• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Pesantren di Indonesia

4. Problematika Pesantren

Untuk dapat mengungkapkan suatu konsep yang relevan bagi

kebutuhan Pesantren, terlebuh dahulu harus mengetahui garis besar dari situasi yang dihadapi Pesantren. Sistem pendidikan Pesantren didasari, digerakkan, dan diarahkan oleh nilai-nilai kehidupan yang bersumber pada ajaran Islam. Ajaran Islam ini menyatu dengan struktur kontekstual atau realitas sosial yang digumuli dalam kehidupan keseharian. Hal inilah yang

mendasari konsep pembangunan dan peran kelembagaan Pesantren. Pesantren mempunyai kriteria yang disebut dalam konsep pembangunan, yaitu pembangunan kemandirian, mentalitas, kelestarian, kelembagaan, dan etika (Rofiq, 2005: 5). Pesantren seperti “ruang bebas pendidikan" yang mempunyai karakter nilai, yaitu nilai keagamaan. Sedangkan batasan norma yang dimiliki yaitu norma masyarakat, serta bersifat mandiri tanpa uluran tangan lembaga luar. Sepertinva hampir semua sisi pembentukan kepribadian manusia dapat dihubungkan dalam metode pendidikan Pesantren. Di sinilah let^k pesona Pesantren yang membuat daya pikat masyarakat yang "haus dengan ilmu".

Kharisma seorang Kyai atau pengasuh Pesantren juga turut menyumbangkan "energi pikat" pada Pesantren itu sendiri. Ketokohan seorang Kyai mempunyai pengaruh untuk mendongkrak harga diri Pesantren di mata masyarakat. Selain itu, Pesantren juga mempunyai tradisi yang terbuka, egaliter, inklusif, dan mempersilahkan siapa saja untuk mengunjungi Pesantren (Rofiq, 2005: 6).

Penjajahan yang dilakukan Oleh Belanda terhadap bangsa ini,

temyata menimbulkan pengaruh yang cukup signifikan terhadap kemajuan Pesantren. Dapat diandaikan bahwa perguruan tinggi yang ada sekarang, misalnya, ITB, IPB, UGM, UI, ataupun yang lain kemungkinan tidak akan ada. Yang ada adalah Perguruan tinggi yang berakar pada Pesantren. Hal ini kita bandingkan dengan sejarah berdirinya perguruan tinggi yang ada di barat, dimana hampir semua universitas yang terkenal berakar pada perguruan tinggi yang semula berorientasi pada ilmu keagamaan, dalam

hal ini adalah agama Kristen. Misalnya adalah Unniversitas Harvard yang didirikan oleh seorang Pendeta yang bemama Harvard. Kecenderungan perkembangan kemajuan dewasa ini dipengaruhi oleh pola budaya barat dimana peranan dari universitas semacam universitas Harvard secara tidak langsung mempengaruhi budaya barat yang kemudian diekspor ke hampir seluruh beiahan dunia. Harvard tumbuh menjadi kekuatan besar yang menghasilkan dan mempelopori perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam ranah kekuasaan, Harvard juga memainan peranan penting dalam mencetak crang-c-rang yang berhasil menduduki

kepemimpinan di Amerika Serikat (Nurcholish, 1997: 4).

Ada beberapa hal yang menjadi sebab hal tersebut di atas tidak terjadi di Indonesia. Dimana peran Pesantren-Pesantren besar semacam Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang, Pondok Pesantren

Salafiyah

Syafiiyah Situbondo, Pendok Pesantren Tremas, dan Pesantren yang lain. Kalau aitelisik lebih jauh memang ada kesenjangan dan asumsi dari

masyarakat yang sekarang menganggap institusi Pesantren dengan konotasi kolot, konservatif, ketinggalan zaman maupun kuno. Pola pendidikan yang teijadi di Universitas Harvard misainya, temyata tidak serta-merta meninggalkan ciri khas jiw a “kepesantrenannya“ (Nurcholish, 1997: 6). Di sana masih terdapat bagian-bagian yang mengajarkan Teologi dan tetap melanjutkan peranan historisnya sebagai penganut paham unitarianisme vaitu paham yang melandasi hubungan antara suatu komunitas masyarakat dengan komunitas masyarakat lainnya yang saling membutuhkan (Nurchoiish, 1997: 23).

Situasi yang secara faktual dihadapi oleh Pesantren adalah

perkembangan dan kemauan untuk menerima hal-hal baru yang mampu menjawab kebutuhan dasar dari proses pendidikan yang ada di Pesantren. Mengaca pada hal tersebut, Pesantren di Indonesia selayaknya mulai berbenah diri. Dalam peneiitian yang penulis lakukan, ada beberapa sebab yang menjadikan Pesantren di Indonesia masih belum mampu memainkan peran yang signifikan dalam sejarah perkembangan bangsa.

Hal-hal yang menjadi hambatan bagi terbukanya Pesantren untuk mempersiapkan diri menghadapi dan menjawab tantangan zaman penulis

ketengahkan dalam beberapa bagian. a. Manajeriai atau Kepemimpinan

I) Kurangnya kemampuan d ad pengasuh untuk mengatasi tantangan- tantangan yang dihadapi terutama kemajuan pengetahuan yang mulai dirasakan oleh bangsa Indonesia.

2) Statisnya sarana yang berupa manajemen kepemimpinan yang terampil dan sarana materiil termasuk keuangan. Hal ini membawa kesulitan dal am menyeiesaikan pemasalahan secara integral dan menyeluruh.

3) Lemahnya visi dan tujuan yang dibawa pendidikan Pesantren yang kemudian dituangkan dal am tahapan-tahapan penyusunan kurikulum pendidikan dan peningkatan kapasitas keilmuan.

4) Keterbatasan pengelola atau pengasuh Pesantren dalam merespon

perkembangan masyarakat sehingga produk dari Pesantren kurang siap untuk “lebur“ dan mewamai kehidupan modem (Nurcholis,

1997: 6-10).

5) Pola kepemimpinan Kyai yang kadang berlindung dibalik

“Kharisma“ berdampak pada kepemimpinan yang tidak demokratis karena segala sesuatu yang berkaitan dengan Pesantren terpusat pada Kyai sebagai pengasuh.

6) Kepemimpinan yang bersifat personal berimplikasi pada sulitnya mengadakan peraturan administrasi yang baik dan manajemen

modem.

7) Seorang Kyai selain menjadi pimpinan agama sekaligus merupakan penggerak tradisi dalam masyarakat feodal. Feodalisme yang dibungkus dengan nuansa keagamaan lebih berbahaya dari foedalisme biasa karena Kyai lebih mampu menggerakkan massa

untuk mempertahankan kedudukan apabila suatu saat merasa kepentingan pribadinya terusik.

8) Karena kepemimpinan yang kurang demokratis, cenderung feodalistik dan bersifat personal, sehingga kecakapan teknis tidak diperlukan. Maka ini menjadi salah satu sebab pokok tertinggalnya Pesantren dari perkembangan zaman (Nurcholis, 1997: 95-96). b. Kurikulum

1) Orientasi penyusunan kurikulum masih menitik beratkan pada materi-materi yang berasal dari kitab Kuning semata. Belum mampu mengadopsi dan berdialog dengan kebudayaan modem dan secara aktif mengisinya dengan substansi dan budaya Islam.

2) Budaya menulis dan ilmiah mulai luntur, padahal dunia Pesantren dilahirkan dari generasi yang cukup produktif dalam mengarang kitab-kitab klasik, misalnya Syekh Nawawi al-bantani, KH Mahfudz at-Tarmazy, dan lain-lain.

3) Materi-materi yang diajarkan hanya sekedar mempersiapkan Santri sebagai Abdullah daripada konsep Khalifatullah. Sebagai konsekuensinya Santri lebih dipersiapkan sebagai penems Islam ritualistic, akrab dengan ibadali mahdliah, individu yang pasif dan melupakan kesalehan sosial (Nafi’ 2007: 101-103).

4) Tidak adanya sistem pendidikan tradisional yang integral karena perencanaan yang terperinci dan rasional atas jalannya

pembelajaran tidak meliputi hubungan antara si stem pendidikan yang dikembangakan.

5) Tidak adanya konsep dalam membuat kurikulum dalam susunan yang mudah dipaliami dan dikuasai oleh Santri.

6) Pedoman yang dipakai adalah mengajarkan penerapan hukum

syara’ dalam kehidupan sehari-hari tetapi mengabaikan nilai-nilai pendidikan. Akibatnya adalah tidak adanya filsafat pendidikan yang jelas dan lengkap (Wahid. 2007: 75-76)

7) Ada tiga materi ilmu agama yang utama yaitu Fiqh, Aqaid, dan Tasawuf. Namun untuk materi Tasaw uf hanya menjadi hak orang- orang tertentu dan untuk Santri umum hanya menjadi sebuah anjuraa yang lemah. Mestinya tidak ada diskriminasi pengajaran materi pelajaran.

8) Ilmu gramatika bahasa Arab (nahwu dan sharaf) menempati kedudukan yang penting sekali sehingga menuntut waktu dan tenaga yang banyak. Meskipun hal tersebut menjadi awal untuk mempelajari teks-teks kitab kuning, namun melihat pada kcadaan sekarang sudah tidak proporsional dan relevan.

9) Semangat, rasa agama (religiusitas), spiritual, dan hakikat dari ilmu syariat sepenuhnya diserahkan ternadap individu Santri. Pemahaman terhadap A l-Q ur’an dan Hadist seolah menjadi pelengkap dalam kurikulum. Pengajaran tentang cara hidup keagamaan dan pandangan-pandangannya melaiui tasaw uf masih

kalah porsinya dengan ilmu nahwu sharaf, fiqh, atau ilmu kalamnya. Padahal justru segi tasaw uf yang diperlukan dalam masyarakat modem.

10) Pembelajaran Pengetahuan umum sekedar menjadi syarat formal agar tidak disebut ketinggalan zaman.

1 1 ) Sistem pengajaran kurang efisien, efektif, tidak sistematis, dan pemilihan kitab kurang relevan dengan kebutuhan masyarakat. 12) Sistem hafalan pelajaran menyebabkan Santri kurang kreatif

melahirkan ide-ide baru (Nurcholis, 1997: 93). Ruang rasio belum diminati sehingga belum mampu melahirkan kreativitas dan rasa ingin tahu pada Santri (Nafi’, 2007: 102).

c. Santri atau Peserta Didik

1) Kurangnya perhatian terhadap kesehatan Santri, sehingga berpengaruh terhadap proses pembelajaran. Bahkan yang

memprihatinkan adalah anggapan bahwa seorang Santri yang belum terkena penyakit khas Pesantren “gudhik‘% maka ilrminya belum sempuma. Ini tentunya kontra produktif dengan kebutuhan akan tubuh yang sehat dalam proses pembelajaran.

2) Rasa rendah diri sering menghinggapi Santri apabila bertemu dengan orang dari komunitas lain, padahal untuk lingkungan intern seringkali an tar Santri bertingkah seenaknya sendiri dalam pergaulan.

1) Alumni Pesantren hanya cocok untuk lingkungan masyarakat yang memang dari Simula sudah mengadopsi niiai-niiai dari Pesantren. Namun untuk masyarakat umum seperti masyarakat perkotaan, alumni Pesantren sering kalah berkompetisi dalam kepemimpinan dengan lulusan sekolah formal.

2) Sikap non kooperatif dengan pemerintah dengan slogan tidak mau menjadi pegawai negeri sangat tidak produktif karena ini merupakan sisa dari sikap i=olatif dan non kooperatif pada masa kolonial.

3) Lalian perekonomian yang independen, misalnya petani, nelayan, pengusaha maupun wiraswasta lainnya yang diteijuni oleh alumni Pesantren menjadi bukti bahwa kemampuan mereka tidak berasal dari pengetahuan yang didapat selama di Pesantren.

4) Kepemimpinan alumni Pesantren di masyarakat sering kompromistis menuruti kehendak massa. Namun terbadap dunia luar cendreung kurang adaptif, bahkan agresif-reaktif. Ini disebabkan kurangnya keterbukaan dan kelemahan dalam menilai sesuatu secara obyektif.

5) Daiam pemberdayaan masyarakat diperlukan pemimpin yang sadar akan tanggung jaw ab, memiliki ketrampilan dan pengetahuan dasar, dan cepat beradaptasi dalam berhubungan dengan

Dokumen terkait