• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV KETIDAKEFEKTIFAN IWC DALAM MENANGANI KASUS

B. Problem Solving Capacity

Efektivitas rezim adalah fungsi dari dua variable independen yang utama, yaitu, character of the problem dan apa yang disebut problem solving capacity. Struktur problem dan problem solving capacity tidak dapat dilihat sebagai factor independen

7 Sombre,Elizabeth (2007). “Whaling and Whale Conservation” dalam The Global Environmentand

yang saling menguntungkan. Kapasitas adalah kemampuan melakukan sesuatu. Dibawah level generalisasi khusus, apa yang disebut problem solving capacity hanya dapat ditentukan dengan merujuk pada kategori problem atau tugas tertentu. Karena itu skill problem solving dan perangkat institusi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah yang benign sangat berbeda dari yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah yang berkarakter malign.

Problem Solving Capacity dipengaruhi oleh tiga unsur yaitu Institusional Setting, Distribution of Power, Skills and Energy. Ketiganya terkait apabila satu solusi dihasilkan. Underdal berargumen bahwa permasalahan dapat diatasi dengan efektif apabila ditangani oleh lembaga atau sistem dengan power yang kuat serta didukung adanya ketrampilan atau skill dan energi yang memadai. Apabila satu solusi dihasilkan melalui keputusan kolektif, maka problem solving capacity bisa dipahami sebagai fungsi saling terkait yang terdiri dari tiga unsur, yaitu:

1. Seting kelembagaan (institutional setting)

Institusional Setting yaitu kemampuan institusional yang kuat dalam mengontrol anggotanya. Penulis melihat Institutional setting yang lemah pada IWC. Keanggotaan IWC bersifat terbuka bagi setiap negara yang ingin terlibat tanpa syarat

tertentu. Selain itu IWC pada awalnya dibentuk dengan dasar perjanjian yaitu ICRW (International Convention for the Regulation of Whaling). Maka sebagai IGO, legitimasi IWC hanya bergantung pada ratifikasi negara-negara terhadap perjanjian internasional yang telah disepakati. Dalam IWC juga sering terjadi kesimpangsiuran mengenai hak dan kewajiban negara anggotanya. Salah satu contohnya adalah dalam pembukaan ICRW yang menyatakan “Having decided to conclude a convention to provide for the proper conservation of whale stocks and thus make possible the orderly

development of the whaling industry”. Hal ini menimbulkan interpretasi berbeda bagi anggota yakni fokus pada konservasi atau pada pengembangan industry paus.

2. Distribusi kekuasaan (distribution of power)

Pembagian power diantara aktor yang terlibat. Jika ada pembagian kekuasaan yang adil, dimana terdapat pihak dominan yang dapat bertindak sebagai leader namun tidak cukup kuat untuk mengabaikan peraturan, dan juga ada pihak minoritas yang cukup kuat untuk mengontrol pihak dominan. Dan salah satu memegang power lebih besar daripada kubu yang lain. Kubu pro-whaling menjadi pengaruh dalam IWC paling besar dalam menjalankan roda organisasi. Dalam kasus pembunuhan lumba-lumba di Taiji, Jepang sebagai negara pelaku maslah tersebut dapat memainkan powernya

dengan baik di dalam IWC. Jepang berusaha mempertahankan tiga kepentingan mereka dalam isu whaling, yaitu: Melanjutkan penangkpan paus dalam kebijakan scientific whaling, menekan IWC untuk memberikan masyarakat pesisir Jepang mendapatkan

hak penangkapan aboriginal, mengangkat pelarangn whaling komersial.8

Untuk mencapai kepentingan tersebut, Jepang hraus bergerak di tataran

organisasi internasional. Berkaitan dengan scientific whaling, peraturan mengenai

pembolehan penelitian ilmiah ICRW pada artikel IV dan VIII menyatakan mengenai pengumpulan, penggunaan, dan penyebaran informasi ilmiah berkaitan dengan paus dan populasinya. Artikel IV berisi mengenai tujuan dari penelitian berkaitan dengan paus dalam IWC.

“1. The Commission may either in collaboration with or through independent agencies

of the Contracting Governments or other public and private agencies, establishments, or organizations, or independently

(a) encourage, recommend, or if necessary, organize studies and investigations relating to whales and whaling;

(b) collect and analyze statistical information concerning the current condition and trend of the whale stocks and the effects of whaling

8 Keiko Hirata, “Japan's Whaling Politics” dalam Itoh, Hiroshi, ed. The impact of globalization on

Japan's public policy: How The Government Is Reshaping Japan's Role In The World (NewYork:

thereon;

(c) study, appraise, and disseminate information concerning methods of maintaining and increasing the populations of whale stocks. 9

Selanjutnya artikel VIII menyatakan mengenai pembolehan pembunuhan paus untuk tujuan ilmiah. Lebih lanjut, paus yang menjadi objek penelitian tersebut jika sudah selesai penelitian dapat dimanfaatkan sesuai keputusan pemerintah negara yang diberikan izin tersebut.

1. Notwithstanding anything contained in this Convention, any Contracting Government may grant to any of its nationals a special permit authorizing that national to kill, take, and treat whales for purposes of scientific research subject to such restrictions as to number and subject to such other conditions as the Contracting Government thinks fit, and the killing, taking, and treating of whales in accordance with the provisions of this Article shall be exempt from the operation of this Convention. Each Contracting Government shall report at once to the Commission all such authorizations which it has granted. Each Contracting Government may at any time revoke such special permit which it has grante10

2. Any whales taKen under these special permits shall so far as practicable be

9

Artikel IV ICRW

processed and the proceeds shall be dealt with in accordance with directions issued by the Government by which the permit was granted.11

Jepang meliht kedua dasar ini sebagai peluang untuk mengadakan kebijakan Scientific whaling sebagai upayanya tetap menangkap paus dalam jumlah yang banyak. IWC menjadi satu-satunya jalan bagi Jepang memperoleh hak penangkapan aboriginal serta legalisasi whaling komersial. Taiji yang masuk prefektur Wakayama merupakan salah satu wilayah pesisir yang diusulkan Jepang untuk mendapatkan hak whaling aboriginal pada tahun 1986. Terdapat 3 wilayah pesisir lainnya yang juga mendapatkan hak whaling aboriginal yaitu, bashiri (prefektur Hokkaido), Wada (prefektur Chiba) dan yukwa (prefektur Miyagi). Dengan begitu keempat wilayah ini mendapat hak menangkap aboriginal seperti halnya masyarakat Inuit, Alaska.

Untuk kepentingan ketiga, Jepang terus berusaha mengangkat pelarangan whaling komersial baik melalui IWC maupun melalui forum lain. Melalui IWC Jepang terus mengajukan proposal penarikan moratorium dalam forum resmi IWC. Tercatat pada tahun 2006 Selain itu Jepang berusaha membentuk forum diluar IWC seperti

Conference for the Normalization of the International Whaling Commission pada 2007. 3. Skill (keahlian) dan energy (kekuatan) yang tersedia bagi rezim

11 Aisyah, Miranti Puti. (2009). Motivasi Jepang Mnegeluarkan Scientific Whaling. Jakarta: Universitas Indonesia

Skill dan Energi untuk mencari solusi yang kooperatif, yang terdiri dari Instrumental leadership dan Epistemic Community. Semakin besar skill dan energy maka efektifitas rezim juga semakin meningkat. Pada masalah yang malign yang dihadapi oleh rezim, Instrumental leadership semakin dibutuhkan. Instrumental Leadership bisa muncul dari berbagai sumber,seperti mislnya perwakilan suatu negara, orgnisasi transnasional, dan juga dari jaringan informal. Dalam internal organisasi IWC, Instrumental Leadership memunculkan Jepang sebagai actor utama. Dengan masalah yang dinilai malign (rumit), Jepang tidak berhasil memimpin anggota IWC. Dia menggunakan perannya untuk menghegemoni IWC.

Sementara Epistemic Community bisa terdiri dari kelompok kerja, baik itu informal maupun non formal. Epistemic Community dalam IWC tidak mampu memberikan pengaruh signifikan untuk saat ini.

Keberhasilan kelompok epistemic Kelompok epistemik juga berperan dalam pembentukan kebijakan moratorium IWC. Dekade 1970an merupakan dekade dimana kaum epistemic. berusaha mengembangkan prosedur manajemen serta proses pengambilan data yang lebih akurat dalam isu whaling. Perdebatan muncul ketika menentukan batas kuota penangkapan paus yang memicu reaksi dari kelompok epistemik itu sendiri sektor industri, dan pemerintah . Perdebatan tersebut memuncak dengan munculnya pendekatan preservasionis. Pendekatan preservasionis menyatakan bahwa isu whaling merupakan isu nilai. Preservasi paus bukan didasarkan pada

populasi yang masih dalam batas aman perburuan atau tidak, tapi pada ketidaketisan perburuan paus itu sendiri. Namun hal tersebut tidak berlaku di decade terkhir. Seiring mengutnya peran Jepang dalam tata organisasi IWC, semakin kuat juga poros pro-whaling dalam internal IWC. Bahkan ,Walaupun tidak mencapai tiga perempat suara, pada 2006 dalam forum IWC, negara poros pro-whaling mendapatkan suara 33 banding 32 untuk penarikan moratorium IWC. Untuk pertama kalinya dalam sejarah IWC negara poros pro-whaling berhasil mendominasi pemungutan suara di IWC.

Dokumen terkait