• Tidak ada hasil yang ditemukan

Problematika dan Kendala Mahkamah Konstitusi dalam Melakukan

Fungsi Impeachment

a. Independensi Mahkamah Konstitusi

136

Indriyanto Seno Adji berpendapat bahwa pengertian asas nebis in idem dalam hukum pidana hanya terjadi pada saat pelaku, objek pidana dan alasan penuntutannya sama. Dengan demikian, kondisi ini tidak mungkin dapat terjadi pada perkara impeachment, mengingat model pembuktian di pengadilan negeri dan di Mahkamah Konstitusi memiliki karakteristik yang berbeda..

Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24 C khususnya pada ayat (3), maka diketahui bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang Hakim Konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden. Adapun kesembilan orang orang hakim konstitusi itu masing-masing tiga orang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tiga orang oleh Mahkamah Agung dan tiga orang lagi diajukan oleh Presiden.137

Melihat konfigurasi tersebut tentu akan timbul sejumlah pertanyaan terutama mengenai mengapa para hakim-hakim konstitusi tersebut harus diajukan oleh tiga lembaga yang berbeda dan dengan memberikan porsi yang sama pula. Serta, apakah hal ini merupakan sebuah tanda bahwa para hakim pada Mahkamah Konstitusi merupakan representasi dari ketiga lembaga kenegaraan tersebut yang tentu saja berfungsi untuk memperjuangkan kepentingannya masing-masing. Karena jika dilihat dari wewenang yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi sangat berkaitan dengan lembaga tersebut terutama Presiden dan DPR.

Terhadap hal ini, Bambang Widjojanto menyatakan bahwa dengan rumusan seperti terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24C ayat (3), maka Presiden akan dapat menentukan arah Mahkamah Konstitusi melalui dua jalur, yaitu jalur kepresidenan dan jalur partainya di DPR. Komposisi keanggotaan seperti itu akan sangat membuka peluang terjadinya monopoli kekuasaan jika pemegang jabatan-jabatan pada masing-masing pengambil keputusan pada tiga institusi negara tersebut berlatar belakang ideologi atau politik yang sama.138

137

Lihat pula Pasal 4 ayat 1 UU No. 24 Tahun 2003

138

Bambang Widjojanto, Kompas, senin, 9 Juni 2003, Sebagaimana dikutip oleh Ni’ matul Huda,

Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Konstitusi Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 1999, Hal. 239-240.

Artinya, jika seorang Presiden yang telah terpilih berasal pula dari partai politik yang mempunyai suara mayoritas di DPR, maka tentu saja konfigurasi Hakim Mahkamah Konstitusi akan dipenuhi dengan hakim pilihan penguasa. Sehingga sangat dimungkinkan mereka akan dengan mudah dipengaruhi atau terdapat intervensi dari pemerintah.

Akan tetapi Laica Marzuki berpendapat bahwa, konfigurasi pengangkatan Hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24 C khususnya pada ayat (3) adalah sudah ideal. Hal itu dengan berbagai pertimbangan bahwa tiga lembaga kenegaraan tersebut merupakan pilar utama dalam menjalankan roda pemerintahan. Dan dengan adanya pembagian terhadap tiga lembaga itu, maka tidak terdapat Lembaga yang paling dominan dalam mengusulkan Hakim Mahkamah Konstitusi. Sehingga dalam perjalanannya dapat terjadi keseimbangan dan tidak terjadi subyektivitas dalam penanganan perkara. Sementara itu terkait dengan integritas dan independensi para hakim juga sangat bergantung terhadap integritas masing-masing individu.139

Sementara itu berkembang pula berbagai wacana yang menyatakan bahwa ke depan para Hakim Konstitusi idealnya dipilih oleh lembaga independen seperti halnya komisi yudisial yang berwenang mengusulkan Hakim Agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran

139

Wawancara dengan Bapak Laica Marzuki, 12 Agustus 2004, di kantor Mahkamah Konstitusi, Yakarta, Sebagaimana dikutip oleh Kunthi Dyah Wardani, Impeachment dalam Ketatanegaraan Indonesia. UII Press, Yogyakarta, 2007, Hal. 78.

martabat, serta perilaku hakim.140 Padahal jika ditelusuri lebih lanjut, pengangkatan Hakim Mahlamah Konstitusi seperti yang telah berlaku sekarang telah diaplikasikan pula oleh beberapa negara lain.

b. Penyidik dalam Penanganan Kasus Impeachment

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24C ayat (2) menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Apabila ditelaah secara tekstual dari bunyi ayat tersebut, maka dapat disimpulkan; Mahkamah Konstitusi mempunyai kewajiban untuk memberikan putusan terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut. Sementara jika mengacu pada peradilan pada umumnya, tentu saja sebelum membuat keputusan harus terlebih dahulu melakukan proses penyidikan guna mendapatkan bukti-bukti yang akan digunakan sebagai dasar dalm memutus pendapat suatu perkara.

Lalu siapakah yang sebenarnya berkewajiban untuk melakukan penyidikan lebih lanjut terhadap pendapat tersebut, apakah DPR, Kepolisian atau MK. Hal itu tentu saja sangat wajar dipertanyakan mengingat beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai sandaran bagi DPR dalam melakukan impeachment adalah adanya dugaan seorang Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya

140Wawancara dengan Bapak Taufikurrahman Syahuri, 12 Agustus 2004, di kantor Mahkamah Konstitusi, Jakarta,...ibid.

atau perbuatan tercela dan / atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagi presiden dan atau wakil presiden.141

Dalam hal ini terdapat beberapa rumusan yang janggal dan tidak jelas, misalkan apa sebenarnya yang dimaksud dengan ”tindak pidana berat lainnya”,”perbuatan tercela” dan ”tidak memenuhi syarat sebagai Presiden”. Sementara itu konsepsi tentang impeachment sendiri sangat berorientasi pada eksekutip. Hal ini dikarenakan hanya Presiden dan Wakil Presiden saja yang bisa di-impeach. Idealnya semua pejabat publik, termasuk parlemen dan pejabat tinggi negara lainnya juga dapat di-impeach. Seperti yang diimplementasikan pada negara Thailand.

Sementara jika mengacu pada Pasal 80 ayat (2) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003, hanya disebutkan bahwa pemohon yang dalam hal ini adalah DPR wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya mengenai dugaannya tersebut. Dalam hal ini tentu saja timbul sebuah pertanyaan apakah Dugaan pelanggaran Presiden dan atau Wakil Presiden oleh DPR yang diajukan ke MK tersebut sudah harus dengan bukti-bukti yang lengkap atau hanya sekedar dugaan saja. Tentu saja hal itu sangat relevan untuk dipertanyakan karena jika DPR sudah memiliki bukti-bukti yang lengkap dan kuat mengenai kesalahan Presiden, mengapa masih harus diajukan ke MK. Apakah dalam hal ini fungsi MK hanya sekedar untuk memberikan keputusan saja guna melegitimasi tindakan atau dugaan DPR tersebut. Karena meskipun MK menyatakan bahwa dugaan DPR tersebut benar dan terbukti serta telah mempunyai kekuatan hukum tetap, akan

141 Lihat Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 dan Lihat Pula Pasal 80 ayat 2 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

tetapi tentu saja masih ada proses selanjutnya yaitu pengajuan ke forum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk mengusulkan pemberhentian Presiden. Dan meskipun secara yuridis MK telah memberikan keputusan yang membenarkan dugaan DPR itu, akan tetapi jika MPR ternyata tidak menindaklanjuti permohonan untuk menjatuhkan Presiden itu, tentu saja keputusan itu hanya akan menjadi sebuah keputusan saja tanpa sebuah daya eksekusi.

Sebaliknya jika ternyata dugaan DPR terhadap Presiden tersebut menurut Mahkamah Konstitusi ternyata tidak terbukti, akan tetapi DPR memang bermaksud menjatuhkan Presiden, tentu saja kasus tersebut akan tetap dibawa ke MPR. Sebagaimana diketahui mayoritas komposisi anggota MPR adalah berasal dari DPR juga. Sehingga dapat dikatakan bahwa diturunkan atau tidaknya seorang Presiden sangat tergantung pada realitas poltik yang berkembang di MPR. Lalu apakah sebenarnya urgensi dari putusan MK ini ?

Menurut Laica Marzuki, adanya putusan Mahkamah Konstitusi merupakan sebuah keputusan yuridis. Sehingga meskipun putusan dari Mahkamah Konstitusi menolak pendapat DPR, akan tetapi jika realitas politik berkehendak menjatuhkan Presiden maka DPR tetap membawa pendapat tentang Presiden ke forum MPR.142

Kemudian jika ternyata dalam pemeriksaan oleh Mahkamah Konstitusi bukti-bukti yang dihadirkan kurang; apakah kemudian Mahkamah Konstitusi memerintahkan kembali kepada DPR untuk melengkapi bukti-bukti dugaannya

142

tersebut atau justru Mahkamah Konstitusi sendiri yang mencari bukti-bukti tambahan. Hal ini sangat menarik karena durasi waktu yang sangat pendek.

c. Waktu Penyelidikan 90 (sembilan puluh) hari

Menurut Pasal 7B ayat 4, MK wajib memeriksa, mengadili dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan DPR itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi. Apabila dibandingkan dengan proses peradilan pada umumnya tentu saja waktu 90 hari sangat sempit. Oleh karena itu, sangat wajar apabila timbul sebuah pertanyaan cukupkah waktu 90 hari bagi MK untuk memutus pendapat DPR tersebut. Kemudan apabila ternyata MK belum dapat memberikan jawaban atas pendapat DPR tersebut dalam jangka waktu 90 hari, apakah MK dapat meminta tambah waktu lagi, serta dapatkah kasus yang sama diajukan kembali oleh DPR ke MK.

Terhadap permasalahan ini Laica Marzuki menyatakan bahwa waktu 90 hari (tiga bulan) cukup untuk menyelesaikan permasalahan / memutus pendapat DPR tentang Presiden tersebut. Dengan asumsi bahwa waktu tersebut harus dilaksanakan secara efektif dan kontinyu, bahkan pada hari libur dan tanggal merahpun, para Hakim Konstitusi terus bekerja.143 Bahkan terdapat pula pendapat yang menyatakan bahwa dengan durasi waktu 90 hari tersebut tidak ada alasan bagi MK untuk tidak selesai menyelesaikan tugasnya. Dan seandainya MK tidak dapat menyelesaikan tugasnya dalam jangka waktu yang telah ditentukan itu,

143

maka dapat dikatakan Mahkamah Konstitusi melanggar undang-undang.144 Akan tetapi tidak dijelaskan apa sanksinya jika Mahkamah Konstitusi tidak dapat menyelesaikan tugasnya itu dalam jangka waktu 90 hari.

d. Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final akan tetapi tidak dijelaskan daya mengikatnya.

Dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa : Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar , memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum.

Merujuk pada bunyi ayat tersebut maka jelas terlihat bahwa putusan Mahkamah Konstitusi adalah bersifat final. Akan tetapi kemudian timbul sebuah pertanyaan apakah selain putusan itu bersifat final juga bersifat mengikat atau tidak bersifat mengikat. Ketentuan ini jika dikaikan dengan Pasal 7B ayat (5) maka akan muncul berbagai permasalahan antara lain, pertama, bagaimana jika seandainya DPR tidak meneruskan usulan tersebut kepada MPR, kedua, apakah keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut harus dan wajib diikuti oleh MPR. Hal ini sangat penting karena seandainya keputusan Mahkamah Konstitusi tidak bersifat mengikat, maka putusannya akan dapat saja dianulir oleh DPR dengan alasan realitas politik di MPR menolak memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden.145 Sehingga timbul pertanyaan selanjutnya, apakah aspek hukum dapat dikesampingkan oleh aspek politik.

144 Taufikurrohman Syahuri,…Op.Cit..

145

Terhadap hal ini Laica Marzuki menyatakan bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi bisa dikesampingkan karena forum Rapat Paripurna di MPR merupakan forum politis. Sehingga keputusan yang dihasilkanpun merupakan keputusan yang bersifat politis. Hal ini berbeda dengan keputusan dalam persidangan Mahkamah Konstitusi yang menghasilkan keputusan yang bersifat yuridis. 146

Sementara itu apabila ditelaah lebih lanjut arti penting keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah untuk menciptakan rasa keadilan secara hukum.147 Misalnya, dalam hal seorang presiden dan atau wakil presiden tetap diturunkan oleh MPR karena realitas politik menghendaki mereka untuk turun padahal keputusan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pendapat DPR tidak terbukti. Akan tetapi jika keputusan Mahkamah Konstitusi membenarkan pendapat DPR berarti hal itu justru akan lebih menguatkan dan memberi justifikasi terhadap penurunan presiden.

e. Pengajuan Kasus Pidana Presiden dan/atau Wakil Presiden ke Peradilan Mahkamah Konstitusi dan Peradilan Umum

Dalam Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945148, maka terlihat bahwa hampir semua pelanggaran hukum yang dapat mengakibatkan seorang Presiden dapat di-Impeach adalah merupakan kasus pidana. Dan biasanya sebuah kasus

146

Laica Marzuki,…op. cit. 147ibid.

148

Usulan pemberhentian Presiden dan / atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan / atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela dan / atau pendapat bahwa Presiden dan / atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden.

pidana tentu saja diajukan dan disidangkan ke Pengadilan Negeri untuk mendapatkan vonis dari majelis hakim. Akan tetapi jika merujuk pada Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 dapat diketahui bahwa dalam hal pendapat DPR terhadap Presiden yang telah melakukan pelanggaran pidana ini diajukan ke Mahkamah Konstitusi.

Maka timbul pertanyaan apakah kasus tersebut diselesaikan pada salah satu pengadilan yang dalam hal ini adalah Mahkamah Konstitusi atau dapatkah kasus tersebut diajukan kepada dua pengadilan sekaligus yaitu pada Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.

Terhadap permasalahan ini Laica Marzuki berpendapat bahwa pada kasus seperti ini tidak bisa diajukan ke Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung secara bersamaan. Hal itu dipertegas dengan pendapatnya dalam prosedural penyelesaian kasus impeachment atau pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden adalah prosedural konstitusi meski kasus yang dihadapi adalah kasus pidana.149 Akan tetapi menurut Suwoto (Alm), idealnya yang mengadili Presiden terkait dengan kasus-kasus pidana adalah Mahkamah Agung dan bukan Mahkamah Konstitusi.150