KETIDAKEFEKTIFAN PERAN IWC (INTERNATIONAL WHALING
COMMISION) DALAM UPAYA PENYELAMATAN LUMBA-LUMBA
DI TAIJI, JEPANG
SKRIPSI
Disusun untuk memenuhi persyaratan gelar
Sarjana Strata I pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Disusun Oleh :
BAGAS REZA MURTI
20120510014
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
KETIDAKEFEKTIFAN PERAN IWC (INTERNATIONAL WHALING
COMMISION) DALAM UPAYA PENYELAMATAN LUMBA-LUMBA DI
TAIJI, JEPANG
SKRIPSI
Disusun Guna Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Pada Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Disusun Oleh :
BAGAS REZA MURTI
20120510014
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ILMIAH
Dengan ini saya menyatakan bahwa Karya Ilmiah/Skripsi ini adalah asli hasil karya sendiri
dan karya ilmiah ini belum pernah diajukan sebagai pemenuhan untuk gelar Sarjana Strata Satu
(S1) maupun Magister (S2) dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Maupun Perguruan
Tinggi lain.
Semua Informasi yang dimuat dalam karya ilmiah ini berasal dari penulis lain baik
dipublikasi atau tidak, telah diberikan penghargaan dengan mengutip nama sumber penulis secara
benar dan semua isi dari Karya Ilmiah/Skripsi ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
Pernyataan ini saya buat dengan sungguh-sungguh dan apabila di kemudian hari terdapat
ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya selaku penulis bersedia menerima sanksi
akademik sesuai dengan aturan yang berlaku di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Yogyakarta, 21 Desember 2016
Penulis
Halaman Motto
͆
SETIA PADA CITA-CITA, PERCAYA PADA PROSES
͇
(Motto Marching Band Gita Surosowan Banten)
When you walk through a storm, hol”
your head up high
And don't be afraid of the dark
At the end of the storm, there's a golden sky
An” the sweet, silver song of a lark
(You’ll Never Walk Alone lyri“
-
Liverpool Supporter’s song)
Expect The Best
Be Prepared For The Worst
F*ck with Others Think
Do Your Own Things
(Me)
I can’t stay here while all the other people are fighting for me. I need to serve.
I
have the energy to be a medic.”
Halaman Persembahan
Karya Tulis ini Penulis persembahkan kepada
“Keluarga Tercinta”
Terima Kasih tak terhingga bagi kedua orang tua ku
Bapak Priyo Setyono Pudji dan Ibu Puji Hastuti, S.Pd
Terima kasih telah membesarkanku, mendidikku, dan mengajariku semua hal, Semoga kalian
sehat selalu dan selalu dalam lindungan Allah SWT.
Untuk Kakakku tercinta Ardina Pradhitamurti, S,Pd dan suami Bramansyah
Arifandana, S,Pd
Dan Keponakanku Rumaisha Shinra Valiandra (almh) dan Aiyana Maryam
Khafiyya
Adikku tersayang Citra Dhistia Murti
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Depan ... i
Halaman Judul ... ii
Halaman Pengesahan Dosen Pembimbing ... iii
Halaman Pernyataan Keaslian Ilmiah ... iv
Kata Pengantar ... v
Halaman Motto ... vii
Halaman Persembahan ... viii
Halaman Ucapan Terima Kasih ... ix
Daftar Isi ... xi
Daftar Gambar ... xiv
Daftar Tabel ... xv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 7
C. Kerangka Pemikiran... 7
D. Hipotesis ... 19
E. Tujuan Penelitian ... 19
F. Jangkauan Penelitian ... 20
G. Metodologi Penelitian ... 20
BAB II INTERNATIONAL WHALING COMMISION (IWC) ... 22
A. Sejarah Terbentuknya Industri Paus ... 22
B. Awal Terbentuknya International Whaling Commision (IWC) ... 24
C. Keorganisasian IWC ... 28
1. Komisi Keuangan dan Organisasi ... 29
2. Komite Ilmiah ... 31
3. Komisi Konservasi ... 37
4. Sub-komisi untuk Perburuan Masyarakat Lokal ... 38
5. Kelompok Kerja dalam Metode Pembunuhan Paus dan Isu Kesejahteraan ... 40
6. Negara Anggota IWC ... 41
D. Peran IWC di Dunia ... 44
BAB III KEGIATAN PENANGKAPAN LUMBA-LUMBA DI TAIJI,JEPANG ... 47
A.Sejarah Penangkapan Paus Sebagai Tradisi Jepang ... 47
B. Kegiatan Penangkapan Lumba-lumba di Taiji ... 57
1. Metode Penangkapan ... 58
2. Isu Kesehatan dan Kandungan Merkuri ... 61
3. Protes Aktivis ... 63
BAB IV KETIDAKEFEKTIFAN IWC DALAM MENANGANI KASUS PEMBUNUHAN LUMBA-LUMBA DI TAIJI JEPANG ... 69
A. Problem Malignancy ... 70
1. Incongruity ... 70
3. Cumulative Cleavages ... 81
B. Problem Solving Capacity ... 84
1. Institusional Setting ... 85
2. Distribution of Power ... 86
3. Skills and Energy ... 89
C. Level of Collaboration ... 90
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 94
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.1 Keluarga Cetacean ... 6
Gambar 2.1 Bagan Organisasi IWC... 28
Gambar 2.2 Bagan Komisi Keuangan dan Administrasi ... 29
Gambar 2.3 Bagan Komite Ilmiah ... 31
Gambar 2.4 Bagan Komisi Konservasi ... 37
Gambar 2.5 Bagan Sub-komisi Perburuan Masyarakat Lokal... 38
Gambar 2.6 Bagan Kelompok Kerja dalam Metode Pembunuhan Paus dan Isu Kesejahteraan ... 40
Gambar 3.1 Pembunuhan lumba-lumba di sebuah teluk di Taiji... 59
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Daftar Negara Anggota IWC ... 42
Tabel 3.1 Daftar spesies lumba-lumba yang dibunuh di Taiji ... 60
Tabel 4.1 Pendapatan dan Pengeluaran ICR (Institute of Cetacean Research),
ABSTRACT
IWC (International Whaling Commision) menjadi badan resmi yang ditunjuk PBB
dalam masalah perpausan (whaling) sesuai dengan konvensi ICRW (International
Convention for Regulation of Whaling) yang ditandantangani pada tahun 1931. Namun
perannya dipertanyakan ketika menghadapi pembunuhan ribuan lumba-lumba di Taiji,
Jepang. Lumba-lumba termasuk jenis small cetacean dimana termasuk dalam jenis cetacean
(paus) dalam IWC. IWC tidak mampu menghentikan kasus ini sehingga mengindikasikan
ketidakefektifan peran IWC. Penelitian ini akan menjelaskan factor yang mempengaruhi
ketidakefektifan IWC dalam menghentikan ribuan lumba-lumba di Taiji, Jepang dalam segi
keefektifan rezim yang ada di IWC. Dengan menggunakan studi pustaka dan analisis data,
kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian eksplanatif ini mendukung hipotesis bahwa
Ketidakefektifan rezim dalam IWC dipengaruhi oleh Problem Malignancy yang ada di
internal IWC dan Problem Solving Capacity yang dimiliki oleh IWC.
Kata Kunci : Ketidakefektifan Rezim, Whaling, International Whaling Commision (IWC),
ABSTRACK
IWC (International Whaling Commision)become a buraue pointed by United Nations to concern at Whaling affairs based on International Convention for Regulation of Whaling (ICRW) that signed in 1931. However, his roled was inquired when IWC face the slaughter of dolphins in Taiji, Japan. Dolphi s are i cluded i to s all cetacea fa ily. IWC ca ’t stop the case so that i dicates the inectivity of IWC. This study will explain the factors that influence inectivity of IWC on stopping the slaughter of Dolphins in Taiji, Japan in a rzim efectivity side. By using a literature study and data analysis, The conclusion obtained in this study support the hypothesis that The i ectivity of IWC’s rezim is influenced by Problem Malignancy and Problem Capacity in IWC.
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang MasalahPerubahan drastis beberapa unsur lingkungan hidup yang diakibatkan oleh
kegiatan manusia, organisasi-organisasi bisnis publik dan privat, serta
negara-negara, belakangan ini menjadi perhatian besar umat manusia dan negara-negara-negara,
serta menimbulkan reaksi keras kelompok tertentu, terutama kalangan ekolog.
Salah satu masalah lingkungan yang patut mendapat sorotan dewasa ini adalah
laju penurunan populasi dan kepunahan beberapa spesies.
Kepunahan berarti hilangnya keberadaan dari sebuah spesies atau
sekelompok takson1. Waktu kepunahan sebuah spesies ditandai dengan matinya
individu terakhir spesies tersebut. Suatu spesies dinamakan punah bila anggota
terkahir dari spesies ini mati. Kepunahan terjadi bila tidak ada lagi makhluk hidup
dari spesies tersebut yang dapat berkembang biak dan membentuk generasi. Suatu
spesies juga disebut fungsional punah bila beberapa anggotanya masih hidup
tetapi tidak mampu berkembang biak, misalnya karena sudah tua, atau hanya ada satu
jenis kelamin.
Dalam laporan studi yang dimuat di Science Advances Journal, terungkap
bahwa sebanyak 400 spesies vertebrata punah sejak tahun 1900. Jumlah itu
menandakan angka kepunahan yang meningkat hingga 100 kali lebih cepat dibanding
angka kepunahan sebelumnya. Kepunahan itu terjadi akibat kerusakan lingkungan
yang tak lain disebabkan oleh ulah manusia. Fakta-fakta yang mencengangkan pun
bermunculan. Kehidupan di bumi semakin mendekati status pemunahan
besar-besaran. Peneliti memprediksi bahwa dalam kurun waktu 500 tahun terakhir,
sebanyak 844 spesies (seperti kucing tasmania dan passenger pigeons—merpati
penumpang) telah punah tak bersisa, dan sebanyak 16.000 spesies lainnya terancam
punah2. Sebanyak dua pertiga dari total jumlah penyu (tujuh spesies penyu) di seluruh
dunia terancam punah seluruhnya pada 2025, sebanyak 50% dari total populasi kera
di Afrika telah mati, dan setengah dari jumlah marsupilami di dunia sedang dalam
status bahaya punah. Sebanyak 40% dari total flora dan fauna di Asia juga akan
punah dalam waktu cepat.
Beberapa upaya yang telah dilakukan untuk menyelamatkan spesies dari
kepunahan Antara lain dengan konservasi. Seperti spesies harimau sumatra di
Indonesia yang sejak tahun 1970an, CITES (Convention on International Trade In
Endangered Species) memasukkan hewan ini kedalam daftar Appendix I yaitu
kategori hewan yang sangat dilarang untuk diperdagangkan baik pada tingkat
nasional maupun internasional. Dalam rangka mendukung program konservasi satwa
harimau sumatera, kemudian dibentuk strategi konservasi Harimau Sumatera. Strategi
ini memiliki dua komponen yang berbeda yaitu : komponen in situ dan komponen ex
situ. Komponen in situ mengutamakan tanggung jawab atas perlindungan populasi
harimau Sumatera liar (di alam lepas) dan kelangsungan hidupnya serta ditambah
pula dengan pengembangan strategi dalam memelihara populasinya. Komponen ex
situ mengutamakan tanggung jawab dalam pengembangan populasi dari harimau
Sumatera yang ada di dalam kebun binatang (penangkaran) serta mengatur populasi,
penyakit dan kemurnian genetik dalam mengembalikan keutuhan dari populasi liar.
Selain itu untuk mendukung upaya konservasi upaya yang dilakukan yaitu
membentuk regulasi dan badan untuk mengawasi dan mengatur jumlah spesies
tersebut. Adapun badan yang berhak tersebut adalah IUCN (International Union/or
Conservation/Nature and Natural Resources) misalnya sebagai contoh dalam kasus
harimau Sumatra mengeluarkan perundang-undangan yang melarang pemusnahan
harimau di setiap negara yang memiliki habitat asli spesies harimau. Jadi upaya
konservasi yang dilakukan juga harus diimbangi dengan pengawasan oleh suatu
badan dan regulasi.
Salah satu spesies yang mengalami bahaya kepunahan di dunia adalah Ikan
Paus. Ikan Paus telah menjadi komoditi perekonomian yang sangat menguntungkan
sejak zaman dahulu3. Perburuan Paus sebagai industri dimulai di abad 11 ketika
orang-orang Basques memulai perburuan dan menjual produk yang berasal dari Paus
Atlantik Utara. Kemudian perburuan mereka diikuti oleh Bangsa Belanda dan Inggris,
dan kemudian oleh bangsa Amerika dan semakin lama bangsa-bangsa di dunia
mengikutinya.
Paus Punggung dan Paus Sperma kemudian menjadi target selanjutnya dari
perburuan, dengan minyaknya yang sangat berguna untuk penerangan dan listrik kala
itu.Di akhir abad 19 Industri perburuan paus telah berkembang ke kapal yang lebh
modern, dilengkapi berbagai persenjataan yang lebih canggih untuk menagkap paus.
Teknologi baru, ditambah dengan menipisnya paus di seluruh dunia, menyebabkan
penyebaran perburuan beralih ke Antartika, di mana ikan paus berkonsentrasi untuk
makan membuat skala besar penangkapan ikan paus yang sangat menguntungkan.
Perang Dunia Pertama menyediakan pasar yang besar untuk bahan peledak yang
menggunakan gliserin dari minyak paus balin. Hal ini menjadi fokus utama pemburu
paus Inggris dan Norwegia di Antartika. Sementara penangkapan ikan paus Jepang
telah berkembang secara terpisah sebagai industri pesisir, terutama untuk paus
bungkuk dan paus abu-abu.
Paus sebagai organisme di dalam laut memegang peranan penting dalam
ekosistem laut. Oleh karena itu kita seharusnya sadar akan bahaya kepunahan paus.
Menurut studi terbaru yang dimuat di jurnal Frontiers in Ecology and the
environment, paus justru memegang peran besar dalam ekosistem laut yang sehat.4
Peningkatan jumlah paus berbadan besar – paus biru, paus sperma, dan paus abu -
abu mengarah pada ekosistem samudra yang lebih sehat dan ikan yang lebih banyak.
Menurut ilmuwan, ketika paus makan dilaut dalam lantas kembali ke permukaan
untuk bernafas, mereka mencampur lapisan lapisan air di laut. Substansi di dalam
urine dan kotoran paus, terutama zat besi dan nitrogen, juga merupakan penyubur
efektif bagi plankton. Selain itu, ketika paus melahirkan di kedalaman, mereka
menyumbangkan nutrisi penting bagi perairan yang sering kali miskin sumber daya.
Bahkan, plasenta paus merupakan sumber makanan yang kaya bagi organism lain.
Banyak paus bermigrasi jarak jauh untuk kawin, dan selama itu mereka membawa
nutrisi – nutrisi tersebut bersama mereka.
Untuk melindungi paus dari ancaman kepunahan akibat perburuan, tahun 1946
dibentuklah International Convention of The Regulations of Whaling (ICRW) yang
kemudian menjadi dasar dibentuknya International Whaling Comission (IWC) .IWC
adalah Komisi Penangkapan Ikan Paus Internasional. (IWC) adalah badan global
yang dibentuk untuk tujuan konservasi ikan paus dan pengelolaan penangkapan ikan
paus. IWC saat ini memiliki 89 negara anggota dari negara-negara di seluruh dunia5.
IWC adalah organisasi internasional yang dibentuk dari International
Convention of The Regulations of Whaling (ICRW). Berbagai negara yang menjadi
anggota IWC membuat keputusan mereka melalui berbagai pertemuan dan komite,
menggunakan sekretariat IWC untuk membantu diskusi dan proses pengambilan
keputusan6. IWC memiliki empat komite utama yaitu Komite Scientific, Technical,
Keuangan dan Administrasi dan komite terbaru, Komite Konservasi yang diciptakan
pada tahun 2004. Sampai saat ini, IWC telah melaksanakan pertemuan setiap tahun,
tetapi sejak 2012 IWC mengadakan pertemuan setiap dua tahun. Pertemuan terakhir
dari IWC (ke-65) digelar di Slovenia, 2014.
Faktanya,walaupun sudah ada pihak resmi yang mengatur tentang perburuan
paus yaitu IWC, namun masih saja terdapat perburuan paus, salah satunya di Taiji
Jepang. Di Perairan Taiji setiap tahunnya pada bulan September hingga Maret,
5https://iwc.int/home
Ribuan Lumba-lumba diburu dan dibunuh untuk diambil dan dijual dagingnya7.
Setidaknya sekitar 20.000 lumba-lumba dan paus dibunuh setiap tahunnya di Jepang.
Hal ini bertepatan dengan migrasi tahunan yang dilakukan lumba-lumba ketika
melewati pantai Taiji pada bulan September hingga Maret. Lumba-lumba hidung
botol kerap diincar nelayan karena selain bisa dimakan dagingnya, bisa juga dijual ke
pertunjukkan aquarium. Seekor lumba-lumba yang sehat bisa dihargai USS 200.000
atau Rp 2,4 milliar per ekornya oleh akuarium di seluruh dunia8. Nelayan di Taiji
sendiri beranggapan bahwa perburuan lumba-lumba telah menjadi bagian dari ritual
tradisi sejak mereka kecil. Di area itu mereka telah menangkap lumba-lumba dan ikan
paus sejak ribuan tahun yang lalu.
Gambar 1.1 Keluarga Cetacean
7 http://www.borneoscape.com/2014/02/pembantai-lumba-lumba-taiji-jepang.html
8
Dalam situs resmi IWC, Lumba-lumba telah dimasukkan ke dalam “tanggung
jawab” IWC. Sebagian besar pemerintah negara anggota percaya bahwa IWC
memiliki kompetensi hukum untuk mengatur regulasi untuk semua jenis Cetacean,
termasuk small cetacean termasuk lumba-lumba dan pesut. Memang International
Convention for Regulation of Whaling tidak mengatur Small Cetacean. Dalam
konvensi ini hanya mencantumkan apa yang disebut “Great Whale”. IWC hanya
memfasilitasi dan memberi bantuan untuk sejumlah besar program konservasi untuk
small cetacean, namun tidak mengatur perburuan small cetacean.
Namun di samping hal itu, IWC sendiri telah membentuk sub-committee on
small cetaceans di bawah Scientific Committee dan telah berperan aktif dalam
perlindungan lumba-lumba dan small cetacean lain di luar wilayah Jepang, menurut
Journal yang dikeluarkan IWC tahun 2014 seperti melindungi vanquita di wilayah
Teluk California di Meksiko, melindungi lumba-lumba Maui di New Zealand,
perlindungan pesut pelabuhan di laut Baltik melalui pengimplementasian Agreement
in the Cetaceans of the Baltic and North Seas (ASCOBANS). Bahkan, Surat kabar
online New Zealand “Herald” mengatakan IWC memiliki “extreme concern” pada
perlindungan lumba-lumba New Zealand. Namun di balik upaya-upaya IWC di luar
Jepang, maka menjadi sebuah misteri jika IWC tidak melihat pembunuhan
lumba-lumba di Taiji sebagai isu utama. Oleh karena itu, Peran IWC penulis nilai tidak
efektif.
Berdasarkan Latar Belakang Masalah yang penulis paparkan diatas, masalah
yang dapat ditarikadalah “Mengapa IWC tidak efektif dalam upaya penyelamatan
Lumba-lumba di Taiji, Jepang?”
C. Kerangka Pemikiran
Untuk menjawab serta mengananlisa pokok permasalahan di atas, dengan
latar belakang yang telah dijelaskan maka penulis akan menggunakan konsep
yang dapat mendukung penulisan karya tulis ini.
1. Konsep Organisasi Internasional
Menurut Jack C Plano yang dimaksud dengan organisasi internasional
merupakan suatu ikatan formal melampaui batas wilayh nasional yang menetapkan
untuk membentuk mesin kelembagaan agar memudahkan kerjasama diantara mereka
dalam bidang keamanan, ekonomi, sosial, serta bidang lainnya.9 Dari pengertian
tersebut diketahui bahwa organisasi internasional sangat berperan dalam membangun
negara. Bahkan memiliki peran yang penting yaitu sebagai alat untuk mencapai
kepentingan nasional suatu negara. Organisasi Internasional mempunyai kekuatan
dalam mendukung kepentingan berbagai negara untuk menyalurkan kepentingan
mereka yang melewati batas-batas wilayah nasional. Organisasi internasional
berfungsi sebagai media komunikasi internasional yang diharapkan dapat
memberikan pedoman untuk bertindak pada suatu situasi tertentu di lingkungan
9Plano, Jack C, Robert E.Riggs dan Helena S. Robin. Kamus Analisa Politik, PT. Rajawali:Jakarta,
internasional. Bisa dikatakan bahwa peran organisasi internasional merupakan rekasi
dari situasi internasional yang muncul.
Berdasarkan pada klasifikasi yang dibuat oleh Couloumbus dan Wolfe bahwa
organisasi antar pemerintah (IGO) dapat diklasifikasikan menjadi empat kategori
yang berdasarkan pada keanggotaan dan maksud atau tujuannya. Pertama, organisasi
internasional antar pemerintah dengan maksud dan tujuan umum. Misalnya, Liga
Bangsa-Bangsa dan PBB. Kedua organisasi internasional ini ruang lingkupnya global
dan menjalankan berbagai macam fungsi, seperti dalam bidang kerjaama ekonomi,
keamanan, perlindungan atas hak asasi manusia, pengembangan kebudayaan dan
sebagainya. Kedua, organisasi internasional antar pemerintah dengan keanggotaan
global dan tujuan yang spesifik atau khusus. Organisasi jenis ini dikenal pula dengan
organisasi fungsional karena menjalankan fungsi yang bersifat khusu. Contohnya
badan-badan khusus dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, seperti Organisasi Perburuhan
Internasional (ILO) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Ketiga, organisasi antar
pemerintah dengan keanggotaan yang regional atau kawasan dan dengan maksud
serta tujuan umum. Organisasi internasional semacam ini merupakan organisasi
internasional yang bercorak kawasan, biasanya bergerak dalam bidang yang luas
meliputi keamanan, politik, sosial, ekonomi, dan lain-lain. Contohnya, Masyarakat
Ekonomi Eropa. Keempat, organisasi antar pemerintah dengan keanggotaan regional
dengan maksud dan tujuan khusu atau terbatas. Organisasi Internasional semacam ini
bergerak dalam satu bidang khusu misalnya ada yang bergerak dalam bidang militer
dan pertahanan, ekonomi, sosial dan lain-lain. Contohnya, Asosiasi Perdagangan
Economic Assistance (COMECON), North Atlantic Treaty Organizarion (NATO),
Pakta Warsawa dan lain-lain.10
Menurut Harold K. Jacobson, fungsi organisasi internasional dapat
dikategorikan dalam lima hal pokok yaitu yang pertama fungsi informasi yaitu
termasuk didalamnya adalah pengumpulan data dan informasi. Guna menjalankan
fungsi ini, organisasi internasional dapat mempergunakan staffnya atau menyediakan
suatu forum dimana konstituennya dapat melakukan kegiatan-kegiatan tersebut.
Kedua Fungsi Normatif yaitu meliputi pendefinisian dan pendeklarasian suatu
normastandar. Fungsi ini tidak memasukkan instrument yang memiliki efek mengikat
secara hukum, tapi sebatas pernyataan-pernyataan yang mempengaruhi lingkungan
domestic dan internasional. Ketiga fungsi pembuatan peraturan yaitu fungsi yang
hampir sama dengan fungsi normative tetapi lebih menekankan pada efek yang lebih
mengikat secara hukum. Agar produk yang dihasilkan mengikat secara hukum, maka
negara anggota harus melakukan ratifikasi atas suatu aturan yang hanya berlaku bagi
yang meratifikasi saja. Keempat fungsi pengawasan atas pelaksanaan peraturan
dimana dalam hal ini organisasi internasional menetapkan ukuran-ukran pelanggaran
dan menetapkan langkah-langkah penanganan terhadap pelanggaran suatu peraturan.
Kelima fungsi operasional yang melputi penggunaan sember daya organisasi.
Misalkan penggunaan bantuan teknis dan keuangan serta kekuatan militer.
Melihat klasifikasi organisasi internasional di atas, IWC merupakan organissi
internasional antar pemerintah dengan keanggotaan global dan bertujuan khusus atau
10Theodore A. Couloumbis, James H. Wolfe. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional Keadilan dan
spesifik. Badan ini dibentuk untuk menjalankan fungsi khusus yaitu untuk mengatur
perlindungan Paus di seluruh dunia. Selain itu, fungsi organisasi ini dalam bidang
pelestaraian spesies terancam seperti misalnya membuat regulasi tentang perburuan
paus, membuat larangan perburuan paus untuk suatu tujuan tertentu, dan terjun
langsung dalam upaya pelestarian paus.
2. Konsep Efektifitas Rezim
Rezim menurut Stephen D Krasner (1983) adalah seperangkat norma, aturan,
prinsip, dan prosedur pengambilan keputusan yang dibuat oleh actor Hubungan
Internasional terhadap suatu isu tertentu. Organisasi Internasional juga termasuk jenis
rezim karena mewadahi negara-negara dalam menghadapi suatu isu.
Selain pengertian rezim, Kita juga membeicarakan kefektifan rezim itu
sendiri. Banyak masalah atau tantangan yang dihadapi pemerintahan akhir-akhir ini
dihadapi dan diselesaikan dengan solusi joint bersama. Bagaimanapun, bahkan ketika
solusi yang efektif dapat dikembangkan dan diimplementasikan lewat joint,
kerjasama sukarela sulit diwujudkan. Efektivitas Rezim sebagai variabel dependen
memiliki 3 komponen yaitu output, outcome, dan impact yang ada dalam rezim.
Output adalah aturan, program, dan pengorganisasian yang ditetapkan oleh anggota
hanya berbentuk kesepakatan bisa diwujudkan11. Keluaran yang muncul dari proses
pembentukan, biasanya tertulis tetapi bisa juga tidak tertulis seperti misalnya
konvensi, rules of law, treaty, deklarasi, bisa juga norma, prinsip-prinsip dan lain-lain.
Penandatangan rezim dan terjadinya langkah – langkah domestik negara terkait rezim
terjadi pada masa objek ini. Outcome adalah perubahan perilaku subyek yang dikenai
ketentuan dalam rezim, baik itu berupa penghentian tindakan yang dilakukan sebelum
rezim berdiri, maupun tindakan yang sebelum rezim berdiri tidak dilakukan12 .
Langkah – langkah domestik negara yang terlaksana mulai dirasakan efeknya pada
masa objek ini. Terakhir adalah Impact, yang berkaitan dengan tingkat keberhasilan
dalam mengatasi masalah yang menjadi dasar pemikiran pembentukan rezim
tersebut13. Di masa objek ini terlihat perubahan kebiasaan sebuah negara mengikuti
atau tidak mengikuti rezim internasional yang mana dia ikuti.
Beberapa usaha dalam membangun dan mengimplementasikan solusi bersama
pada masalah internasional ada yang sukses dan ada yang gagal, kenapa? Menurut
Arild Underdal dalam jurnalnya berjudul “One Question, Two Answers” dalam buku
Environmental Regime Efffectiveness Confronting Theory with Evidence, pertanyaan
11Underdal, Arild. One Question, Two Anwers in Environmental Regime Effectiveness: Confronting
Theory with Evidence. Hal 6
ini memiliki dua kemungkinan jawaban. Pertama terdapat pada karakter dari masalah
itu sendiri: beberapa masalah secara intelektual kurang rumit atau secara politik lebih
benign daripada yang lain dan karena itu lebih mudah untuk diselesaikan. Sementara
yang lain lebih malign atau lebih rumit sehingga susah dipahami. Kemungkinan
jawaban kedua focus pada problem solving capacity: beberapa usaha lebih sukses
dibandingkan dengan yang lainnya karena perangkat institusional yang lebih
powerful atau skill dan energy yang lebih besar digunakan untuk menyelesaikan
masalah.14
1. Problem Malignancy
Masalah menjadi susah ketika masalah itu sendiri memang membuat negara -
negara tidak mau bekerjasama secara politis, karena memang susah. Hal ini disebut
Problem Malignancy. Malignancy ini memiliki 3 karakter antara lain Incongruity,
Asymmetry dan Cumulative Cleavages. Incongruity, yaitu ketidaksepahaman akibat
tidak semua negara anggota dari sebuah rezim menganggap sebuah isu sebagai
permasalahan. Asymmetry, yaitu adanya kepentingan nasional yang berbeda – beda
antara negara anggota dari sebuah rezim. Dan Cumulative Cleavages, yaitu perbedaan
yang terakumulasi sehingga menimbulkan perpecahan.
2. Problem Solving Capacity
Efektivitas rezim adalah fungsi dari dua variable independen yang utama,
yaitu, character of the problem dan apa yang disebut problem solving capacity.
Struktur problem dan problem solving capacity tidak dapat dilihat sebagai factor
independen yang saling menguntungkan. Kapasitas adalah kemampuan melakukan
sesuatu. Dibawah level generalisasi khusus, apa yang disebut problem solving
capacity hanya dapat ditentukan dengan merujuk pada kategori problem atau tugas
tertentu. Karena itu skill problem solving dan perangkat institusi yang dibutuhkan
untuk menyelesaikan masalah yang benign sangat berbeda dari yang dibutuhkan
untuk menyelesaikan masalah yang berkarakter malign.
Underdal berargumen bahwa permasalahan dapat diatasi dengan efektif
apabila ditangani oleh lembaga atau sistem dengan power yang kuat serta didukung
adanya ketrampilan atau skill dan energi yang memadai. Apabila satu solusi
dihasilkan melalui keputusan kolektif, maka problem solving capacity bisa dipahami
sebagai fungsi saling terkait yang terdiri dari tiga unsur, yaitu:
- Seting kelembagaan (institutional setting) yang ada dalam rezim tersebut.
- Distribusi kekuasaan (distribution of power) diantara aktor yang terlibat. Jika
dapat bertindak sebagai leader namun tidak cukup kuat untuk mengabaikan
peraturan, dan juga ada pihak minoritas yang cukup kuat untuk mengontrol
pihak dominan.
- Skill (keahlian) dan energy (kekuatan) yang tersedia bagi rezim yang
digunakan untuk mencari.15
Dalam melihat tingkat kolaborasi sebuah rezim internasional, Underdal
mengemukakan enam skala ukuran level kolaborasi, yang dapat dilihat dalam skala
dibawah ini:
Level of Collaboration (skala 0-5)
0. Gagasan bersama tanpa suatu koordinasi tindakan bersama
1. Koordinasi tindakan secara diam – diam
2. Koordinasi tindakan dengan dasar aturan atau standar yang dirumuskan secara
eksplisit, namun implementasi berada sepenuhnnya di tangan pemerintah sebuah
negara. Tidak ada penilaian terpusat akan efektivitas dari sebuah tindakan.
3. Koordinasi tindakan dengan dasar aturan atau standar yang dirumuskan secara
eksplisit, namun implementasi berada sepenuhnnya di tangan pemerintah sebuah
negara. Terdapat penilaian terpusat akan efektivitas dari sebuah tindakan.
4. Koordinasi yang terencana, dikombinasikan dengan implementasi pada level
nasional. Didalamnya terdapat penilaian terpusat akan efektivitas sebuah tindakan.
5. Koordinasi dengan perencanaan dan implementasi yang menyeluruh terintegrasi,
dengan penilaian terpusat akan efektitivitas.
Dari penjelasan diatas, dapat dilihat bahwa pada intinya tingkatan kolaborasi
terdiri dari beberapa langkah, sebagai berikut: gagasan bersama, koordinasi tindakan,
rumusan aturan secara eksplisit, penilaian secara terpusat, implementasi pada tingkat
nasional, koordinasi terencana dan integrasi antara perencanaan dan implementasi.
Dalam kasus penyelamatan lumba-lumba di Jepang, IWC menemui kasus
yang malign atau rumit. Isu lingkungan menjadi fokus IWC yaitu konservasi dan
perlindungan paus. Dalam problem malignancy terdapat tiga hal yang
mempengaruhinya yaitu Incongruity, Asymmetry, dan Commulative Cleavages.
Incongruity adalah ketidaksepahaman akibat tidak semua negara anggota dari
IWC faktanya tidak melihat isu perlindungan dan konservasi paus sebagai isu yang
menyatukan mereka. Terdapat dua kubu besar didalamnya, yaitu kubu Pro-Whaling
dan Anti-Whaling. Kubu pro-whaling berisi negara yang dulunya atau bahkan hingga
sekarang memperoleh keuntungan dari industry whaling. Sedangkan kubu
anti-whaling berisi negara-negara yang masuk setelah moratorium yang mendesak IWC
melakukan moratorium karena stok paus telah menipis. Jepang, negara yang terlibat
dalam kasus lumba-lumba Taiji termasuk di dalam kubu Pro-whaling.
Yang kedua adalah Asymmetry, yaitu adanya kepentingan nasional yang
berbeda – beda antara negara anggota dari sebuah rezim. Dari keanggotaan IWC yang
terpecah menjadi dua kubu sudah tercermin kepentingan nasional yang berbeda-beda
dari setiap negara anggota. Terutama Jepang, sikapnya dalam kubu pro-whaling
memperlihatkan dia memperoleh keuntungan yang banyak dalam industry whaling.
Tidak seperti negara pro whaling lainnya, misalnya Islandia dan Norwegia yang
keluar tahun 1991. Hal itu dikarenakan Islandia merasa IWC telah meninggalkan
segala pemanfaatan yang bisa dilakukan kepada paus dan lebih mendengarkan
desakan moratorium. Jepang tidak melakukan hal tersebut. Dia justru masuk ke dalam
Komite Ilmiah IWC, posisi yang menguntungkan untuk mengarahkan pemahaman
Dan yang ketiga Cumulative Cleavages, yaitu perbedaan yang terakumulasi
sehingga menimbulkan perpecahan. Perbedaan yang mendasar dalam IWC yaitu
terbagi menjadi dua kubu telah menimbulkan perpecahan internal. Hal ini yang
menyebabkan IWC hanya dikuasai beberapa anggota, terutama negara Pro-Whaling.
Negara Anti-Whaling belum punya cukup power untuk mengimbangi negara
pro-whaling.
Selain itu, Problem Solving Capacity yang dimiliki IWC lemah. Problem
Solving Capacity dipengaruhi oleh tiga unsur yaitu Institusional Setting, Distribution
of Power dan Skills And Energy. Ketiganya saling mempengaruhi. Apabila satu
solusi dihasilkan melalui keputusan kolektif, maka problem capacity bisa dipahami
sebagai fungsi saling terkait.
Institusional Setting yaitu kemampuan institusional yang kuat dalam
mengontrol anggotanya. Keanggotaan IWC bersifat terbuka bagi setiap negara yang
ingin terlibat tanpa syarat tertentu. Selain itu IWC pada awalnya dibentuk dengan
dasar perjanjian yaitu ICRW (International Convention for the Regulation of
negara-negara terhadap perjanjian internasional yang telah disepakati.16 Dalam IWC
juga sering terjadi kesimpangsiuran mengenai hak dan kewajiban negara anggotanya.
Salah satu contohnya adalah dalam pembukaan ICRW yang menyatakan “Having
decided to conclude a convention to provide for the proper conservation of whale
stocks and thus make possible the orderly development of the whaling industry17”.
Hal ini menimbulkan interpretasi berbeda bagi anggota yakni fikus pada konservasi
atau pada pengembangan industry paus. Lalu ada Distribution of Power. Dalam IWC
Distribution of Power IWC tidak merata. Seperti dijelaskan sebelumnya, IWC terbagi
menjadi dua kubu. Dan salah satu memegang power lebih besar daripada kubu yang
lain. Kubu pro-whaling menjadi pengaruh dalam IWC paling besar dalam
menjalankan roda organisasi.
D. Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah dan kerangka pemikiran di atas, dapat dirumuskan
hipotes, ketidakefektifan peran IWC dalam penyelamatan lumba-lumba di Jepang
dikarenakan:
16 Augina, M. E. (2015). Implementasi Mandat International Whaling dalam kasus perlakuan
lumba-lumba di Jurnal HI Vol.4 Maret Taiji, Jepang. page 1657
1. Problem Malignacy dalam IWC, kerumitan masalah yang ada di dalam IWC.
Incongruity, Asymmetry, dan Commulative Cleavages yang mempengaruhi
Problem Malignancy IWC.
2. Problem Solving Capacity IWC yang lemah. Suatu rezim yang kuat terdiri dari 3
unsur yang mempengaruhinya yaitu, (institutional setting), (distribution of power),
Skill (keahlian) dan energy (kekuatan) . Terdapat kelemahan dalam IWC
mengenai ketiga unsur terssebut.
E. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakefektifan IWC dalam
penyelamatan lumba-lumba diTaiji, Jepang.
2. Memberikan gambaran akan kondisi yang nyata tentang keterkaitan antara
teori dan realita dalam hubungan internasional yang telah dipelajari selama
masa perkuliahan.
3. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat penulis untuk memperoleh
gelar Sarjana (S1) dari Jurusan HubunganInternasional, Fakultas Ilmu Sosial
dan Politik, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
F. Jangkauan Penelitian
Dalam penulisan ini penulis membatasi periodesasi untuk membatasi persoalan
menganalisa permasalahan yang ada, maka periodisasinya adalah pada tahun 2009
ketika kasus ini mencuat dan mulai diperbincangkan dunia hingga sekarang. Namun
data dan informasi yang berada diluar rentang waktu tersebut masih bisa digunakan
selama masih dianggap layak untuk digunakan.
G. Metodologi Penelitian
Penulis menggunakan pengumpulan data dengan library research atau
pengumpulan data kepustakaan yang berasal dari jurnal, buku, artikel, dan media
lainnya seperti internet yang masih terkait dengan isu yang dibahas. Hal ini
membantu penulis untuk menjelaskan secara teoritis permasalahan yang muncul
dalam penelitian. Selanjutnya penulis menggunakan teknik analisis data dengan
metode kualitatif, dimana analisis yang dilakukan hanya sebatas deskripsi.
H. Sistematika Penulisan
BAB I akan membahas mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah,
kerangka pemikiran, tujuan penulisan, jangkauan penelitian, metodologi penelitian,
dan sistematika penulisan.
BAB II akan membahas IWC bagaimana sejarah berdirinya IWC, visi misi,
keanggotaan IWC, struktur organisasi dimiliki oleh IWC, serta peran IWC di dunia.
BAB III akan membahas fenomena pembantaian lumba-lumba di Taiji, bagaimana
BAB IV akan membahas mengapa IWC tidak efektif dalam penyelamatan
lumba-lumba
BAB II
INTERNATIONAL WHALING COMMISION (IWC)
A. Sejarah Terbentuknya Industri PausSejarah Industri Ikan paus dimulai setidaknya 6000 tahun sebelum masehi ketika
Diduga orang-orang China melakukan perburuan raksasa dari laut. Pada tahun 1971
Sebuah tembok Batu pasir ditemukan di sebelah tenggara Korea dan beberapa
diantaranya tergambar Paus yang diburu oleh sekelompok pria dalam perahu. Meskipun
tidak diketahui tanggal lukisan batu tersebut, mereka percaya itu adalah gambar pertama
dari kegiatan perburuan paus. Lebih lama lagi antara 2000 hingga 1000 tahun sebelum
masehi, Orang Inuit Alaska mulai memburu Paus Kepala Busur. Sekitar 100 tahun
sebelum masehi orang asli Chukotka Peninsula di Russia ikut juga, memburu paus kepala
busur dan paus abu-abu1.
Orang pertama yang memburu paus dalam jumlah besar yang sudah terorganisasi
dan cara yang terorganisasi adalah orang Basque. Rekaman 1000 tahun setelah masehi
dan sebelumnya mempercayai kepercayaan ini. Beberapa ilmuwan percaya sejarah
perburuan paus kembali di jaman batu. Orang-orang Basque menargetkan Paus Northern
right dari abad 11 dan berkembang terus hingga abad 12. Pada waktu yang sama
orang-orang Jepang memulai pebruaun paus secara tradisional. Sementara orang-orang-orang-orang Basque
menyerah dalm perburuan paus pada abad 17 yang disebabkan oleh kelangkaan kekuatan
angkatan laut dan perlindungan dari kapal lain, dan lebih penting lagi adalah mendapat
saingan dari Orang-orang Belanda dan Inggris, Orang-orang Jepang mulai memburu paus
dengan harpoon dengan skala yang lebih besar pada abad 17 dalam kelompok-kelompok
1Japan and the IWC:Investigating Japan’s Whaling Objectives. Katholieke Universiteit Leuven. 2008-2009. Judith
yang terorganisir di pantai Taiji dan Prefektur Chiba. Pada tahun yang sama, perburuan
paus di pantai terjadi juga di Amerika, Peburuan dilakukan oleh Inggris di Greenland dan
Perburuan ekspedisi paus dari Belanda ke Spisbergen juga telah dirancang. Kemudian
Jerman ikut dalam perburuan, mencapai puncaknya pada tahun 1675 dengan 83 kapal
berburu yang telah diatur.
Dalam periode ini, Paus Bungkuk dan paus Sperma menjadi spesises yang
popular untuk minyak (disebut juga train oil) yang sebagian besar digunakan untk
penerangan (lampu). Tryworks diperkenalkan dalam kapal berburu pada tahun 1750. Hal
ini memudahkan para pemburu tidak perlu lagi kembali ke pantai unutk mengubah lemak
paus menjadi minyak. Pada tahun 1772 pabrik lilin yang memproduksi minyak
spermaceti dibuat di kota New Bedford dan di pulau Nantucket, Massachusetts.
Penciptaan tombak yang dapat meledak pada tahun 1848 menandakan mulainya era
industry perburuan paus. Dua dekade kemudian perburuan paus modern telah
berkembang di Norwegia dan penangkap paus uap telah diset. Tahun 1879 Amerika
Serikat mengikutinya dengan penangkap paus uap pertamanya. Setahun kemudian Rusia
memulai perburuan paus modernnya di stasiun pantai. Ini memungkinkan pemburu
menangkap spesies yang lebih cepat seperti Paus Sirip dan Paus Biru. Saat ini Jepang
telah bergabung dengan perburuan besar, sejak restorasi meiji telah mengijinkan
meninggalkan pulau tahun 1868.
Penemuan baja dan plastic pada tahun 1900an menggantikan “baleen” dalam
berbagai produk. Tahun 1859 Minyak ditemukan di Pennsylvania oleh Colonel Edwin
Drake dan terkadang kemudian persebaran dan ketersediaan kerosene menjadi faktor
1907 Minyak Paus terhidrogenasi untuk pertama kali, memungkinkan minyak paus
digunakan untuk pembuatan margarin, dan tahun 1914 orang Islandia memburu Paus
Minke untuk diambil dagingnya untuk pertama kali. Tahun 1914 perang dunia I pecah.
Perang ini menyediakan pasar untuk bahan peledak menggunakan gliserin dari “baleen”
minyak paus yang disediakan oleh Industri Paus Inggris dan Norwegia di Antartika.
Pentingnya paus sebagai sumber jauh dari penyelesaian. Setelah perang, Peningkatan
lainnya dalam kapal pemburu paus tahun 1925 menangkap paus sedikit lebih mudah.
Sigurd Risting dari Norwegia menggabungkan dan mempublish rekaman
penangkapan untuk Norwegian Whaling Association dari tahun 1903. Beberapa tahun
setelah 1910, Risting membuat “The International Whaling Statistics” dan kemudian dia
bertanggung jawab untuk pembuatan Blue Whale Unit.
B. Awal terbentuknya International Whaling Commision (IWC)
Lambat laun, dunia mulai menaruh perhatian terhadap menurunnya stok paus
dunia., khususnya Paus Biru, maka Para peneliti mulai melobi Peraturan Internasional
dari awal tahun 1930an. Kesempatan ini khususnya berdasarkan alasan ekonomi.
Tangakapan sebanyak 40.000 baleen paus pada tahun 1930-31 menjadikan minyak
baleen surplus dan kejatuhan harga minyak per barel. Jelas, untuk kepentingan industry.
Kuota penangkapan dan pasar harus distabilkan.2
Pada tahun 1929 The Norwegian Whaling Act dibuat. Ini merupakan kesempatan
pertama untuk mengontrol perburuan paus di laut terbuka. Hal ini membuat lerphitungan
penangkapan, imposed pajak satu barel dan sistem inspeksi, dan meletkakan batas bawah
dalam penangkapan Blue Whale pada 18.2 meter dan Puas Sirip pada 15.2
meter .Konvensi Jenewa untuk mengatur mengatur Perburuan paus terbuka untuk
ditandatangani yang merupakan usaha dari PBB. Pada tahun 1931, 22 negara
menandatanaganinya. Konvensi ini mengatur penangkapan paus right dinyatakan
dilarang. Sayangnya bagaimanapun, Perjanjian ini tidak mengikat dan beberapa negara
penting dalam industry whaling menolak untuk menandatanganinya. Jepang, misalnya
menolak karena mempunyai kepentingan dalam Whaling di Antartika. Pada tahun 1937.,
The International Agreement for the Regulation of Whaling ditandatangani di London,
dan Protocol Amending the Agreement ditandatangani di tahun berikutnya. Dalam
periode yang sama banyak negara bekerjasama dalam mengumpulkan statistic dan
mengadakan eksperimen dalam whaling dan bertukar ide dalam topic dalam konferensi.
Meskipun kesempatan untuk mengatur gagal mencapai keobjektifannya, yang mereka
lakukan merupakan hal penting dalam menerbitkan sebuah sistem peraturan
internasional dalam whaling.
Dalam artikel “Recent Negotiations toward the International Regulation of
Whaling” tahun 1941. Penulis Larry Leonard menulis :
“Aktivitas ini oleh negara-negara yan mengeksploitasi hasil laut adalah sungguh belum
pernah terjadi sebelumnya, tidak pernah sebanyak ini negara-negara bergabung
bersama dalam satu cover kebijakan yang jangkauannnya sangat luas. Peraturan
whaling ini menandai awal era baru kerjasama dalam konservasi sumber dunia yang
berharga.”3
Dia memang benar, tetapi awal era baru yang pertama telah diganggu oleh Perang
Dunia kedua. Selama perang beberapa praktek whaling dilanjutkan di Antartika dan
Afrika Selatan, tetapi jumlah tangkapan jatuh jauh lebih sedikit daripada sebelum perang.
Banyak kapal dan penangkap yang berpaling menjadi kapal patroli dan kargo unutk
mendukung militer atau dirusak karena razia oleh musuh. Singkatnya, bagaimanapun
tidak cukup untuk menyiapkan stok paus yang habis. Penagkap-penangkap paus dari
negara yang bersekutu masih tertarik dengan minyak paus, da di tahun 1944 sebuah
perjanjian dari Komite Whaling Internasional Council for the Exploration of the Sea
mengantisipasi penerusan whaling. Seluruh kuota habis hingga 2/3 dari tangkapan sebelu
perang. Bahkan, setelah perang kekurangan pangan menjadi isu yang mengemuka.
Karena daging paus adalah sumber protein dan lemak, dan tersedia dalam jumlah banyak,
secara cepat setelah perdamaian tercipta pada tahun 1945, Ide menmberi makan korban
perang dengan daging paus muncul, terutama di Jepang dan Uni Soviet. Perusahaan
Whaling pergi ke Antartika sekali lagi. Ini berarti awal dari salah satu periode berburu
paling besar dan juga awal dari Olimpiade Whaling.
Dalam istilah yang lebih baik, sekarang perang telah usai, Masalah whaling dan
cara-cara berburu berkelanjutan terbuka kembali untuk didiskusikan sekali lagi. Pada
tahun 1946 ICRW disetujui di Washington DC. Konvensi ini menyimpulkan 11 artikel
untuk memenuhi tujuan dan maksudnya. Pembukaannya berisi :
“Recognizing that the whale stocks are susceptible of natural increases if whaling is
properly regulated, and that increases in the size of whale stocks will permit increases in
the number of whales which may be captured without endangeringthese natural
resources; Having decided to conclude a convention to provide for the proper
conservation of whale stocks and thus make possible the orderly development of the
whaling industry.”
Konvensi ini mempunyai 2 tujuan utama. Yang pertama. Untuk melestarikan dan
whaling. 15 negara menandatangani Konvensi dan 17 negara pada protocol 2 Desember
1946.
Semua negara yangmenyetujui ICRW dan mematuhi peraturannya dapat
bergabung ke IWC sesuai dengan Artikel X Konvensi. Satu-satunya syarat menjadi
anggota yaitu status sebagai negara dibawah Hukum Internasional. Ini berarti bahwa
partisipasi nyata dalam whaling tidak diperlukan, dan negara apapun yang tertarik dan
bersedia membayar biaya keanggotaan dapat mngakses konvensi tersebut. Setiap negara
anggota mempunyai perwakilannya sendiri yang berisi ahli dan ilmuwan. Presiden dan
wakil presidennya dipilih oleh Komisioner dan biasanya memimpin selama 3 tahun.
C. Keorganisasian IWC
Internasional Whaling Commision (IWC) didirikan sebagai badan pembuat
keputusan, awalnya dengan 15 negara anggota. IWC bertemu setiap tahun dan
mengadopsi peraturan tentang batas penangkapan, metode penangkapan ikan paus dan
kawasan lindung, atas dasar tiga perempat suara mayoritas. Berikut ini bagan organisasi
Gambar 2.1
[image:42.612.73.540.304.499.2]1. Komisi Keuangan dan Administrasi
Gambar 2.2
Komite administrasi dan keuangan bertanggung jawab untuk anggaran, efisiensi,
efektivitas dan tata kelola organisasi. Untuk mengcover organisasi yang besar ini, Komite
adminstrasi dan keuangan mengoperasikan sejumlah sub-kelompok. Ada yang permanen dan
yang berkelanjutan, misalnya Sub-komite anggaran. Sub-Komitelainnya didirikan untuk
beberapa waktu, untuk menyelesaikan atau menangani suatu masalah tertentu. Contohnya saat
ini adalah Kelompok Kerja untuk mendukung kinerja Pemerintah yang terbatas, dan Kelompok
Dalam beberapa tahun terakhir Komite Administrasi dan Keuangan telah mencanangkan
sejumlah perubahan struktural dan prosedural. Pertemuan IWC telah berubah dari awal
pertemuan tahunan menjadipertemuan dua tahunan: Biro baru telah dibentuk untuk mengawasi
kedua periode intersessional dan perluasan program kerja intersessional, dan serangkaian
langkah-langkah telah diperkenalkan untuk membuat IWC organisasi lebih transparan. Prosedur
baru diperkenalkan yaitu transparansi keuangan, program pengarsipan online telah diciptakan
untuk memungkinkan akses gratis dan terbuka untuk arsip bersejarah dan arsip ilmiah IWC.
Kontribusi iuran dari pemerintah negara anggota IWC membentuk pendapatan inti IWC,
namun sumbangan sukarela juga diperoleh dari organisasi non-pemerintah (LSM), badan industri,
dan juga oleh pemerintah negara anggota, dan semua yang ingin mendukung program khusus..
Kontribusi tahunan didapat dari setiap pemerintah negara anggota.Perbedaan kontribusi
bervariasi antaranggota, tergantung pada tiga faktor: ukuran delegasi pada setiap pertemuan
Komisi dua tahunan , aktivitas penangkapan ikan paus yang mungkin telah dilakukan, dan
kapasitas pemerintah untuk membayar.
Kontribusi sukarela dibuat untuk IWC oleh berbagai organisasi. Sumbangan biasanya
mendukung program tertentu. Beberapa sumbangan ditujukan untuk program yang sedang
berlangsung, dana formal dan beberapa yang ditujukan untuk membantu dalam pembiayaan
workshop atau bagian dari penelitian tertentu .
Daerah kerja yang menerima sumbangan sukarela sangat beragam. Contohdana resmi
termasuk Dana sukarela bagi spesies small cetacean, yang mengundang tawaran dari para
ilmuwan yang bekerja pada konservasi dari beberapa mamalia yang paling terancam punah di
dunia, dan Dana Penghidupan spesies asli paus yang baru dibentuk, yang akan membantu
sumbangan meliputi program Keterlibatan Pelatihan Response Paus, dan workshop tentang
sampah laut, euthanasia paus terdampar, dan penandaan satelit untuk paus abu-abu di Utara
Pacific. Akun Pendapatan dan Belanja tersedia untuk umum dan diterbitkan setiap tahun di
pertemuan Tahunan dan intra sesi Laporan Komisi.
[image:44.612.86.475.194.454.2]2. Komite Ilmiah
Gambar 2.3
Sebuah fitur penting dari komite ini adalah penekanan pada saran ilmiah tentang paus.
Komite Ilmiah adalah yang tertua, terbesar dan paling maju dari Sub-kelompok IWC. Komite ini
terdiri dari sekitar 200 ilmuwan cetacean terkemuka dari berbagai negara (baik delegasi nasional
dan ahli yang diundang ), yang mayoritas menghadiri pertemuan utama Komite Ilmiah dan
pertemuan tahunan. Selain itu, setiap tahun sejumlah workshop intersessional dan kelompok
IWC Southern Ocean Research Partnership (IWC-SORP) adalah, program yang bersifat
kolaboratif terpadu untuk penelitian cetacean, yang bertujuan untuk memaksimalkan hasil yang
berorientasi konservasi untuk spesies Cetacea Samudra Selatan. Hal ini dilakukan melalui
pemahaman tentang status pasca-eksploitasi, kesehatan, dinamika dan hubungan lingkungan
yang mempengaruhi populasi mereka, dan ancaman yang mereka hadapi. Program ini
mempertahankan hubungan yang terintegrasi dan responsif dengan Komite Ilmiah IWC dan
prioritasnya. IWC-SORP disahkan oleh Komite Ilmiah dari IWC pada Pertemuan Tahunan pada
Juni 2009.
IWC-SORP saat ini berfokus pada spesies ikan paus besar sesuai kriteria IWC: paus
Antartika biru, paus bungkuk, paus sirip dan paus minke Antartika. Paus pembunuh juga
dianggap sebagai komponen penting dari ekosistem Samudra Selatan. Fokus regional SORP
adalah Samudra Selatan tetapi upaya penelitian yang relevan juga mencakup koridor migrasi dan
tempat berkembang biak.
Ada lima proyek penelitian yang sedang dikerjakan SORP:
1. Antarctic Blue Whale Project (ABWP): menuju perkiraan kelimpahan sirkumpolar
ditingkatkan;
2. Distribusi, kelimpahan yang relatif, pola migrasi dan pencarian ekologi dari tiga ekotipe paus
pembunuh di Samudra Selatan;
3. Pencarian hubungan ekologi dan interaksi predator-mangsa antara paus balin dan udang: studi
4. tren Acoustic dalam kelimpahan, distribusi, dan kehadiran musiman paus biru Antartika dan
paus sirip di Samudra Selatan;
5. Distribusi dan tingkat pencampuran populasi paus bungkuk dari belahan bumi selatan sekitar
Antartika
Para ilmuwan yang berpartisipasi dalam IWC-SORP sedang mengembangkan dan
menerapkan metode penelitian konservasi baru berorientasi kuat termasuk teknik akustik,
perangkat penandaan, fotografi dan metode pelacakan satelit, pengambilan sampel jaringan dan
teknik genetik canggih, sepenting teori ekologi dan analisis.
Kemitraan ini termasuk sebelas negara :. Argentina, Australia, Brazil, Chile, Perancis,
Jerman, Italia, Selandia Baru, Norwegia, Afrika Selatan dan Amerika Serikat. SORP menyambut
hangat mitra baru untuk secara resmi berkomitmen untuk partisipasi dalam inisiatif ini.
SOWER (Southern Ocean Whale and Ecosystem Research)
Kapal SOWER digunakan setiap tahun selama lebih dari 30 tahun dan memberikan
informasi luas pada berbagai Cetacea. Terhitung sejak tahun 1978-1979 sebagai bagian dari
Internasional Decade Cetacean Research (IDCR), program ini diselenggarakan setiap tahun di
bawah naungan IWC. Selama 32 tahun program kapal ini melibatkan antara 1 sampai 4 kapal
setiap tahun, dengan total 4.112 kapal-hari (atau 11¼ kapal-tahun) dan mengelilingi sekitar
216.000 mil di daerah selatan dari 60 derajat bumi. Dalam prosesnya, Benua Antartika telah
dikelilingi 3 kali dan 43.000 penampakan spesies Cetacea dibuat, termasuk khususnya 25.333
paus minke dan 400 ikan paus biru. Perkiraan jumlah spesiesnya berlimpah diperoleh tidak
setiap cetacean lainnya yang terletak di garis lintang atas, termasuk beberapa spesies yang lebih
kecil yang belum pernah ditemui sebelumnya.
Survei sirkumpolar pertama berlangsung ketika penangkapan ikan paus komersial masih
berlangsung. 2748 paus minke ditandai dengan tanda Penemuan dan 95 yang pulih, termasuk
satu dalam 24 tahun kemudian: Hal ini berlanjut terus menjadi satu-satunya sumber data pada
pergerakan musim panas paus minke Antartika. Dari seri sirkumpolar kedua dan seterusnya,
1.500 biopsi dikumpulkan, lebih dari 3.000 paus difoto untuk diidentifikasi secara individu dan
ribuan jam rekaman akustik dibuat. Program ini juga mendorong pengembangan pendekatan
yang berbeda untuk pemodelan penampakan data. Tanpa pemberian kapal oleh Pemerintah
Jepang (dan awalnya oleh Uni Soviet) dan dukungan keuangan serta dukungan lainnya dari IWC,
keberhasilan program ini tidak akan mungkin terjadi. Hal ini benar-benar menjadi internasional
secara alami, dengan lebih dari 200 ilmuwan dari 15 negara anggota yang berpartisipasi. Kapal
di lintang yang lebih rendah juga telah dilakukan di Australia, Brazil, Chili, Madagaskar, Peru
dan Afrika Selatan. Semua data yang dikumpulkan di kapal pesiar tersebut diserahkan ke
Sekretariat IWC dan tersedia melalui basis DESS untuk para ilmuwan yang tertarik dari setiap
anggota IWC.
Meskipun program kini telah berakhir, Komite Ilmiah IWC pasti akan terus menambang
kekayaan informasi itu yang terakumulasi pada Cetacea selatan selama bertahun-tahun yang
akan datang.
POWER (Pasific Ocean Whale Ecosystem Research)
Kapal pesiar penelitian IWC-POWER adalah komponen penting dari pekerjaan IWC ini,
tiga puluh tahun dan telah disurvei di daerah sirkumpolar lengkap selatan dari 60 ° S tiga kali.
Program IWC-POWER merupakan upaya internasional yang dikoordinasi oleh IWC dan
dirancang oleh Komite Ilmiah IWC, dengan sebuah kapal disumbangkan oleh Jepang. Seperti
namanya, kapal pesiar fokus pada Samudera (Utara) Pasifik, dan khususnya sedikit daerah yang
dipelajari, beberapa di antaranya belum disurvei selama 40 tahun.
IWC-POWER adalah program jangka panjang yang diperkirakan akan berlangsung
selama lebih dari 10 tahun. Mendeteksi dalam jumlah hewan berumur panjang seperti paus
memakan waktu lama. Tujuan utamanya adalah untuk memberikan informasi yang akan
memungkinkan para ilmuwan untuk menentukan status populasi paus besar yang ditemukan di
Samudera Pasifik Utara. Informasi ini akan memberikan latar belakang ilmiah untuk menilai
kebutuhan konservasi dan tindakanpengelolaan dan, jika tindakan ini diperlukan, memonitor
keefektifannya.
Program ini sekarang memasuki tahun keenam. Masalah kolaborasi merupakan dasar
keberhasilannya. Selain kontribusi besar dari Jepang, biaya para ilmuwan dan peralatan khusus
didanai oleh IWC. ilmuwan Sejauh ini peneliti dari Jepang, Republik Korea, Amerika Serikat,
Meksiko dan Inggris telah berpartisipasi dalam penelitian lapangan. Selain itu, para ilmuwan dari
Australia dan Eropa adalah anggota dari kelompok pengarah IWC-POWER.
Durasi setiap kapal adalah sekitar 60 hari. Ini adalah waktu operasional maksimum kapal
sebelum pengisian bahan bakar dan supply kembali diperlukan. Pada saat kapal melakukan
perjalanan ke dan dari daerah studi, sekitar 35-45 hari untuk penelitian. Para ilmuwan diatas
membuat sebagian besar peluang dan siang hari. Sekitar 70 dan 90 mil laut ditutupi setiap hari
bahwa kapal tersebut di daerah penelitian.
Salah satu komponen utama dari penelitian yang dilakukan pada pelayaran adalah
pengumpulan data penampakan untuk memungkinkan penentuan jenis paus atau lumba-lumba
apa yang hadir, di mana mereka ditemukan dan estimasi berapa banyak dari masing-masing
spesies yang ada. Para ilmuwan juga mengumpulkan sampel biopsi dari beberapa hewan. Hal ini
dapat dianalisis dalam beberapa cara yang berbeda untuk melihat hubungan antara hewan, jenis
kelamin mereka, tingkat polutan, informasi tentang pola makan mereka, identifikasi individual(
'sidik jari') dan bahkan informasi tentang status reproduksi mereka. Bagi banyak spesies, foto
dapat digunakan untuk mengidentifikasi individu. Ketika dikumpulkan selama beberapa musim,
ini dapat memberikan informasi tentang gerakan, reproduksi dan bahkan berapa banyak spesies
mereka. Foto-foto ini juga dapat digunakan untuk memeriksa kesehatan hewan dan bukti
interaksi dengan kapal atau nelayan.
Kapal POWER juga bekerja untuk mengatasi tujuan yang lebih luas, misalnya
mengumpulkan data sampah laut yang memberikan kontribusi terhadap pemodelan pergerakan
prediksi sampah laut dari Tsunami 2011.
Gambar 2.4
Komite Konservasi didirikan untuk mempertimbangkan sejumlah isu-isu konservasi
cetacean yang muncul, dan perannya terus berkembang. Komite Konservasi bekerja sama
dengan Komite Ilmiah untuk memahami dan mengatasi berbagai ancaman terhadap paus dan
habitat mereka. Program kerjanya meliputi:
• strategi untuk menyediakan sebuah forum internasional untuk saran dan dukungan kepada
industri whalewatching berkembang pesat, termasuk pengembangan secara online dan
Handbook Whalewatch.
• program pemogokan kapal yang telah mengembangkan database yang dapat diakses publik,
sekarang digunakan untuk mengumpulkan data dan membangun pemahaman tentang di mana
dan mengapa tabrakan terjadi antara paus dan kapal. Tujuan utamanya adalah untuk
mengembangkan langkah-langkah praktis dan mitigasi yang diperlukan.
• pengembangan konsep Rencana Pengelolaan Konservasi, cetak biru kolaboratif dan fleksibel
untuk koordinasi yang efektif dari program konservasi antara para pemangku kepentingan lokal,
nasional, regional dan internasional. Rencana Tiga Manajemen Konservasi telah mendesak
untuk beberapa populasi ikan paus yang paling berisiko dan lebih Hal ini sedang
dipertimbangkan.
• program bersama dengan Komite Ilmiah untuk mempertimbangkan dampak dari sampah laut
pada Cetacea. Dua workshop telah diselenggarakan, saat ini sedang meninjau penelitian yang
ada di mana serangkaian tindakan yang direkomendasikan dikembangkan dan didukung oleh
Komisi.
Gambar 2.5
Perburuan Masyarakat Lokal (Aboriginal Subsistence Whaling) selalu diakui berbeda
dengan penangkapan ikan paus komersial. Hal ini ditangani secara terpisah, oleh Sub-komite
ASW yang berkaitan dengan regulasi dan manajemen dari jenis ikan paus.
Salah satu aspek penting dari pekerjaan Sub-komite ASW adalah untuk menerima
rekomendasi dari Komite Ilmiah dalam apakah permintaan untuk berburu oleh pemerintah
anggota adalah berkelanjutan. Untuk memberikan rekomendasi ini, Komite Ilmiah menggunakan
pemodelan komputer canggih bersama dengan data yang dikumpulkan pada kelimpahan dan
struktur populasi untuk mengembangkan cara-cara pencegahan untuk menilai tingkat
berkelanjutan untuk setiap perburuan.
Sub-komite ASW juga bekerja dengan pemburu itu sendiri dan dengan perwakilan
pemerintah mereka. Sebagai bagian dari proses manajemen, pemerintah yang relevan
Interpretasi dari 'kebutuhan ini’ dalam Komisi terkadang kontroversial, sebagian karena setiap
perburuan terbilang unik dan faktor-faktor yang relevan.
Kuota tangkapan lokal (dikenal sebagai batas strike) ditetapkan dalam blok setiap enam
tahun. Kuota saat ini akan ditinjau pada Rapat Komisi IWC pada 2018. Dalam mengenali
pentingnya dan kompleksitas masalah ini, ASW Sub-komite telah membentuk tambahan
kelompok Kerja (Kelompok Kerja Perburuan Masyarakat Lokal). Perannya adalah untuk
mempersiapkan ulasan 2018 dengan memberikan rekomendasi pada Rapat Komisi 2016 tentang
cara untuk meningkatkan pertimbangan kuota ASW. Kelompok ini akan mengembangkan
cara-cara lebih baik untuk menyajikan informasi tentang kebutuhan, dan proses yang jelas untuk
meninjau laporan kebutuhan untuk membantu meningkatkan pemahaman, mengklarifikasi
pengambilan keputusan dan mengurangi kontroversi.
Gambar 2.6
Kelompok ini dibentuk untuk memastikan agar perburuan semanusiawi mungkin untuk
paus, dan seaman mungkin untuk pemburu. Dalam beberapa tahun terakhir kewenangan ini telah
diperluas, dan kelompok ini sekarang bekerja pada isu kesejahteraan dalam range yang
komprehensif, misalnya menanggapi paus yang terjerat dalam alat tangkap atau sampah laut, dan
paus terdampar yang parah.
Kolaborasi antara komunitas berburu membantu untuk berbagi informasi, meningkatkan
kecepatan dan ketepatan teknik berburu. Hal ini membuat proses lebih cepat untuk ikan paus,
dan lebih dapat diandalkan untuk pemburu subsisten, untuk siapa yang gagal berburu di musim
panas dapat menyebabkan kekurangan makanan yang serius di musim dingin.
Pemerintah negara anggota diminta untuk memberikan Kelompok Kerja WK-WI dengan
data tentang metode membunuh dan waktu mati paus yang diburu atau yang sekarat. program ini
juga berlangsung untuk memberikan pemburu tradisional dengan pelatihan, peralatan dan
menembak semuanya membantu peningkatan presisi dan karena itu meminimalkan penderitaan
paus.
IWC semakin terlibat dalam masalah kesejahteraan non-berburu. Dalam menanggulangi
isu kesejahteraan yang meluas ini, sebuah kelompok intersessional dibentuk pada tahun 2012.
Mandatnya adalah untuk meninjau Kerangka Acuan untuk Kelompok Kerja, dan
mempertimbangkan bagaimana IWC mungkin meresmikan dan struktur pekerjaan kesejahteraan
ad hoc sudah sedang dilakukan, dan mengambil pendekatan yang lebih strategis untuk masalah
kesejahteraan. Kelompok ini dilaporkan kembali ke pertemuan Komisi pada tahun 2014,
mengusulkan Syarat baru Acuan dan Rencana Aksi Kesejahteraan, yang keduanya didukung oleh
Komisi. Rencana aksi adalah dokumen yang hidup dan berkembang yang bertujuan untuk
mengatur, mengartikulasikan dan menanamkan berbagai masalah kesejahteraan dalam IWC.
6. Negara Anggota IWC
Saat ini IWC memiliki 89 negara anggota, termasuk negara-negara pro-whaling ikan paus,
mantan negara yang punya industry whaling, dan negara-negara yang tidak pernah memiliki
industri whaling tapi bergabung baik untuk memiliki suara dalam konservasi paus atau untuk
mendukung kepentingan penangkapan ikan paus. Berikut ini daftar Negara Anggota IWC dan
statusnya :
Participant Action Date of Date of
Notification/Deposit Effect
Australia Ratification 01/12/1947 10/11/1948
Brazil Adherence 04/01/1974 04/01/1974
Brazil Ratification 09/05/1950 09/05/1950
Brazil Withdrawal 28/12/1965 30/06/1966
Canada Ratification 25/02/1949 25/02/1949
Denmark Ratification 23/05/1950 23/05/1950
France Ratification 03/12/1948 03/12/1948
Iceland Adherence 10/03/1947 10/11/1948
Japan Adherence 21/04/1951 21/04/1951
Mexico Adherence 30/06/1949 30/06/1949
Netherlands Adherence 04/05/1962
Netherlands Ratification 10/11/1948 10/11/1948
Netherlands Adherence 14/06/1977 14/06/1977
Netherlands Withdrawal 31/12/1958 30/06/1959
Netherlands Withdrawal 24/12/1969 30/06/1970
New Zealand Ratification 02/08/1949 02/08/1949
New Zealand Adherence 15/06/1976 15/06/1976
New Zealand Withdrawal 03/10/1968 30/06/1969
Norway Adherence 23/09/1960
Norway Ratification 03/03/1948 10/11/1948
Norway Withdrawal 29/12/1958 30/06/1959
Republic of Korea Adherence 29/12/1978 29/12/1978
Seychelles Adherence 19/03/1979 19/03/1979
Spain Adherence 06/07/1979 06/07/1979
Sweden Adherence 15/06/1979 15/06/1979
Sweden Adherence 28/01/1949 28/01/