• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

B. Problem

Problem-problem dalam proses resosialisasi menuntut adanya proses pembelajaran dari nilai, kebiasaan, dan sikap yang lama menjadi yang baru. Menurut J.P. Chaplin (2002: 387) dalam Kamus lengkap Psikologi, problem didefinisikan sebagai sebarang situasi yang mengandung sifat khusus yang tidak diketahui atau yang baru untuk diketahui secara pasti. Sifat khusus yang tidak diketahui dapat dikatakan sebagai suatu permasalahan. Ini semua terlihat dalam definisi bahwa problem adalah segala sesuatu permasalahan yang membutuhkan suatu jawaban dan keputusan ataupun penyelesaian ( Neumeyer 1953:20).

Konflik melibatkan adanya tindakan atau cara tertentu untuk mengatasinya (Pruitt dan Rubin 1986:4). Konflik dan problem memiliki sifat yang sama yaitu membutuhkan adanya suatu penyelesaian. Jadi dapat dikatakan bahwa konflik merupakan bagian dari problem.

1. Konflik

Pruitt dan Rubin (1986:28-39) menjelaskan konflik sebagai perbedaan persepsi kepentingan. Pruit dan Rubin menambahkan pula bahwa kepentingan dapat diartikan sebagai nilai-nilai atau kebutuhan-kebutuhan.

Pruitt dan Rubin (1984:148) menambahkan bahwa konflik merupakan suatu yang bersifat abnormal karena yang normal berupa keselarasan. Konflik dianggap sebagai gangguan akan kestabilitasan sehingga perlu dilakukan penanganan sesegera mungkin apapun penyebabnya.

Budiharjo (1992:65) mengemukakan pendapat bahwa konflik merupakan keadaan yang terjadi karena dua bentuk keinginan atau lebih secara acak memiliki kekuatan yang sama dan saling berlawanan. Konflik yang terjadi dapat bersumber dari tuntutan yang terjadi dalam diri sendiri dan juga berasal dari norma-norma yang terjadi di masyarakat. Kedua hal ini dapat muncul bersamaan. Hal ini membuat seseorang di dalam konflik harus memilih salah satu dari yang muncul bersamaan.

Pruitt dan Rubin (1986:28-39) mendefinisikan konflik dalam dua hal. Kedua hal itu adalah:

a. Konflik merupakan suatu yang bersifat abnormal karena yang

akan kestabilitasan sehingga perlu dilakukan penanganan sesegera mungkin apapun penyebabnya.

b. Konflik sebagai suatu perbedaan atau kesalahpahaman. Terjadinya

sebuah konflik dikarenakan kegagalan dalam berkomunikasi. Adanya konflik hanya dapat dimengerti dan dipahami oleh orang yang bersangkutan. Konflik dalam artian ini tidak dapat dipahami maksud dan keinginan dari orang yang mengajak berkomunikasi (orang yang mengalami konflik).

Pada dasarnya konflik terjadi karena perbedaan pandangan terhadap suatu hal mengenai suatu kepentingan, kebutuhan dan tuntutan, saat masing-masing tuntutan memiliki kekuatan yang sama untuk mencapai sebuah pemenuhan dari tuntutan-tuntutan yang berbeda tersebut.

2. Komponen-Komponen Konflik

Reaksi dalam menanggapi konflik memunculkan berbagai bentuk respon. Bentuk-bentuk respon dapat berbentuk emosi-emosi yang tinggi yang dapat menimbulkan perilaku tidak beralasan dan terkadang pemikiran-pemikiran yang tidak logis. Ungkapan perasaan pun muncul sebagai sentimen-sentimen terhadap lawan konfliknya (Winardi 1994:25). Inilah yang dimaksud sebagai komponen-komponen konflik. Komponen-komponen-komponen yang dimaksud dapat dikategorikan menjadi 3, yaitu: komponen kognitif, komponen emosional, komponen perilaku. Definisi dari setiap komponen yang dimaksud adalah sebagai berikut:

Komponen kognitif berupa pemikiran-pemikiran bersifat positif maupun negatif, keyakinan, harapan-harapan yang bisa merubah. (Huffman 1997:386), persepsi-persepsi, nilai-nilai. Ada yang secara lebih matang mengolah konflik dengan pemikiran-pemikiran jernih. Orang yang mengolah dengan pemikiran jernih berusaha menempatkan diri ke dalam perspektif yang tepat dengan masalahnya (Winardi 1994:26). Sebagian orang lainnya yang tidak mampu mengolahnya secara baik menjadikan frustrasi dan strees

b. Komponen emosional

Komponen emosional yang dimaksud adalah berbagai perasaan-perasaan yang muncul dalam menghadapi konflik. Perasaan tersebut dapat berbentuk ungkapan kemarahan, ketakutan, sedang merasa cemas, kebingungan, bimbang atau bahkan menjadi sangat gembira (Winardi 1994:25). Keadaan emosional dapat terlihat melalui ungkapan yang muncul secara verbal maupun non verbal. Ungkapan verbal adalah keadaan perasaan tidak ditutupi dan disampaikan secara secara spontan. Keadaan emosi yang terungkap melalui perubahan fisik (fisiologis) adalah ungkapan emosi yang disampaikan secara non verbal. Misalnya kemarahan akan memunculkan perubahan fisik seperti warna mata menjadi merah serta keruh, wajah menjadi dingin, detak jatung meningkat, nafas menjadi cepat, dan suara menjadi berat (Huffman 1997:386)

c. Komponen prilaku

Bila seseorang mengalami konflik maka akan langsung terlihat dalam sikap dan perilakunya. Seseorang akan menjadi agresif atau cenderung berdiam diri. Reaksinya sikap bermusuhan, agresi dan penyerangan secara verbal atau fisikal; ataupun reaksinya beralih yang lain yang menarik diri, bungkam seribu bahasa. Reaksi-reaksi perilaku yang muncul dan timbul dalam menghadapi konflik dapat dipengaruhi perasaan saat berkonflik (Winardi 1994:25). Misalnya, orang yang cenderung berperilaku menarik diri dan bungkam atau cenderung pasif menghadapi konflik bisa saja perilaku tersebut karena dipengaruhi perasaan takut atau cemas. Semakin kompleks konfliknya, maka kecenderungan perilaku seseorang semakin dipengaruhi emosi semakin tampak dalam setiap tindakannya (Winardi 1994:24-25).

Hardjana (1994:62) mengemukakan bahwa perlu adanya sikap-sikap yang positif dalam mengolah konflik. Sikap-sikap positif tersebut, seperti: pandangan yang sehat, perasaan positif, itikad yang baik untuk menyelesaikan konflik dan prilaku yang konstruktif.

a. Pandangan yang sehat

Dalam mengolah konflik orang atau pihak yang terlibat di dalam konflik harus memandang bahwa konflik yang terjadi bukan merupakan suatu malapetaka melainkan sebagai suatu tantangan.

Konflik yang terjadi bukan sebagai suatu yang jahat dan merugikan tetapi memandang bahwa konflik sebagai sebuah pengalaman yang positif sehingga tidak takut untuk menghadapi konflik.

c. Itikad yang baik

Sikap yang cenderung tidak memiliki itikad baik dan berencana buruk seperti merusak, menghancurkan, menyingkirkan, memusnahkan dapat berubah menjadi kecenderungan yang positif dengan memiliki niat untuk meperbaiki dan menjaga kebaikan, tidak terprovokass, dan berencana menciptakan kebahagian dan kemajuan bersama.

d. Perilaku konstruktif

Orang yang terlibat konflik cenderung berusaha membangun, membentuk dan memelihara hubungan baik. Orang yang terlibat konflik cenderung tidak mengambil tindakan yang semakin merusak kepentingan dan mempertahankan hubungan baik yang telah terjalin. 3. Jenis-Jenis Konflik

Winardi (1994) mengungkapkan bahwa jenis konflik dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu konflik peran, konflik organisasi, dan konflik antar pribadi. Jenis-jenis konflik adalah sebagai berikut:

a. Konflik Intrapersonal

Konflik yang terjadi karena ketidakkonsistenan seseorang. Menurut Winardi (1994) bahwa keyakinan yang selalu berubah-ubah akan membuat resah individu itu sendiri. Hal tersebut membuat konflik timbul karena munculnya banyak beban peran dan ketidakmampuan seseorang

mengambil peran tersebut akibat terlalu banyaknya tanggung jawab. Resksohardiprojo (2001:228-229) juga menyatakan konflik peran (personal konflik) terjadi karena diri seseorang tidak dapat memenuhi tuntutan dirinya berkaitan status sosial. Konflik intrapersonal juga terjadi karena adanya konflik nilai (Hardjana, 1994:36), dimana seseorang memandang suatu nilai tertentu memiliki kapasitas yang tinggi dan di sisi lain pada saat yang bersamaan harus menangani sesuatu yang juga memiliki nilai tinggi juga. Hal ini menimbulkan bentrokan dua nilai yang tinggi dari bidang tertentu. Konflik peran dapat disimpulkan konflik peran, dimana terdapat ketidak konsistenan elemen-elemen kognitif, bentrokkan dua nilai yang memerlukan sebuah keputusan yang cepat dan tepat, dan juga konflik bagaimana dapat memenuhi peran dirinya di lingkungan sosial.

b. Konflik Organisasi

Konflik prilaku antar kelompok-kelompok dalam organisasi. Kelompok yang satu menunjukkan ‘keakuan kelompok’ dan membandingkan kelompok lain yang dianggap sebagai pengganggu. Winardi (1994:4) mengungkapkan idenya bahwa konflik yang terjadi dalam organisasi terdiri dari dua hal, yaitu:

1. Konflik Substantif. Konflik ini meliputi ketidaksesuaian atau

kesalahpahaman tentang hal-hal yang terkait dengan kegiatan dalam organisasi. Kegiatan-kegiatan dalam organisasi tersebut

seperti pengalokasian sumber daya, distribusi imbalan, kebijaksanaan serta prosedur.

2. Konflik emosional. Konflik ini timbul karena adanya perasaan

marah, ketidakpercayaan, ketidaksenangan, takut, sikap menentang.

c. Konflik Antar Pribadi (Interpersonal).

Konflik yang terjadi antara individu yang satu dengan yang lain. Konflik ini terjadi antara dua orang atau lebih yang memiliki kepentingan sama tetapi memiliki cara pandang yang berbeda untuk memenuhi keperntingan tersebut. Konflik ini dapat juga berarti terjadi karena kesalahpahaman antar individu dalam menanggapi sesuatu. Konflik yang terjadi antara individu yang satu dengan yang lain. Konflik antar pribadi dapat terjadi antara individu dengan rekan-rekan bermain, bekerja atau seprofesi, bahkan anggota keluarga. (Reksohadiprojo, 2001:237).

Konflik pribadi, konflik organisasi dan konflik antar pribadi merupakan jenis-jenis konflik yang dapat terjadi. Konflik pribadi merupakan konflik yang terjadi karena adanya dua atau tiga bahkan lebih keinginan yang muncul secara bersamaan dan harus menentukan dan memutuskan salah satu di antaranya. Konflik organisasi timbul karena adanya pertentangan yang melibatkan suatu pihak dengan kelompok lain, yang mengakibatkan ketidakcocokkan pada kedua kelompok tersebut. Konflik antara pribadi terjadi antara dua orang atau lebih yang sama-sama memiliki kepentingan, yang dapat memberikan akibat atau dampak positif bahkan negatif bagi individu, antar individu yang berkonflik.

Dokumen terkait