• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.2 Konsep Penelitian

2.2.2 Produk Pariwisata

Produk pariwisata adalah suatu bentukan yang nyata dan tidak nyata, dalam suatu kesatuan rangkaian perjalanan yang hanya dapat dinikmati apabila seluruh rangkaian perjalanan tersebut dapat memberikan pengalaman yang baik bagi yang melakukan perjalanan tersebut (Muljadi, 2012:46). Sedangkan menurut UN-WTO dalam Pitana dan Surya Diarta (2009:128), produk pariwisata didefinisikan sebagai “...any good or service purchased by, or consumed by, a person defined as a visitor”.

Produk wisata sebenarnya bukan saja merupakan produk yang nyata (tangible), akan tetapi merupakan rangkaian produk (barang dan jasa) yang tidak hanya mempunyai segi-segi yang bersifat ekonomis, namun juga bersifat sosial, psikologis dan alam. Produk wisata merupakan berbagai jasa, di mana satu dengan lainnya saling terkait dan dihasilkan oleh berbagai perusahan pariwisata, misalnya akomodasi, angkutan wisata, biro perjalanan, restoran, daya tarik wisata, dan perusahan lain yang terkait. Produk wisata mempunyai ciri-ciri tertentu, yaitu tidak dapat disimpan, tidak dapat dipindahkan, produksi dan proses konsumsi terjadi atau berlangsung secara bersamaan, tidak ada ukuran yang pasti atau objektif, pelanggan atau costumer tidak dapat mencicipi produk itu sebelumnya, pengelolaan produk wisata mengandung risiko besar (Muljadi, 2012:47).

Dalam setiap fase pengembangan, memerlukan komponen wisata., seperti yang dinyatakan Inskeep (1991:38), bahwa di berbagai literatur dimuat

bermacam-macam komponen wisata. Namun ada beberapa komponen wisata yang selalu ada dan merupakan komponen dasar dari wisata. Komponen-komponen tersebut saling berinteraksi satu sama lain dan dapat dikelompokkan menjadi empat, yang dikenal dengan 4A, yaitu Atraksi (Attraction) atau kegiatan-kegiatan wisata. Kegiatan-kegiatan wisata yang dimaksud, dapat berupa semua hal yang berhubungan dengan lingkungan alami, kebudayaan, keunikan suatu daerah dan kegiatan-kegiatan lain yang berhubungan dengan kegiatan wisata yang menarik wisatawan untuk mengunjungi sebuah obyek wisata seperti alam yang menarik, kebudayaan daerah yang menawan dan seni pertunjukan.

Lebih lanjut Inskeep (1991:38) menyatakan bahwa selain atraksi, aksessibilitas (accessibilities), yaitu sarana dan prasarana seperti; akses jalan, transportasi lokal, adanya terminal, dan fasilitas komunikasi. Fasilitas (facilities), adalah semua fasilitas yang dibutuhkan dalam kawasan wisata, termasuk tour and travel operations (disebut juga pelayanan penyambutan). Fasilitas tersebut dapat berupa restoran dan berbagai jenis tempat makan lainnya, toko-toko untuk menjual hasil kerajinan tangan, cinderamata, toko-toko khusus. Ansileri (ancillary), yaitu organisasi kepariwisataan (Ancillary services) yang dibutuhkan untuk pelayanan wisata, antara lain Destination Management Organization (DMO), conventional and visitor bureau.

Pernyataan Inskeep di atas, senada dengan pernyataan (Cooper, 1993) yang juga menyebutkan bahwa elemen produk pariwisata dikenal dengan istilah 4 A, yaitu Atraksi, Aksesibilitas (transport lokal, terminal angkutan), Amenitas

(akomodasi, usaha penyedia makanan dan minuman, tempat hiburan, dan lain- lain) dan ansileri yaitu berupa bentuk pelayanan pariwisata dari organisasi lokal.

Menurut Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yang dimaksud dengan daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan. Sedangkan menurut tim penyusun RIPPDA Kabupaten Timur Tengah Selatan Pusat Studi Pariwisata UGM 2003 yang dikutip Ismaningrum (2005), menyatakan bahwa produk pariwisata merupakan komponen penting dalam industri pariwisata, yang mencakup tiga aspek dan dikenal sebagai triple A (Atraksi, Amenitas dan Aksesibilitas). Atraksi adalah objek yang memiliki daya tarik untuk dilihat, ditonton, dinikmati yang layak dijual ke pasar wisata. Seringkali atraksi ditafsirkan dalam dua komponen yakni sebagai objek wisata (tourist object) dan atraksi wisata (tourist attraction). Atraksi wisata adalah sesuatu yang dapat dilihat lewat pertunjukan dan seringkali membutuhkan persiapan bahkan mengeluarkan biaya untuk menikmatinya. Berbeda dengan objek wisata (tourist object) yang dapat disaksikan tanpa perlu persiapan. Amenitas yaitu segala macam fasilitas yang menunjang kegiatan pariwisata, seperti: rumah makan, hotel, café, sarana komunikasi, papan informasi, money changer dan lain-lainnya. Bahkan sering kali diperlukan jasa asuransi khususnya bagi tipe wisata yang memiliki resiko kecelakaan tinggi. Keberadaan dan kelengkapan berbagai jenis fasilitas menjadi prasyarat mutlak bagi peningkatan kunjungan wisatawan pada suatu objek wisata. Dengan kata lain, meskipun daya

tarik wisata yang dimiliki dinilai cukup bagus namun bila tidak memiliki jaminan fasilitas yang memadai lambat laun tentu akan ditinggalkan wisatawan. Aksesibilitas merupakan sarana dan prasarana yang menyebabkan wisatawan dapat berkunjung ke destinasi yang diinginkan dengan mudah, aman, nyaman. 2.2.3 Agrowisata

Agrowisata merupakan salah satu produk wisata yang memanfaatkan usaha agro sebagai objek wisata. Surat Keputusan bersama Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi, dan Menteri Pertanian No. KM.47/PW.DOW/MPPT-89 dan Nomor 204/KPTS/HK/0504/1989, agrowisata didefinisikan sebagai suatu bentuk kegiatan yang memanfaatkan usaha agro mulai dari awal sampai dengan produk pertanian dalam berbagai sistem, skala dan bentuk sebagai objek wisata dengan tujuan untuk memperluas pengetahuan, pengalaman rekreasi dan hubungan usaha di bidang pertanian. Sedangkan Goodwin (1998), menyatakan agrowisata sebagai suatu kegiatan yang secara sadar ingin menempatkan sektor primer (pertanian) dikawasan sektor tersier (pariwisata), agar perkembangan sektor primer dapat lebih dipercepat, dan petani memperoleh peningkatan pendapatan dari pariwisata yang memanfaatkan kegiatan sektor pertanian tersebut. Agrowisata dikatakan sebagai kegiatan yang memihak pada masyarakat miskin.

Ismayanti (2010:156-159, menyatakan agrowisata merupakan salah satu bentuk wisata minat khusus, selain wisata olahraga, wisata kuliner, wisata religious, wisata goa, wisata belanja, dan wisata ekologi Sedangkan Muljadi (2012:59), menyatakan bahwa yang merupakan kelompok pengusahaan objek dan daya tarik wisata minat khusus selain wisata agro adalah wisata buru, wisata tirta,

wisata petualangan alam, wisata goa, wisata kesehatan, tempat budaya, industri, dan kerajinan. Melalui pengembangan agrowisata yang menonjolkan budaya lokal dalam memanfaatkan lahan, dapat meningkatkan pendapatan petani, melestarikan sumber daya lahan, serta memelihara budaya (culture) maupun teknologi lokal yang umumnya telah sesuai dengan kondisi lingkungan alaminya (Sugeng, 2004).

Agrowisata tidak hanya memanfaatkan keindahan alam dan keanekaragaman kegiatan pertanian, tetapi banyak tercipta model-model agrowisata yang memanfaatkan objek-objek pertanian tertentu, seperti agrowisata hortikultura, agrowisata tanaman perkebunan, ataupun varian kebun-kebun perkebunan adalah contoh dari sekian banyak agrowisata yang dapat dikembangkan (Departemen Pertanian RI, 2009). Hal yang senada juga dinyatakan oleh Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2004), bahwa agrowisata memiliki pengertian yang sangat luas, dalam banyak hal sering kali berisikan ekowisata. Ekowisata dan agrowisata memiliki banyak persamaan, terutama karena keduanya berbasis pada sumber daya alam dan lingkungan. Di beberapa negara agrowisata dan ekowisata dikelompokkan dalam satu pengertian dan kegiatan yang sama, agrowisata merupakan bagian dari ekowisata.

Agrowisata dapat dikelompokkan ke dalam wisata ekologi (eco-tourism) yaitu kegiatan perjalanan wisata dengan tidak merusak atau mencemari alam dengan tujuan untuk mengagumi dan menikmati keindahan alam, hewan atau tumbuhan liar di lingkungan alaminya serta sebagai sarana pendidikan (Departemen Pertanian RI, 2012). Hal yang selaras dinyatakan oleh Rai Utama

(2007), bahwa agrowisata menganut falsafah ekowisata sehingga sangat beralasan dijadikan jalan terbaik untuk mewujudkan pariwisata yang berkualitas, dan merupakan jenis wisata yang didukung oleh masyarakat tani, sehingga dari sisi penawaran para petani siap dengan produknya dan wisatawan mengharapkan suguhan produk yang ditawarkan oleh para petani. Proses produksi agrowisata terjadi ketika terjadi “perkunjungan” yang mempertemukan antara penawaran dan permintaan.

Departemen Pertanian RI (2012) menyatakan bahwa kecenderungan masyarakat modern dalam memenuhi kebutuhan hidup melakukan kegiatan mengunjungi dan menikmati obyek-obyek yang mempunyai kekhususan (spesifik lokasi) seperti keindahan alam, udara segar, tradisi yang unik, produk olahan tradisional, produk pertanian segar menunjukkan kemajuan yang sangat pesat. Kecenderungan ini merupakan signal tingginya permintaan akan agrowisata dan sekaligus membuka peluang bagi pengembangan produk-produk agribisnis, baik dalam bentuk kawasan ataupun produk pertanian yang memiliki daya tarik spesifik. Hamparan areal pertanaman yang luas seperti areal perkebunan dan hortikultura, disamping menyajikan pemandangan dan udara segar, juga merupakan media pendidikan bagi masyarakat dalam dimensi yang sangat luas, mulai dari pendidikan tentang usaha di bidang perkebunan atau hortikultura tersebut, sampai pendidikan tentang keharmonisan dan kelestarian alam.

Agrowisata didefinisikan sebagai suatu bisnis yang dilakukan oleh para petani yang bekerja di sektor pertanian bagi kesenangan dan edukasi para pengunjung. Agrowisata juga dinyatakan sebagai salah satu bentuk dari rural

tourism yang menawarkan kegiatan pertanian sebagai daya tarik wisata serta melibatkan penduduk lokal dalam perencanaan hingga pengelolaan kawasan agrowisata (Andini, 2013). Hal senada dinyatakan Rai Utama (2012), bahwa agrowisata merupakan salah satu usaha bisnis dibidang pertanian yang menekankan penjualan jasa kepada konsumen.

Lucian (2012) mendefinisikan agrowisata sebagai kegiatan ekonomi yang terjadi ketika orang mencoba untuk membangun hubungan antara kegiatan perjalanan, produk pertanian dan jasa makanan. Tirtawinata dkk. (1999) menyatakan ada lima manfaat agrowisata atau agrotourism yaitu (a) meningkatkan konservasi lingkungan, (b) meningkatkan nilai estetika dan keindahan alam, (c) memberi nilai rekreasi, (d) meningkatkan kegiatan ilmiah dan pengembangan ilmu pengetahuan, dan (e) mendapatkan keuntungan ekonomi.

Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar Nomor 16 Tahun 2012 tentang RTRW, Agrowisata didefinisikan sebagai kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi kawasan pertanian untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara.

Agrowisata dalam penelitian ini didefinisikan sebagai sebuah bentuk kegiatan pariwisata yang memanfaatkan potensi alam, pertanian (agro), budaya, dan aktivitas masyarakat pedesaan sebagai daya tarik wisata, dengan tujuan untuk memperluas pengetahuan, pengalaman, area rekreasi, dan hubungan usaha agribisnis pedesaan. Agrowisata dikembangkan berdasarkan konsep pengembangan wilayah, melalui pemanfaatan potensi alam, pertanian, budaya,

dan aktivitas masyarakat lokal dan mengacu pada prinsip-prinsip pembangunan pariwisata berkelanjutan.

Pengembangan Agrowisata Desa Kerta diharapkan dapat memacu pertumbuhan dan perkembangan usaha-usaha agribisnis, mendorong peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia, penguatan kelembagaan pertanian, sosial-budaya, dan ekonomi, membuka kesempatan berusaha seluas-luasnya bagi masyarakat setempat dan sekitarnya. Selain itu, pengembangan Agrowisata Desa Kerta, juga diharapkan mampu menjaga kelestarian alam, kekayaan sumberdaya alam hayati (pertanian), budaya, dan aktivitas masyarakat lokal.

2.2.4 Agropolitan

Agropolitan terdiri dari kata Agro (pertanian) dan Politan (polis yang berarti kota), sehingga agropolitan dapat diartikan sebagai kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya. Nugroho (2008:174-186) menyatakan bahwa agropolitan adalah hasil pendekatan terhadap teori-teori pembangunan yang berbasis pada sektor pertanian, atau pembangunan wilayah pertanian.

Konsep pengembangan agropolitan pertama kali diperkenalkan McDouglass dan Friedmann (1975) sebagai siasat untuk pengembangan perdesaan. Meskipun termaksud banyak hal dalam pengembangan agropolitan, seperti redistribusi tanah, namun konsep ini pada dasarnya memberikan pelayanan perkotaan di kawasan perdesaan atau dengan istilah lain yang digunakan oleh Friedmann adalah kota di ladang. Friedmann dan Douglass (1975) mengusulkan

konsep Agropolitan sebagai alternatif untuk pembangunan daerah. Konsep sangat bergantung pada pengembangan pusat pertumbuhan kota, yang terletak di dalam 5-10 kilometer atau satu jam bersepeda dari pedalamannya. Konsep ini memungkinkan leveraging investasi karena lebih dari satu desa yang terlibat dan investasi dapat difokuskan pada Desa Pusat Pertumbuhan (DPP) yang paling mudah diakses, sehingga tangkapan juga optimal.

Pranoto (2005), menyatakan bahwa konsep pengembangan kawasan agropolitan muncul dari permasalahan adanya ketimpangan pembangunan wilayah antara kota sebagai pusat kegiatan dan pertumbuhan ekonomi dengan wilayah pedesaan sebagai pusat kegiatan pertanian tertinggal. Proses interaksi kedua wilayah tersebut, secara fungsional ada dalam posisi saling memperlemah. Wilayah pedesaan dengan kegiatan utama sektor primer, khususnya pertanian, mengalami permasalahan produktivitas yang signifikan, sedangkan di sisi lain, wilayah perkotaan sebagai tujuan pusat pertumbuhan menerima beban berlebih, sehingga memunculkan ketidaknyamanan akibat permasalahan sosial dan lingkungan.

Agropolitan sebagai salah satu konsep diharapkan dapat menjadi arah kebijakan pembangunan wilayah sehingga pembangunan fisik yang dilaksanakan tanpa mengorbankan kepentingandan kebutuhan masyarakat di desa, sehingga masyarakat dapat menikmati hasil pembangunan dengan disertai peningkatan kesejahteraan keluarganya. Melalui pendekatan agropolitan pembanguan wilayah semestinya dapat membawa kemajuan wilayah tanpa mengabaikan kelestarian

lingkungan, budaya, tradisi dengan disertai inovasi-inovasi bisnis yang terarah dan berkelanjutan (Toekidjo, 2011).

Pengembangan kawasan agropolitan merupakan konsep pengembangan wilayah yang berbasis pertanian dengan tujuan untuk mempercepat pembangunan di kawasan perdesaan. Menurut Pranoto dkk., (2005), pengembangan agropolitan (pengembangan wilayah berbasis agro) diharapkan dapat memberikan dampak positif dalam upaya untuk memberdayakan masyarakat pedesaan, mengurangi kemiskinan, dan mendukung kegiatan ekonomi pedesaan yang berorientasi lingkungan. Menurut Ide Agropolitan dipandang mampu menjawab tantangan pemerataan pembangunan dan pembangunan berkelanjutan yang merupakan salah satu pendekatan pembangunan perdesaan berbasis pertanian dalam artian luas dengan menempatkan ”kota-tani” sebagai pusat kawasan dengan segala ketersediaan sumberdayanya, sebagai modal tumbuh dan berkembangnya kegiatan saling melayani dan mendorong usaha agrobisnis antar desa-desa kawasan (interland) dan desa-desa sekitarnya.

Pemerintah Indonesia mengadopsi konsep ini dalam pembangunan pedesaan pada tahun 2002, dengan fokus khusus pada pembangunan infrastruktur seperti jalan pedesaan, pasar dan irigasi (Rustiadi, 2004). Program ini mengikuti "perdagangan mengikuti kapal" prinsip, di mana penyediaan infrastruktur mendahului permintaan dan diharapkan dapat mendorong kegiatan ekonomi dan konsentrasi distribusi pasca-pertanian di pusat pertumbuhan dengan desa-desa pedalaman sehingga skala ekonomi dapat direalisasikan.

Dokumen terkait