• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.4. PENGARUH PENAMBAHAN FEED TERHADAP KINERJA KONDISI PADA

4.4.1. Produksi Biogas

- 7-9 a - 6.8-7.4b 25-30 a

Sumber : a) Wahyuni (2008), b) Romli (2010).

Berdasarkan penjelasan Tabel 10 di atas dapat diketahui bahwa:

1. Total Solid atau padatan kering bahan awal lebih tinggi dari kondisi optimum fermentasi.

2. Nilai pH bahan awal yaitu 5.10 lebih asam dari kondisi optimum fermentasi yang lebih cenderung dalam range pH netral.

3. Nilai C/N bahan awal di atas nilai C/N optimum pembentukkan biogas antara 25-30.

4.4.1 Produksi Biogas

Biogas merupakan gas yang dihasilkan dari penguraian bahan organik dalam keadaan tanpa udara (anaerob). Menurut Wahyuni (2009) biogas merupakan salah satu sumber energi terbarukan yang dapat menjawab kebutuhan energi alterrnatif. Dalam proses pembentukannya terdapat 4 proses yang harus dilalui sehingga menghasilkan biogas. Proses tersebut adalah hidrolisa, asidifikasi, asetofikasi, dan metanisasi. Penting untuk diperhatikan bahwa proses hidrolisis umumnya menjadi tahap pembatas laju pada degradasi anaerobik bahan-bahan organik kompleks (Romli, 2010).

Pengamatan produksi biogas dilakukan selama 90 hari atau 3 kali batch fermentasi anaerobik selama 30 hari. Pengamatan 30 hari pertama (batch ke-1) merupakan produksi biogas dari komposisi bahan awal yaitu 2.5 kg bahan sampah yang ditambahkan dengan 277 g kotoran sapi segar. Pengamatan 30 hari ke-2 (batch ke-2) adalah pengamatan produksi biogas dari campuran bahan 50% digestat dan 50% bahan baru (bobot:bobot), dan 30 hari ke-3 (batch ke-3)

24

adalah pengamatan produksi biogas dari bahan 25% digestat dan 75% bahan baru (bobot:bobot). Volume akumulasi biogas sampah pada uji coba skala 10 l disajikan pada Gambar 10.

Gambar 10. Volume akumulasi biogas sampah skala 10 l

Dari hasil pengamatan akumulasi produksi biogas dari setiap batch sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 10 memperlihatkan bahwa batch pertama (100% bahan awal) menghasilkan 16707 ml, batch kedua (feed 50%) menghasilkan 10908 ml, dan batch ketiga (feed

75%) menghasilkan 12378 ml biogas. Atau jika dirata-ratakan terhadap lamanya proses fermentasi maka produksi biogas batch ke-1 menghasilkan 557 ml biogas/hari, batch ke-2 menghasilkan 364 ml biogas/hari, dan batch ke-3 sebanyak 413 ml biogas/hari. Alvarez dan Liden (2007) dalam percobaannya menggunakan sampah sayur dan buah-buahan, fermentasi selama 30 hari, suhu operasi konstan pada 35oC, dan volume digester 2 liter menghasilkan 316 ml biogas/hari.

Produksi biogas akan lebih optimum jika fermentasi anaerobik yang dilakukan benar-benar pada kondisi tanpa O2. Beberapa kondisi yang memungkinkan masuknya O2 pada reaktor adalah ketika dilakukan pengambilan sampel bahan padat dari dalam reaktor. Sampel bahan padat diambil dari lubang sampel yang terdapat pada reaktor. Pada proses resirkulasi lindi juga memungkinkan O2 masuk ke dalam reaktor. Lindi yang tertampung dalam tabung penampungan lindi dikeluarkan dari tabung dan dimasukkan kembali ke dalam reaktor melalui lubang penyaluran lindi. Proses lainnya yang berpotensi masuknya O2 ke dalam sistem fermentasi adalah ketika pemanenan digestat diakhir fermentasi. Solusi yang mungkin bisa dilakukan adalah memperbaiki sistem reaktor yang memungkinkan untuk tidak masuknya O2 ketika pengambilan sampel padat, yaitu dengan sistem buka-tutup otomatis pada lubang sampel. Pada proses resirkulasi lindi sebaiknya digunakan pompa peristaltik untuk menghindari masuknya O2 ke dalam reaktor. Untuk menghindari masuknya O2 pada bahan saat pemanenan digestat, sebaiknya dilakukan penyemprotan gas nitrogen pada reaktor sebelum reaktor dibuka.

Korelasi antara produksi biogas dengan banyaknya bahan baru (feed) yang dimasukkan maka adanya hubungan yang linear dimana semakin banyak bahan baru (feed) yang dimasukkan semakin banyak pula biogas yang dihasilkan. Grafik hubungan antara keduannya disajikan pada Gambar 11.

25

Gambar 11. Grafik hubungan antara produksi biogas dengan % penambahan feed baru Volume biogas harian sampah awal (30 hari pertama), feed 50% (30 hari ke-2), dan

feed 75% (30 hari ke-3) disajikan pada Gambar 12. Volume biogas tertinggi pada batch pertama diperoleh pada hari ke-2 dan hari ke-7 yaitu sebesar 1413 ml. Volume biogas tertinggi pada batch kedua diperoleh pada hari ke-19 sebesar 1074, dan batch ketiga diperoleh pada hari ke-12 sebesar 1221 ml biogas.

26

Alvarez dan Liden (2007) pada percobaan fermentasi dengan menggunakan sampah sayuran dan buah-buahan menunjukkan volume biogas tertinggi diperoleh pada hari ke-3 dengan volume sekitar 1900 ml. Produksi biogas terus menurun pada 10 hari pertama fermentasi seiring dengan menurunnya nilai pH dan kandungan metan. Selain itu, Sahidu (1983) pada percoban fermentasi biogasnya pada volume 62.8 liter dengan menggunakan tinja sapi (kelompok I) dan tinja sapi dengan penambahan jerami 5% dari beratnya (kelompok II) menunjukkan volume biogas tertinggi untuk kelompok I diperoleh pada hari ke-21 dengan volume 12 liter biogas, dan kelompok II diperoleh pada hari ke-21 dengan volume sekitar 16 liter biogas.

Perbedaan produksi biogas harian ini dipengaruhi beberapa faktor kondisi fermentasi anaerobik, diantaranya adalah jumlah mikroorganisme pengurai di dalam digester, baik itu bakteri asidogen maupun bakteri metanogen, pH subtrat, ketersediaan nutrisi untuk perkembangan mikroba, dan kondisi lainnya yang berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup mikroba pengurai.

4.4.2 Penurunan Total Volatile Solid (TVS)

Pendegradasian bahan organik bisa ditandai dengan perubahan kandungan Volatile Solid suatu bahan. Proses degradasi bahan organik diimbangi dengan pembentukkan biogas sebagai hasil proses fermantasi. Bahan organik pada suatu bahan yang merupakan senyawa kompleks diuraikan menjadi senyawa sederhana pada proses hidrolisis, dari senyawa sederhana ini dibentuk bahan yang merupakan bahan utama biogas yaitu asetat, CO2 dan H2. Seberapa banyak bahan organik yang bisa didegradasi akan berbanding lurus dengan jumlah biogas yang dihasilkan.

Menurut Boullaghui et al. (2003) dalam Rahman (2007) menjelaskan bahwa pada proses produksi biogas secara anaerobik, terjadi penurunan kandungan TVS dengan efisiensi pendegradasian antara 58-75% pada akhir proses. Penurunan nilai TVS menunjukkan bahwa kandungan padatan organik telah dirombak menjadi senyawa volatile fatty acid, alkohol, CO2 dan H2 pada tahap asidogenesis, kemudian menjadi CH4 dan CO2 pada tahap metanogenesis.

Dari hasil analisis menunjukkan bahwa padatan organik bahan hanya sedikit yang terdegradasi yaitu 0.35% (8.75 g dari 2500 g bahan) pada batch pertama, 0.23% bahan organik pada batch kedua, dan 1.66% pada batch ketiga.

Jika dihubungkan dengan volume biogas yang dihasilkan maka akan diperoleh laju pembentukkan biogas. Tabel 11 menyajikan laju pembentukkan biogas pada setiap batch perlakuan penambahan feed.

Tabel 11. Laju pembentukkan biogas

Perlakuan Produksi biogas (ml) Penurunan TVS (g) Laju pembentukkan biogas (ml/g VS) Awal 16707 8.75 1909.37 Feed 50% 10908 5.75 1897.04 Feed 75% 12378 41.50 298.26

Jika dilihat TVS bahan sebelum difermentasi yaitu berkisar antara 91.9-93.8% (d.b) merupakan potensi yang cukup besar untuk dikonversi menjadi biogas. Tetapi dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa hanya sedikit bahan organik yang dikonversi menjadi biogas, hal ini berkaitan dengan keberadaan dan jumlah mikroorganisme dalam digester sebagai pelaku pengurai bahan organik menjadi biogas. Jumlah dan keberadaan mikroorganisme dipengaruhi oleh

27

lingkungan tempat mikroorganisme tersebut hidup. Selain itu, kemungkinan bahan yang difermentasi adalah bahan yang termasuk memiliki rantai kimia panjang sehingga proses degradasi membutuhkan waktu yang cukup panjang. Perlakuan mixing (pengadukkan) juga bisa menjadi aternatif untuk mengoptimumkan proses degradasi bahan, karena dengan adanya pengadukkan subtarat yang diuraikan menjadi lebih merata sehingga bakteri pengurai lebih mudah mendegradasi bahan. Jika proses degradasi bahan optimum, harapannya adalah produksi biogas hasil fermentasi anaerobik juga optimum hal ini ditandai dengan meningkatnya produksi biogas. Grafik megenai penurunan bahan organik (TVS) pada setiap batch disajikan pada Gambar 13.

Gambar 13. Penurunan TVS pada masing-masing batch

Gambar 13 menunjukkan penurunan kandungan padatan organik dari setiap bahan pada masing-masing batch. Hasil pengamatan menunjukkan adanya data yang fluktuatif atau naik-turun pada persentase TVS yang diukur, hal ini sangat erat kaitannya dengan bahan yang dianalisis. Bahan yang dianalisis adalah bahan padat yang diambil dari dalam digester anaerob. Bahan tersebut mengandung banyak kadar air. Besarnya TVS dihitung dari hasil pengurangan berat total bahan dari kadar air dan kadar abu, sehingga perhitungan mengenai TVS sangat tergantung pada perhitungan kadar air dan kadar abu bahan.

4.4.3 Penurunan Chemical Oxygen demand (COD)

Salah satu cara untuk mengetahui adanya penurunan bahan organik dalam suatu bahan adalah dengan menghitung COD bahan tersebut. Menurut Romli (2010), Chemical Oxygen demand (COD) adalah ukuran kandungan bahan organik (dalam limbah) yang dapat dioksidasi secara kimiawi, dengan menggunakan oksidator kimia kuat dalam medium asam. Harikishan (2008) menjelaskan bahwa produksi metan bisa diperkirakan dari COD berdasarkan percobaan menyebutkan bahwa 1 kg COD yang diuraikan bisa memproduksi 0.35 m3 CH4 (5.62 ft3/lb COD

28

terurai) pada kondisi ruang (Standart Temperature Pressure). Gambar 14 menunjukkan grafik penurunan kandungan COD bahan dari setiap batch selama fermentasi anaerobik berlangsung.

Gambar 14. Penurunan COD bahan selama fermentasi anaerobik

Nilai COD bahan dan lindi sampah selama proses fermentasi mengalami penurunan walaupun beberapa hasil analisis menunjukkan kenaikkan, tetapi secara umum menunjukkan trend menurun. Adapun degradasi bahan organik menurut perhitungan kandungan COD bahan sampah adalah pada batch pertama sebesar 68%, batch kedua 75%, dan 75.7% untuk batch ketiga. Semakin banyak COD yang diuraikan maka semakin banyak biogas yang terbentuk. Menurut Widjaja et al. (2008) semakin besar reduksi COD, berarti bahan organik yang terdegradasi menjadi asam-asam organik (TVA) juga semakin besar. Asam-asam organik inilah yang kemudian terkonversi menjadi gas metan, sehingga jika reduksi COD semakin besar maka laju pembentukkan gas metan juga semakin besar. Gambar 15 menyajikan penurunan kandungan COD lindi selama fermentasi anaerobik berlangsung.

29

Gambar 15. Penurunan COD lindi selama fermentasi anaerobik

Pada fase hidrolisis dan asidifikasi berlangsung, bahan yang didegradasi masih sedikit dan menyebabkan penurunan COD yang tidak terlalu signifikan. Proses lanjutan setelah asidifikasi adalah metanasasi, fase ini ditandai dengan penurunan COD secara signifikan dan proses selanjutnya menuju steady operation (Widjaja et al. 2008). Kandungan COD pada lindi sebenarnya lebih erat kaitannya dengan fungsi lindi sebagai pupuk cair organik, dimana kandungan COD lindi adalah gambaran berapa banyak kandungan bahan organik pada pupuk cair. Tetapi jika dilihat pada Gambar 15, kandungan COD lindi pada setiap batch semuanya mengalami penurunan seiring dengan pembentukkan biogas selama fermentasi berlangsung. Hal ini menunjukkan bahwa COD lindi pun memiliki pengaruh terhadap pembentukkan biogas, semakin banyak biogas yang terbentuk maka semakin banyak COD lindi yang tereduksi. Selain itu, kondisi operasi penelitian yang setiap 2 hari sekali mengharuskan meresirkulasi lindi yang terbentuk untuk mengembalikan mikroba pada lindi, hal ini yang mungkin menjadi salah satu penyebab kenapa kandungan COD pada lindi pun mengalami penurunan.

Dokumen terkait