• Tidak ada hasil yang ditemukan

3. METODE PENELITIAN 1 Waktu dan Tempat Penelitian 1 Waktu dan Tempat Penelitian

3.4. Teknik Analisis Data

3.4.3 Produksi Etanol

Untuk mengetahui pengaruh kondisi S. cerevisiae yang telah diadaptasi

terhadap proses fermentasi, maka dilakukan uji F dengan RAL faktor tunggal. Faktor

yang mempengaruhi adalah kondisi S. cerevisiae sebanyak 2 taraf yaitu Kondisi

teradaptasi (A) dan tanpa Adapatasi (NA). Diulang sebanyak 2x. Apabila ada salah satu perlakukan berpengaruh nyata maka analisis dilanjutkan dengan uji Duncan (Gomez dan Gomez 1995). Parameter yang diuji adalah perubahan gula total, etanol yang terbentuk, biomassa, jumlah sel, efisiensi fermentasi, efisiensi substrat, rendemen etanol dan rendemen bobot biomassa (Lampiran 6).

Persamaan model rancangannya sebagai berikut : Yij = µ+ ai + ε(ij)

Yij = variabel respon karena pengaruh taraf ke i faktor a,

pengamatan/unit perlakuan ke n

µ = pengaruh rata-rata yang sebenarnya (nilai konstan)

ai = pengaruh sebenarnya dari taraf ke i faktor a

ε(ij) = pengaruh sebenarnya unit eksperimen ke i disebabkan oleh

kombinasi perlakuan (ij). i = taraf kondisi S. cerevisiae (1,2)

Ubi kayu yang dipergunakan dalam penelitian ini mempunyai ciri-ciri fisik antara lain umbinya berbentuk silinder memanjang, kulit berwarna coklat tua dengan daging umbi berwarna putih. Bubur ubi kayu mengandung banyak air dan pati dengan sedikit lemak, protein dan serat (Tabel 4).

Tabel. 4 Komposisi kimia ubi kayu segar Komposisi Parameter (%bb) (%bk) Air Abu Lemak Protein

Pati (karbohidrat by difference) Serat Kasar Selulosa Hemiselulosa Lignin 66,74 0,67 0,36 1,05 30,42 0,77 0,94 3,11 0,18 2,52 1,33 3,94 89,35 2,87 3,51 11,67 0,67 Keterangan : bb = berat basah, bk = berat kering

Hasil analisis menunjukkan kadar air ubi kayu segar adalah 66,74%. Hasil tersebut lebih tinggi dari yang didapatkan Susmiati (2010) yaitu sebesar 57% dan dari

Pandanou et al. (2005) sebesar 60,30%. Menurut Priadi (2009), beberapa jenis ubi

kayu di Indonesia memiliki kandungan air sebesar 58% sampai 66%. Hal tersebut kemungkinan dipengaruhi perbedaan jenis ubi kayu, daerah penanaman dan waktu panen (Hartadi et al.1986).

Pengukuran kadar air penting dilakukan karena hasil pengukuran akan digunakan dalam perhitungan pengenceran asam dan kadar padatan dalam proses hidrolisis. Kadar air pada ubi kayu diharapkan dapat mengurangi penggunaan air. Selain menghemat air juga menghemat biaya untuk proses pengeringan, namun ubi kayu segar memiliki keterbatasan yaitu tidak dapat disimpan terlalu lama.

Kadar abu dalam bahan menggambarkan kandungan mineral-mineral

anorganik sisa pembakaran bahan organik pada suhu 550oC (Apriyantono et al.

2,52% pada bobot kering. Hasil yang didapat tidak jauh berbeda dengan yang dilaporkan Arnata (2009) yaitu sebesar 2,55% pada bobot keringnya.

Kadar lemak dan protein bahan berturut-turut 1,33% (bk) dan 3,94% (bk) Kadar Lemak lebih rendah dari yang dilaporkan Arnata (2009) yaitu sebesar 6,54% (bk) sedangkan kadar proteinnya lebih tinggi dari yang dilaporkan Arnata (2009) yaitu sebesar 1,81% (bk)

Polisakarida yang penting dalam ubi kayu adalah pati dan serat. Monomer keduanya digunakan oleh agen fermentasi sebagai sumber energi untuk mensintesis ATP dalam proses fermentasi. Pati merupakan bagian terpenting yang dapat digunakan menjadi bahan dasar pembuatan etanol. Pati akan terhidrolisis menjadi monomer glukosa dan manosa. Pada hidrolisis asam, glukosa dapat terdegradasi lebih lanjut manjadi HMF yang dapat mengambat pembentukan etanol pada proses fermentasi (Gambar 1). Kadar pati yang didapat pada penelitian ini adalah sebesar 30,42% (bb) dan 89,35% (bk) (Tabel 2). Hasil tersebut lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh Tokuari (2004) sebesar 24% (bb) dan Arnata (2009) sebesar 62,54% (bk).

Kadar serat kasar yang didapat dalam penelitian ini adalah sebesar 0,77%. Kadar serat yang kecil berpengaruh terhadap proses hidrolisis. Serat lebih sulit terdegradasi dibanding pati karena mengandung selulosa, hemiselulosa dan lignin. Subagio (2006) melaporkan serat ubi kayu adalah sebesar 0,60% sedangkan pada keadaan kering serat yang didapat adalah sebesar 2,87%. Keadaan ini lebih besar dari yang dilaporkan Arnata (2009) yaitu sebesar 2,69%

Kadar selulosa, hemiselulosa dan lignin dianalisa dengan menentukan nilai

Acid Detergent Fiber (ADF) dan Neutral Detergen Fiber (NDF) (Van Soetst 1963).

Pada penelitian ini komponen yang terbesar dari ubi kayu adalah hemiselulosa sebesar 11,67% diikuti selulosa sebesar 3,15% dan lignin 0,67%. Kadar hemiselulosa yang tinggi berpotensi menjadi monomer gula yang tinggi pula. Namun, hemiselulosa juga berpotensi terdegradasi menjadi menjadi senyawa penghambat berupa furfural dan HMF (Almeida 2007).

penelitian ini berwarna merah kecoklatan dengan nilai pH 1-2. Hidrolisis dilakukan dengan tujuan untuk memecah pati, selulosa dan hemiselulosa menjadi gula-gula sederhana yang dapat digunakan oleh S. cerevisiae dalam proses fermentasi.

Tabel 5. Komposisi kimia hidrolisat asam ubi kayu setelah netralisasi

Parameter Komposisi HA Komposisi HA yang

diinginkan (g/l) Total Gula Gula Pereduksi Dextose equivalen Glukosa HMF Furfural 235,15 (g/l) 215,91 (g/l) 91,85 128,51 (g/l) 3,55 (g/l) 0,72 (g/l) 100 – 180 a < 300 b < 1,00 c < 1,5d

Keterangan : Frazier dan Weshoff (1978)a, Mangunwidjaja dan Suryani (1994) b, Alves et al. (1998) c, Nigam (2001) d

Susmiati (2009) telah menghidrolisis tepung ubi kayu dengan H2SO4 dan

melaporkan bahwa hidrolisis satu tahap dengan kadar padatan 30% dan konsentrasi

H2SO41 M selama 10 menit pada suhu 121oC. menghasilkan gula tertinggi. Pada

proses hidrolisis konsentrasi asam dan suhu reaksi merupakan variabel penting yang

dapat mempengaruhi terbentuknya senyawa-senyawa ini. Suhu moderat (<160oC)

diperlukan untuk dapat menghidrolisis hemiselulosa dan menekan dekomposisi gula sedehana. Suhu yang lebih tinggi akan mempermudah dekomposisi gula sederhana dan senyawa lignin (Mussatto dan Roberto 2004). Pada penelitian ubi kayu segar digunakan sebagai substrat. Adanya kandungan air yang lebih banyak menyebabkan kadar padatan dan konsentrasi H2SO4 yang digunakan juga berbeda. Penggunaan ubi kayu segar sebagai substrat telah dilaporkan oleh Rusdianto (2010). Rusdianto (2010) melaporkan bahwa hidrolisis menggunakan H2SO4 1 M selama 15 menit, suhu 121oC dengan kadar padatan 18% mendekati hasil hidrolisis tepung ubi kayu yang dilaporkan Susmiati (2010), sehingga cara hidrolisis tersebut dipergunakan dalam penelitian ini. Setelah semua kondisi hidrolisis terpenuhi maka didapat hidrolisat dengan komposisi tertentu seperti pada Tabel 5.

Kadar gula total yang didapat pada hidrolisat asam setelah dilakukan netralisasi adalah sebesar 235,15 g/l, sedangkan kadar gula pereduksi adalah sebesar

215,91 g/l (Tabel 5). Kadar gula total menunjukkan jumlah keseluruhan komponen gula dalam bahan terhidrolisis sedangkan gula reduksi menunjukkan jumlah komponen gula yang ujung rantainya mengandung gugus aldehida atau keton bebas. Semua monosakarida (glukosa, fruktosa, galaktosa) dan disakarida (laktosa, maltosa), kecuali sukrosa dan pati (polisakarida), termasuk sebagai gula pereduksi . Rasio gula pereduksi terhadap gula total adalah nilai DE (dextrose equivalent). Semakin tinggi nilai DE maka proses hidrolisis menjadi lebih sempurna. Nilai DE dalam penelitian ini adalah 91,85. Besarnya kadar gula pereduksi menunjukkan hidrolisat berpotensi besar menghasilkan etanol yang tinggi dalam proses fermentasi sebab gula reduksi

yang terukur sebagai glukosa bisa dimanfaatkan oleh S. cerevisiae dalam proses

metabolisme menghasilkan etanol, terlepas dari ada atau tidaknya inhibitor. S.

cerevisiae mempunyai batas toleransi terhadap jumlah gula dalam hidrolisat. Gula

optimum bagi S. cerevisiae adalah 15-18% (Osho 2005; Moneke et al 2005). Untuk

itu, perlu dilakukan pengenceran hidrolisat dari kadar gula 24% menjadi 15%.

Pada suhu dan tekanan tinggi, glukosa dan xylosa akan terdegradasi menjadi furfural dan HMF. Dekomposisi lanjut akan menjadi asam levulinat dan asam formiat (Mussatto dan Roberto 2004; Palmqvist dan Hahn-Hägerdal 2000). Furfural dan HMF yang terkandung dalam hidrolisat asam adalah berturut-turut sebanyak 0,72 g/l dan 3,55 g/l (Tabel 5). Hidrolisat dengan kadar gula 15% mengandung HMF sebanyak 2,84 g/l dan furfural sebanyak 0,022g/l. HMF yang dihasilkan lebih banyak dari furfural. Hal tersebut disebabkan karena ubi kayu lebih banyak mengandung pati dari pada serat. Pati akan terdegradasi menjadi HMF, sedangkan serat khususnya hemiselulosa akan terdegradasi menjadi furfural. Jumlah furfural di dalam hidrolisat tidak terlalu banyak, namun apabila dikombinasikan dengan HMF dapat menghambat kinerja S. cerevisiae dalam memproduksi etanol.

Fermentasi hidrolisat bagas selama 24 jam oleh S. cerevisiae tidak dapat

menghasilkan etanol pada media yang mengandung HMF dan furfural sebanyak 4,3 g/l namun masih dapat menghasilkan etanol sebanyak 0,03g/l setelah 24 jam (Martin

et al 2007). S. cerevisiae bisa mengalami kematian pada media yang mengandung

furfural saja sebanyak 5 g/l atau HMF saja sebanyak 10 g/l (Palqvist et al. 1999,

kromatin inti sel dari saling terkumpul menjadi tersebar tidak merata dan mengubah bentuk permukaan sitoskeleton aktin menjadi tidak halus (Allen et al. 2010). Martin dan Jonnson (2002) melaporkan bahwa HMF 1,4 g/l di dalam media fermentasi akan menurunkan etanol yang dihasilkan sebanyak 41%.

Degradasi senyawa lignin akan menghasilkan senyawa-senyawa fenol yang sangat berbahaya bagi mikroorganisme khususnya bagi membran dan matrik enzim dalam sel (Palmqvist dan Hahn-Hägerdal 2000). Oleh karena itu, hidrolisat asam harus dinetralisasi terlebih untuk mengurangi resiko dalam proses fermentasi.

1.3 Seleksi

Dokumen terkait