum Ekonomi
Syari‟ah, Fakultas Syari‟ah, yang berjudul : “Tinjauan Hukum Islam Dan
Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Terhadap
Tanggung Jawab Mutlak Pada Klausula Baku Di Pertokoan Pasar Karanggede
Kabupaten Boyolali” Penulis mengakui bahwa dalam menyususn penulisan skripsi
ini tidak dapat diselesaikan tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Karena itulah
penulis mengucapkan penghargaan yang setinggi – tingginya, ungkapan terima kasih kadang tak bisa mewakili kata – kata, namun perlu kiranya penulis mengucapkan
terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd, selaku Rektor IAIN Salatiga.
3. Ibu Evi Ariyani, M. H, selaku Ketua Progam Studi Hukum Ekonomi Syari‟ah IAIN Salatiga.
4. Ibu Luthfiana Zahriani, M. H. Selaku dosen pembimbing yang selalu
memberikan saran pengarahan dan masukan berkaitan dengan penulisan
skripsi sehingga dapat selesai dengan maksimal sesuai dengan yang
diharapkan.
5. Bapak dan Ibu Dosen selaku staf pengajar dan seluruh staf administrasi
Fakultas Syari‟ah yang tidak bisa penulis sebut satu persatu yang selalu memeberikan ilmunya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tanpa
halangan apapun.
6. Para informan di Pasar Karanggede yang telah berkenenan saya wawancarai.
7. Sahabat –sahabatku Jama‟ah Rasan-Rasan yang selalu memberikan semangat
dalam menyelesaikan skripsi.
8. Teman – temanku yang budiman Nurcahyo Andri S. Pd., Fuad S. Pd., dan
Ario Hermawan yang telah membantuku banyak dalam menyelesaikan
skripsi.
9. Teman – teman Jurusan Hukum Ekonomi Syari‟ah angkatan 2014 di IAIN Salatiga yang telah banyak memberikan cerita selama menempuh pendidikan
di IAIN Salatiga.
10.Bapak Lurah dan Bapak Ibu Perangkat Desa Bandung yang telah memberikan
pengertian kepada saya dispensasi waktu dan tenaga dalam bekerja guna
11.Dan semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu namun memberikan
kontribusi hebat dalam penyusunan skripsi ini.
Semoga Allah SWT membalas semua amal kebaikan mereka dengan balsan yang
lebih dari yang mereka berikan kepada penulis, agar pula senantiasa mendapatkan
maghfiroh, dan dilingkupi rahmat dan cita-Nya, Amiin.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa penulisan skripsi ini maaih jauh dari
sempurna, baik dari segi metodologi, penggunaan bahasa, isi, maupun analisisnya,
sehingga kritik dan saran yang konstruktif, sangat penulis harapkan demi
kesempurnaan penulisan skripsi ini, sehingga mudah dipahami.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat khususnya bagi penulis
sendiri dan u mumnya bagi pembaca.
Salatiga, 24 September 2018
Penulis.
INTAN PRATIWI
ABSTRAK
Pratiwi, Intan. 2018. Tinjauan Hukum Islam Dan Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Terhadap Tanggung Jawab Mutlak Pada Klausula Baku Di Pertokoan Pasar Karanggede Kabupaten Boyolali. Skripsi. Fakultas Syari‟ah. Progam Studi Ekonomi Syari‟ah. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Lutfiana Zahriani, SH.MH
Kata Kunci: Hukum Islam, Klausula baku, Perlindungan Konsumen.
Perkembangan ekonomi bisnis membuat perubahan pranata hukum terutama terkait dengan keberadaan konsumen. Dalam pembuatan perjanjian konsumen pada posisi tawar yang rendah sehingga adanya suatu perlindungan hukum. Pada saat konsumen berhadapan dengan pelaku usaha dalam kontek penandatangan perjanjian baku yang mengandung klausula baku maka posisinya menjadi lemah. Pencantuman klausula baku dalam perjanjian baku yang mengalihkan tanggung jawab pelaku usaha kepada konsumen yang tentunya berimplikasi pada perlindungan konsumen membuat peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana aturan klausula baku yang diberlakukan di Pertokoan Pasar Karanggede Kabupaten Boyolali dan bagaimana tinjauan hukum Islam dan Undang-Undang No.08 Th.1999 tentang Perlindungan Konsumen terhadap klausula baku di Pertokoan Pasar Karanggede Kabupaten Boyolali. Dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana aturan klausula baku yang diberlakukan di Pertokoan Pasar Karanggede Kabupaten Boyolali dan bagaimana tinjauan hukum Islam dan Undang-Undang No.08 Th.1999 tentang Perlindungan Konsumen terhadap klausula baku di Pertokoan Pasar Karanggede Kabupaten Boyolali.
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (Field Research) dengan metode pengumpulan data wawancara. Sifat penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan yuridis sosiologis, artinya suatu penelitian yang dilakukan terhadap keadaan nyata masyarakat atau lingkungan masyarakat dengan maksud dan tujuan untuk menemukan fakta yang kemudian menuju pada identifikasi dan pada akhirnya menuju kepada penyelesaian masalah, dengan jenis penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang.
Berdasarkan penelitian yang diperoleh, penulis menyimpulkan beberapa pertokoan di Pasar Karanggede Kabupaten Boyolali telah memberlakukan aturan klausula baku yang berbunyi
DAFTAR ISI
A. Pengertian Hak dan Kewajiban Konsumen... 18B. Pengertian Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha ... 21
C. Pengertian Klausula Baku ... 25
E. Dasar Hukum Islam dan UUPK Tentang Prinsip Tanggung
Jawab Mutlak Pada Klausula Baku ... 32
F. Tujuan dan Asas Undang-Undang No.08 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen ... 42
BAB III ATURAN KLAUSULA BAKU YANG DIBERLAKUKAN DI
PERTOKOAN PASAR KARANGGEDE KABUPATEN BOYOLALI
A. Wawancara dengan Pelaku Usaha Berkaitan Aturan
Klausula Baku yang Diberlakukan di Pertokoan
Pasar Karanggede Kabupaten Boyolali ... 51
B. Respon Konsumen Terhadap Aturan klausula Baku
di Pertokoan Pasar Karanggede ... 55
BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN U NDANG-UNDANG
NOMOR 08 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
TERHADAP TANGGUNG JAWAB MUTLAK PADA
KLAUSULA BAKU DI PERTOKOAN PASAR KARANGGEDE
KABUPATEN BOYOLALI ... 58
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 64
B. Saran ... 65
DAFTAR PUSTAKA ... 66
DAFTAR LAMPIRAN
1. Nota Pembimbing Skripsi
2. Surat Penunjukkan Skripsi
3. Lembar Konsultasi
4. Surat Keterangan Lulus Ujian Komperehensif
5. Foto Penulis Bersama Informan
6. Daftar Nilai SKK
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Semakin banyaknya jumlah pertumbuhan penduduk, tentu menjadikan
kebutuhan semakin meningkat, terutama dalam hal kebutuhan ekonomi.
Kebutuhan ini bisa dikatakan kebutuhan wajib yang harus dipenuhi guna
bertahan hidup karena tidak bisa dipungkiri bahwasannya kebutuhan ini harus
dipenuhi setiap harinya.
Kemudian didukung pula dengan adanya perkembangan
perekonomian, khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan yang
mana telah menghasilkan berbagai variasi barang atau jasa yang dapat
dikonsumsi. Di samping itu, globalisasi dan perdagangan bebas yang
didukung oleh kemajuan teknologi telah memperluas ruang gerak arus
transaksi barang dan/atau jasa untuk melintasi batas-batas wilayah suatu
negara, sehingga barang dan/atau jasa yang ditawarkan menjadi bervariasi,
baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri.
Kondisi tersebut memang menguntungkan bagi para konsumen karena
kebutuhan akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta
semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas
barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen.
kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan
konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi obyek aktivitas
bisnis untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya bagi pelaku usaha
melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang
merugikan konsumen.
Salah satu bentuknya yaitu pelaku usaha dalam menerapkan adanya
klausula baku, Keberadaan klausula baku ini memang dianggap sebagai media
untuk mempermudah transaksi jual beli yang dilakukan antara produsen
dengan konsumen, akan tetapi ternyata klausula ini disalah gunakan produsen
dengan memberikan persyaratan yang sangat merugikan bagi konsumen
antara lain dalam perjanjian kredit perbankan, perjanjian asuransi, perjanjian
penitipan barang, maupun perjanjian jula beli secara konvensional dan melalui
e-commerce (Agus dkk, 2015: 123).
Para pelaku usaha kebanyakan dalam meminimalisir kerugian, mereka
menerapkan klausula baku tersebut, seperti halnya di toko-toko sekitar Pasar
Karanggede, beberapa toko di sana yang menjual barang-barang yang mudah
rapuh/ pecah sudah pasti ada klausul seperti tulisan “Memecahkan Berarti Membeli” dan “Membuka Segel Berarti Membeli” .
Pada kasus klausula baku yang berbunyi “Membuka Segel Berarti
padahal konsumen berhak mengetahui kualitas dan kuantitas suatu barang
yang akan dibelinya, sedangkan dalam kasus klausula baku yang berbunyi
“Memecahkan Berarti Membeli” dan melimpahkan seluruh kerugiannya
kepada konsumen merupakan suatu yang tidak adil, apalagi konsumen
tersebut merusakkan barang tanpa di sengaja.
Di Indonesia sendiri sebenarnya sudah ada aturan yang mengatur
mengenai masalah klausula baku, akan tetapi beberapa pelaku usaha tidak
menerapkan peraturan tersebut dalam membuat klausula baku, bahkan
diantara mereka tidak tahu kalau ada peraturan yang mengatur klausula baku,
kemudian dipengaruhi lagi dengan minimnya pengetahuan konsumen akan
hal-hal tersebut, kebanyakan konsumen mereka tidak mengetahui adanya
hak-hak konsumen, didukung dengan keadaan yang seperti itu membuat pelaku
usaha tidak perlu repot memperhatikan peraturan.
Namun ada juga beberapa konsumen yang merasa dirinya dirugikan
akan adanya klausula-klausula tersebut, dan mereka tidak bisa menuntut
apa-apa karena memang tulisan klausula tadi sudah tertera di sana, maka dari itu
perlunya ditegaskan adanya penerapan undang-undang, agar pelaku usaha
mengetahui penerapan peraturan dalam tokonya yang sesuai maupun yang
Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang biasanya disingkat
dengan UUPK merupakan upanya pemerintah untuk memberikan jaminan
perlindungan kepada para konsumen, namun Jauh sebelum diberlakukannya
UUPK, secara yuridis formal prinsip product liability sebenarnya telah diatur
dalam beberapa pasal dalam KUH Perdata, walaupun dengan catatan, ruang
lingkup materinya tidak se-ekstensif ketentuan yang diatur dalam UUPK.
Pada KUHPerdata secara umum apabila ada seorang yang melakukan
perbuatan melawan hukum (PMH) maka seseorang tersebut diwajibkan untuk
memberikan ganti kerugian. Pasal 1365 KUHPerdata mensyaratkan lima
syarat suatu perbuatan dapat masuk dalam kategori perbuatan melawan
hukum, yaitu:
1. Adanya perbuatan,
2. Perbuatan tersebut melawan hukum,
3. Adanya kerugian,
4. Adanya kesalahan, dan
5. Adanya hubungan sebab akibat (kausalitas) antara perbuatan
melawan hukum dengan akibat yang ditimbulkannya.
Jadi apabila seseorang melakukan sesuatu tindakan perbuatan melawan
hukum, maka seseorang tersebut harus mengganti kerugian, dalam hal ini bisa
di kaitkan dengan penerapan klausula baku karena dalam klausula baku
konsumen dengan membelinya, baik kesalahan tersebut dilakukan secara
sengaja maupun tidak sengaja. Oleh karena itu dalam penelitian ini penulis
akan meneliti lebih lanjut mengenai ketentuan-ketentuan klausula baku yang
sesuai dan boleh diberlakukan baik itu menurut hukum Islam maupun
peraturan perundang-undangan.
Maka dari itu penulis tertarik untuk melakukan sebuah penelitian dengan
judul “TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR
08 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
TERHADAP TANGGUNG JAWAB MUTLAK PADA KLAUSULA BAKU
DI PERTOKOAN PASAR KARANGGEDE KABUPATEN BOYOLALI”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada analisa latar belakang diatas, maka dapat
dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana aturan klausula baku yang diberlakukan di Pertokoan
Pasar Karanggede Kabupaten Boyolali?
2. Bagaimana tinjauan hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 08
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terhadap klausula
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penulis dalam melakukan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana aturan klausula baku yang diberlakukan di
Pertokoan Pasar Karanggede Kabupaten Boyolali.
2. Untuk mengetahui bagaimana tinjauan hukum Islam dan Undang-Undang
Nomor 08 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terhadap klausula
baku di Pertokoan Pasar Karanggede Kabupaten Boyolali.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini antara lain:
1. Manfaat Teoritis
a. Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah agar bermanfaat bagi
pengembangan pengetahuan dan keilmuan tertentu.
Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini diharapkan
memberikan pengembangan terhadap studi hukum tentang
perlindungan konsumen di Indonesia khususnya terkait dengan
klausula baku.
b. Sebagai sarana dalam rangka meningkatkan kreatifitas dalam
membuat tulisan ilmiah.
c. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
2. Manfaat Praktis
a. Manfaat praktis ditujukan sebagai pemberian manfaat atau
sumbangsih yang akan diperoleh dari penelitian ini bagi
masyarakat ataupun komunitas publik secara keseluruhan
atau stakeholder tertentu secara khusus.
b. Penelitian ini diharapkan dapat membantu masyarakat
dalam mendapatkan pengetahuan terhadap klausula baku,
hak dan kewajiban konsumen maupun pelaku usaha dan
penyelesaian penyelesaian sengketa.
c. Mengembangkan penalaran,membentuk pola pikir dinamis
dan untuk mengetahui kemampuan peneliti dalam
menerapkan ilmu yang diperoleh.
d. Mencari kesesuaian antara teori yang telah didapatkan
selama di bangku perkuliahan dengan kenyataan di
lapangan.
E. Penegasan Istilah
Untuk membatasi dan menghindari kesalahfahaman arti pada judul
penelitian ini, maka penulis akan menegaskan istilah-istilah yang
berhubungan dengan konsep-konsep pokok arti judul dalam penelitian ini
TERHADAP TANGGUNG JAWAB MUTLAK PADA KLAUSULA BAKU
DI PERTOKOAN PASAR KARANGGEDE KABUPATEN BOYOLALI”
sebagai berikut:
1. Hukum Islam (syari'at Islam) adalah rangkaian dari kata “hukum” dan
kata “Islam” untuk mengetahui arti hukum Islam perlu diketahui lebih
dahulu arti kata “Hukum”. Hukum yaitu seperangkat peraturan tentang
tingkah laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat itu dan
mengikat seluruh anggotanya. Hukum Islam artinya seperangkat
peraturan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah
laku manusia yang diakui dan diyakini serta mengikat untuk semua
yang beragama Islam (Syarifuddin, 1997:4-5).
2. Undang-Undang No 08 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
yang akan digunakan sebagai dasar penelitian ini, yang mana
menjelaskan mengenai hak-hak dan jaminan konsumen.
3. Tanggung Jawab Mutlak adalah unsur kesalahan tidak perlu
dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi.
( UU NO.32 Th. 2009).
4. Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat
yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak
perjanjian yang mengikat atau wajib dipenuhi oleh konsumen. (UU
NO.8 Th. 1999).
F. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka atau kajian pustaka berkedudukan sangat penting
dalam sebuah penelitian, karena penggunaan teori untuk dijadikan kerangka
pemikiran tidak akan dapat dilakukan jika tidak ada tinjauan pustaka. Hanya
perlu diperhatikan bahwa dalam tinjauan pustaka tidak perlu menguraikan
penjelasan yang panjang lebar, sehingga tampak seperti memindahkan
pendapat orang secara keseluruhan ke dalam tinjauan pustaka, tanpa sedikit
pun pemilihan substansi uraian-uraiannya (Saebani, 2008: 160).
Berikut adalah penelitian terdahulu yang membahas tentang
perlindungan konsumen:
1. SKRIPSI tahun 2017 yang di tulis oleh Rokhana Puji Astuti ( Institut
Agama Islam Negeri Salatiga) dengan judul “TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO.8 TAHUN 1999 TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP SYSTEM PROMO
(STUDI KASUS TOKO JAKARTA PONSEL, SALATIGA)”. Dengan rumusan masalah bagaimana penerapan sistem promo di Toko Jakarta
Ponsel Salatiga, kemudian bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap
sistem promo di Toko Jakarta Ponsel Salatiga, serta bagaimana tinjauan
sistem promo di Toko Jakarta Ponsel Salatiga. Dalam penelitian tersebut
di simpulkan bahwa dalam penerapan sistem promo di Toko Jakarta
Ponsel Salatiga menggunakan media brosur yaitu yang pertama dengan
melakukan promosi besar-besaran dengan harga yang sangat murah, yang
kedua dengan penurunan harga secara temporer yaitu dengan cara di
lakukan menurunkan harga barang tertentu dalam jangka waktu tertentu
atau waktu yang telah ditentukan. Yang ketiga, pemberian hadiah yaitu
yang pembeli membeli barang tertentu di Toko Jakarta Ponsel dan
mendapatkan hadiah secara cuma-cuma. Adapun tinjauan hukum Islam
terhadap bisnis yang dilakukan toko tersebut boleh, akan tetapi
bertentangan dengan syariat Islam, karena ada pihak yang terdzolimi.
Sedangkan tinjauan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen terhadap system promo tersebut, konsumen
berhak mendapatkan perlindungan konsumen yang menjamin adanya
kepastian hukum.
2. SKRIPSI tahun 2015 yang tulis oleh Anur Janatin Na‟im (Institut Agama
Islam Negeri Tulungagung) dengan judul “PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM JUAL-BELI PERUMAHAN DITINJAU DARI
UNDANG-UNDANG NO. 08 TAHUN 1999 DAN FATWA DEWAN
SYARIAH NASIONAL NO.06/DSN-MUI/IV/2000 (STUDI KASUS DI
PERUM TAMAN NIRWANA KEDIRI)”. Dengan rumusan masalah
bagaimana hubungan perlindungan konsumen dalam jual-beli di Perum
Taman Nirwana dengan Undang-Undang No. 08 Tahun 1999 dan Fatwa
Dewan Syariah Nasional No.06/DSN-MUI/IV/2000. Hasil penelitian ini
di simpulkan bahwa, pertama dalam pelaksanaan jual-beli di Perum
Taman Nirwana Kediri, pembeli di beri kebebasan untuk memilih
objeknya dan pembayaran boleh dilakukan baik secara tunai maupun
kredit. Yang kedua ketentuan Undang-Undang No. 08 Tahun 1999 belum
sepenuhnya terlaksana. Yang ketiga pelaku usaha di Perum Taman
Nirwana Kediri dalam transaksi jual-beli rumah telah melanggar ketentuan
Undang-Undang No. 08 Tahun 1999, sehingga pelaku usaha harus
dikenakan sanksi yang tegas. Dan juga melanggar ketentuan Fatwa Dewan
Syariah Nasional No.06/DSN-MUI/IV/2000, karena hak-hak konsumen
yang belum terpenuhi terutama dalam fasilitas umum dan kontruksi
bangunan yang kurang bagus.
3. Jurnal Privat Law tahun 2015 yang tulis oleh Danty Listiawati
(Universitas Sebelas Maret Surakarta) dengan judul “KLAUSULA
EKSONERASI DALAM PERJANJIAN STANDARD DAN
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN”. Yang rumusan masalahnya mengenai kedudukan klausula eksonerasi dalam perjanjian
standart serta kaitannya dengan hukum perlindungan konsumen. Yang
disimpulkan bahwa keberadaan klausula eksonerasi dalam perjanjian tidak
perjanjian apa saja, termasuk bebas menentukan isi, luas dan bentuk
perjanjian(Listiawati,http://journals.usm.ac.id/index.php/jdsb/article/view/
508, diakses 12 Januari 2018).
4. Jurnal Hukum Forum Akademika tahun 2014, yang ditulis oleh Taufik
Yahya, Dwi Suryahartati, dan Firya Oktaviarni (dosen Universitas Jambi).
dengan judul “PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JASA PERPARKIRAN DI
KOTA JAMBI” dan dengan rumusan masalah Bagaimana Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 3 Tahun 2010 tentang Retribusi
pelayanan parkir di Kota Jambi serta Bagaimanakah Model Perjanjian
Jasa Perparkiran yang memenuhi konsep-konsep Keseimbangan dan
Kepastian Hukum. Dalam jurnal ini disimpulkan bahwa Pelaksanaan
Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor. 3 Tahun 2010 tentang Retribusi
Pelayanan Parkir di tepi jalan umum belum diterapkan dengan maksimal.
Dibuktikannya masih ada titik parkir yang disinyalir merupakan titik
parkir tidak terdaftar di kantor pengelolaan parkir pasar Jambi. mengenai
nilai retribusi yang diharapkan menjadi kekuatan peningkatan PAD Kota
Jambi tidak begitu mendapat perhatian khususnya dari para juru parkir
yang berkewajiban menyetorkan dana parkir, karena masih terjadi
tunggakan-tunggakan pembayaran parkir oleh juru parkir di tiap titik
parkir, dan juga Klausula Baku yang terdapat dalam karcis Parkir di Kota
klausula tersebut bertentangan dengan konsep penitipan barang menurut
KUHPerdata. Dengan demikian klausula tersebut adalah cacat hukum, dan
dapat dinyatakan bahwa sedari awal tidak pernah ada hubungan hukum
antara pihak-pihak yang berkaitan terhadap kontrak tersebut (Yahya dkk,
http://ji.unbari.ac.id/index.php/ilmiah/article/view/357, diakses 12 Januari
2018).
Dari penelitian-penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa yang
menjadi perbedaan dalam penelitian adalah pada fokus masalah
bagaimana pelaksanaan klausula baku di Pertokoan Pasar Karanggede
Kabupaten Boyolali dan bagaimana tinjauan hukum Islam dan
Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terhadap
klausula baku di Pertokoan Pasar Karanggede Kabupaten Boyolali.
G. Metode Penelitian
Metode Penelitian adalah faktor yang sangat penting dalam
sebuah penulisan penelitian dan harus di tulis secara rinci. Adapun metode
yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1) Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan yang digunakan adalah yuridis sosiologis, artinya
suatu penelitian yang dilakukan terhadap keadaan nyata masyarakat
menemukan fakta yang kemudian menuju pada identifikasi dan pada
akhirnya menuju kepada penyelesaian masalah ( Soekanto, 1982: 10).
Dan jenis penelitiannya adalah kualitatif. Penelitian kualitatif
sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati (Moleong, 1998: 4).
2) Kehadiran Peneliti
Dalam penelitian ini penulis bertindak sebagai instrument
sekaligus pengumpul data, yang mana penulis hanya berperan sebagai
pengamat partisipan, dan kehadiran peneliti tidak ketahui statusnya
sebagai peneliti oleh subjek atau informan dan juga tempat objek
penelitian.
3) Lokasi Penelitian
Penulis memilih lokasi penelitian di Pasar Karanggede, dikarenakan
lokasi tersebut merupakan Pasar terbesar dan pusat kegiatan ekonomi
utama di daerah Jalan Raya Sruwen-Wonosegoro.
4) Sumber Data
Adapun dalam penelitian ini, sumber data yang diperlukan penulis
1. Data Primer
Data yang diperoleh peneliti dengan cara melakukan
wawancara terhadap informan yaitu pelaku usaha dan konsumen di
Pertokoan Pasar Karanggede Kabupaten Boyolali.
2. Data Sekunder
Sumber data sekunder, atau data tangan kedua adalah data
yang diperoleh lewat pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh
peneliti dari subjek penelitiannya. (Azwar, 1998:91).
Adapun data tersebut adalah Kitab suci Al-Quran, Hadist, kitab
undang-undang hukum Perdata, kitab undang-undang hukum
Dagang, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, buku-buku tentang klausula baku, buku-buku tentang
perlindungan konsumen, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari
kalangan hukum yang dituangkan dalam majalah ataupun jurnal
hukum.
5) Prosedur Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data dari lapangan dalam penelitian ini
penulis menggunakan pedoman wawancara secara langsung kepada
informan yaitu pelaku usaha dan konsumen. Tujuannya agar data yang
diperoleh tidak jauh menyimpang dari yang diharapkan dalam
6) Analisis Data
Kemudian penulis mengolah data yang didapat dari hasil penelitian
lapangan sehingga penulis dapat mengetahui apakah prinsip klausula
baku yang diterapkan di Pertokoan Pasar Karanggede telah sesuai
dengan hukum Islam serta ketentuan-ketentuan sebagaimana di atur
dalam Undang-Undang No. 08 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
7) Pengecekan Keabsahan Temuan
Adapun dalam pengecekan keabsahan penelitian ini, penulis
berusaha sesering mungkin mendatangi lokasi penelitian agar
menghasilkan penelitian dengan maksimal.
H. Sistematika Penulisan
Agar pembaca mudah memahami kerangka penulisan ini, maka
penulis memberi gambaran yang lebih jelas sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah, tinjauan pustaka,
metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II KAJIAN TEORI meliputi pengertian konsumen dan pelaku usaha,
hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha, prinsip-prinsip tanggung
jawab dan tanggung gugat terhadap produk, dasar hukum Islam dan UUPK
tentang prinsip tanggung jawab mutlak, tujuan, asas dan manfaat
Undang-Undang No 08 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
BAB III HASIL PENELITIAN meliputi aturan klausula baku yang
diberlakukan di Pertokoan Pasar Karanggede Kabupaten Boyolali
BAB IV PEMBAHASAN meliputi tinjauan hukum Islam dan
Undang-Undang No 08 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengenai
klausula baku di Pertokoan Pasar Karanggede Kabupaten Boyolali.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian, Hak dan Kewajiban Konsumen
1. Pengertian Konsumen
Konsumen merupakan pemakai barang/ jasa, yang dibedakan menjadi dua
yaitu konsumen perantara dan konsumen akhir. Konsumen perantara adalah
konsumen yang membeli produk/barang tidak untuk dikonsumsi sendiri,
tetapi untuk dijual lagi. Sedangkan pengertian konsumen akhir dijelaskan
dalam Undang – Undang Perlindungan Konsumen dalam Pasal 1 ayat (2)
menyatakan bahwa: “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau
jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan”. 2. Hak Konsumen
Dalam sejarahnya, pada tahun 1962 hak-hak konsumen telah dicetuskan
oleh presiden Amerika Serikat John F. Kennedy, yang disampaikan dalam
Kongres Gabungan Negara-Negara Bagian di Amerika Serikat, kemudian di
masukan dalam progam konsumen European Economic Community (EEC) di
mana hak-hak konsumen meliputi:
a. Hak perlindungan kesehatan dan keamanan
c. Hak untuk memperoleh ganti rugi
d. Hak atas penerangan
e. Hak untuk didengar
Menurut Ernes Barker, agar hak-hak konsumen itu sempurna harus
memenuhi tiga syarat, yakni hak itu dibutuhkan untuk perkembangan
manusia, hak itu diakui oleh masyarakat, dan hak itu dinyatakan demikian,
dan arena itu dilindungi dan dijamin oleh lembaga Negara. Jika tidak
memenuhi ketiga syarat tersebut, maka hak-hak itu bukanlah hak yang
sempurna, tetapi merupakan hak yang semu (quasright) (Sutedi, 2008:50).
Sedangkan di Indonesia, hak-hak konsumen telah terkandung dalam
pasal 4 undang-undang perlindungan konsumen, yaitu:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengonsumsi barang dan / atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan / atau jasa serta mendapatkan
barang dan / atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan
kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang atau
e. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan dan upaya
penyelesaian konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta
tidak deskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi atau penggantian,
apabila barang dan jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau sebagaimana mestinya;
i. Hak – hak yang diatur dalam peraturan perundang – undangan
lainnya.
Selain hak-hak konsumen diatas, ada dua hak konsumen yang
berhubungan dengan pertanggungjawaban produk, yaitu hak untuk
mendapatkan barang yang memiliki kuantitas dan kualitas yang baik serta
aman, dan hak untuk mendapatkan ganti kerugian, jika barang yang dibelinya
itu cacat, rusak atau telah membahayakan konsumen, ia berhak mendapatkan
ganti kerugian yang pantas.
3. Kewajiban Konsumen
Konsumen memiliki hak yang dapat diberikan apabila kewajibannya
sebagai konsumen telah terpenuhi, adapun mengenai kewajiban konsumen
a. Membaca dan mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang atau jasa, demi keamanan
dan keselamatan;
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang
atau jasa;
c. Membayar dengan nilai tukar yang telah disepakati;
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
B. Pengertian, Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
1. Pengertian Pelaku Usaha
Secara umum pelaku usaha dapat diartikan sebagai orang yang
melakukan usaha bisnis yang tujuan utamanya mencari untung. Istilah
pelaku usaha dipakai dalam Undang-Undang No.08 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen pasal 1 butir 3 menyatakan pelaku
usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan
dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum
Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan badan usaha dalam
2. Hak Pelaku Usaha
Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen merupakan landasan hukum paling pertama dan utama
dalam penyelesaian permasalahan konsumen yang menderita kerugian
akibat pelaku usaha yang kurang menyadari hak dan kewajiban
mereka dalam menjalankan usahanya. Pelaku usaha sudah sepantasnya
mengerti dan memahami apa yang menjadi hak dan kewajiban yang
dimiliki dalam menjalankan usahanya, sehingga tidak ada pihak lain
yang menderita kerugian akibat kelalaian dan itikad tidak baik yang
sering mereka lakukan. Sebagaimana tercantum di dalam Pasal 6
antara lain sebagai berikut :
e. Hak Untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan
kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau
jasa yang di perdagangkan;
f. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan
konsumen yang beritikad tidak baik;
g. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen;
h. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara
hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh
i. Hak – hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang – undangan lainnya.
3. Kewajiban Pelaku Usaha
Pelaku usaha dalam UUPK memiliki kewajiban untuk
beritikad baik didalam melakukan atau menjalankan kegiatan
usahanya. Sedangkan bagi konsumen diwajibkan beritikad baik dalam
melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal tersebut
tentu saja disebabkan oleh karena kemungkinan akan terjadi kerugian
bagi konsumen yang dimulai sejak barang dirancang atau diproduksi
oleh produsen (pelaku usaha), sedangkan bagi konsumen
kemungkinan untuk dapat merugikan produsen adalah saat melakukan
transaksi dengan produsen (Dewi, 2015:58).
Dalam hal ini, pelaku usaha memiliki kewajiban untuk untuk
memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur karena ketiadaan
informasi yang tidak memadai dari pelaku usaha merupakan salah satu
cacat informasi yang akan sangat merugikan konsumen. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa yang dapat dikatakan sebagai
pelaku usaha itu tidak hanya terbatas pada produsen yang
memproduksi dan menghasilkan barang, melainkan seorang
distributor, dan juga pedagang dapat juga disebut seorang pelaku
Kewajiban pelaku usaha sebagimana tercantum di dalam Pasal 7
Undang –Undang Nomor 08 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen antara lain adalah:
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. Memperlakukan atau melayani konsummen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d. Menjamin mutu barang dan jasa yang diproduksi dan/ atau di perdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan
jasa yang berlaku;
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan mencoba barang dan/ atau jasa tertentu serta memberikan
jaminan dan garansi atas barang yang dibuat dan
diperdagangkan;
f. Memberikan kompensasi, ganti-rugi dan penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang
dan jasa yang diperdagangkan;
g. Memberikan kompensasi, ganti rugi dan penggantian apabila barang dan jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai
C. Pengertian Klausula Baku
Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan defenisi
klausula baku dalam Pasal 1 ayat 10 yaitu: Setiap aturan atau ketentuan
dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu
secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen
dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Berdasarkan pengertian klausula baku menurut UUPK, dapat
disimpulkan bahwa klausula baku terdiri atas 2 (dua) bentuk, yaitu:
1. Dalam bentuk perjanjian
Dalam hal ini, suatu perjanjian telah disiapkan terlebih dahulu
konsepnya oleh salah satu pihak, umumnya produsen. Perjanjian ini selain
memuat aturan-aturan umum yang tercantum dalam suatu perjanjian,
memuat pula persayaratan-persyaratan khusus baik berkenaan dengan
pelaksanaan perjanjian, menyangkut hal-hal tertentu dan/atau berakhirnya
perjanjian itu.
Dalam bentuk suatu perjanjian tertentu ia memang merupakan suatu
perjanjian, dalam bentuk formulir atau lain-lain, dengan materi (syarat-
syarat) tertentu dalam perjanjian tersebut. Misalnya memuat ketentuan
tentang syarat berlakunya kontrak baku, syarat syarat berakhirnya, syarat-
syarat tentang resiko tertentu, hal-hal tertentu yang tidak ditangggung dan
atau berbagai persyaratan lain yang pada umumnya menyimpang dari
ketentuan syarat-syarat umum yang telah ditentukan atau ditunjuk oleh
perusahaan tertentu, termuat pula ketentuan tentang ganti rugi, dan jaminan-
jaminan tertentu dari suatu produk (Fuady, 2007: 76).
2. Dalam bentuk persyaratan-persyaratan
Perjanjian ini dapat pula dalam bentuk bentuk lain, yaitu syaratsyarat
khusus yang termuat dalam berbagai kuitansi, tanda penerimaan atau tanda
penjualan, kartu-kartu tertentu, pada papan-papan pengumuman yang
diletakkan di ruang penerimaan tamu atau di lapangan, atau secarik kertas
tertentu yang termuat di dalam kemasan atau pada wadah produk yang
bersangkutan (Nasution, 2007:99-100).
D. Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab dan Tanggung Gugat Terhadap
Produk
Tanggung jawab produk dan tanggung gugat produk merupakan dua
istilah yang mempunyai arti hampir sama, perbedaannya terletak pada
darimana datangnya tuntutan atau gugatan dan pihak mana yang harus
tanggung jawab.
Tanggung jawab dan tanggung gugat produk dalam kontek
perlindungan konsumen merupakan hubungan yang bersifat kausal antara
jawab pelaku usaha timbul jika produk yang ditawarkan pelaku usaha tersebut
merugikan konsumen.
Secara theoritik prinsip-prinsip yang ada dalam mewujudkan tanggung
gugat produk antara lain ( Mansyur, 2007:60-61):
a. Pertanggungjawaban Kontraktual (Contractual Liability)
Artinya hubungan yang timbul dari pelaku usaha dengan
konsumen adalah berdasarkan hubungan perjanjian(contract),
karenanya pertanggungjawaban pelaku usaha terhadap produk
yang dipasarkan juga berdasarkan kontrak, artinya tanggung jawab
perdata atas dasar perjanjian/ kontrak dari pelaku usaha, atas
kerugian yang dialamikonsumen akibat mengkonsumsi barang
yang dihasilkannya atau memanfaatkan jasa yang diberikannya.
Dalam konteks ini, dasar gugatan konsumen/pembeli mendasarkan
pada wanprestasi dari suatu perjanjian.
b. Pertanggungjawaban Produk (Produk Liability)
Artinya adalah pertanggungjawaban produk terjadi manakala
setiap produk yang sampai di tangan konsumen, yang karena
hubungan langsung, jika menimbulkan kerugian bagi konsumen,
maka produsen harus bertangggungjawab. ketentuan umum
ditimbulkan oleh benda dapat kita temukan dalam pasal 1367 ayat
(1) kitab undang-undang hokum perdata yang berbunyi
“seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang
disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga atas kerugian
yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi
tanggungannya, atau disebabkan oleh barang-barang yang berada
di bawah pengawasannya”
Sebagaimana telah dijelaskan dalam uraian mengenai
pertanggungjawaban atas perbuatan melawan hukum orang lain,
bahwa ketentuan pasal 1367 ayat 1 kitab undang-undang hokum
perdata menyaratkan adanya kesalahan dalam diri orang yang
dimintakan pertanggungjawaban tersebut, meskipun perbuatan
melawan hokum yang menerbitkan kerugian tersebut bagi orang
lain, bukanlah perbuatan yang dilakukan oleh orang yang
dimintakan pertanggungjawaban tersebut ( Widjaja dan Kartini,
2005:197-198).
c. Pertanggungjawaban Professional (Professional Liability)
Artinya adalah pertanggungjawaban berdasarkan profesi,
dalam hal ini jika profesi berupa jasa. Pertanggungjawaban
professional dapat ditempuh melalui dua cara:
a) Jika hubungan perjanjian antara pelaku usaha dengan
yang jasanya tersebut tidak terukur, maka
pertangggungjawabannya bagi pelaku usaha mendasarkan
pada tanggung jawab perdata secara langsung (strick
liability).
b) Jika hubungan perjanjian pelaku usaha dengan konsumen,
dalam masa prestasinya berupa jasa yang dapat diukur,
maka tanggung jawab pelaku usaha berdasarkan pada
perjanjian (contractual liability).
d. Pertanggungjawaban Pidana (Criminal Liability)
Dalam hal hubungan pelaku usaha dengan negara dalam
memelihara keselamatan dan keamanan masyarakat (konsumen),
maka tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada
pertanggungjawaban pidana.
Sedangkan secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum
dapat dibedakan sebagai berikut:
a. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan
Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kelasalahan (fault
liability) atau liability based of fault adalah prinsip yang cukup
umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Prinsip ini menyatakan
sesorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika
b. Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggung Jawab
Prinsip ini menyatakan, tergugat dianggap bertanggung jawab
(presumption of liability princple), sampai ia dapat membuktikan ia bersalah.
Jadi, beban pembuktian ada pada si tergugat.
c. Prinsip Praduga untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab
Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga
untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumtion nonliability principle)
hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas, dan
pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.
Contoh dalam penerapan prinsip ini adalah “Memecahkan Berarti Membeli”,
“Membuka Segel Berarti Membeli”, dalam hal ini, pelaku usaha tidak dapat
dimintai pertanggung jawaban.
d. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak
Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan
dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability). Substansi hokum
perlindungan konsumen mengalami perubahan, dari hokum yang
berkarakteristik represif, dalam bentuk prinsip tanggung jawab tanggung
jawab berdasarkan kesalahan (fault based liability) ke prinsip tanggung jawab
yang berpihak atau responsif terhadap kepentingan konsumen, dalam bentuk
tanggung jawab mutlak (strict liability). Hal ini dilakukan dalam rangka
menghadapi perkembangan perdagangan yang terus mengglobal untuk
Adapun alasan-alasan yang memperkuat penerapan prinsip tanggung
jawab mutlak yang di dasarkan pada Prinsip Social Theory (Barkatullah,
2008:175).
3. Manufacturer adalah pihak yang berada dalam posisi keuangan
yang lebih baik untuk menanggung beban kerugian, dan pada
setiap kasus yang mengharuskannya mengganti kerugian dia
akan meneruskan kerugian tersebut dan membagi resikonya
kepada banyak pihak dengan cara menutup asuransi yang
preminya dimasukan ke dalam perhitungan harga dari barang
hasil produksinya. Hal ini dikenal dengan deep pockets theory.
4. Terdapatnya kesulitan dalam membuktikan adanya unsur
kesalahan dalam suatu proses manufacturing yang demikian
kompleks pada perusahaan besar (industry) bagi seorang
konsumen/korban/penggugat secara individual.
Namun, ada pengecualian – pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force majeur. Sebaliknya,
absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada
pengecualian.
e. Prinsip Tanggung Jawab dengan Pembatasan
Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability
principle) sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan
dalam perjanjian pengiriman barang, barang yang akan dikirimkan itu hilang
atau rusak (termasuk akibat kesalahan petugas), maka konsumen hanya
dibatasi ganti rugi sebesar sepuluh kali harga barang yang rusak tersebut.
Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara
sepihak oleh pelaku usaha.
Dalam Undang-Undang No. 08 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan
klausul yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung
jawabnya. Jika ada pembatasan mutlak harus berdasararkan pada peraturan
perundang – undangan. Pembuktian inilah yang nantinya akan terlihat kelemahannya, ketika menggunakan pasal 19 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen berkaitan dengan kerugian
yang dialami oleh konsumen.
E. Dasar Hukum Islam dan UUPK Tentang Prinsip Tanggung Jawab
Mutlak Pada Klausula Baku
Pada dasarnya semua hukum muamalah adalah boleh kecuali ada dalil
yang melarangnya, karena tujuan dari muamalah adalah memperhatikan
kemaslahatan manusia, maka segala sesuatu yang akan mewujudkan sebuah
kemaslahatan adalah boleh. Berinteraksi dengan akad-akad baru yang tidak
dikenal sebelumnya juga sah melalui qiyas, istihsan, ijma‟, atau kebiasaan
Ijtihad para ulama terbagi menjadi dua pendapat mengenai prinsip membuat
berakad ini, artinya dalam memilih aturan-aturan tertentu untuk menjadi
sebuah akad antara dua pihak atau memilih jenis akad tertentu yang tergolong
baru di samping akad-akad yang telah dikenal sejak dulu (Mahfudh, 1994:27).
Adapun dasar hukum Islam mengenai tanggung jawab mutlak pada klausula
baku sendiri masih bersifat umum, berikut beberapa ayat Al-Qur‟an dan Hadist yang dijadikan landasan hukum Islam mengenai tanggung jawab
mutlak pada klausula baku.
1. Landasan Al-Qur‟an
a. Surat Al An‟am 164
ر ُُُُِِْ ََْ ر ُُْكَِّر ر رَلِإ راُثُ رىَْ خُأ رَر زِو رٌةَرِزاَو رُرِزَت ر َلََو راَه يَلَع ر الَِإ رٍس فَ ن رُّلُك رُبِس َُت ر َلَ
رَو
رَنوُفِلَت َتَ رِهيِف ر ُْت نُك راَِبِ ر ُُُْئكبَنُ يَ ف
Artinya: “Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkankemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang
kamu perselisihkan.”
Maksudnya perbuatan yang dilakukan seseorang akan kembali kepada
diri mereka masing-masing, dan juga seseorang tidak akan memikul atau
menanggung dosa dari perbuatan yang dilakukan oleh orang lain. hadist ini
tanggung jawab mutlak, yang pada prinsipnya tanggungjawab dalam Islam
itu berdasarkan atas perbuatan individu saja.
b. An-Nisa Ayat 29
ر نَأ ر الَِإ ر ِلِطاَب لاِِّ ر َُُْن يَ ِّ ر َُُْلاَو ََأ راوُلُك أَت ر َلَ راوُنََآ رَنيِذالا راَهُّ يَأ راَي
ر رَهاللا رانِإ ر
ۚ
ر َُُْسُف نَأ راوُلُ ت قَ ت ر َلََو ر
ۚ
ر ُُْ نَِ ر ٍضاََْ ت ر نَع رًةَراَِتِ رَنوَُُت
اًمي ِحَر ر ُُِِّْ رَناَك
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu”
Dalam Islam, kerugian atau bahaya fisik yang diderita oleh konsumen
karena cacat produk atau penipuan adalah perbuatan yang tidak dibenarkan,
oleh karena itu pelaku usaha/produsen harus bertanggung jawab atas
perbuatannya itu. Tanggungjawab jika dihubungkan dengan penyebabadanya
ganti rugi (dhaman) dapat dibedakan menjadi lima, yaitu (Muhammad &
Alimin, 2014:235-239):
1) Ganti Rugi Karena Perusakan (Dha-man Itlaf) adalah ganti rugi akibat
dari perusakan barang. Ganti rugi itlaf tidak hanya berhubungan dengan
kerusakan harta benda saja, tetapi juga menyangkut jiwa dan anggota
2) Ganti Rugi Karena Transaksi (Dhaman „Aqdin) adalah terjadinya suatu
aqad atau transaksi sebagai penyebab adanya ganti rugi atau tanggung
jawab;
3) Ganti Rugi Karena Perbuatan (Dhaman Wadh‟u Yadin) adalah ganti rugi
akibat dari kerusakan barang yang masih berada di tangan penjual apabila
barang belum diserahkan dalam sebuah aqad yang sah dan ganti rugi
karena perbuatan mengambil harta orang lain tanpa izin;
4) Ganti Rugi Karena Penahanan (Dhaman al-Hailulah) adalah ganti rugi
pada jasa penitipan barang (alwadi) jika terjadi kerusakan atau hilang,
baik kerusakan atau hilangnya itu disebabkan karena kelalaian atau
kesengajaan orang yang dititipi.
5) Ganti Rugi Karena Tipu daya (Dhaman al-Maghrur) adalah ganti rugi akibat
tipu daya. Dhaman al-maghrur sangat efektif diterapkan dalam perlindungan
konsumen, karena segala bentuk perbuatan yang dapat merugikan orang lain
pelakunya harus membayar ganti rugi sebagai akibat dari perbuatannya itu.
5. Landasan Hadist
Nabi Muhammad SAW telah melarang adanya penipuan dalam jual
beli, dan juga melarang jual beli mulamasah dan munaba-dzah, seperti yang
رَنيِد رِن ِّ رِهاللا رِد بَع ر نَع رٌكِلاََ راَنََْ ب خَأ رَفُسوُي رُن ِّ رِهاللا رُد بَع راَنَ ثادَح
رَيِضَر رََْمُع رِن ِّ رِهاللا رِد بَع ر نَع رٍرا
ر َلاَقَ ف رِعوُيُ ب لا ر ِفِ رُعَد ُيُ رُهانَأ رَْالَسَو رِه يَلَع رُهاللا رىالَص ركِبِانلِل رََْكَذ ر ًلًَُِر رانَأ راَمُه نَع رُهاللا
رَت َُ ياَِّ راَذِإ
رَةَِّ َلًِخ ر َلَ ر لُقَ ف
Jika kamu berjual beli katakanlah Maaf, namun jangan ada penipuan.
[HR. Bukhari No.1974].
Telah menceritakan kepada kami ['Abdullah bin Yusuf] telah mengabarkan kepada kami [Malik] dari ['Abdullah bin Dinar] dari ['Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhu] bahwa ada seorang laki-laki menceritakan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwa dia tertipu dalam berjual beli. Maka Beliau bersabda: "Jika kamu berjual beli katakanlah "Maaf, namun jangan ada penipuan".
رِع يَ ب لا ر ِفِ رِةَذَِّاَنُم لاَو رِةَسَََلًُم لا رِنَع رَْالَسَو رِه يَلَع رُللها رىالَص رُِّبِانلا رىَهَ ن
“Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam melarang mulamasah dan munaba
-dzah dalam jual beli.”
Adapun maksud dari mulamasah yaitu seseorang berkata, “apabila
engkau menyentuh pakaianku atau aku menyentuh pakaianmu, maka wajib
dijual. Ada juga yang mengatakan menyetentuh barang dengan mata tertutup
kemudian apa yang tersentuh wajib dijual.” Sedangkan munabadzah yaitu dua
orang menjadikan lemparan sebagai tanda jadi jual beli tanpa ada transaksi
lisan (tawar menawar) (Baqi, 2010:437).
Salah satu hak konsumen dalam Islam adalah hak untuk memilih yang
ruang yang cukup luas bagi konsumen dan produsen untuk mempertahankan
hak-hak mereka dalam perdagangan apakah melanjutkan aqad/ transaksi
bisnis atau tidak. Para ulama‟ membagi hak khiyar menjadi tujuh macam
yaitu:
1. Khiyar Majlis adalah hak untuk memilih melanjutkan atau
membatalkan transaksi bisnis selama masih berada dalam satu
tempat (majlis) (Al-Jaziri, 2001:41).
2. Khiyar Syarath adalah hak untuk memilih melanjutkan atau
membatalkan transaksi bisnis sesuai dengan waktu yang disepakati
atau syarat yeng telah ditetapkan bersama.
3. Khiyar Aibi adalah hak untuk membatalkan transaksi bisnis apabila
obyek transaksi cacat sekalipun tidak ada perjanjian sebelumnya.
Cacat yang dapat dijadikan alasan untuk mengembalikan barang
adalah cacat yang dapat menyebabkan turunnya harga.
4. Khiyar Tadlis terjadi jika penjual mengelabui pembeli. Dalam hal
ini pembeli memiliki hak Khiyar selama tiga hari (As-Sabatin,
2009:312).
5. Khiyar Ru‟yah adalah hak pilih untuk melanjutkan atau
membatalkan transaksi bisnis yang dilakukan terhadap suatu objek
yang belum dilihat pada saat transaksi dilaksanakan. Untuk sahnya
dengan jelas oleh penjual dan pembeli. Maka tidak sah menjual
atau membeli sesuatu yang tidak jelas, karena hal itu akan
mendatangkan perselisihan.
6. Khiyar Al-Ghabn Al-Fahisy (khiyar al-murtarsil) jika penjual dan
pembeli merasa ditipu maka ia memiliki hak khiyar untuk menarik
diri dari transaksi jual beli/bisnis dan membatalkan transaksi
tersebut. Khiyar jenis ini pada suatu saat bisa menjadi hak penjual
dan pada saat yang lain bisa juga menjadi hak pembeli.
7. Khiyar Ta‟yin adalah memberikan hak kepada pembeli untuk
memilih barang yang dia inginkan dari sejumlah atau kumpulan
barang yang dijual kendatipun barang tersebut berbeda harganya,
sehingga konsumen dapat menentukan barang yang dia kehendaki
(Al-Jaziri, 2001:316).
Dalam hukum Islam kewajiban-kewajiban konsumen tidak dijelaskan
secara spesifik, namun demikian sebagai bentukkeseimbangan dan keadilan
penulis dapat menjelaskannya sebagai berikut;
1. Beritikad baik dalam melakukan transaksi barang dan/atau jasa;
2. Mencari informasi dalam berbagai aspek dari suatu barang
dan/atau jasa yang akan dibeli atau digunakan;
3. Membayar sesuai dengan harga atau nilai yang telah disepakati dan
dilandasi rasa saling rela merelakan (taradhin), yang terealisasi
4. Mengikuti prosedur penyelesaian sengketa yang terkait dengan
perlindungan konsumen.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen selain memberikan hak
kepada konsumen, konsumen juga dibebani dengan kewajiban-kewajiban
yang harus dipenuhi sebagaimana diatur pada Pasal 5, yaitu :
1. Membaca dan mengikuti informasi dan prosedur pemakaian atau
pemeliharaan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan
keselamatan;
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang
dan/atau jasa;
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
4. Mengikuti upaya penyelesaian hokum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
Kewajiban-kewajiban konsumen seperti yang diatur pada Pasal 5 tidak
dijelaskan secara spesifik dalam hukum Islam, tetapi bila melihat tujuan
pengaturan itu untuk kemaslahatan konsumen dan pelaku usaha, maka
pengaturan itu sesuai dengan hokum Islam dan maqashid al syari‟ah, yaitu
untuk mewujudkan mashlahah (kebaikan). Sedangkan dalam undang-undang
perlindungan konsumen, ketentuan mengenai klausula baku ini diatur dalam
satu pasal, yaitu pasal 18. Pasal 18 tersebut secara prinsip mengatur dua
macam larangan yang diberlakuakan bagi para pelaku usaha yang membuat
perjanjian baku dan/atau mencantumkan klausula baku dalam perjanjian yang
dibuat olehnya (Widjaja&Yani, 2000:54).
Dalam ketentuan pasal 18 ayat 1 dikatakan bahwa para pelaku usaha
dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada
setiap dokumen dan/atau perjanjian dimana klausula baku tersebut akan
mengakibatkan:
1. Pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
2. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali barang yang dibeli konsumen;
3. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang
dibeli oleh konsumen;
4. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha
baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan
segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli
oleh konsumen secara angsuran;
5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa
atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek
jual beli jasa;
7. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa
aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan
yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen
memanfaatkan jasa yang dibelinya;
8. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku
usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak
jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran.
Selanjutnya dalam pasal 18 ayat 2 dijelaskan bahwa Pelaku usaha
dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit
terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti.
Jadi sebagai konsekuensi atas pelanggaran terhadap ketentuan
pasal 18 ayat 1 dan 2, maka setiap ketentuan klausula baku yang telah
ditetapkan dalam bentuk dokumen atau perjanjian oleh pelaku usaha
Atas kebatalan demi hukum dari klausula sebagaimana disebutkan
dalam pasal 3, maka pada pasal 4 undang-undang tentang
perlindungan konsumen selanjutnya mewajibkan para pelaku usaha
untuk menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan
undang-undang tentang perlindungan konsumen ini.
Jadi pada prinsipnya undang-undang perlindungan konsumen tidak
melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian baku yang memuat
klausula baku atas setiap dokumen dan/atau perjanjian transaksi usaha
perdagangan barang/jasa, selama klausula tersebut tidak
mencantumkan ketentuan yang dilarang dalam pasal 18 ayat 1, dan
tidak berbentuk sebagaimana dilarang dalam pasal 2 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen.
F. Tujuan dan Asas Undang-Undang No. 08 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen
Dalam Pasal 1 Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, disebutkan "segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen" maksudnya
kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen itu
antara lain adalah dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen serta
menumbuh-kembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan
bertanggungjawab.
Sedangkan dalam Pasal 3 disebutkan mengenai tujuan dari perlindungan
konsumen yang dibagi dalam tiga bagian utama yaitu :
a) Memberdayakan konsumen dalam memilih, menentukan barang
dan/atau jasa kebutuhannya dan menuntut hak-haknya.
b) Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang memuat
unsur-unsur kepastian hukum, keterbukaan informasi dan akses untuk
mendapatkan informasi itu.
c) Menumbuhkan kesadaran pelaku perlindungan konsumen sehingga
bertanggung jawab.
Usaha mengenai pentingnya tumbuh sikap jujur dan perlindungan
konsumen yang dijamin undang-undang ini adalah adanya kepastian
hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen, kepastian
hukum itu meliputi segala upaya berdasarkan hukum untuk
memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya
atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau
membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha
penyedia kebutuhan konsumen tersebut.
Pemberdayaan konsumen itu adalah dengan meningkatkan
sehingga mampu mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan
menghindari berbagai ekses negatif pemakaian, penggunaan dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa kebutuhannya.
Di samping itu, juga kemudahan dalam proses menjalankan perkara
sengketa konsumen yang timbul karena kerugian harta bendanya,
kesehatan, keselamatan tubuh atau keamanan/kehilangan jiwa konsumen
dalam pemakaian, penggunaan dan/atau pemanfaatan produk konsumen.
Karena sebelum adanya undang-undang ini, konsumen umumnya
lemah dalam bidang ekonomi, pendidikan dan daya tawar, oleh karena
itu sangat dibutuhkan adanya undang-undang yang melindungi
kepentingan-kepentingan konsumen yang selama ini terabaikan.
Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 ditetapkan beberapa
asas yang mengayomi serta memberikan perlindungan baik kepada
pelaku usaha maupun konsumen. Asas-asas dalam undang-undang
perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama
berdasarkan 5 asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu :
1. Asas Manfaat
Maksudnya adalah untuk mengamankan bahwa segala upaya
dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen memberikan manfaat
keseluruhan. Menyimak asas di atas dapat dimaknai pembentuk
undang-undang tentang perlindungan konsumen ternyata sependapat dengan teori
Jeremy Betham melalui penganalogian yang mengajarkan bahwa
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi konsumen dan pelaku usaha
secara keseluruhan adalah memberikan juga kebahagiaan yang terbesar
untuk jumlah yang terbanyak sebagaimana tujuan hukum yang
dikemukakannya.
2. Asas Keadilan
Dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan
secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku
usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara
adil. Keadilan artinya memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi
bagian atau haknya. Asas keadilan yang dianut oleh pembentuk
undang-undang tentang perlindungan konsumen ini adalah justifikasi dari apa yang
diperkenalkan oleh Aristoteles melalui teori etis yang maknanya bahwa
keadilan jangan dipandang sebagai penyamarataan melainkan bukan
penyamarataan yang kemudian dalam teorinya dijabarkan lebih lanjut
3. Asas Keseimbangan
Maksudnya untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan
konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil maupun
spiritual. Pengembang yang sudah mempunyai kemampuan ekonomi jauh
lebih besar serta mempunyai posisi tawar yang dominan sudah seharusnya
memperhatikan posisi tawar yang lemah dari pembeli.
Asas keseimbangan dapat diproyeksikan lebih ke bawah lagi
sehingga dapat dikemukakan asas yang lebih rinci yaitu, asas perlindungan
konsumen yaitu asas untuk melindungi konsumen terhadap mutu produk
barang/jasa dari produsen yang tidak tanggung jawab misalnya
membahayakan kesehatan, mutu di bawah standar, penipuan atau pemaksaan
kehendak karena secara ekonomis produsen lebih kuat. Asas kebebasan
berkontrak yang merupakan salah satu hak asasi yang perlu ditegakkan agar
tidak terjadi pemaksaan dari pihak yang satu terhadap pihak yang lain yang
terutama sekali produsen tertentu kepada konsumen. Asas perlindungan
terhadap kepentingan publik/umum yaitu masyarakat umum yang awam
dalam hukum perlu dilindungi terhadap itikad buruk pelaku usaha umumnya
atau produsen khususnya, sehingga perlu adanya syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh perusahaan yang akan menawarkan produknya kepada
masyarakat. Melalui asas keseimbangan ini undang-undang perlindungan